Anda di halaman 1dari 16

TABU DAN KESANTUNAN BERBAHASA

A. Tabu Menurut Oxford Dictionary (1995:421), tabu adalah sesuatu yang dilarang dan hal ini melanggar norma agama atau keyakinan dan adat didalam sebuah masyarakat. Seperti yang dikatakan Trudgill (1983: 94) bahwa taboo is something which is ferbidden, because its againt the religion or social custom Tabu juga merupakan salah satu cara untuk mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan kepercayaan yang dipercaya berefek negatif ketika seseorang melanggar, karna berkaitan dengan moral. Dalam budaya indonesia ada beberapa hal yang dianggap sagat tidak pantas atau dilarang dalam percakapan dengan orang lain contohnya pada jaman dahulu kita dilarang untuk berbicara tentang sex karena hal itu sangat tidak pantas atau dianggap tabu untuk dibahas, hal ini menunjukan bahwa tabu juga sangat berpengaruh atau mengintervensi nilai budaya dan berbahasa pada suatu daerah, kita kita memasuki daerah tertentu maka kita dilarang untuk mengucapkan hal-hal yang ditabukan oleh budaya setempat karena jika kita melanggar maka akan terjadi bencana atau kecelakaan dan lain-lain. Kepercayaan yang dianggap sakral atau tabu ini akan berimbas pada konsep berpikir masyarakat yang melarang seseorang untuk membahas sesuatu yang dianggap tidak pantas walaupun dalam pandangan masyarakat modern hal itu merupakan hal yang biasa dan pantas untuk dibicarakan. B. Kesantunan Kesantunan dalam bertutur menurut Brown dan Levinson (1978/1987); Leech (1983); Sachiko Ide (1989) sangat penting diperhatikan dalam kehidupan sosial untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi dalam setiap interaksi komunikasi. Namun, kesantunan dalam bertutur diterapkan secara berbeda pada setiap kebudayaan karena setiap teks tidak bisa terlepas dari konteksnya.

Kesantunan (politeness) secara umum merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu dan menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan biasa disebut tatakrama. Kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu mengambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, maysrakata memberikan nilai kesantunan kepadanya. Bentuk jadian kesantunan berasal dari bentuk dasar santun yang berarti halus dan baik budi bahasanya. Kata santun sering bergabung dengan bentuk sopan dalam frase sopan santun. Bentuk kesantunan berkaitan dengan segala hal yang berhubungan dengan penggunaan bahasa yang baik atau budi bahasa yang baik, sedangkan bentuk sopan lebih mengarah pada perilaku atau tindakan secara fisik dan nonfisik, artinya, sopan atau kesopanan dapat berupa tindakan atau perilaku verbal atau nonverbal, sedangkan santun atau kesantunan lebih menitikberatkan pada perilaku verbal atau kebahasaan (Balai Pustaka, 1988:878 dalam I Wayan Simpen). Kesantunan berbahasa merupakan lingkup kajian pragmatik karena berhubungan dengan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana dan bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik. Selanjutnya, Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingg kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama". Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena itu, pemakaian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga merupakan ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat Indonesia karena terbawa oleh budaya "tidak terus terang" dan

menonjolkan perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak bermaksud mengaburkan komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang dimaksudkannya. Konsistensi berbahasa mengacu pada (1) apa yang ingin disampaikan, (2) bagaimana cara penyampiannya, (3) pilihan bentuk kalimat, kata dan intonasi dalam penyampainnya. Cara menyampaikan sesuatu paling tidak sesuai dengan apa yang ingin disampaikan, namun isi pembicaraan dan bentuk merupakan dua sisi obyek yang sama. Untuk melihat hubungan antara keduanya, maka dilakukan pengujian terhadap aspek komunikasi, antara lain pilihan bentuk pronomina, misalnya tu and vous, penggunaan nama dan sapaan serta pemarka kesopanan (Ronald Wardhaugh, 1986: 258). Konsep strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson diadaptasi dari konsep face yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Erving Goffman (1956) (Renkema 2004: 24-25). Menurut Goffman (1967: 5), yang dikutip oleh Jaszczolt (2002: 318), "face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image). Menurut Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 25), setiap partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan yang kedua disebut negative face. Berdasarkan konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan Levinson (1978) membangun teori tentang hubungan intensitas FTA dengan kesantunan yang terrealisasi dalam bahasa (Renkema 2004: 25). Intensitas FTA diekspresikan dengan bobot atau weight (W) yang mencakup tiga parameter sosial, yaitu: pertama, tingkat gangguan atau rate of imposition (R), berkenaan dengan bobot mutlak (absolute weight) tindakan tertentu dalam kebudayaan tertentu, misalnya permintaan "May I borrow your car?" mempunyai bobot yang berbeda dengan permintaan "May I borrow your pen?"; kedua, jarak sosial atau social distance (D) antara pembicara dengan lawan bicaranya, misalnya bobot kedua permintaan di atas tidak terlalu besar jika kedua ungkapan tersebut ditujukan kepada saudara sendiri; dan

ketiga, kekuasaan atau power (P) yang dimiliki lawan bicara (Renkema 2004: 26). Contoh. a. Maaf, Pak, boleh tanya? b. Numpang tanya, Mas? Dalam contoh di atas terlihat jelas, ujaran (9a) mungkin diucapkan pembicara yang secara sosial lebih rendah dari lawan bicaranya, misalnya mahasiswa kepada dosen atau yang muda kepada yang tua; sedangkan ujaran (9b) mungkin diucapkan kepada orang yang secara sosial jaraknya lebih dekat (9a). Politeness (kesantunan) dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya pencegahan dan atau perbaikan dari kerusakan yang ditimbulkan oleh FTA; semakin besar intensitas FTA mengancam stabilitas komunikasi, maka politeness strategy semakin dibutuhkan. Politeness, face work technique, yang bertujuan untuk mendapatkan positive face disebut solidarity politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan pujian; sedangkan politeness yang dilakukan untuk tujuan sebaliknya disebut respect politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan tindakan yang tidak kooperatif dalam komunikasi (Renkema 2004: 25). Berkaitan dengan politeness strategy ini, Brown dan Levinson (1978), seperti diungkapkan oleh Renkema (2004: 26), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat banyak cara untuk menghindari FTA yang dapat direduksi menjadi lima macam cara. Kelima strategi tersebut diurut berdasarkan tingkat resiko "kehilangan muka"; semakin tinggi resiko kehilangan muka, maka semakin kecil kemungkinan pembicara melakukan FTA. Dalam hal ini, Renkema (2004: 27) memberi contoh strategi tersebut. a. Hey, lend me a hundred dollars. (baldly) b. Hey, friend, could you lend me a hundred bucks? (positive polite) c. I'm sorry I have to ask, but could you lend me a hundred dollars? (negative polite) e. Oh no, I'm out of cash! I forgot to go to the bank today. (off record)

Leech dalam Kunjana, 2005: 59-70 menyatakan prinsip-prinsip kesantunan (politeness principle) sebagai berikut: (1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap si mitra tutur. Demikian pula perasaan sakit hati sebagai akibat dari perlakuan yang tidak menguntungkan pihak lain akan dapat diminimalkan apabila maksim kebijaksanaan ini dipegang teguh dan dilaksanakan dalam kegiatan bertutur. Dengan perkataan lain, menurut maksim ini, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik. (2) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain. (3) Maksim Penghargaan (Approbition Maxim) Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian, karena tindakan mengejek

merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Karena merupakan perbuatan tidak baik, perbuatan itu harus dihindaridalam pergaulan sesungguhnya. (4) Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim) Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. (5) Maksim Permufakatan (Agremment Maxim) Maksim permufakatan seringkali disebut dengan maksim kecocokan. Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masingmasing diri mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Di dalam masyarakat tutur Jawa, orang tidak diperbolehkan memenggal atau bahkan membantah secara langsung apa yang dituturkan oleh pihak lain. Hal demikian sangat jelas, terutama, apabila umur, jabatan, dan status sosial penutur berbeda dengan si mitra tutur. Pada jaman kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa dahulu, orang yang berjenis kelamin wanita tidak diperkenankan menentang sesuatu yang dikatakan dan diperintahkan sang pria. Kalau kita mencermati orang bertutur pada jaman sekarang ini, seringkali didapatkan bahwa dalam memperhatikan dan menanggapi penutur, si mitra tutur menggunakan angguk-anggukan tanda setuju, acungan jempol tanda setuju, wajah tanpa kerutan pada dahi tanda setuju, dan beberapa hal lain yang sifatnya paralinguistik kinesik untuk menyatakan maksud tertentu.

(6)

Maksim Kesimpatisan (Sympathy Maxim) Di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Masyarakat tindak turur Indonesia, sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatisan terhadap orang lain ini di dalam komunikasi kesehariannya. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apabila sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat. Kesimpatisan terhadap pihak lain sering ditunjukkan dengan senyuman, anggukan, gandengan tangan, dan sebagainya. Dalam menerapkan maksim diatas, dalam kenyatan, sering terjadi keganjilan. Misalnya, upaya mengurangi kerugian pada pihak lain menyebabkan kerugian pada diri sendiri. Apabila seseorang menawarkan, "Biar saya bawakan koper Anda" maka tawaran itu menguntungkan bagi teman Anda (kegiatannya menjadi enteng), tetapi merugikan bagi Anda (aktivitas Anda bertambah). Akan tetapi, teman Anda sering menjawab, "Tidak usah, tidak berat, kok" sehingga merugikan baginya (ia tetap membawa kopor) dan menguntungkan bagi Anda (Anda tidak jadi membawa kopor). Keganjilan yang disebut "paradok pragmatik" ini sering diibaratkan sebagai komedi tanpa aksi, yaitu dua orang yang seolah-olah tidak akan pernah dapat melalui sebuah pintu karena keduanya terlalu sopan untuk tidak saling mendahului.Di dalam kebudayaan tertentu, paradoks-pradoks semacam itu juga sering dijumpai sebagai ritual. Sebuah tawaran harus diulangi dan ditolak sekian kali sebelum diterima. Orang Arab baru mau makan setelah tawaran yang ketiga kali; orang Minang sering menjawab "Saya sudah makan," untuk menolak tawaran, meskipun sebenarnya, ia belum makan dan memang lapar. "Untunglah" bahwa dalam praktik kehidupan sehari-hari tidak seorang pun memiliki sopan santun yang ideal. Akan tapi, paradoks ini berfungsi mencegah paradoks yang lebih fatal. Misalnya, kalau keduanya tindak mau mengalah maka mereka akan bertabrakan di pintu. Kalau tawaran pertama untuk makan langsung diterima belum tentu menyenangkan bagi yang menawarkan karena mungkin ia sekadar berbasa basi, padahal makanannya tidak cukup. Pengaturan MukaMuka

sama dengan harga atau citra diri atau reputasi seseorang. Jika disebutkan kehilangan muka, sama artinya dengan kehilangan harga atau citra diri. Muka dapat dirusak, dipertahankan, atau ditingkatkan melalui interaksi dengan orang lain. Tindak tutur tertentu dapat mengancam rusaknya muka orang lain atau muka sendiri. Tindak mengancam muka (face threatening acts=FTA) itu, menurut Brown, & Levinson, dalam Politeness: Some Universal in Language Usage, 1987) dapat dikurangi dengan berbagai strategi. Agar orang tidak tersinggung, mungkin Anda diam saja, tidak jadi mengungkapkan sesuatu; mungkin Anda sekadar mengatakan Ya (tidak selalu berarti setuju). Kalaupun Anda memutuskan untuk berbicara maka Anda perlu memilih tutur kata yang baik, tidak menghina atau mencela, sehingga tidak menyinggung perasaan orang lain.Pada waktu-waktu tertentu ada kondisi yang memaksa seseorang untuk berbicara secara langsung dan tidak santun. Apabila terjadi kebakaran, Anda tidak perlu bersopan santun kepada penghuni rumah untuk menyuruhnya lari. Di dalam keadaan darurat, Anda terpaksa harus menggunakan jalur telepon internasional, sehingga Anda juga terpaksa menggunakan kata-kata seefisien mungkin. Pesan tersampaikan dengan harga yang tidak terlalu tinggi. Dalam situasi seperti ini Anda tidak akan berpikir banyak tentang hubungan interpersonal sehingga Anda akan berbicara apa adanya.Jika suatu kali Anda memberi perintah langsung kepada anak, "Tutup pintu itu, Tata!" pasti disebabkan karena Anda mempunyai kekuasaan terhadap anak dan hal itu biasa. Strategi ini dapat Anda pilih karena berbagai pertimbangan. Anda dan anak Anda sama-sama mengetahui pentingnya suatu tindakan, (2) bahaya keterancaman muka sangat kecil karena anak jarang merasa terancam mukanya oleh orang tuanya, (3) Anda lebih memiliki kekuasaan terhadap anak Anda dibandingkan kekuasaan anak terhadap Anda. Kontrak PercakapanKetika berbicara, Anda memerlukan dan melaksanakan suatu kontrak percakapan, kata Fraser dalam "Perspective on Politeness" in Journal of Pragmatics), yaitu norma-norma berupa hak dan kewajiban masing-masing. Misalnya, keharusan Anda untuk menjawab pertanyaan orang lain; menjaga muka teman bicara Anda, tidak menghalangi apa yang ingin dituturkan orang lain, memberikan kebebasan kepada teman bicara sejauh tidak melanggar kebebasan

Anda sendiri, memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbicara terlebih dahulu, dan sebagainya. Sehubungan dengan hal-hal itu, Anda akan menunjukkan tingkat kesantunan yang diharapkan sesuai dengan situasi atau tempat tuturan itu berlangsung. Norma-norma itu disebut sebagai "kontrak percakapan" karena sebelum bertutur Anda sudah harus menyadarinya dan mau menerima tanggung jawab terhadap kemungkinan yang terjadi selama bertutur atau bercakap-cakap. Sebagaimana fungsi sebuah kontrak, kedua belah pihak harus mematuhi kontrak itu agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Sering terjadi, seorang penutur tidak mau tau terhadap lawan tuturnya sehingga apa saja yang dirasakannya diungkapkan tanpa memberi kesempatan kepada lawan tuturnya untuk memberikan jawaban atau pendapat atau mengemukakan pikirannya pula. Dalam situasi ini tidak terjadi pertukaran (turn taking) dalam percakapan. Situasi pertuturan seperti ini cenderung membosankan dan penutur dianggap tidak santun oleh lawan tutur karena mendominasi pecakapan. Di samping dapat mengancam muka lawan tutur, komunikasi yang terjadi jelas tidak seimbang sehingga maksud berkomunikasi cenderung tidak tercapai.Kadang-kadang, sopan santun bersifat asimetris (berlawanan). Tuturan yang santun bagi pihak lain bukanlah tuturan yang santun bagi penutur, dan begitu sebaliknya. Kalau diperintahkan, "Angkat meja itu!" maka lawan tutur dirugikan sedangkan penutur diuntungkan. Untung rugi ini merentang dari yang paling santun sampai kepada yang paling tidak santun. Semakin langsung semakin merugikan (semakin tak santun), semakin tidak langsung semakin menguntungkan.Sopan santun tidak hanya terungkap dalam isi percakapan, tetapi juga dalam cara percakapan dikendalikan dan dipolakan oleh para pemerannya. Hal ini terjadi ketika percakapan mengandung implikasi-implikasi tidak sopan seperti menyela secara keliru atau diam pada saat yang tidak tepat. Oleh sebab itu, ketika menuturkan sesuatu, misalnya, Anda merasa perlu menyebutkan tindak tutur yang sedang Anda lakukan supaya dapat memohon suatu jawaban. Hal-hal semacam itu sering terungkap ketika minta izin untuk berbicara, minta maaf atas kata-kata yang telah diucapkan, dan sebagainya. Misalnya, "Dapatkah Anda katakan kepada saya, pukul berapa saat ini?" "Bolehkah saya bertanya, apakah Anda sudah menikah?" "Saya harus

memperingatkan Anda agar hal ini tidak dibicarakan di depan umum." "Dengan menyesal harus saya beritahukan kepada Anda bahwa lamaran Anda ditolak."Adakalanya, seseorang bertindak tidak santun melalui sikap yang seakanakan santun dengan memberi kesan telah melanggar prinsip kesantunan, padahal ia, sebenarnya, menaatinya. Situasi ironi ini merupakan sopan santun yang tidak tulus sebagai pengganti ketidaksantunan guna menyudutkan/merugikan orang lain. Misalnya, seseorang mengucapkan "Hanya itu yang saya inginkan!" yang berarti, "Justru itu yang tidak saya inginkan." Apalagi diucapkan dengan nada kontradiksi dengan tuturan itu. Atau contoh ini, "Bila kita mempunyai teman seperti dia, apakah kita perlu mencari musuh?" untuk mengejek si dia yang sering memusuhi orang lain.Memang, dengan ironi, sikap-sikap agresif dapat tersalurkan dengan efek tidak seberbahaya serangan-serangan langsung seperti kritik, penghinaan, ancaman, dan sebagainya. Sebenarnya, penghinaan dengan mudah dapat dibalas dengan penghinaan pula sehingga potensial mengakibatkan konflik, sedangkan pernyataan ironi tidak mudah dibalas dengan ironi. Ironi merupakan bentuk bela diri yang memadukan seni menyerang dengan sebuah keluguan. Apabila kesantunan tidak dapat dipertahankan, kehancuran akan mengenai penutur dan lawan tutur, tetapi karena ironi seolah-olah taat pada kesantunan, jawaban pada pernyataan ironis dapat menyelamatkan keduanya dari konflik sehingga tidak menghancurkan prinsip kesantunan. Jadi, bila situasi sudah mendekati konflik, penggunaan ironi dapat menghindari agresi.Kalau ironi merupakan cara yang ramah untuk menyinggung perasaan orang lain (sopan santun yang mengejek) maka kelakar (kebalikan dengan ironi) adalah cara yang menyinggung perasaan untuk beramah tamah (mengejek dengan santun). Apabila diucapkan kepada teman, "Ini dia si pembawa celaka sudah datang!" maka yang muncul justru keakraban. Jadi, bila hubungan semakin akrab, kebutuhan akan sopan santun menjadi semakin berkurang.Kesantunan dapat dilakukan dengan berbagai strategi, baik dengan memilih kata-kata atau dengan gerakan. Akan tetapi yang penting dalam komunikasi adalah bahwa kita haras menjaga muka lawan tutur kita. Agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar, kita harus memperlihatkan bahwa kita menghargai orang lain dengan memilih kata-kata

sesuai dengan situasi komunikasi.Pembelajaran berbahasa secara santun, saat ini, menjadi sangat diperlukan karena kenyataan menunjukkan sedikitnya orang yang dapat berbahasa secara santun, terutama sejak masa reformasi. Saat ini, orang berbahasa semau gue, kurang menghiraukan kesantunan, seolah-olah apa saja boleh dikatakan, dan dengan cara seenaknya pula. Sedangkan Menurut Grice dalam Finegan ( 2004:300), prinsip-prinsip Kooperatif memiliki empat area dari komunikasi yang disebut dengan maksim atau prinsip-prinsip umum, yaitu: 1. Maksim Kuantitas Suatu percakapan akan bermakna jika terdapat komunikasi yang mengindikasikan tentang suatu jumlah. Sebagai contoh adalah orang yang menanyakan berapa buku yang orang lain miliki dan orang tersebut menjawab bahwa dia memiliki 10 buku. Inilah yang disebut dengan maksim kuantitas yaitu prinsip yang menunjukkan tentang jumlah sesuatu. 2. Maksim hubungan Maksim ini mengarahkan petutur untuk mengorganisasi ungkapan-ungkapan yang dilakukannya sehingga akan menghasilkan percakapan yang saling berhubungan. Prinsip dari maksim ini adalah ada hubungan yang terjadi dalam suatu ungkapan. Dalam tindak tutur maaf, maksim hubungan ini sangat diperlukan. Sebagai contoh adalah pada saat seseorang menyadari terdapat suatu ungkapan yang dituturkan tidak sesuai atau tidak sengaja dengan konteks percakapan pada saat itu, maka tindak tutur maaf ini sangat diperlukan. 3. Maksim pembawaan Prinsip dari maksim pembawaan ini adalah teratur dan jelas. Dalam hal ini petutur sebaiknya menghindari suatu ambiguitas dan dapat menyampaikan tuturannya dengan teratur, tidak meloncat-loncat dan jelas, tidak mencampur adukkan pembicaraan satu dengan lainnya. Dalam tindak tutur maaf, maksim pembawaan atau manner ini sangat berpengaruh dikarenakan prinsip dalam

maksim ini akan mengarahkan petutur pada suatu percakapan yang teratur dan jelas bagi pendengar. Sehingga, tindak tutur maaf ini dapat direfleksikan dengan baik oleh petutur dan pendengar dapat menggunakan interpretasi yang benar dan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh petutur. 4. Maksim Kualitas Prinsip dari maksim kualitas ini adalah kebenaran. Dalam suatu percakapan, sangat diperlukan adanya suatu kebenaran dari tindak tutur yang dilakukan oleh minimal dua orang. Apa yang diinginkan oleh para petutur dan pendengar adalah suatu kebenaran dari apa yang dipercakapkan dan buktibukti yang ada dari apa yang mereka percakapkan. Meskipun demikian, maksim ini sangat rentan dengan ketidakbenaran atau suatu kebohongan. Sebagai misal adalah tindak tutur maaf dapat digunakan sebagai suatu kebohongan. Dalam hal ini maksim kualitas ini tidak berlaku. Skala pengukur peringkat kesantunan yang sampai saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan: Leech dalam Kunjana, 2005: 66-68) Di dalam model kesantunan, setiap maksim interpersonal dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan sebagai berikut: a. Cost-benefit scale atau skala kerugian atau keuntungan, menunjuk kepada besar-kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin pertuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal yang demikian itu dilihat dari kacamata si mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan diri mitra tutur, akan semakin dipandang tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri, si mitra turur akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.

b. Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun. Berkaitan dengan pemakaian tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia, dapat dikatakan bahwa apabila tuturan imperatif itu menyajikan banyak pilihan tuturan akan menjadi semakin santunlah pemakaian tuturan imperatif itu. c. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan, menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. d. Authority scale atau skala keotoritasan, menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu. e. Social distance scale atau skala jarak sosial, menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara

penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur. Brown dan Levinson dalam Kunjana, 2005: 68-69 Berbeda dengan yang disampaikan Leech di atas, di dalam model kesantunan Brown dan Levinson (1987) terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala termaksud ditentukan secara kontekstual, sosial, dan kultural yang selengkapnya skala-skala berikut: 1. Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokutural. Berkenaan dengan perbedaan umur antara penutur dan mitra tutur, lazimnya didapatkan bahwa semakin tua umur seseorang, peringkat kesantunan dalam bertuturnya akan menjadi semakin tinggi. Sebaliknya, orang yang masih berusia muda lazimnya cenderung memiliki peringkat kesantunan yang rendah di dalam kegiatan bertutur. Orang yang berjenis kelamin wanita, lazimnya memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin pria. Hal demikian disebabkan oleh kenyataan bahwa kaum wanita cenderung lebih banyak berkenaan dengan sesuatu yang bernilai estetika dalam keseharian hidupnya. Sebaliknya, pria cenderung jauh dari hal-hal itu karena, lazimnya, ia banyak berkenaan dengan kerja dan pemakaian logika dalam kegiatan keseharian hidupnya. Latar belakang sosiokultural seseorang memiliki peran sangat besar dalam menentukan peringkat kesantunan bertutur yang dimilikinya. Orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat, cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan orang, seperti misalnya petani, pedagang, kuli perusahaan, buruh bangunan, dan pembantu rumah tangga. Demikian orang-orang kota cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat desa. Pada jaman dahulu, para punggawa kerajaan terkenal memiliki kesantunan bertutur relatif tinggi dibandingkan dengan orang kebanyakan, seperti pedagang, buruh perusahaan, petani dan sebagainya.

2. Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative power) atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur. Misalnya; di rumah sakit, seorang dokter memiliki peringkat kekuasan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang pasien, di dalam ruang kelas, seorang dosen memiliki peringkat lebih tinggi dibandingkan dengan seorang mahasiswa. 3. Skala peringkat tindak tutur (rank rating) atau lengkapnya the degree of imposition associated with the required expenditure of goods or services didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. (2) Robin Lakoff dalam Kunjana, 2005: 70 Menyatakan tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya kesantunan di dalam kegiatan bertutur sebagai berikut: (1) Skala formalitas (formality scale) menyatakan agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh. Di dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya antara yang satu dan yang lainnya. (2) Skala ketidaktegasan (hesitancy scale) atau sering disebut dengan skala pilihan (optionality scale) menunjukkan bahwa agar penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dan kerasan dalam bertutur, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan terlalu kaku di dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun. (3) Skala kesamaan atau kesekawanan (equality scale) menunjukkan bahwa agar bersifat santun, orang haruslah bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak lain. Penutur harus menganggap mitra tutur sebagai sahabat.

DAFTAR PUSTAKA Rahardi, Kunjana, 2005. Pragmatik (Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia). Jakarta: Penerbit Erlangga. Simpen, I Wayan, 2008. Sopan Santun Berbahasa Masyarakat Sumba Timur. Denpasar: Pustaka Larasan. Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai