Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana penggunaan volume suara dalam konseling?
2. Bagaimana cara menlakukan ajakan terbuka untuk berbicara dalam
konseling?
3. Bagaimana penstrukturan dalam konseling?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui penggunaan volume suara dalam konseling
2. Untuk mengetahui cara menlakukan ajakan terbuka untuk berbicara dalam
konseling
3. Untuk mengetahui serta memahami penstrukturan dalam konseling

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penggunaan Volume suara dalam Konseling


Volume mengacu pada keras lembutnya suara. Konselor perlu mengungkapkan
dengan suara yang cukup didengar, yang nyaman dan mudah didengar klien.
Konselor yang memiliki suara yang keras tidak perlu terlalu melembutkan suaranya
sama seperti klien. Walaupun hal tersebut dapat menimbulkan ketidaknyamanan,
namun terlalu lembutnya suara dapat mengkomunikasikan bahwa konselor adalah
sorang yang lemah dan pengecut. Sedangkan suara yang tegas dan percaya diri adalah
menandakan bahwa konselor siap dalam membantu klien.

2.2 Cara melakukan Ajakan Terbuka untuk berbicara


Wawancara konseling digunakan selama proses konseling berlangsung. Konselor
akan dapat memahami dan mengetahui, masalah siswa dengan segala latar belakang
dan latar depannya, bila konselor mampu melaksanakan yang memungkinkan siswa
bebas mengemukakan masalahnya. W.S Winkel (1991) menjelaskan dalam yeni
karneli ajakan terbuka untuk berbicara konselor mempersiapkan siswa untuk mulai
menjelaskan masalah yang ingin dibicarakannya, dengan mengajukan satu kalimat
pertanyaan atau kalimat pernyataan.

Ajakan terbuka untuk berbicara kalimat yang diajukan benar-benar siswa mau
mengemukakan secara terbuka segala hal yang dipikirkan, disarakan, dan
diinginkannya mengganggu siswa dan kehidupannya.

Keterampilan bertanya adalah keterampilan konselor yang mengharapkan konseli


dapat berbicara lebih bebas dan terbuka. Ajakan terbuka untuk berbicara memberi
kesempatan klien agar mengeksplorasi dirinya sendiri dengan dukungan
pewawancara. Pertanyaan terbuka membuka peluang konseli untuk mengemukakan
ide perasaan dan arahnya tanpa harus menyesuaikan dengan setiap kategori yang
telah ditentukan oleh pewawancara.

2
1. Pertanyaan tertutup : pertanyaan yang dapat dijawab dengan beberapa kata
atau kalimat.
2. Pertanyaan terbuka : adalah pertanyaan yang tidak dapat dijawab konseli
secara bebas tanpa dibatasi. Ajakan terbuka untuk berbicara memberi
kesempatan ada klien agar mengeksplorasi dirinya sendiri dengan dukungan
pewawancara. Pertanyaan terbuka membuka peluang klien untuk
mengemukakan ide perasaan dan arah tanpa harus menyesuaikan dengan
setiap kategori yang telah ditentukan oleh pewawancara.
Contoh-contoh pertanyaan yang disarankan adalah :
a. Membantu memulai wawancara
-”apa yang akan anda dibicarakan hari ini?”
b. Membantu menguraikan masalah
-”Cobalah anda menceritakan lebih banyak lagitentang hal itu!”
c. Membantu munculnya contoh contoh perilaku khusus sehingga
pewawancara dapat memahami dengan baik apa yang dijelaskan oleh klien.
-”Apa yang anda rasakan pada saat anda menceritakan hal ini kepada saya?”
-“Bagaimana perasaan anda selanjutnya pada saat itu?”
Contoh-contoh pernyataan yang tidak disarankan adalah :
a. Pemakaian pertanyaan tertutup terlalu sering
-“apakah anda harus memasuki pekerjaan itu?”
b. pengajuan pertanyaan lebih dari satu pada saat yang sama.
-“apakah anda harus memasuki perkerjaan itu dan harus memutuskan untuk
meninggalkan rumah?’

c. pengajuan pertanyaan “mengapa”, karena pertanyaan ini sering


menyudutkan orang dan sukar dijawab.

-“mengapa anda tidak bergaul dengan baik?”

d. memasukan jawaban dalam pertanyaan.


-“anda sebenernya belum mengerti hal itu pada saat Anda mengatakan tentang
ayahnya, bukan?”

3
2.3 Penstrukturan
2.3.1 Pengertian perstrukturan

Strukturing adalah teknik yang digunakan konselor untuk memberikan batas


batas agar proses konseling berjalan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dalam
konseling (dalam buku Keterampilan Dasar Konseling, Mulawarman). Sedangkan
menurut Brammer dan Shostrom,1982 (dalam buku Keterampilan-Keterampilan
Dasar Dalam Konseling) menyatakan strukturing berisikan pembatasan-pembatasan
konselor berkenaan dengan sifat, kondisi, batas-batas dan tujuan dari proses
konseling. Strukturing dapat diterapkan di sepanjang proses konseling, meskipun
tahap-tahap awal menjadi penting khususnya untuk mendorong keterlibatan dan
tanggung jawab klien. Semua proses konseling pada dasarnya merupakan proses yang
terstruktur. Setiap proses konseling dapat digambarkan melalui parameter, prosedur,
kondisi dan karakteristiknya. Penggunaan struktur dalam konseling penting, sebab
jika struktur tidak dikembangkan oleh konselor maka tanpa disadari struktur dapat
berkembang sendiri. Pada proses konseling kadang-kadang terjadi pembicaraan yang
meluas baik dari sisi konseli maupun dari sisi konseling. Pembatas/kontrak
diperlukan, mencakup pembatasan/kontrak waktu, masalah, peran, dan tindakan.

2. 3.2 Tujuan penstrukturan

Tujuan penstrukturan adalah agar konselor dan konseli memahami perannya


masing-masing, mengetahui berapa lama sesi konselor akan diselenggarakan ,
membatasi masalah yang akan dibahas, memahami apa yang akan dilakukan dan apa
yang diharapkan dalam sesi konseling.
Selain itu tujuan lain dalam penstrukturan adalah untuk menjelaskan peranan
konselor, peranan klien dan proses konseling yang akan dijalani oleh klien. Isi/materi
dari penstrukturan meliputi:
a) Apa itu konseling?

4
b) Bagaimana konseling itu dilakukan?
c) Kemana arah konseling itu dilakukan?
d) Asas-asas pokok yang menangui proses konseling?

e) Peran konselor dan klien dalam proses konseling?

Penstrukturan dalam konseling terbagi atas dua macam, yaitu:

a) Penstrukturan penuh, yaitu semua isi/materi penstrukturan disampaikan kepada


klien yang belum memahami damn mengetahui apa itu konseling.

Hal ini dilakukan untuk klien yang tidak menyadari dirinya bermasalah dan klien
punya persepsi negatif terhadap konseling.

b) Penstrukturan sebagian, yaitu menyampaikan sebahagiaan isi/materi penstrukturan


kepada klien. Isi/materi penstrukturan dapat dipilih oleh konselor sesuai kebutuhan
klien. Penstrukturan sebagian ditunjukkan untuk klien yang datang secara sukarela
yang secara umum sudah memiliki pengetahuan minimal tentang konseling atau
sudah pernah melakukan konseling. Penstrukturan sebagian dilakukan konselor untuk
menata kembali pikiran/perasaan klien tentang konseling.

Kedalaman dan volume dan kapan penstrukturan dilaksanakan, disesuaikan dengan


kondisi pemahaman, wawasan, persepsi, dan sikap klien terhadap pelayanan
konseling pada umumnya.

2.3.3 Fungsi penstrukturan

Day&Sparacio,1980 (dalam buku Keterampilan-Keterampilan Dasar


Dalam Konseling) mengungkapkan bahwa fungsi strukturing dibagi menjadi 3:
a. Fungsi fasilitatif yaitu untuk memfasilitasi munculnya rasa tanggung jawab,
komitmen, dan keterlibatan atau partisipasi aktif klien dalam proses konseling.

b. Fungsi terapeutik yaitu untuk memecahkan masalah klien dan menyehatkan mental
individu yang bermasalah.

5
c. Fungsi protektif yaitu untuk melindungi klien agar merasa nyaman dalam
melakukan proses konseling, menjamin kerahasiaannya.

2.3.4 Bentuk-bentuk penstrukturan

1. Time Limits (batasan waktu)

Batasan waktu dibutuhkan dalam proses konseling di sekolah-sekolah.


Dalam setiap sesi wawancara konseling hanya ada sejumlah waktu tertentu
yang dapat diberikan konselor kepada klien. Dalam hal ini konselor juga harus
menyatakan pada awal pertemuan, berapa lama konseling akan berlangsung.
Hal ini sangat penting, karena konseli harus tahu berapa waktu yang tersedia
sehingga mereka dapat menyampaikan masalah-masalah yang dialaminya
dengan tenang karena tidak diburu-buru waktu. Menurut Brammer&Shostrom
dalam buku Keterampilan-keterampilan Dasar dalam Konseling menyatakan
bahwa jika batasan waktu diberikan maka klien seringkali memanfaatkan
waktu semaksimal mungkin untuk mempercepat proses terapeutik.

2. Action Limits (batasan tindakan)

Pembatasan tindakan di sini mengacu pada batas-batas tindakan yang


boleh ataupun yang tidak boleh dilakukan. Dalam konseling, konselor tidak
boleh membatasi ekspresi verbal konseli akan tetapi hal-hal yang tidak boleh
dilakukan oleh konseli adalah melukai diri sendiri dan orang lain, misalnya
konseli boleh mengatakan apa saja kepada konselor, tetapi konseli tidak boleh
melukai konselor. Rogers (dalam Sunardi, 1991) menyatakan bahwa melukai
konselor yang ditakukan oleh konseli merupakan kesalahan dan ini dapat
menjadikan kegelisahan bagi konselor dalam hubungannya membantu konseli.

3. Role Limits (batasan peran)

Dalam berbagai setting konseling, konselor mungkin memiliki peran


ganda. Struktur peran tidak hanya dimaksudkan untuk membatasi siapa diri

6
konselor pada saat ini (di ruang konseling) tetapi juga apa yang harus
diperankan oleh konselor dan klien dalam proses yang akan berlangsung.
Konselor menjelaskan peranannya dalam hubungan konseling karena konseli
kadang-kadang datang kepada konselor dengan konsepsi yang salah. Beberapa
konseli menganggap konseling sebagai obat mujarab yang dapat
menyembuhkan dengan cepat seperti memecahkan masalah dan memberikan
nasihat. Sedangkan konseli yang lain sering beranggapan bahwa tanggung
jawab untuk sukses terletak dipundak konselor, harapan-harapan yang tidak
realistis ini memerlukan penjelasan dari konselor bahwa dalam konseling
yang menentukan keputusan atau yang dapat memecahkan masalah adalah
konseli sendiri, sedangkan konselor hanya membantu mengarahkan.

4. Problem Limits (pembatasan masalah)

Masalah-masalah yang dibahas dalam konseling yang sebaiknya


didahulukan adalah masalah-masalah yang paling mendesak untuk di
pecahkan. Oleh karena itu, konselor perlu mengkomunikasikan kepada konseli
terlebih dahulu jika konseli datang dengan membawa lebih dan satu masalah,
misalnya “Anda mengalami tiga masalah, yaitu masalah belajar, masalah
sosial dan masalah pembagian waktu. Dan ketiga masalah itu mana yang
mendesak untuk dibicarakan.“

BAB III
PENUTUP

7
3.1 Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai