profesionalitas, sistem kerja, dan pembagian kerja dalam media dapat menciptakan
kebenarannya sendiri.
A. Paradigma Kritis
Salah satu sifat dasar dari teori kritis ini yaitu selalu curiga dan mempertanyakan
kondisi masyarakat. Hal itu karena kondisi masyarakat yang terlihat produktif dan
bagus, sebenarnya terselubung struktur masyarakat yang menindas dan menipu
kesadaran khalayak. Misalnya dalam proses berita. Berita dianggap objektif, sehingga
pertanyaan yang muncul ialah bagaimana supaya media dapat meliput peristiwa
dengan objektif. Akan tetapi, teori kritis mempertanyakan objektivitas tersebut.
Paradigma kritis mempertanyakan semua kategori, termasuk nilai berita dan
objektifitasnya, karena hal tersebut bida menjadi alat bagi kelompok dominan yang
ada dalam masyarakat.
3
1. Fakta
Dalam konsepsi pluralis, ada realitas yang ebrsifat eksternal yang ada
dan hadir sebelum wartawan meliputnya. Jadi, ada realitas bersifat objektif,
yang ahrus diambil dan diliput oleh wartawan. Hal ini, tentu saja bertolak
belakang dengan paradigma kritis. Kaum kritis menganggap bahwa realitas
merupakan kenyataan semu yang telah terbentuk oleh proses kekuatan sosial,
politik dan ekonomi. Oleh karena itu, mengharapkan realitas apa adanya
tidak mungkin, karena sudah tercelup oleh kelompok ekonomi dan politik
yang dominan. Kaum pluralis berita adalah refleksi dan pencerminan dari
realitas. Berita harus mencerminkan realitas yang hendak diberitakan.
Namun, pemahaman seperti itu tidak diterima oleh kaum pandangan kritis.
Menurut kaum kritis, berita merupakan hasil pertarungan wacana anatar
berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu melibatkan pandangan dan
ideologi wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat
tergantung bagaimana pertarungan itu terjadi, yang umumnya dimenangkan
oleh kekuatan dominan dalam masyarakat. Hall menjelaskan bahwa realitas
tidak dapat dilihat sebagai fakta, tetapi hasil ideologi atau pandangan tertentu.
Definisi mengenai realitas ini diproduksi secara terus-menerus melalui
praktik bahasa (yang dalam hal ini) selalu bermakna sebagai pendefinisian
6
2. Posisi Media
Kaum pluralis melihat media sebagai saluran yang bebas dan netral, di
mana semua pihak dan kepentingan dapat menyampaikan posisi dan
pandangannya secara bebas. Pandangan seperti ini yang ditolak oleh kaum
7
kritis. Pandangan kritis melihat media bukan hanya alat dari kelompok
dominan, tetapi juga memproduksi ideologi dominan. Media membantu
kelompok dominan menyebarkan gagasannya, mengontrol kelompok lain,
dan membentuk konsensus antaranggota komunitas. Melalui medialah,
ideologi dominan, apa yang baik dan apa yang buruk dimapankan. Media
bukanlah sekadar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi
realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Seperti
dikatakan Tony Bennett, media dipandang sebagai agen konstruksi sosial
yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya.
Dalam pandangan kritis, media juga dipandang sebagai wujud dari
pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat.
Di sini, media bukan sarana yang netral yang menampilkan kekuatan dan
kelompok dalam masyarakat secara apa adanya, tetapi kelompok dan ideologi
yang dominan itulah yang akan tampi' dalam pemberitaan. Titik penting
dalam memahami media menurut paradigma kritis adalah bagaimana media
melakukan politik pemaknaan. Menurut Stuart Hall, makna tidak tergantung
pada struktur makna itu sendiri, tetapi pada praktik pemaknaan. Makna
adalah suatu produksi sosial, suatu praktik. Bagi Stuart Hall, media massa
pada dasarnya tidak mereproduksi, melainkan menentukan (to define) realitas
melalui pemakaian kata-kata yang terpilih. Makna, tidaklah secara sederhana
dapat dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan
sosial (social struggle), perjuangan dalam memenangkan wacana. Oleh
karena itu, pemaknaan yang berbeda merupakan arena pertarungan di mana
memasukkan bahasa di dalamnya.
3. Posisi Wartawan
Pendekatan pluralis menekankan agar nilai dan hal-hal di luar objek
dihilangkan dalam proses pembuatan berita. Artinya, pertimbangan moral
yang dalam banyak hal selalu bisa diterjemahkan sebagai bentuk
8
4. Hasil Liputan
Perbedaan antara pendekatan pluralis dan kritis dalam memahami berita,
mengakibatkan perbedaan pula dalam hal bagaimana hasil kerja seorang
wartawan seharusnya dinilai. Dalam pandangan pluralis, diandaikan ada
standar yang baku dari hasil kerja jurnalistik. Standar yang baku itu sering
kali dikatakan sebagai peliputan yang berimbang, dua sisi, netral, dan
objektif. Peliputan yang berimbang artinya menampilkan pandangan yang
setara antara pihak-pihak yang terlibat dan hendak diberitakan. Prinsip yang
agak mirip adalah liputan dua sisi, dimana ada kesempatan yang sama bagi
semua pihak untuk menyampaikan pandangan dan pendapatnya atas suatu
masalah. Prinsip netral, berarti dalam menulis maupun mencari bahan,
wartawan tidak boleh berpihak pada satu kelompok yang membuat laporan
berita menjadi tidak seimbang.
Prinsip ini umumnya juga dilengkapi dengan prinsip objektif, wartawan
menghindari masuknya opini pribadi ke dalam pemberitaan. Apa yang harus
diliput dan ditulis adalah apa yang terjadi, tidak dikecilkan atau dibesar-
besarkan. Semua prosedur standar tersebut, secara mudah dapat di- ringkas
sebagai berikut: wartawan harus menghindari bias. Artinya, liputan dan
laporan yang baik, apabila bias dapat ditekan seminimal mungkin. Bias
dipandang sebagai suatu hal yang buruk yang harus dihindari. Penelitian
mengenai media umumnya juga diarahkan untuk mencari ada atau tidaknya
bias dalam pemberitaan. Konsepsi semacam ini disangkal oleh pendekatan
kritis. Persoalannya bukanlah pada bagaimana laporan yang baik dan buruk,
apakah laporan tersebut mengandung bias ataukah tidak. Akan tetapi,
10
Dalam studi penelitian isi media, paling tidak ada dua paradigma besar. pertama,
paradigma positivistik atau juga dikenal sebagai empiris/plularis, dan kedua adalah
paradigma kritis. Objek kajian dari positivistik ini pada umumnya konkret dan
individual sifatnya. Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran yang
bebas dan netral. Media justru dimiliki oleh kelompok tertentudan digunakan untuk
mendominasi kelompok yang tidak dominan. Oleh karena itu, pertanyaan pertama
dari paradigma siapakah (orang/kelompok) yang mengusai media? Apa keuntungan
yang didapat oleh seseorang/ kelompok tersebut dengan mengotrol media? Serta
dinamika komunikasi termasuk komunikasi massa.
Karakteristik Analisis Teks
transformasi sosial
Kriteria kualitas penelitian: objektive, Kriteris kualitas peneltian: historical
reliabel, dan valid situadness:sejauh mana penelitian
memperhatikan kontekshistoris, sosial,
buadaya, ekonomi, dan politik dari teks
berita.
1. Tujuan peneltian
Tujuan dari penelitian krtitis adalah untuk mengkritik transformasi hubungan
sosial yang timpang. Peneliti melakukan penelitian berdasarkan pada
penguatan masyarakat, terutama masyarakat bawah. Oleh karena itu, tujuan
dari peneltian kritis adalah mengubah dunia yang timpang, yang banyak
didominasi oleh kekuasaan yang menindas kelompok bawah. Intinya, penelian
kritis bertujuan untuk ,menghilangkan keyakinan dan gagasan palsu tentang
masyakat, dan mengkrtik sistem kekuasan yang tidak seimbang dan struktur
yang mendominasi dan menindas orang.
Penelitian ini tentu berbeda dengan tipe peneltian yang berkategori positvistik,
penelitian dimaksudkan untuk mengadakan eksplanasi, menguji hipotesis atau
membuat prediksi. Susuatu yang netral, sehingga harius dijelaskan lewat
penelitian. Dunia penuh dengan misteri, dan hubungan-hubiungan tersdebut
harus dijelaskan dengan peneltian.
Dalam melakukan analisis teks berita, penelitian dari tipe kritis pertama kali
melihat realitas dan hububungan sosial berlangsung dalam situasi yang
timpang. Media bukanlah saluran yang bebas tempat semua kekuatan sosial
yang saling berinteraksi dan hubungan . sebalinya, media hanya dimiliki oleh
kelompok dominan, sehingga lebih mempunyai kesempatan dan akses untuk
mempengaruhi dan memaknai peristiwa berdasarkan pendangan mereka.
2. Realiatas yang akan diteliti
13
Dalam pandangan kritis, tidak ada realitas yang benar-benar riil. Karena
realiatas yang munculk sebenarnya adalah realitas semu yang terbentuk bukan
melalui proses alami, tetapi oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, politik
dan ekonomi. Dalam pandangan kritis, realitas bukan ada dalam suatu tatanan
(order), tetapi berada dalam suatu konflik, ketegangan, dan kontrakdiksi yang
berjalan terus menerus diakibatkan oleh dunia yang berubah konstan.oleh
karena itu, apa yang disebut realitas seringkali bukanlah realitas, hanya ilusi
yang menyebabkan distorsi pengertian dalam masyarakat.
3. Fokus penelitian
Dalam pendekatan kritis, penempatan sumber berita yang menonjol
dibandingkan dengan sumber lain, menempatkan wawancara seseorang tokoh
lebih besar dari tokoh lain, liputan hanya satu sisi dengan merugikan pihak
lain, tidak berimbang dan secara nyata memihak satu kelompok tidaklah
dianggap sebagai kekeliruan atau bias, tetapi memang dianggap memang
itulah.
4. Posisi peneliti
Salah satu sifat analisis kritik adalah pandangan yang menyatakan peneliti
bukanlah subjek yang bebas nilai ketika memandang subjek penelitian.
Analisis kritis menolak pandangan positivistik yang memandang peneliti
sebagai subjek yang netral dan bebas nilai. analisis yang sifatnya kritis,
umumnya beranjak dari pandangan atau nilai tertantu yang diyakini oleh
peneliti. Oleh karena itu, keberpihakkan peneliti atas suatu masalah sangat
menentukan bagaimana data/teks ditafsirkan.
Berhubungan dengan keberpihakkan peneliti adalah etika atau moral dalam
penelian. Dalam pandangan positivistik, peneliti tidak diperbolehkan
memberikan penelian kepada objek yang akan dia teliti. Dalam pandangan
14
kritis, justru yang pertama kali muncul adalah nilai atau moral tertentu.
Penelitian dilakukan justru adanya semacam moral atau nilai tertentu.
5. Cara peneltian
Analisis pada paradigma kritis mendasarkan diri pada penafsiran peneliti pada
teks. Hal ini sangat berbeda ketika kita menggunkan analisis isi kuantitatif
yang menghindari penafsiran. Paradigma kritis lebih kepenafsiran karena
dengan penafsiran kita dapatkan dunia dalam, masuk menyelami dalam teks,
dan menyingkap makna yang ada dibaliknya.Hal ini tidak terdapat dalam
analisis pada paradigma positivistik, yang bergerak pada apa yang terlihat
dalam teks sehingga makna dalam atau di balik teks tersebut tidak dapat
singkat.
A. Wacana
Istilah wacana berasal dari bahasa sansakerta yang artinya ‘berkata’, ‘berucap’
(Douglas, 1976:266). Saat ini istilah wacana banyak bermunculan dan digunakan
dalam berbagai aspek. Di dunia pewayangan misalnya, dikenal istilah (dewa yang
bertugas sebagai juru bicara), (karakter/pola ucapan wayang). Di dunia pendidikan
formal, istilah wacana banyak digunakan sebagai nama badan atau sekolah, misalnya
budaya wacana, satya wacana, widya wacana, dan sebagainya. Pemakaian kata
wacana dibelakang istilah-istilah tersebut mengandung makna ‘motto’, ‘janji’, atau
‘perkataan’ yang dapat dipercaya. Dengan berbagai uraian di atas, istilah wacana
dapat dimaknai sebagai ‘ucapan’, ‘perkataan’, ‘bacaan’, yang bersifat kontekstual.
Konsep mengenai wacana mutakhir diperkenalkan oleh Michel Foucault,
sehingga di uraikan beberapa pokok pikiran dari Foucault mengenai wacana.Wacana
disini tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi
mengikuti Foucault adalah sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan,
konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini,
15
konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga
mempengaruhi cara berfikir dan bertindak tertentu.
Studi analisis wacana bukan sekedar mengenai pernyataan, tetapi juga struktur
dan tata aturan dari wacana.Perlu diketahui bagaimana keterkaitan antara wacana dan
kenyataan.Realitas dipahami disini sebagai seperangkat konstruk yang dibentuk
melalui wacana.Kita mempresepsi dan bagaimana koita menafsirkan objek dan
peristiwa dalam system makna tergantung pada struktur diskursif.Struktur diskursif
ini, oleh Foucault, membuat objek atau peristiwa terlihat nyata oleh kita.Struktur
wacana dari realitas itu, tidaklah dilihat sebagai system yang abstrak dan tertutup.
Wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari presepsi kita
tentang suatu objek dibentuk dngan dibatasi oleh praktik diskursif: dibatasi oleh
pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa yang benar dan yang lain tidak. Ini
16
seperti kalau kita mendengar kata film India, maka yang terbayang adalah film
dengan nyanyian sambil menari, dengan tokoh utama yang mengalahkan musuh
birokrat atau pejabat pemerintah dan kepolisian yang korup. Wacana tertentu
membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan
menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Atau dalam bahasa Macdonell, wacana
itu merupakan suatu arena di mana khalayak berpikir dengan jalan tertentu, bukan
yang lain.
B. Ideologi
hubungan-hubungan sosial tampak wajar, dan alamiah, dan tanpa sadar kita
menerima sebagai kebenaran.
C. Interpelasi
Interpelasi ini bukan hanya pada pembicaraan interpersonal, tetapi juga terjadi
dalam isi media.Media juga berisi tentang interpelasi, kita mengadopsi posisi sosial
tertentu atau hubungan sosial tertentu di mana posisi sosial tertentu atau hubungan
sosial tertentu dimana posisi seseorang ditentukan.
D. Hegemoni
E. Representasi
1. Bahasa
F. Misrepresentasi
a. Ekskomunikasi
21
b. Eksklusi
Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tetapi mereka dipandang lain,
mereka buruk dan mereka bukan kita. Di sini, ada suatu sikap yang
diwakili oleh wacana yang menyatakan bahwa kita baik, sementara
mereka buruk. Ekslusi ini terjadi di banyak tempat, dalam banyak sisi
kehidupan di mana seseorang atau suatu kelompok yang merasa
mempunyai otoritas dan kemampuan tertentu menganggap kelompok lain
sebagai buruk. Dalam dunia kedokteran misalnya, ekslusi dilakukan
terhadap pengobatan tradisional.
c. Marjinalisasi
Dalam marjinalisasi, terjadi penggambaran buruk kepada pihak/kelompok
lain, di sini tidak terjadi pemilahan antara pihak kita dengan pihak mereka.
Para buruh dianggap buruk, tetapi di sini tidak dengan cara membuat
perbandingan bahwa kita pengusaha dan mereka buruh yang buruk.
d. Delegitimasi
Legitimasi berhubungan dengan pernyataan apakah seseorang merasa
abash, merasa benar, dan mempunyai dasar pembenaran tertentu ketika
melakukan suatu tindakan. Praktik delegitimasi menekankan bahwa hanya
kelompok sendiri (kami) yang benar, sedangkan kelompok lain tidak.
22
Daftar Rujukan
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT.
LKIS Printing Cemerlang.