Anda di halaman 1dari 6

1

BAB I

PROLOG
Sastra merupakan bentuk kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap negara di dunia. Dikatakan arif karena
tercipta atas dasar pemikiran yang bijaksana dan memiliki makna berdasarkan tujuan tertentu bergantung
pada latar belakang dari proses suatu karya sastra. Dikatakan lokal karena setiap daerah menciptakan,
membudayakan, dan mentradisikan sastra sebagai hasil kedaerahan yang melekat dalam konvensi
masyarakat.
Di antara ketiga bentuk karya sastra, karya sastra puisi memiliki kekhususan, yaitu lewat penataan bunyi,
irama, dan makna khusus atau dapat diartikan sebagai suatu hal yang puitis. Kepuitisan itu dapat dicapai
dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait; dengan bunyi:
persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi; dengan pemilihan kata (diksi),
bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya (Pradopo,
1990: 13).
Puisi memperkenalkan suatu bentuk karya sastra yang menggunakan simbol (semiotik) dalam upaya
penyampaian suatu makna bahasa yang diinginkan oleh penciptanya. Walaupun setiap karya sastra
menggunakan berbagai simbol di dalamnya, namun simbol pada puisi memiliki banyak makna atau
berlapis makna sehingga dilakukan analisis yang diupayakan mendekati pemaknaan optimal. Riffaterre
(dalam Pradopo, 1990: 12) menyatakan bahwa ada satu hal yang tetap dalam puisi, puisi itu menyatakan
sesuatu secara tidak langsung, yaitu menyatakan suatu hal dan berarti yang lain. Pernyataan ini
memperkuat bahwa simbol bahasa dalam puisi memiliki perbedaan dengan karya sastra lainnya. Puisi itu
simbol, artinya puisi tidak serta merta menyampaikan maksud substansial puisi melalui kalimat maupun

kata yang denotatif (bermakna sebenarnya), namun menggunakan bahasa yang konotatif (bermakna
tersirat) atau melalui berbagai kiasan sebagai lambang rasa. Hal inilah yang menjadi landasan pemikiran
para penikmat sastra bahwa puisi memiliki kekhususan dan keunikan. Konotasi adalah pengembangan segi
petanda (makna isi suatu tanda) oleh pemakai tanda sesuai dengan sudut pandangnya (de Saussure
dalam Hoed, 2011: 5).
Namun hal lain yang perlu diperhatikan bahwa sebagai karya sastra yang unik dan memiliki kekhususan,
puisi terbentuk dari berbagai bahasa yang kompleks, maka perlu dianalisis untuk memahaminya secara
penuh (Pradopo, 1990: 13). Jika demikian, perlu ada suatu standar khusus atau bentuk analisis tertentu
dalam melakukan pendalaman makna puisi. Beberapa bentuk analisis puisi, yaitu struktural, semiotik,
1

sosiologi, psikologi, feminis, studi sejarah, strata norma, dan lain-lain. Bentuk analisis yang dipilih
disesuaikan dengan tujuan penganalisisan dan fokus analisis.
Berdasarkan hal tersebut saya menemukan bahwa di dalam puisi terdapat banyak hal yang dapat
diungkapkan dari keunikannya. Selain bahasa yang konotatif dan banyaknya penggunaan simbol-simbol,
puisi juga memiliki unsur

bunyi yang sangat kaya dan memengaruhi makna puisi. Puisi itu sendiri

dikatakan sebagai suatu orkestrasi bunyi karena isinya yang dipenuhi oleh keindahan bunyi, bahkan
keindahan tersebut bisa saja terdapat di dalam suasana yang sedih.
Sayangnya, keindahan yang terdapat di dalam puisi melalui bunyi-bunyi di dalam kata-kata hanya sebatas
kenikmatan yang dapat dirasakan secara personal oleh pembaca. Setiap pembaca tentu memiliki
pemaknaan tersendiri terhadap puisi. Ketika membaca puisi, pembaca seolah-oleh membayangkan
melodi-melodi tertentu di dalam pikirannya yang disesuaikan dengan makna puisi yang diterima. Bunyibunyi yang dapat saja berbentuk seperti melodi tak beraturan, tempo, dinamika, dan unsur bunyi-bunyi

lainnya belum dapat disampaikan dengan suatu takaran. Takaran yang dimaksud adalah suatu media
untuk menampilkan bayangan bunyi yang timbul dan dirasakan oleh pembaca puisi. Bentuk takaran yang
ada hanya dapat mengungkapkan metrum pada puisi, tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan
setiap unsur bunyi di dalam puisi. Dengan kondisi demikian, saya berpikir bahwa perlu adanya takaran
dalam upaya penyampaikan hasil interpretasi seseorang terhadap suatu puisi dan kemudian interpretasi
tersebut dapat diketahui secara jelas oleh orang lain. Takaran yang diupayakan realisasinya tersebut saya
sebut dengan notasi puisi.
Notasi puisi dapat memberikan kemudahan bagi setiap pembaca puisi untuk mendapatkan berbagai hal di
dalam puisi, seperti suasana, perasaan, nilai emosional, dan bahkan dapat mengantarkan pembaca untuk
lebih memahami makna puisi secara mendalam. Mengapa demikian? saya menemukan bahwa banyak
orang yang sulit menemukan makna dari puisi dikarenakan bahasa yang digunakan cenderung berlapis.
Dengan permasalahan yang demikian, saya memiliki harapan bahwa atensi masyarakat terhadap puisi
yang dianggap sulit tersebut dapat diperkecil dengan adanya bantuan lain, yaitu notasi puisi.
Hal yang perlu digarisbahawi bahwa notasi pada puisi tentu tidaklah bersifat mutlak. Setiap orang bisa
saja mempunyai notasinya sendiri terhadap puisi. Sama seperti proses pemaknaan pada puisi yang
diserahkan secara penuh kepada pembaca untuk memaknainya. Akan tetapi, dengan adanya notasi ini,
pembaca dapat terlebih dahulu menerima secara garis besar isi puisi dalam bentuk nilai-nilai emosional
yang disampaikan melalui tempo, tanda dinamika, dan unsur bunyi lainnya.
Dalam menganalisis puisi, analisis yang bersifat dichotomis, yaitu pembagian dua bentuk dan isi belumlah
dapat memberi gambaran yang nyata dan tidak memuaskan (Wellek dan Warren, dalam Pradopo, 1990:
14).

Kata dichotomis tidak ditemukan pada kosakata bahasa apa pun. Saya mengintegrasikan arti

dichotomis yang dimaksud oleh Pradopo ketika mengutip pernyataan Wellek dan Warren dengan kata
dichotomous yang artinya divided or dividing into two sharply distinguished parts or classification (dibagi
atau membagi menjadi dua pokok bagian yang berbeda atau pengklasifikasian). Hal ini memperjelas
bahwa dalam melakukan analisis terhadap puisi tidak hanya memerlukan penyataan bentuk dan isi puisi
tersebut, melainkan perlu adanya pendalaman pemaknaan dalam melakukan analisis. Dengan demikian,
tentulah dapat dilakukan berbagai upaya memaksimalkan pemahaman dan pemerkayaan hasil terhadap
hal-hal yang dianalisis yang tentunya memiliki koherensi. Dalam hal ini, saya melihat perlu adanya
pengombinasian antara puisi sebagai karya sastra yang memiliki unsur bunyi di dalamnya dengan ilmu
musik yang juga dapat membangun puisi itu sendiri.
Pada awalnya saya berpikir untuk menyatukan hasil penelitian saya tentang puisi Rendra yaitu Empat
Kumpulan Sajak dan notasinya ke dalam buku yang sama. Namun setelah melalui pertimbangan, saya
merasa lebih tepat untuk memisahkan kedua hal tersebut ke dalam buku yang berbeda pula. Keputusan ini
dipilih agar pembaca dapat memahami secara tepat dan fokus pada satu di antara objek tulisan saya.
Akan tetapi, anda tentu akan lebih memahami secara mendalam tentang kedua hal ini apabila anda
membaca keduanya. Alasan lain yang membuat saya memisahkan hasil analisis Empat Kumpulan Sajak
dengan notasinya adalah untuk mempertegas bahwa notasi pada puisi dapat digunakan pada puisi
apapun yang telah dianalisis dengan pendekatan apapun, tidak hanya hasil analisis strata norma
ataupun semiotik.
Saya memilih menggunakan antologi puisi karya WS Rendra yang berjudul Empat Kumpulan Sajak. Di
dalam antologi puisi ini terdapat 89 puisi yang dikelompokkan ke dalam empat (4) bab, yaitu Kakawin
Kawin, Malam Stanza, Nyanyian dari Jalanan, dan Sajak-Sajak Dua Belas Perak. Kumpulan puisi Empat
Kumpulan Sajak karya WS Rendra dijadikan sebagai objek penelitian karena puisi-puisi yang terdapat di

dalamnya memiliki keunikan. Keunikan tersebut terlihat dari suasana yang dapat diciptakan oleh WS
Rendra dalam menyampaikan setiap cerita cinta yang menyentuh hati siapa pun yang membaca syair
puisi. Dikatakan sebagai cerita cinta karena setiap puisi yang termasuk di dalam Empat Kumpulan Sajak ini
merupakan runtutan kisah cinta WS Rendra yang dialaminya. Kisah cinta tersebut terbangun secara
hirearki menunjukkan setiap alur kisah Rendra sejak merasakan cinta pertama bersama isteri pertamanya
Narti, pada saat berpacaran, dan perjuangan untuk menikahinya (Romansa), pernikahan (Ke Altar dan
Sesudahnya), pada kehidupan setelah pernikahan (Malam Stanza).
WS Rendra memilih berbagai simbol yang sederhana namun dapat mewakili makna yang dalam sehingga
dapat membuai para pembaca puisi. Simbol-simbol tersebut juga digunakan dalam sajak Rendra lainnya,
yaitu pada kisah perjalanan Rendra di beberapa tempat dan kisah (Nyanyian dari Jalanan), dan sampai
pada puisi-puisi yang disampaikannya kepada sahabatnya (Sajak-Sajak Dua Belas Perak).
Berdasarkan alasan-alasan yang dipaparkan di atas, saya memutuskan untuk melakukan pengkajian
terhadap seluruh puisi yang terdapat di dalam antolongi puisi WS Rendra Empat Kumpulan Sajak.
Pencapaian pemaknaan yang optimal dalam melakukan analisis diperlukan dalam penelitian. Oleh sebab
itu, saya tidak memilih puisi tertentu di dalam kumpulan puisi Empat Kumpulan Sajak agar tidak terjadi
pelompatan alur kisah cinta yang terdapat di dalamnya. Hal mendasar lainnya yang menjadi alasan saya
memilih 89 puisi dalam Empat Kumpulan Sajak adalah untuk mempermudah memahaman terdapat setiap
makna puisi karena setiap puisi membangun makna pada puisi lainnya.

Setelah melalukan penelitian terhadap makna yang terdapat di dalam puisi dan cerita yang disampaikan
mulai dari puisi pertama hingga puisi terakhir, saya kemudian memilih beberapa puisi yang dapat mewakili
setiap bab pada Empat Kumpulan Sajak. Berikut adalah judul puisi yang akan dinotasikan.
Kakawin Kawin
Malam Stanza Nyanyian dari Jalanan Sajak-Sajak Dua Belas Perak
Surat Cinta
Lagu IbuLelaki-Lelaki yang LewatKenangan dan Kesepian
Serenada Hijau
KangenNyanyi Bunda yang Manis Penunggu Gunung Berapi
Serenada Kelabu Tanpa Garam
Perawan Tua Pertemuan
di
Pinggir

Kali

Surat kepada Bunda:Lagu SerdaduCiliwung yang Manis Berpalinglah Kiranya


tentang Calon Menantunya
Nyanyian Para MalaikatMata Anjing Nyanyi Zubo
Dalam memperkenalkan notasi pada puisi ini, saya memilih menggunakan pendekatan semiotik dan
analisis strata norma. Penjelasan mengenai hal ini terdapat pada teori notasi puisi di bab selanjutnya.
Secara garis besar dapat saya sampaikan bahwa melalui teknik dan pendekatan tersebut, upaya
pemahaman puisi akan optimal dan menyeluruh hingga membentuk keselarasan antara hasil analisis puisi
yang satu dan yang lainnya. Dengan menggunakan teknik analisis strata norma ala Roman Ingarden, saya
dapat menelusuri lima aspek penting di dalam puisi yang dinamakan sebagai lapis norma. Kelima lapis
tersebut, yaitu lapis bunyi, lapis arti, lapis objek, lapis dunia, dan lapis metafisis. Selain itu, adanya
pendekatan semiotik di dalam proses penganalisisan ini adalah bertujuan untuk memperdalam hasil
analisis dengan tajam dan jelas. Kemudian, setelah saya mendapatkan hasil analisis secara keseluruhan,
saya akan menyampaikan hasil tersebut ke dalam satu paragraf dan satu paragraf lainnya adalah hasil
analisis saya berdasarkan makna yang telah saya dapat tersebut dan disesuaikan dengan unsur bunyi
yang terdapat di dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai