Anda di halaman 1dari 7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bangsa Arab Sebelum Islam

Wilayah Bangsa Arab biasanya disebut dengan jazirah, yang di dalam Bahasa Arab
berarti pulau. Sebagian ahli sejarah menamai tanah Arab itu “shibhu al-jazirah”, yang kira-kira
dalam Bahasa Indonesia berarti “Semenanjung” -- sekalipun hanya ada tiga sisi dari wilayah
tersebut yang berbatasan dengan laut. Jadi, jazirah Arab berarti Pulau atau Semenanjung Arab.
Semenanjung Arab ini berbentuk empat persegi panjang yang sisi-sisinya tidak sejajar. Di
sebelah barat berbatasan dengan Laut Merah, sebelah selatan dengan Lautan Hindia, di sebelah
timur dengan Teluk Arab dan di sebelah utara dengan Gurun Irak dan Gurun Syam atau Syiria.
Panjangnya 1000 KM dan lebarnya ± 1000 KM.

Keistimewaan penduduk gurun pra-Islam terutama dalam hal nasab murni mereka.
Menurut Ibnu Khaldun dalam bukunya, Muqaddimah, hal ini disebabkan karena, Jazirah Arab
tidak pernah dimasuki oleh orang asing. Tidak hanya nasab mereka yang murni, tetapi juga
bahasa mereka menjadi terpelihara dari kerusakan bahasa, yang bisa terjadi akibat adanya
percampuran dengan bangsa-bangsa asing. Gurun Arab, pada waktu itu, tidak pernah ditempuh
oleh bangsa asing. Oleh karena itulah, bahasa mereka masih murni dan terpelihara dari segala
macam kerusakan. Tak heran jika padang pasir itu kemudian dijadikan sekolah alam, yaitu
tempat untuk mempelajari dan menerima Bahasa Arab yang fasih. Padahal Bahasa Arab, pada
waktu itu, di berbagai kota dan negeri telah mengalami kerusakan.

Masyarakat Arab ketika itu hidup berdasarkan kesukuan, wilayahnya kebanyakan terdiri
dari padang pasir dan stepa. Mayoritas penduduknya adalah suku-suku Badui yang mempunyai
gaya hidup pedesaan padang pasir dan nomadic, berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah
lain untuk mencari air dan padang rumput bagi binatang-binatang gembala. Sebagian lainnya
adalah penduduk yang menetap di kota-kota seperti Mekah dan Madinah. Secara keseluruhan
mata pencaharian yang penting adalah menggembala, berdagang dan bertani.

Peperangan antar suku adalah suatu kejadian yang sering terjadi sejak lama. Organisasi
dan identitas social berakar pada keanggotaan dalam suatu masyarakat yang luas. Satu
kelompok yang terdiri dari beberapa keluarga membentuk kabilah atau suku (klan). Beberapa
kelompok kabilah membentuk suku yang dipimpin oleh seorang syekh. Masyarakat umumnya
sangat menekankan hubungan kesukuan. Kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber
kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Seseorang banyak bergantung pada kehidupan suku
yang sering saling menyerang.

2.1.1 Kebudayaan bangsa arab sebelum islam masuk

Salah satu unsur kuat dalam kebudayaan Arab pra Islam adalah pembedaan kelas atau
kasta. Kelas bangsawan tidak sama dengan kelas budak dan tidak ada sarana bagi seorang
budak untuk menyamai bahkan melebihi kelas bangsawan. Demikian pula sebaliknya, tidak
akan ada faktor yang menyebabkan runtuhnya kebangsawanan untuk merosot menjadi kelas
budak. Sebagai komunitas yang awam dalam budaya baca tulis maka bangsa Arab menjadikan
budaya lisan sebagai media pelestarian tradisi yang utama. Dan syair merupakan ungkapan
pikiran, pengetahuan dan pengalaman hidup. Hampir semua pengungkapan itu melalui bentuk
syair, dan yang lainnya berupa natsr (prosa), amtsal (perumpamaan), khitabah (pidato), ansab
(geneologi) dan lainnya. Kegiatan membuat dan membacakan syair-syair di depan umum
dilakukan di suatu pasar yang disebut Ukadz. Diantara syair-syair yang terpilih kemudian
digantungkan di dindingKa bah sebagai bentuk apresiasi yang biasa disebut mu allaqat.
Kumpulan syair disebut dengan puisi (diwan) yang merupakan medium pengungkapan yang
paling dikenal oleh orang Arab dan merupakan produksi kebahasaan pertama. Kemudian
disusul oleh pidato (khitabah) sebagai budaya lisan kedua. Baik puisi (penyair) dan khitabah
(khotib) memiliki fungsi sosial yang cukup berpengaruh di komunitas masyarakat Arab. Puisi
bisa dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan dalam olah kata, namun khotib
mensyaratkan disampaikan oleh pemimpin di kalangan kaumnya dan menjadi panutan akhlak
dan tingkah lakunya. Karena keberadaan khotib berfungsi sebagai mediator diantara kaum, raja
dan kepala.

Bahasa Arab adalah bahasa yang paling halus susunannya, paling kaya kata-katanya,
paling lengkap kaidahnya dan paling tinggi sastranya. Salah satu cabang dari bahasa Arab
adalah bahasa Yaman yang juga disebut bahasa Himyar. Bahasa Himyar merupakan bahasa
budaya dan peradaban ketika Yaman masih jaya. Namun, ketika Yaman mengalami
kemunduran dan terombang-ambing di bawah kekuasaan Habsyi dan Persia, maka masuklah
unsur-unsur bahasa asing ke dalam bahsa tersebut. Inilah yang mendorong kemunduran bahasa
Himyar dan menyebabkan bahasa itu kehilangan cirri-cirinya sebagai bahasa dari bangsa yang
memiliki peradaban tinggi. Di saat yang sama, bahasa Hijaz yang disebut juga bahasa Qauraisy,
menunjukkan perkembangan pesat sebagai akibat dari kebangkitan sastra di Makkah dan
munculnya pasar-pasar di sekitarnya, disamping karena hubungan yang meningkat antara Hijaz
dengan Syiria dan Irak melalui kegiatan niaga. Bahasa Quraisy memiliki uslub yang kuat, kaya
arti dan sinonim, berdialek halus dan cenderung ringkas dalam pengungkapan. Karena itu,
bahasa Quraisy dalam segala hal lebih unggul dari dialek-dialek bahasa kabilah-kabilah Arab
lainnya.

Bangsa Arab memiliki beberapa pasar yang digunakan untuk melakukan transaksi jual
beli sekaligus untuk membacakan syair-syair mereka. Pasa-pasar tersebut terletak di dekat
Makkah, diantaranya adalah Ukaz, Majinnah dan Dzul Majaz. Para penyair Arab dari berbagai
penjuru dating ke pasar-pasar itu untuk membacakan syair-syair kebanggaan mereka. Syair-
syair terbaik yang terpilih ditulis dengan tinta emas dan digantungkan di Ka’bah dekat dengan
patung-patung dewa pujaan mereka. Dalam bidang keilmuan, bangsa Arab pra Islam sudah
mengenal cabang-cabang ilmu yang dikenal di Persia, Babilonia dan Yunani. Di kalangan
mereka telah tumbuh ilmu watak yang didasarkan kepada pengamatan, pengalaman dan
pengujian yang lama. Demikian pula pengamatan tentang perjalanan bintang yang melahirkan
ilmu falak, ilmu kedokteran dan ilmu anatomi. Selain itu, mereka juga telah mengenal ilmu
ramal untuk memperkirakan waktu yang akan dating, dan arkeologi dengan melihat sisa-sisa
peninggalan manusia dan binatang yang telah lenyap.

2.1.2 Keagamaan bangsa arab sebelum islam masuk

Walaupun agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke jazirah Arab, bangsa Arab
kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya kepada banyak dewa yang
diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah memiliki barhala sendiri,
sehingga sekitar 360 buah patung bertengger di Ka’bah. Berhala-berhala yang terkenal
diantaranya adalah Lata, Uzza, Manat dan Hubal. Pada masa itu masyarakat Arab sangat
tergila-gila memuja dan menyembah berhala. Diantara mereka ada yang membuat rumah-
rumahan untuk dijadikan istana bagi tuhan-tuhan berhala patung-patung pujaan. Orang yang
tidak mampu membuat berhala, patung atau rumah-rumahan maka cukup dengan
memancangkan batu besar di depan Ka bah, atau di tempat lain yang dianggap baik dan suci,
kemudian ia berjalan mengelilinginya beberapa kali putaran seperti orang yang sedang
melakukan tawaf mengitari Ka’bah. Upacara kebaktian seperti itu disebut Anshab.
Kekudusan berhala-berhala pada masyarakat padang pasir bertingkattingkat dan setiap
kabilah atau suku memiliki patung sendiri sebagai pusat penyembahan. Berbagai sesembahan
pada jaman jahiliah inipun berbeda-beda, diantaranya sanam (patung), wasan (berhala) dan
nusub. Sanammerupakan patung dalam bentuk manusia yang dibuat dari logam atau kayu
sedangkan wasan terbuat dari batu. Dan Nusub adalah batu karang tanpa bentuk tertentu.
Berhala-berhala itu tidak hanya diletakkan di sekitar Ka bah tapi juga diletakkan di rumah
masing-masing.Merekamengelilingi patung itu setiap akan keluar atau sesudah kembali dari
perjalanan. Semua patung, baik yang di Ka bah maupun yang di rumah dianggap sebagai
perantara antara penganutnya dengan dewa besar. Mereka beranggapan penyembahannya
kepada dewa-dewa itu merupakan cara mendekatkan diri kepada tuhan, namun pada
kenyataannya penyembahan kepada tuhan sudah mereka lupakan karena telah menyembah
berhala-berhala itu.

Di tengah-tengah masyarakat penyembah berhala itu, masih ada segelintir kecil yang
tetap berpegang kepada agama ajaran Ibrahim, misalnya Umayyah ibn Abi Shalt, seorang
penyair yang menunggu kedatangan seorang rasul yang dijanjikan, meskipun ketika rasul itu
datang ia memusuhinya. Ada juga Qas ibn Saidah dan Waraqah ibn Naufal yang banyak paham
tentang isi injil dan meyakininya. Selain itu, ada juga golongan shabiah, yaitu penyembah
bintang, seperti Bani Himyar menyembah matahari, Bani Kinanah menyembah Dabaran (lima
buah bintang di sekitar bulan). Terdapat pula masyarakat Arab yang menyembah binatang,
mempercayai malaikat sebagai anak-anak perempuan Tuhan dan menyembah jin.

Di bagian timur jazirah Arab tersebar agama Majusi atau Zoroaster, dinisbatkan kepada
penciptanya yang asli orang Persia. Agama ini mengajarkan bahwa dunia ini dikuasai oleh dua
Tuhan, yaitu tuhan kebaikan yang disebut Athura Mazda dan tuhan kejahatan yang disebut
Ahriman.

2.1.3 Karakter bangsa arab sebelum islam masuk

Secara umum, periode Makkah pra Islam disebut sebagai periode jahiliyyah yang
berarti kebodohan dan barbarian. Secara nyata, dinyatakan oleh Philip K. Hitti, masyarakat
Makkah pra Islam adalah masyarakat yang tidak memiliki takdir keistimewaan tertentu (no
dispensation), tidak memiliki nabi tertentu yang terutus dan memimpin (no inspired prophet)
serta tidak memiliki kitab suci khusus yang terwahyukan (no revealed book) dan menjadi
pedoman hidup.
Merujuk kata "jahiliyyah" dalam al-Qur'an, yaitu dalam surat Ali Imron (3) ayat 154
(…yazhunnuna bi Allahi ghayra al-haqqi zhanna al-jahiliyyati…), surat al-Ma'idah (5) ayat 50
(afahukma al-jahiliyyati yabghuna…), surat al-Ahzab (33) ayat 33 (wala tabarrujna tabarruja
al-jahiliyyati …) dan surat al-Fath (48) ayat 26 (…fi qulubihmu al-hamiyyata hamiyyata al-
jahiliyyati…) sebagaimana ditunjuk oleh Philip K. Hitti43 dan diidentifikasi oleh Muhammad
Fuad sebagai ayat-ayat yang mengandung kata "jahiliyyah", cukup memberikan sebuah
petunjuk bahwa masyarakat jahiliyyah (Arab pra Islam) itu memiliki ciri-ciri yang khas pada
aspek keyakinan terhadap Tuhan (zhann bi Allahi), aturan-aturan peradaban (hukm), life style
(tabarruj) dan karakter kesombongannya (hamiyyah).

2.2 Bangsa Arab Setelah Islam

Sistem kejahiliyyahan pada bangsa Arab pra Islam dengan ketiga karakter utama seperti
yang dipaparkan di atas, menjadi latar belakang kemunculan Islam dengan membawa
perubahan sosial melalui aturan (hukum) yang revolusioner. Secara jelas, al-Qur'an menolak
penggunaan aturan jahiliyyah yang dinilai penuh dengan pertimbangan hawa nafsu dan
pemihakan terhadap kelompok tertentu yang berkuasa di dalam bangsa. Selanjutnya ditegaskan
bahwa Islam merupakan satu-satunya aturan yang harus dipegangi oleh manusia karena berasal
dari Allah SWT dan membawa prinsip keadilan dan kesetaraan sosial.

Pada periode awal Islam, Nabi Muhammad saw menyebarkan ajaran Islam secara
universal kepada seluruh manusia, di bawah bimbingan wahyu Allah SWT. W.M. Watt merinci
ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw pada periode awal Islam tersebut ke
dalam 5 (lima) tema pokok, yaitu; kebaikan dan kekuasaan Tuhan (God's Goodness and
Power), pengadilan Tuhan di akhirat (the Return to God for Judgement), respon manusia untuk
bersyukur dan menyembah Tuhan (Man's Response – gratitude and worship), respon manusia
di hadapan Tuhan untuk seorang dermawan (Man Response to God – Generosity) dan risalah
kenabian Muhammad saw (Muhammad's own vocation). Inti ajaran awal Nabi Muhammad
saw adalah ajaran tawhid, yaitu ajaran untuk beriman kepada Allah yang Maha Esa yang
mengadili pertanggungjawaban seluruh makhluk-Nya (termasuk manusia) atas semua
perbuatannya. Konsekuensi logis dari ajaran ini adalah adanya kewajiban untuk menyembah
dan bersyukur kepada Tuhan serta kewajiban untuk menjadi egaliter dan saling menyayangi
antar sesama makhluk, terutama sesama manusia. Sementara itu, secara singkat bisa dikatakan
bahwa dasar ajaran pada periode awal tersebut adalah kesalihan keakhiratan, kemuliaan etis
dan ibadah shalat.
Berkenaan dengan egalitarianitas dalam Islam, surat al-Hujurat 49 ayat 13 menegaskan
bahwa orang yang paling mulia di hadapan Allah SWT adalah orang yang paling bertaqwa,
bukan orang yang paling kaya, paling pandai atau paling berkuasa, entah itu laki-laki atau
perempuan dan entah berasal dari suku bangsa apapun. Disebutkan di permulaan ayat bahwa
manusia itu tercipta dari asal muasal yang sama, yaitu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang kemudian tersebar ke berbagai kelompok dan suku bangsa. Ditegaskan pula
bahwa antar sesama manusia perlu mengadakan komunikasi dan interaksi timbal balik. Ayat
tersebut diceritakan turun berkenaan dengan beberapa peristiwa, antara lain peristiwa yang
terjadi pada waktu fath al-makkah. Diceritakan bahwa Bilal bin Rabah mengumandangkan
seruan adzan dan dinilai oleh al-Harits bin Hisyam tidak pantas karena Bilal adalah seorang
"bekas" budak yang berkulit hitam. Suhail bin Amru merespon penilaian tersebut dengan
menyatakan bahwa jika perbuatan Bilal itu salah, tentu Allah SWT akan mengubahnya dan
turunlah ayat tersebut. Jika kemudian ada aturan-aturan dalam Islam yang kelihatannya tidak
sesuai dengan prinsip egaliter dan prinsip-prinsip lainnya, maka aturan tersebut harus dipahami
sesuai dengan konteks realitas sosial yang melingkupinya dan memperhatikan fungsinya
sebagai legal counter terhadap aturan-aturan non-egaliter yang berlaku.

2.2.1 Watak bangsa arab setelah islam masuk

Bangsa arab yang semula sangat bangga dengan kabila, darah, dan turunannya masing-
masing, maka setelah islam datang dan telah menjadi agama yang dianut mereka dipersatukan
di atas suatu bendera dengan satu nama yaitu Islam. Sehingga bangsa arab saat itu saling
menghormati satu sama lain dan karena itu pula perselisihan-perselisihan antar kabila yang
sering terjadi pada masa jahiliyyah dapat dihindarkan. Islam juga mengajarkan untuk saling
menyayangi satu sama lain, menyambung tali silaturahim dan bertetangga dengan baik.

2.2.2 Tradisi bangsa arab setelah islam masuk

Banyak adat maupun tradisi orang arab yang dinilai kurang baik dan bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan secara umum dan kemudian dirubah setelah Islam dating di
jazirah arab. Kebiasaan-kebiasaan tersebut antara lain peribadatan dengan banyak tuhan yang
sesembahannya dimanifestasikan dengan batu, kayu atau logam ataupun berupu benda-benda
alam yang dinilai memiliki kekuatan supra natural.
Kebiasaan ini kemudian mulai digeser dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Kebiasaan buruk lainnya adalah memperlakukan perempuan dan budak tidak selayaknya
manusia yang kemudian diubah sedemikian rupa oleh Islam melalui ajaran-ajarannya untuk
diposisikan pada derajat yang sama dengan yang lainnya. Setelah Allah SWT mengutus
Muhammad SAW, semua bentuk pernikahan yang ada pada masyarkat jahiliyah dihapus dan
diganti dengan pernikahan menurut Islam.

2.2.3 Budaya bangsa arab setelah islam masuk

Perubahan budaya bangsa arab setelah islam masuk yaitu:

1) Bangsa arab yang semula sangat gemar melantunkan dan mendengarkan syair-syair
para penyair di pasar ukaz, pada zaman Islam mereka asik membaca Al-Qur’an
siang dan malam.
2) Kebiasaan meratap yang sering dilakukan pada masa jahiliyyah mereka tinggalkan
karena agama Islam melarang perbuatan meratap.
3) Pada zaman Islam, bangsa arab juga merubah kebiasaan mereka yang suka
membunuh perempuan yang baru lahir.
4) Terhapusnya sistem perbudakan karena dalam islam semua orang memiliki hak
yang sama.
5) Adanya pengaturan terhadap pernikahan sehingga kebiasaan mengawini janda
bekas ayah yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyyah dilarang.

Dr. Wilaela, M. A. (2016). Sejarah Islam Klasik. Riau: Perpustakaan Nasional RI : Katalog
Dalam Terbitan (KDT).

Faesol, A. (2010). Menggagas Perubahan Sosial Profetik. Jurnal, Vol. 13, No. 2, 17-34.

fahruddin, A. H. (2017). Learning Society Arab Pra Islam (Analisa Historis dan Demografi).
KUTTAb, Vol. 1, No. 1, 40-49.

Anda mungkin juga menyukai