Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Sebagai umat Islam yang bertaqwa kita tidak akan terlepas dari syari’at Islam. Hukum
yang harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Baik laki-laki maupun
perempuan tidak ada perbedaan di mata Allah SWT, tetapi yang membedakan hanyalah
ketaqwaan kita.Salah satu dari syari’at Islam adalahtentang perkawinan hal ini sudah di atur
dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits Rasulullah SAW.
Perkawinan merupakan peristiwa yang sering kita jumpai dalam hidup ini, bahkan setiap hari
banyak umat Islam yang melakukan perkawinan, dimana perkawinan ini mencegak perbuatan
yang melanggar norma – norma agama dan menghindari jinah.Terpenuhinya syarat rukun
perkawinan mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum
agama, fiqih munakahat, dan pemerintah (kompilasi hukum islam). Bila salah satu syarat
rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fiqih
munakahat atau hukum islam.

1.2              Rumusan Masalah


1.2.1         Apakah yang dimaksud dengan pernikahan?
1.2.2         Apakasajakah hukum-hukum pernikahan dalam islam?
1.2.3         Apasajakah rukun-rukun pernikahan dalam islam?
1.2.4 Apasajakah syarat-syarat pernikahan dalam islam?
1.3              Tujuan Penulisan
1.3.1         Mengetahui pengertian ,hukum,rukun, syarat pernikahan dalam islam

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian pernikahan


Nikah menurut bahasa berarti menghimpun, sedangkan menurut terminologi adalah
akad yangmenghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim
sehingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya. ( Zahry Hamid, pokok-pokok
hukum perkawinan islam dan undang undang perkawinan di Indonesia:1976:1)

Menurut U U No : 1 tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengantujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Keinginan untuk menikah adalah fitrahmanusia,
yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Selain defenisi diatas,
ada beberapa defenisi pernikahan menurut empat mazdhab, yakni:

1. Definisi nikah dalam mazhab HanafiUlama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah
adalah sebagai akad yang berakibat pada “pemilikan” seks secara sengaja.Yang
dimaksud dalam pemilikan seks itu adalah kepemilikan laki-laki atas kelamin serta
seluruh tubuh perempuan untuk dinikmati. Sudah tentu kepemilikan ini bukan bersifat
hakiki, karena kepemilkan yang hakiki hanya ada pada Allah SWT.
2. Definisi nikah dalam mazhab MalikiUlama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah
adalah sebagai akad untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan anak adam tanpa
menyebutkan harga secara pasti sebelumnya.Secara sederhana mazhab malikiyah
mengatakan bahwa nikah adalah kepemilikan manfaat kelamin dan seluruh badan
istri.
3. Definisi nikah dalam mazhab Syafi’iUlama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah
adalah sebagai akad yang berdampak akibat kepemilikan seks.Inti dari definisi ini
adalah kepemilikan hak bagi laki-laki untuk mengambil manfaat seksual dari alat
kelamin perempuan, sebagian ulama syafi’iyah berpendapat bahwa nikah adalah akad
yang memperbolehkan seks, bukan akad atas kepemilikan seks.
4. Definisi nikah dalam mazhab HanbaliUlama dalam mazhab ini tampak praktis dalam
mendefinisikan pengertian dari nikah. Menurut ulama Hanbaliyah, nikah adalah akad
yang diucapkan dengan menggunakan kata ankah atau tazwij untuk kesenangan
seksual.

Sedangkan dalam Hukum Perkawinan Islam, definisi Nikah adalah melakukan suatu akad
atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
menghalalkanhubungan kelamin antara dua belah pihak, dengan rasa sukarela dan keridhoan
kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputu
rasa kasih sayang.Setiap manusia yang sudah dewasadan sehat jasmani rokhaninya pasti
membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi
2
kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi,
yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian dan
kesejahteraan hidup berumah tangga

2.2 Hukum Nikah

Nikah disyariatkan oleh dalil-dalil berikut ini:


Firman Allah Ta’ala,
“maka nikahlah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi: dua, tiga atau empat,
kemudian jika kalian takut tidak berlaku adil, maka (nikahilah) seorang wanita saja,
atau budak-budak wanita yang kalian miliki; kemudian itu lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.” (An-Nisa’:3)

Firman Allah Ta’ala,


“dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang
layak (nikah) dari budak-budak laki-laki kalian dan budak-budak wanita kalian.” (An-
Nuur:32)

Hukum melaksanakan pernikahan jika jika dihubungkan dengan kondisi seseorang serta niat
dan akibat-akibatnya ada beberapa macam:

1. Wajib, bagi Orang yang telah cukup sandang, pangan dan papan serta
dikhawatirkan akan terjerumus pada perzinaan
2. Sunnah, bagi orang yang berkeinginan menikah serta cukup sandang dan pangan.
3. Mubah, bagi orang yang belum mempunyai hajat nikah, tetapi sudah mampu
mendirikan rumah tangga ( sebagai asal hukumnya ).
4. Makruh, bagi orang yang belum mempunyai hajat kawin dan belum mampu
mendirikan rumah tangga.
5. Haram, bagi orang yang berkehendk menyakiti orang yang dinikahinya.

“hai para pemuda, barang siapa diantara kalian sanggup menikah, maka menikahlah karena
menikah itu lebih menahan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.” (muttafaq Alaih)

2.3 Rukun- rukun Nikah

Keabsahan nikah dibutuhkan lima rukun, yaitu

1. Adanya mempelai wanita dan mempelai pria

Syarat calon istri antara lain:


 Sepi dari nikah dan ‘Iddah

3
 Zaujah harus dinyatakan (harus jelas). Maka tidak sah apabila dalam akad zaujah
tidak dinyatakan, seperti contoh: Saya nikahkan kamu dengan salah satu dari
anak perempuanku. Di sini jelas bahwa zaujah tidak dinyatakan, karena masih
samar anak yang mana dari wali yang hendak dinikahkan. Namun sah menyatakan
Zaujah dengan berupa washfin (sifat), seperti contoh: Saya nikahkan kamu
dengan anakku (wali hanya mempunyai satu anak perempuan).
 Zaujah bukan mahram dari zauj sebab satu nasab. Ini berdasarkan firman Allah
dalam Surat Al-Maaidah: 3 dan surat An-Nisa’: 23

Syarat dari calon suami antara lain:


 Zauj harus dinyatakan (Jelas). ketika wali dari zaujah dalam akad berkata “Saya
nikahkan anak perempuanku dengan salah satu dari kalian”, maka nikahnya tidak
sah.
 Tidak ada hubungan mahram sebab nasab atau sebab sepersusuan dengan zaujah
 Zauj tidak belum mempunyai empat istri, karena paling banyak laki-laki maksimal
hanya diperbolehkan mempunyai empat istri.

2. Wali, yaitu ayah kandung, atau penerima wasiat, atau kerabat terdekat dan seturusnya
sesuai urutan dari ahli waris wanita tersebut, atau orang bijak dari keluarga wanita
tersebut, atau pemimpin setempat, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda,
“tidak ada nikah kecuali dengan wal.”(diriwayatkan semua penulis sunan di-
shahih-kan Al-Hakim dan Ibnu Hibbab).
Dan karena umar bin kaththab RadhiyallahuAnhu berkata,”wanita tidak boleh
dinikahi Kecuali dengan izin walinya, atau orang bijak dari keluarga wanita, atau
pemimpin.”

3. Hukum- hukum bagi wali


Wali memiliki sejumlah hukum yang wajib diperhatikan, yaitu:

a. Ia layak menjadi wali, yaitu laki-laki baligh, berakal sempurna, dan orang merdeka
(bukan budak)
b. Orang yang hendak menikahi seorang wanita harus meminta izinkepada walinya jika
wanita tersebut gadis dan walinya adalah ayahnya sendiri, atau menanyakan wanita
tersebut kepada walinya jika wanita tersebut janda dan walinya bukan ayahnya
sendiri.
c. Perwakilan wali yang dekat tidak sah dengan keberadaan wali yang lebih dekat. Jika
tidak sah perwakilan saudara seayah dengan keberadaan saudara kandung, atau
perwakilan anak saudara dengan keberadaan saudara.

4
d. Jika seorang wanita meminta dua orang dari kerabatnya menikahkan dirinya,
kemudian masing-masing dari keduanya menikahkan dengan orang lain, maka wanita
tersebut menjafi laki-laki yang lebih dahulu diarahkan dengannya dan jika akad
dilaksanakan pada waktu yang sama maka pernikahan wanita tersebut dengan kedua laki-
laki tersebut batal.

4. Dua orang saksi, yang dimaksud dengan dua orang saksi bahwa akad nikah harus
dihadiri oleh dua orang saksi atau lebih dari laki-laki yang adil dari kaum muslimin,
karena AllahTa’ala berfirman,
“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kalian.”(ath-Thalaq:2).

Dalam hadis nabi :


‫ال نكاح اال بولي وشاهدي عدل وما كان من نكاح غير ذالك فهو باطل‬
 
Yang artinya: Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.
Jika ada pernikahan tanpa itu maka pernikahan itu dianggap batal. (HR. Ibnu Hiban)

yang diprioritaskan menjadi wali:


1.      Bapak.
2.      Kakek dari jalur Bapak
3.      Saudara laki-laki kandung
4.      Saudara laki-laki tunggal bapak
5.      Kemenakan laki-laki (anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung)
6.      Kemenakan laki-laki  (anak laki-laki saudara laki-laki bapak)
7.      Paman dari jalur bapak
8.      Sepupu laki-laki anak paman
9.      Hakim bila sudah tidak ada wali –wali tersebut dari jalur nasab.

Hukum-hukum bagi dua orang saksi

Di antara hukum-hukum bagi dua orang saksi sebagai berikut:

a. Saksi nikah harus dua orang atau lebih


b. Kedua saksi tersebut harus adil, dan adil itu terlihat dengan menjauhi dosa-dosa
besar dan meninggalkan sebagian besar dosa-dosa kecil. Sedang orang fasik
dengan melakukan zina, atau meminum- minuman keras, atau memakan harta
riba itu tidak sah dijadikan saksi pernikahan, karena Allah Ta’ala berfirman,

5
“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kalian.”(ath-
Thalaq:2).
Dan karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”
(diriwayatkan Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthni).
c. Jumlah saksi disunnahkan diperbanyak pada zaman kita karena sedikitnya sifat
adil pasa zaman sekarang.

5. Shiqhat Akad Nikah


Shiqhat Akad Nikah ialah ucapan calon suami, atau wakilnya pada saat akad
nikah, “nikahkan aku dengan anak putrimu yang bernama si Fulanah.” Dan
ucapan wali, “Aku nikahkan engkau dengan anak putriku yang bernama si
Fulanah,” serta ucapan calon suami, “Aku terima pernikahan anak putrimu
denganku.”

Hukum-hukum tentang Shiqhat Akad Nikah

a. Kesamaan suami dengan dengan istri dalam arti suami adalah orang merdeka
(bukan budak), berakhlak mulia, religius, dan jujur karena Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
b. Wakalah (mewakilkan) diperbolehkan dalam akad nikah. Jadi calon suami
boleh mewakilkan siapapun dalam akad. Sedang calon istri, maka walinya
yang melangsungkan akad pernikahannya.
6. Mahar
Mahar yaitu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan pada saat
pernikahan sebagai lambsng kecintaan calon suami terhadap calon istri untuk
menjadi istrinya. Dasar hukum mahar dalam perkawinan adalah firman Allah
SWT., QS An-Nisaa’:4.
Surat
Ayat diatas dikuatkan pada ayat lain yaitu QS an-Nisaa’ ayat 25.

Dalam ayat ayat tersebut diatas, jumlah dan jenis mahar tidak ditentukan dalam
ajaran islam, tetapi dianjurkan sesuai dengan kemampuan pihal laki-laki. Dalam
ajaran islam mahar adalah hukumnya wajib bagi pihak laki-laki akan tetapi
apabila didalam akad nikah masalah mahar tidak disebutkan maka pernikahan
tersebut tetap sah.

2.4 Syarat-syarat dalam pernikahan

Syarat bagi suami


1. Islam

6
2. Lelaki yang tertentu
3. Bukan lelaki mahram dengan bakal isteri
4. Mengetahui wali yang sebenar bagi akad nikah tersebut
5. Bukan dalam ihram haji atau umrah
6. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
7. Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa
8. Mengetahui bahawa perempuan yang hendak dikahwini adalah sah dijadikan isteri

Syarat bakal isteri

1. Islam
2. Perempuan yang tertentu
3. Bukan perempuan mahram dengan bakal suami
4. Bukan seorang khunsa
5. Bukan dalam ihram haji atau umrah
6. Tidak dalam idah
7. Bukan isteri orang

Syarat wali

1. Islam, bukan kafir dan murtad


2. Lelaki dan bukannya perempuan
3. Baligh
4. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
5. Bukan dalam ihram haji atau umrah
6. Tidak fasik
7. Tidak cacat akal fikiran,gila, terlalu tua dan sebagainya
8. Merdeka

Tidak ditahan kuasanya daripada membelanjakan hartanya


* Sebaiknya bakal isteri perlulah memastikan syarat WAJIB menjadi wali. Sekiranya
syarat wali bercanggah seperti di atas maka tidak sahlah sebuah pernikahan itu. Sebagai
seorang mukmin yang sejati, kita hendaklah menitik beratkan hal-hal yang wajib seperti ini.
Jika tidak di ambil kira, kita akan hidup di lembah zina selamanya.

Syarat-syarat saksi
1. Sekurang-kurangya dua orang
2. Islam
3. Berakal
4. Baligh
5. Lelaki
6. Memahami kandungan lafaz ijab dan qabul
7. Dapat mendengar, melihat dan bercakap
8. Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak berterusan melakukan dosa-dosa
kecil)
9. Merdeka

Syarat ijab
1. Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
2. Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran

7
3. Diucapkan oleh wali atau wakilnya
4. Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(nikah kontrak
e.g.perkahwinan(ikatan suami isteri) yang sah dalam tempoh tertentu seperti yang
dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah)
5. Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafazkan)
* Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada bakal suami:"Aku
nikahkan/kahwinkan engkau dengan Diana Binti Daniel dengan mas kahwinnya/bayaran
perkahwinannya sebanyak RM 3000 tunai".

Syarat qabul
1. Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
2. Tiada perkataan sindiran
3. Dilafazkan oleh bakal suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
4. Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)
5. Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu qabul dilafazkan)
6. Menyebut nama bakal isteri
7. Tidak diselangi dengan perkataan lain
* Contoh sebutan qabul(akan dilafazkan oleh bakal suami):"Aku terima nikah/perkahwinanku
dengan Diana Binti Daniel dengan mas kahwinnya/bayaran perkahwinannya sebanyak RM
3000 tunai" ATAU "Aku terima Diana Binti Daniel sebagai isteriku".

Syarat-syarat perkawinan Menurut Undan-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dapat


dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 sampai dengan 11
UU No. 1 tahun 1974, yaitu:

A .Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.


B. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah
meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
C. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 tahun.Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari
pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
D. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi
kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
E. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi
untuk kedua kalinya.
F. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

8
2. Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No.1 Tahun 1974
direalisasikan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.

Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya


kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana perkawinan itu akan
dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan.
Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya.
Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai
(Pasal 3-5)
2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah
memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal
6-7).
3. Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman
yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain:
– Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.hari
– tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9)
Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.Kedua calon mempelai menandatangani
akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka
perkawinan telah tercatat secara resmi.Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk
Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan.Kepada suami dan Istri
masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 10-13).

9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dari beberapa uraian di atas, yang telah kami bahas. Maka kami mengambil kesimpulan,
yaitu sebagai berikut :

1. Akad nikah mempunyai beberaparukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan
syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau
tidaknyaperbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama
dalam hal bahwa keduanyamerupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan
misalnya,rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila
keduanya tidak ada atau tidak lengkap.Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu
harus ada dalam satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut.
Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian
dari amalan tersebut.

2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi
wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau
dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).

10
DAFTAR PUSTAKA
http://staffnew.uny.ac.id/upload/131862252/pendidikan/PAI+Pernikahan+Dalam+Islam+Dis
kusi+Mahasiswa.pdf

Departemen agama RI,Al-Qur'an dan Terjemahannya,sekarang, CV. Asy-Syifa,1999.

Hamid, Zahry. Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam & Undang-Undang Perkawinan di Indonesia.
(Yogyaakarta: Bina Cipta, 1978)

11

Anda mungkin juga menyukai