Anda di halaman 1dari 22

1

TEKS BERITA: PARADIGMA KRITIS

Analisis wacana termasuk ke dalam kategori paradigma kritis. Paradigma kritis,


memiliki pandangan tersendiri mengenai bagaimana suatu media, dan berita harus
dipahami dalam keseluruhan yang bertolak dari proses produksinya, hingga struktur
sosial. Pandangan kritis dipengaruhi oleh ide dan gagasan Marxis. Pandangan ini
melihat masyarakat sebagai sistem kelas, dan sistem dominasi. Tak hanya itu saja,
padangan kritis melihat media merupakan bagian dari sistem dominasi terebut.
Pandangan ini juga melihat masyarakat didominasi kelompok elit. Begitu juga dengan
media, yang dianggap sebegai alat kelompok dominan untuk memanipulasi dan
mengukuhkan kehadirannya sambil memarjinalkan kelompok yang tidak dominan.
Pandangan ini menolak bahwa profesionalitas, sistem kerja, dan pembagian kerja
dalam media dapat menciptakan kebenarannya sendiri. Wartawan yag bekerja dalam
suatu sistem produksi berita bukan otonom, dan bagian dari sistem yang stabil, tetapi
praktik ketidakseimbangan dan dominasi.
Pandangan lain yang memiliki pandangan berbeda dengan paradigma kiritis yaitu
pandangan pluralis. Pandangan pluralis dicetuskan oleh August Comte, Emile
Durkheim, Mark Weber, dan Ferdinand Tonnies. Pandangan pluralis memercayai
bahwa masyarakat merupakan wujud dari konsensus dan mengutamakan
keseimbangan. Pandangan ini juga menganggap bahwa masyarakat dilihat sebagai
suatu kelompok yang kompleks, terdapat berbagai kelompok sosial yang saling
berpengaruh dalam sistem dan pada akhirnya mencapai keseimbangan. Selain itu,
pandangan ini juga memercayai ide liberal, yakni jika persaingan dibiarkan bebas,
maka akan tercipta suatu keseimbangan, ekuilibrium antara kelompok masyarakat
tersebut. Lain halnya dengan media, pada pandangan liberalis ini, media memiliki
peran dalam memainkan suatu fungsi yang ada dalam masyarakat. Ide liberalis ini
percaya, jika manusia diberi kebebasan, maka manusia akan mencapai derajat
kesadarannya. Pandangan pluralis meyakini bahwa kelompok-kelompok masyarakat
dapat bebas bertarung dalam ruang terbuka. Pandangan pluralis percaya bahwa
2

profesionalitas, sistem kerja, dan pembagian kerja dalam media dapat menciptakan
kebenarannya sendiri.

A. Paradigma Kritis

Sumber paradigma kritis yaitu pemikiran sekolah Frankfurt. Ketika sekolah


Frankfurt itu tumbuh di Jerman, sedang berlangsung proses propaganda bersar-
besaran Hitler.Saat itu media dipenuhioleh prasangka, retorika dan propaganda. Saat
itu media menjadi alat yang digunakan pemerintah untuk mengontrol publik, serta
menjadi sarana pemerintah untuk mengobarkan semangat perang. Akan tetapi disisi
lain, media ternyata bukan entitas yang netral, media bisa dikuasai oleh kelompok
dominan. Paradigma kritis ini memiliki pertanyaan utama berdasarkan adanya
kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol proses
komunikasi. Pertanyaan tersebut adalah siapa yang mengontrol media? Kenapa ia
mengontrol? Apa keuntunganya yang bisa diambil dengan mengontrol tersebut?
Kelompok mana yang tidak dominan dan menjadi objek pengontrolan? Paradigma ini
percaya bahwa media merupakan sarana bagi kelompok dominan daoat mengontrol
kelompok yang yang tidak dominan, bahkan memarjinalkan mereka dengan
menguasai dan mengontrol media.

Salah satu sifat dasar dari teori kritis ini yaitu selalu curiga dan mempertanyakan
kondisi masyarakat. Hal itu karena kondisi masyarakat yang terlihat produktif dan
bagus, sebenarnya terselubung struktur masyarakat yang menindas dan menipu
kesadaran khalayak. Misalnya dalam proses berita. Berita dianggap objektif, sehingga
pertanyaan yang muncul ialah bagaimana supaya media dapat meliput peristiwa
dengan objektif. Akan tetapi, teori kritis mempertanyakan objektivitas tersebut.
Paradigma kritis mempertanyakan semua kategori, termasuk nilai berita dan
objektifitasnya, karena hal tersebut bida menjadi alat bagi kelompok dominan yang
ada dalam masyarakat.
3

Pemikiran Frankfurt dilanjutkan oleh Stuart Hall. Hall mengkritik


kecendernungan media yang tidak menempatkan ideologi sebagai bagian penting.
Sejak tahun 1960-an, studi media didominasi oleh pendektakan behavioris terutama
Amerika. Penelitian dalam tradisi memandangan media memiliki kekuatan besar.
Namun, media dianggap bukan masalah serius dalam masyarakat. Tradisi penelitian
empiris melihat masyarakat sebagai pluralis, terdiri dari berbagai kelompok yang
berbeda kepentingannya, dan pluralis itu yang ditampilkan dalam media, seperti
aspek atau struktur lain dalam masyarakat demokratis. Selain itu, Hall juga merevisi
pandangan kritis, yang melihat media seolah berperan secara langsung, media sebagai
alat kelompok dominan untuk menguasai kelompok yang tidak dominan. Menurut
Hall, seharusnya media tidak dipandang sebagai “kekuatan jahat” yang didesain
untuk memburukkan kelompok lain. Media menjalankan perannya seperti itu,
melakukan representasi kelompok lain melalui proses yang kompleks, melalui proses
mendefinisian dan penandaan, sehingga ketika ada kelompok yang buruk dalam
pemberitaan, dipresentasikan sebagai sesuatu yang wajar, terlihat alamiah, dan
memang demikian kenyataannya.

B. Media dan Berita Dilihat dari Paradigma Kritis

Paradigma kritis memiliki pandangan tersendiri terhadap berita, yang bersumber


bagaimana berita tersebut diproduksi dan bagaimana kedudukan wartawan dan media
bersangkutan dalam keseluruhan proses produksi berita. Sedangkan, paradigma
pluralis percaya bahwa wartawan dan media adalah entitas yang otonom, dan berita
yang dihasilkan haruslah menggambarkan realitas yang terjadi di lapangan.
Sementara paradigma kritis mempertanyakan posisi wartawan dan media dalam
keseluruhan struktur sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Pada
akhirnya posisi tersebut mempengaruhi berita, bukan pencerminan dari realitas yang
sesungguhnya. Perbedaan tersebut digambarkan sebagai berikut:
4

Pandangan Pluralis Pandangan Kritis


Fakta
Ada fakta yang real yang diatur oleh Fakta merupakan hasil dari proses
kaidah-kaidah tertentu yang berlaku pertarungan antara kekuatan ekonomi,
universal. politik, dan sosial yang ada dalam
masyarakat.
Berita adalah cermin dan refleksi dari Berita tidak mungkin merupakan
kenyataan. Oleh karena itu, berita harus cermin dan refleksi dari realitas, karena
sama dan sebangun dengan fakta yang berita yang terbentuk hanya cerminan
mau diliput. dari kepentingan kekuatan dominan.
Posisi Media
Media adalah sarana yang ebbas dan Media hanya dikuasai oleh kelompok
netral tempat semua kelompok dominan dan menjadi sarana untuk
masyarakat saling berdiskusi yang tidak memojokkan kelompok lain.
dominan.
Media menggambarkan diskusi apa Media hanya dimanfaatkan dan menjadi
yang ada dalam masyarakat. alat kelompok dominan.
Posisi Wartawan
Nilai dan ideologi wartawan tidak dapat
Nilai dan ideologi wartawan berada di
dipisahkan dari proses peliputan dan
luar proses peliputan berita.
pelaporan suatu peristiwa.
Wartawan berperan sebagai partisipan
Wartawan berperan sebagai pelapor dari kelompok yang ada dalam
masyarakat.
Tujuan peliputan dan penulisan berita: Tujuan peliputan dan penulisan berita:
eksplanasi dan menjelaskan apa adanya pemihakan kelompok sendiri dan atau
memburukkan kelompok. pihak lain.
Penjaga gerbang Sensor diri
Landasan etis Landasan ideologis
Profesionalisme sebagai keuntungan Profesionalisme sebagai kontrol
Wartawan sebagai bagian dari tim untuk Sebagai pekerja yang mempunyai posisi
mencari kebenaran. berbeda dalam kelas sosial.
Hasil Liputan
5

Mencerminkan ideologi wartawan dan


Liputan dua sisi, dua pihak, dan
kepentingan sosial, ekonomi, atau
kredibel.
politik tertentu.
Tidak objektif, karena wartawan adalah
Objektif, menyingkirkan opini dan
bagian dari kelompok/struktur sosial
pandangan subjektif dari pemberitaan.
tertentu yang lebih besar.
Bahasa menunjukkan bagaimana
Memakai bahasa yang tisak
kelompok sendiri diunggulkan dan
menimbulkan penafsiran yang beraneka.
memarjinalkan kelompok lain.

1. Fakta
Dalam konsepsi pluralis, ada realitas yang ebrsifat eksternal yang ada
dan hadir sebelum wartawan meliputnya. Jadi, ada realitas bersifat objektif,
yang ahrus diambil dan diliput oleh wartawan. Hal ini, tentu saja bertolak
belakang dengan paradigma kritis. Kaum kritis menganggap bahwa realitas
merupakan kenyataan semu yang telah terbentuk oleh proses kekuatan sosial,
politik dan ekonomi. Oleh karena itu, mengharapkan realitas apa adanya
tidak mungkin, karena sudah tercelup oleh kelompok ekonomi dan politik
yang dominan. Kaum pluralis berita adalah refleksi dan pencerminan dari
realitas. Berita harus mencerminkan realitas yang hendak diberitakan.
Namun, pemahaman seperti itu tidak diterima oleh kaum pandangan kritis.
Menurut kaum kritis, berita merupakan hasil pertarungan wacana anatar
berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu melibatkan pandangan dan
ideologi wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat
tergantung bagaimana pertarungan itu terjadi, yang umumnya dimenangkan
oleh kekuatan dominan dalam masyarakat. Hall menjelaskan bahwa realitas
tidak dapat dilihat sebagai fakta, tetapi hasil ideologi atau pandangan tertentu.
Definisi mengenai realitas ini diproduksi secara terus-menerus melalui
praktik bahasa (yang dalam hal ini) selalu bermakna sebagai pendefinisian
6

secara selektif realitas yang hendak ditampilkan. Implikasinya ialah suatu


persoalan atau peristiwa di dunia nyata tidak mengandung atau menunjukkan
makna integral, tunggal dan instrinsik, dan makna yang muncul hanyalah
makna yang ditransformasikan melalui bahasa. Makna dalam konteks ini
adalah sebuah produksi sosial, hasil dari praktik. Bahasa dan simbolisasi
adalah perangkat yang digunakan untuk memproduksi makna. Pendekatan ini
memproduksi posisi ide-ide penting bahasa, yang menopang analisis isi lama,
yakni kalimat tertentu dapat dengan mudah dianggap valid dengan mengacu
pada apa yang direferensikan di dunia nyata.
Persoalan mengenai realitas yang akan diliput oleh media adalah
perdebatan paling penting di antara kubu pluralis dengan kritis. Pada
pandangan realis/pluralis, apa yang terjadi, apa yang terlihat adalah fakta
yang sebenarnya yang dapat diliput oleh wartawan. Hal ini disanggah oleh
pandangan kritis yang menyatakan bahwa realitas yang hadir di depan
wartawan sesungguhnya adalah realitas yang telah terdistorsi. Realitas
tersebut telah disaring dan disuarakan oleh kelompok yang dominan yang ada
dalam masyarakat. Realitas pada dasarnya adalah pertarungan antara berbagai
kelompok untuk menonjolkan basis penafsiran masing-masing. Sehingga
realitas yang hadir pada dasarnya bukan realitas yang alamiah, tetapi sudah
melalui proses pemaknaan kelompok yang dɔminan. Misalnya, peristiwa
mogok kerja karyawan Pabrik Rokok Gudang Garam di Kediri. Realitas yang
muncul ketika pemogokan itu berlangsung adalah aktivitas masyarakat yang
sepi, terjadi kericuhan di beberapa tempat, dan turunnya pendapatan
pemerintah dari cukai.

2. Posisi Media
Kaum pluralis melihat media sebagai saluran yang bebas dan netral, di
mana semua pihak dan kepentingan dapat menyampaikan posisi dan
pandangannya secara bebas. Pandangan seperti ini yang ditolak oleh kaum
7

kritis. Pandangan kritis melihat media bukan hanya alat dari kelompok
dominan, tetapi juga memproduksi ideologi dominan. Media membantu
kelompok dominan menyebarkan gagasannya, mengontrol kelompok lain,
dan membentuk konsensus antaranggota komunitas. Melalui medialah,
ideologi dominan, apa yang baik dan apa yang buruk dimapankan. Media
bukanlah sekadar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi
realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Seperti
dikatakan Tony Bennett, media dipandang sebagai agen konstruksi sosial
yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya.
Dalam pandangan kritis, media juga dipandang sebagai wujud dari
pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat.
Di sini, media bukan sarana yang netral yang menampilkan kekuatan dan
kelompok dalam masyarakat secara apa adanya, tetapi kelompok dan ideologi
yang dominan itulah yang akan tampi' dalam pemberitaan. Titik penting
dalam memahami media menurut paradigma kritis adalah bagaimana media
melakukan politik pemaknaan. Menurut Stuart Hall, makna tidak tergantung
pada struktur makna itu sendiri, tetapi pada praktik pemaknaan. Makna
adalah suatu produksi sosial, suatu praktik. Bagi Stuart Hall, media massa
pada dasarnya tidak mereproduksi, melainkan menentukan (to define) realitas
melalui pemakaian kata-kata yang terpilih. Makna, tidaklah secara sederhana
dapat dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan
sosial (social struggle), perjuangan dalam memenangkan wacana. Oleh
karena itu, pemaknaan yang berbeda merupakan arena pertarungan di mana
memasukkan bahasa di dalamnya.

3. Posisi Wartawan
Pendekatan pluralis menekankan agar nilai dan hal-hal di luar objek
dihilangkan dalam proses pembuatan berita. Artinya, pertimbangan moral
yang dalam banyak hal selalu bisa diterjemahkan sebagai bentuk
8

keberpihakan haruslah disingkirkan. Intinya, realitas haruslah didudukkan


dalam fungsinya sebagai realitas yang faktual, yang tidak boleh dikotori oleh
pertimbangan subjektif. Wartawan di sini fungsinya hanyalah sebagai
pelapor. Sebagai pelapor, ia hanya menjalankan tugas untuk memberitakan
fakta, dan tidak diperkenankan munculnya pertimbangan moral atau nilai
tertentu. Pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat membelokkan wartawan-
apa pun alasannya-menjauhi realitas yang sesungguhnya. Berita ditulis
hanyalah untuk fungsi penjelas (eksplanasi) dalam menjelaskan fakta atau
realitas.
Pandangan kritis bahkan menilai bahwa wartawan pada dasarnya adalåh
partisipan dari kelompok yang ada dalam masyarakat. Wartawan adalah
bagian dari kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat, sehingga
pemberitaan yang dilaku- kan oleh wartawan pada dasarnya sukar dihindari
sikap partisipan. Wartawan mempunyai nilai-rilai tertentu yang hendak dia
perjuangkan yang berpengaruh besar dalam isi pemberitaan. Hasil akhirmya
tentu saja adalah pemihakan pada kelompok sendiri, dan memburukkan
kelompok lain. Salah satu perbedaan mendasar antara pandangan pluralis dan
kritis ini adalah pada bagaimana wartawan dilihat, terutama bagaimana kerja
profesional dari wartawan ini dipahami. Pandangan liberal percaya bahwa
media adalah sebuah sistem kerja yang dilandasi oleh pembagian kerja yang
rasional.
Oleh karena itu, kerja dan posisi wartawan diatur dalam serangkaian
praktik profesionalisme dan etik yang mendasari tindakan wartawan.
Sebaliknya, pandangan kritis melihat wartawan dan kerja jurnalistik yang
dilakukannya tidak dapat dilepaskan dari sistem kelas. Media dalam
bentuknya yang umum juga bagian dari praktik sistem kelas dan kerja
jurnalistik yang tidak dapat dilepaskan dari bagian dari kelas yang ada: elit
dan tidak dominan. Oleh karena itu, kerja jurnalistik tidak bisa dipahami
cemata sebagai kerja profesional di mana wartawan dan mereka yang bekerja
9

diatur dengan hukum-hukum profesional, tetapi harus dipandang sebagai


bagian dari praktik kelas. Wartawan adalah kelas tersendiri dan hubungannya
dengan redaktur, pemilik modal, dan pemasaran adalah relasi antarkelas yang
berbeda, bukan hubungan profesional.

4. Hasil Liputan
Perbedaan antara pendekatan pluralis dan kritis dalam memahami berita,
mengakibatkan perbedaan pula dalam hal bagaimana hasil kerja seorang
wartawan seharusnya dinilai. Dalam pandangan pluralis, diandaikan ada
standar yang baku dari hasil kerja jurnalistik. Standar yang baku itu sering
kali dikatakan sebagai peliputan yang berimbang, dua sisi, netral, dan
objektif. Peliputan yang berimbang artinya menampilkan pandangan yang
setara antara pihak-pihak yang terlibat dan hendak diberitakan. Prinsip yang
agak mirip adalah liputan dua sisi, dimana ada kesempatan yang sama bagi
semua pihak untuk menyampaikan pandangan dan pendapatnya atas suatu
masalah. Prinsip netral, berarti dalam menulis maupun mencari bahan,
wartawan tidak boleh berpihak pada satu kelompok yang membuat laporan
berita menjadi tidak seimbang.
Prinsip ini umumnya juga dilengkapi dengan prinsip objektif, wartawan
menghindari masuknya opini pribadi ke dalam pemberitaan. Apa yang harus
diliput dan ditulis adalah apa yang terjadi, tidak dikecilkan atau dibesar-
besarkan. Semua prosedur standar tersebut, secara mudah dapat di- ringkas
sebagai berikut: wartawan harus menghindari bias. Artinya, liputan dan
laporan yang baik, apabila bias dapat ditekan seminimal mungkin. Bias
dipandang sebagai suatu hal yang buruk yang harus dihindari. Penelitian
mengenai media umumnya juga diarahkan untuk mencari ada atau tidaknya
bias dalam pemberitaan. Konsepsi semacam ini disangkal oleh pendekatan
kritis. Persoalannya bukanlah pada bagaimana laporan yang baik dan buruk,
apakah laporan tersebut mengandung bias ataukah tidak. Akan tetapi,
10

memang demikianlah kenyataannya. Artinya, kalau ada seorang wartawan


yang menulis berita dari satu sisi, mewawancarai hanya satu pihak,
memasukkan banyak opini pribadi, tidak kemudian dinilai sebagai benar atau
salah, tetapi memang wartawan melakukan itu semua dalam kerangka
ideologi tertentu.

ANALISIS TEKS BERITA: PARADIGMA KRITIS

Dalam studi penelitian isi media, paling tidak ada dua paradigma besar. pertama,
paradigma positivistik atau juga dikenal sebagai empiris/plularis, dan kedua adalah
paradigma kritis. Objek kajian dari positivistik ini pada umumnya konkret dan
individual sifatnya. Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran yang
bebas dan netral. Media justru dimiliki oleh kelompok tertentudan digunakan untuk
mendominasi kelompok yang tidak dominan. Oleh karena itu, pertanyaan pertama
dari paradigma siapakah (orang/kelompok) yang mengusai media? Apa keuntungan
yang didapat oleh seseorang/ kelompok tersebut dengan mengotrol media? Serta
dinamika komunikasi termasuk komunikasi massa.
Karakteristik Analisis Teks

Paradigma ini memandang bahwa realitas kehidupan sosial bukanlah realitas


yang netral, tetapi dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi, politik, dan sosial. Oleh
karena iti, konsentrasi analisis pada paradigma kritis adalah menemukan kekuatan
yang dominan tersebut dalam memarjinalkan dan meminggirkan kelompok yang
tidak dominan. Dalam studi analisis teks berita, paradigma kritis terutama
berpandangan bahwa berita bukanlah sesuatu yang netral, dan menjadi ruang publik
dari berbagai pandangan yang bersebarangan dalam masyarakat. Media, sebaliknya
adalah ruang dimana kelompok dominan menyebarkan pengaruhnya dengan
meminggirkan kelompok lain yang tidak dominan. Demikianlah, minat khusus dari
analisis wacana dalam pemberitaan adalah menemukan dan mengkritisi bagaimana
11

kelompok minoritas wanita, buruh pabrik, imigran gelap, petani penggarap


diberitakan dan dimarjinalkan dalam pemberitaan.
Di bawah ini akan diuraikan satu persatu karakteristik penelitian teks yang
beranjak dari paradigma ini.
PARADIGMA POSITIVISTIK PARADIGMA KRITIS
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian: Eksplanasi, prediksi, Tujuan Penelitian: ktirik sosial,
dan kontrol. transformasi, emansipasi, dan penguatan
sosial.
realitas
Objective realism. Ada realitas yang real Historical realism realitsd yang teromati
yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu merupakan realitas semu yang telah
yang berlaku universal walaupun terebentuk oleh proses sejarah dan
kebenaran pengetahuan tentang itu kekuatan-kekuatan, sosial, budaya, dan
mungkin hanya bisa diperoleh secara ekonomi politik.
probabilistik
Posisi Peneliti
Peneliti berperan sebagai disenterested Peneliti menempatkan diri sebagai
scientist dan netral aktivis, advokat, dan transformative
intelectual
Nilai, etika, dan pilihan moral harus Nilai, etika, pilihan moral bahkan
berada diluar proses analisis teks keberpihakkan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari analisis.
Cara Penelitian
Objektive Subjektive
Analisis teks tidak boleh menyertakan Titik perhatian analisis pada penafsiran
penafsiran individu subjektive peneliti atas teks.
Intervensionis Partisipatif
Pengujian hippotesis dalam struktur Mengutamakan analisis konprehensif,
hipothetico-dedutive method dengan konstektual, dan multilevel analisis yang
analisis kuantitatif dan tes stastaistik bisa dilakukan melalui penempatan diri
sebagai aktivis/parsipan dalam proses
12

transformasi sosial
Kriteria kualitas penelitian: objektive, Kriteris kualitas peneltian: historical
reliabel, dan valid situadness:sejauh mana penelitian
memperhatikan kontekshistoris, sosial,
buadaya, ekonomi, dan politik dari teks
berita.

1. Tujuan peneltian
Tujuan dari penelitian krtitis adalah untuk mengkritik transformasi hubungan
sosial yang timpang. Peneliti melakukan penelitian berdasarkan pada
penguatan masyarakat, terutama masyarakat bawah. Oleh karena itu, tujuan
dari peneltian kritis adalah mengubah dunia yang timpang, yang banyak
didominasi oleh kekuasaan yang menindas kelompok bawah. Intinya, penelian
kritis bertujuan untuk ,menghilangkan keyakinan dan gagasan palsu tentang
masyakat, dan mengkrtik sistem kekuasan yang tidak seimbang dan struktur
yang mendominasi dan menindas orang.
Penelitian ini tentu berbeda dengan tipe peneltian yang berkategori positvistik,
penelitian dimaksudkan untuk mengadakan eksplanasi, menguji hipotesis atau
membuat prediksi. Susuatu yang netral, sehingga harius dijelaskan lewat
penelitian. Dunia penuh dengan misteri, dan hubungan-hubiungan tersdebut
harus dijelaskan dengan peneltian.
Dalam melakukan analisis teks berita, penelitian dari tipe kritis pertama kali
melihat realitas dan hububungan sosial berlangsung dalam situasi yang
timpang. Media bukanlah saluran yang bebas tempat semua kekuatan sosial
yang saling berinteraksi dan hubungan . sebalinya, media hanya dimiliki oleh
kelompok dominan, sehingga lebih mempunyai kesempatan dan akses untuk
mempengaruhi dan memaknai peristiwa berdasarkan pendangan mereka.
2. Realiatas yang akan diteliti
13

Dalam pandangan kritis, tidak ada realitas yang benar-benar riil. Karena
realiatas yang munculk sebenarnya adalah realitas semu yang terbentuk bukan
melalui proses alami, tetapi oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, politik
dan ekonomi. Dalam pandangan kritis, realitas bukan ada dalam suatu tatanan
(order), tetapi berada dalam suatu konflik, ketegangan, dan kontrakdiksi yang
berjalan terus menerus diakibatkan oleh dunia yang berubah konstan.oleh
karena itu, apa yang disebut realitas seringkali bukanlah realitas, hanya ilusi
yang menyebabkan distorsi pengertian dalam masyarakat.
3. Fokus penelitian
Dalam pendekatan kritis, penempatan sumber berita yang menonjol
dibandingkan dengan sumber lain, menempatkan wawancara seseorang tokoh
lebih besar dari tokoh lain, liputan hanya satu sisi dengan merugikan pihak
lain, tidak berimbang dan secara nyata memihak satu kelompok tidaklah
dianggap sebagai kekeliruan atau bias, tetapi memang dianggap memang
itulah.

4. Posisi peneliti
Salah satu sifat analisis kritik adalah pandangan yang menyatakan peneliti
bukanlah subjek yang bebas nilai ketika memandang subjek penelitian.
Analisis kritis menolak pandangan positivistik yang memandang peneliti
sebagai subjek yang netral dan bebas nilai. analisis yang sifatnya kritis,
umumnya beranjak dari pandangan atau nilai tertantu yang diyakini oleh
peneliti. Oleh karena itu, keberpihakkan peneliti atas suatu masalah sangat
menentukan bagaimana data/teks ditafsirkan.
Berhubungan dengan keberpihakkan peneliti adalah etika atau moral dalam
penelian. Dalam pandangan positivistik, peneliti tidak diperbolehkan
memberikan penelian kepada objek yang akan dia teliti. Dalam pandangan
14

kritis, justru yang pertama kali muncul adalah nilai atau moral tertentu.
Penelitian dilakukan justru adanya semacam moral atau nilai tertentu.
5. Cara peneltian
Analisis pada paradigma kritis mendasarkan diri pada penafsiran peneliti pada
teks. Hal ini sangat berbeda ketika kita menggunkan analisis isi kuantitatif
yang menghindari penafsiran. Paradigma kritis lebih kepenafsiran karena
dengan penafsiran kita dapatkan dunia dalam, masuk menyelami dalam teks,
dan menyingkap makna yang ada dibaliknya.Hal ini tidak terdapat dalam
analisis pada paradigma positivistik, yang bergerak pada apa yang terlihat
dalam teks sehingga makna dalam atau di balik teks tersebut tidak dapat
singkat.

WACANA, IDEOLOGI, DAN INTERPRESTASI

A. Wacana
Istilah wacana berasal dari bahasa sansakerta yang artinya ‘berkata’, ‘berucap’
(Douglas, 1976:266). Saat ini istilah wacana banyak bermunculan dan digunakan
dalam berbagai aspek. Di dunia pewayangan misalnya, dikenal istilah (dewa yang
bertugas sebagai juru bicara), (karakter/pola ucapan wayang). Di dunia pendidikan
formal, istilah wacana banyak digunakan sebagai nama badan atau sekolah, misalnya
budaya wacana, satya wacana, widya wacana, dan sebagainya. Pemakaian kata
wacana dibelakang istilah-istilah tersebut mengandung makna ‘motto’, ‘janji’, atau
‘perkataan’ yang dapat dipercaya. Dengan berbagai uraian di atas, istilah wacana
dapat dimaknai sebagai ‘ucapan’, ‘perkataan’, ‘bacaan’, yang bersifat kontekstual.
Konsep mengenai wacana mutakhir diperkenalkan oleh Michel Foucault,
sehingga di uraikan beberapa pokok pikiran dari Foucault mengenai wacana.Wacana
disini tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi
mengikuti Foucault adalah sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan,
konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini,
15

konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga
mempengaruhi cara berfikir dan bertindak tertentu.

Melalui wacana, individu bukan hanya didefinisikan tetapi juga dibentuk,


dikontrol, dan disiplinkan.Misalnya, pembagaian kerja dalam rumah tangga.Wacana
yang berkembang menyatakan laki-laki yang bekerja diluar rumah menghidupi
keluarganya, sementara wanita berada di dalam rumah mengurusi rumah tangga
merawat anak-anak.Definisi pembagain kerja wanita dan laki-laki ini membentuk
individu bagaimana seharusnya laki-laki yang baik itu bagaimana pul menjadi wanita
yang baik. Keberhasilan laki-laki kalu ia bisa menghidupi keluarganya, dan akan
dianggap gagal kalau ekonomi rumah tangga kacau. Hal yang sebaiknya dikenakan
pada wanita. Kalau ada wanita yang bekerja, apalagi malam hari, akan ditanggapi
secara buruk menelantarkan anak-anak. Sehingga kalau karena pekerjaanya itu, anak-
anak menjadi tidak terurus dan nakal, maka yang disalahkan adalah wanita karena ia
memang yang bertugas mendidik anak-anak. berbagai simsymbolcana seperti moral
(laki-laki seperti ini, wanita baik seperti itu), aturan hokum (wanita yang bekerja
malam hari harus meminta izin dari suami) membentuk jaringan bagaimana
hubungan kekuasaan itu hendak dikontrol dan didisiplinkan.

Studi analisis wacana bukan sekedar mengenai pernyataan, tetapi juga struktur
dan tata aturan dari wacana.Perlu diketahui bagaimana keterkaitan antara wacana dan
kenyataan.Realitas dipahami disini sebagai seperangkat konstruk yang dibentuk
melalui wacana.Kita mempresepsi dan bagaimana koita menafsirkan objek dan
peristiwa dalam system makna tergantung pada struktur diskursif.Struktur diskursif
ini, oleh Foucault, membuat objek atau peristiwa terlihat nyata oleh kita.Struktur
wacana dari realitas itu, tidaklah dilihat sebagai system yang abstrak dan tertutup.

Wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari presepsi kita
tentang suatu objek dibentuk dngan dibatasi oleh praktik diskursif: dibatasi oleh
pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa yang benar dan yang lain tidak. Ini
16

seperti kalau kita mendengar kata film India, maka yang terbayang adalah film
dengan nyanyian sambil menari, dengan tokoh utama yang mengalahkan musuh
birokrat atau pejabat pemerintah dan kepolisian yang korup. Wacana tertentu
membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan
menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Atau dalam bahasa Macdonell, wacana
itu merupakan suatu arena di mana khalayak berpikir dengan jalan tertentu, bukan
yang lain.

Wacana membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu dan gabungan


dari peristwa-peristiwa tersebut ke dalam narasi yang dapat dikenali oleh kebudayaan
tertentu.Dalam prosesnya, kita mengkategorikasasikan dan menafsirkan pengalaman
dan peristiwa mengikuti struktur yang tersedia dan dalam menafsirkan tersebut kita
sukar keluar dari struktur diskursif yang terbentuk.Struktur diskursif itu adalah
bangunan besar, dan secara sistematis batas-batas itu terbentuk sebuah episteme,
perangkat dari struktur diskursif sebagai suatu keseluruhan melalui mana kebudayaan
berfikir.

Menurut Michel Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuannya untuk


menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi membentuk dan melestarikan
hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam banyak kajiannya
mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan, Faucault menunjukkan bahwa konsep
seperti gila, tidak gila, sehat, sakit, benar, dan salah, bukanlah konsep yang abstrak
yang datang dari langit tetapi dibentuk dan listarikan oleh wacana-wacana yang
berkaitan dengan bidang-bidang seperti psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu
pengetahuan pada umumnya. Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai
macam wacana yang berbeda satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan
mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan
wacana-wacana lainnya akan “terpinggirkan” atau “ terpendam”.
17

Ada dua konsekuensi dari wacana dominan tersebut.Pertama, wacana


dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami.
Pandangan yang lebih luas menjadi terhadang, karena ia memberikan pilihan yang
tersedia dan siap dipakai. Kedua, struktruk diskursif yang tercipta atas suatu objek
tidaklah berarti kebenaran.Oleh karena itu, dalam analisis wacana kita perlu melihat
bagaimana produksi wacana atas suatu hal diproduksi dan bagaimana reproduksi itu
dibuat oleh kelompok atau elemen dalam masyarakat.Yang dilihat dalam analisis
wacana bukanlah apa yang sebenarnya terjadi, memproduksi kebenaran atau suatu
wacana. Produksi kebenaran itu terutama akan disebarkan dengan berbagai organ
yang dia punyai.

B. Ideologi

Ideologi merupakan suatu ide atau gagasan.Ada banyak definisi tentang


ideologi.Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam
tiga ranah.Pertama, sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau
kelas tertentu.Definisi itu terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat
ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk
yang koheren.Meskipun ideologi di sini terlihat sebagai sikap seseorang, tetapi
ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu sendiri,
melaikan diterima dari masyarakat. Ideologi bukan sistem unik yang dibentuk oleh
pengalaman seseorang, tetapi ditentukan oleh masyarakat di mana ia hidup, posisi
sosial dia, pembagaian kerja, dan sebagainya.

Kedua, sebuah sistem kepercayaan yang dibuat-ide palsu atau kesadaran


palsu-yang bisa dilawabkan dengan pengatahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian
ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok
yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain
yang tidak dominan. Disini, ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen dari
pendidikan, politik, sampai media massa. Ideology di sini bekerja dengan membuat
18

hubungan-hubungan sosial tampak wajar, dan alamiah, dan tanpa sadar kita
menerima sebagai kebenaran.

Dalam konsep Marx, Ideologi adalah sebentuk kesadaran palsu.Kesadaran


seseorang, siapa mereka, dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan
masyarakatdibentuk dan diproduksi oleh masyarakat, tidak oleh ideologi yang
alamiah.Kesadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh masyarakat, tidak oleh
psikologi individu.Kalau pembaca mempunyai ideologi, titik tolak nilai yang
berseberangan dengan wartawan.Misalnya, pembaca mempunyai ideologi hak asasi
manusia.

C. Interpelasi

Interpelasi ini bukan hanya pada pembicaraan interpersonal, tetapi juga terjadi
dalam isi media.Media juga berisi tentang interpelasi, kita mengadopsi posisi sosial
tertentu atau hubungan sosial tertentu di mana posisi sosial tertentu atau hubungan
sosial tertentu dimana posisi seseorang ditentukan.

Seperti dikatakan Tolson, interpelasi itu berhubungan dengan identifikasi,


bagaimana, dan dengan siapa seseorang mengidentifikasi dirinya dari teks yang
disediakan. Dalam proses identifikasi ini, dalam hubungannya dengan relasi
antarkelas, apakah seseorang menempatkan dirinya dalam posisi dari kelas yang ada.

Seseorang bisa jadi mempunyai posisi yang berbeda dalam menempatkan


dirinya di antara posisi yang ada dalam iklan tersebut.Seseorang wanita bisa jadi
memposisikan dirinya sebagai laki-laki, laki-laki kulit hitam dapat menempatkan
dirinya sebagai kulit putih, seorang laki-laki sebaliknya dapat juga menempatkan
dirinya sebagai wanita, dan sebagainya. Sebagaimana dikatakan oleh Fiske, berita dan
proses komunikasi secara keseluruhan pada dasarnya adalah praktik dari proses sosial
dan hampir selalu ideologis: interpelasi adalah bagaian penting dari praktik ideologi
tersebut.
19

D. Hegemoni

Teori Althusser tentang ideologi menekankan bagaimana kekuasaan


kelompok yang dominan dalam mengontrol kelompok lain. Antonio Gramsci
membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang
didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam proses yang
damai, tanpa kekerasan. Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara
penerapan, mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan, dan mengembangkan
diri melalui kepatuhan para korbannya, sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi
dan membentuk alam pikiran mereka.

Salah satu kegiatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir


atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana lain
dianggap salah. Ada suatu nilai atau consensus yang dianggap memang benar,
sehingga ketika ada cara pandang atau wacana lain dianggap sebagai tidak benar.
Misalnya, pemberitaan mengenai demonstrasi buruh, wacana yang dikembangkan
sering kali perlunya pihak buruh musyawarah dan kerja sama dengan pihak
perusahaan. Dominasi wacana semacam ini meyebabkan kalau buruh melakukan
demonstrasi selalu dipandang tidak benar. Kecendrungan untuk menempatkan unsur
dramatisasi dalam pemberitaan. Ini mungkin berhubungan dengan kebiasaan
wartawan yang lebih mengedepankan apa yang menarik untuk diberitakan kepada
publik. Kalau ada demonstrasi yang diberitakan adalah bila demonstrasi tersebut ada
bentrokannya.

E. Representasi

Istilah representasi menunjuk pada bagaimana seseorang, suatu kelompok,


gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Representasi ini
penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut
ditampilkan sebagaimana mestinya. Penggambaran yang ditampilkan bisa jadi adalah
penggambaran yang buruk dan cendrung memarjinalkan seseorang atau kelompok
20

tertentu. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan. Dengan kata, kalimat,


aksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut
ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak.

1. Bahasa

Representasi sekaligus misrepresentasi tersebut adalah peristiwa kebahasaan.


Bagaimana seseorang ditampilkan dengan tidak baik, bias terjadi pertama-tama
dengan menggunakan bahasa. Berita mengenai penjarahan saat reformasi banyak
digambarkan kebrutalan masyarakat dan kerugian yang diderita pengusaha.
Dengan memilih fakta semacam ini, tentu saja realitas seperti berapa banyak
kerugian yang diderita rakyat kecil, bagaimana rakyat miskin kota selama ini
tidak bisa memperoleh akses dan secara ekonomi sosial termajinalkan, tidak bisa
masuk di media. Proses pemilihan fakta ini, hendaknya tidak dipahami semata-
mata sebagai bagian dari teknis jurnalistik, tetapi juga praktik representasi. Yakni
bagaimana dengan cara dan strategi tertentu media secara tidak langsung telah
mendefinisikan realitas. Pertama dengan memilih fakta tertentu dan membuang
fakta yang lain, realitas hadir dengan cara “bentukan” tertentu pada khalayak.
Kedua, dengan menguraikan anarkisme penjarahan, media secara tidak lanngsung
telah membuat petani sebagai pihak yang salah dan perusahaan sebagai pihak
yang benar.

F. Misrepresentasi

Dalam representasi, sangat mungkin terjadi isrepresentasi: ketidakbenaran


penggambaran, kesalahan penggambaran. Paling tidak ada empat hal
misrepresentasi yang mungkin terjadi dalam pemberitaan. Berikut akan diuraikan
satu per satu.

a. Ekskomunikasi
21

Ekskomunikasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu


kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik. Misrepresentasi terjadi
karena seseorang atau sekelompok tidak diperkenankan untuk berbicara.
Wacana media mengenai komunisme adalah salah satu contoh dari
ekskomunikasi ini dilakukan oleh media. Orang-orang komunis dalam
pemberitaan media dikeluarkan dari debat dan diskursus media. Dalam
media kita, meskipun debatnya mengenai komunisme, tetapi suara orang-
orang komunis atau yang dituduh komunis tidak diberi tempat.

b. Eksklusi
Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tetapi mereka dipandang lain,
mereka buruk dan mereka bukan kita. Di sini, ada suatu sikap yang
diwakili oleh wacana yang menyatakan bahwa kita baik, sementara
mereka buruk. Ekslusi ini terjadi di banyak tempat, dalam banyak sisi
kehidupan di mana seseorang atau suatu kelompok yang merasa
mempunyai otoritas dan kemampuan tertentu menganggap kelompok lain
sebagai buruk. Dalam dunia kedokteran misalnya, ekslusi dilakukan
terhadap pengobatan tradisional.
c. Marjinalisasi
Dalam marjinalisasi, terjadi penggambaran buruk kepada pihak/kelompok
lain, di sini tidak terjadi pemilahan antara pihak kita dengan pihak mereka.
Para buruh dianggap buruk, tetapi di sini tidak dengan cara membuat
perbandingan bahwa kita pengusaha dan mereka buruh yang buruk.
d. Delegitimasi
Legitimasi berhubungan dengan pernyataan apakah seseorang merasa
abash, merasa benar, dan mempunyai dasar pembenaran tertentu ketika
melakukan suatu tindakan. Praktik delegitimasi menekankan bahwa hanya
kelompok sendiri (kami) yang benar, sedangkan kelompok lain tidak.
22

Dilakukan dengan otoritas dari seseorang, apakah itu intelektual, ahli


tertentu, atau pejabat.

Daftar Rujukan
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT.
LKIS Printing Cemerlang.

Anda mungkin juga menyukai