PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai umat Islam yang bertaqwa kita tidak akan terlepas dari syari’at Islam. Hukum
yang harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Baik laki-laki maupun
perempuan tidak ada perbedaan di mata Allah SWT, tetapi yang membedakan hanyalah
ketaqwaan kita.Salah satu dari syari’at Islam adalahtentang perkawinan hal ini sudah di atur
dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits Rasulullah SAW.
Perkawinan merupakan peristiwa yang sering kita jumpai dalam hidup ini, bahkan setiap hari
banyak umat Islam yang melakukan perkawinan, dimana perkawinan ini mencegak perbuatan
yang melanggar norma – norma agama dan menghindari jinah.Terpenuhinya syarat rukun
perkawinan mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum
agama, fiqih munakahat, dan pemerintah (kompilasi hukum islam). Bila salah satu syarat
rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fiqih
munakahat atau hukum islam.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut U U No : 1 tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengantujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Keinginan untuk menikah adalah fitrahmanusia,
yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Selain defenisi diatas,
ada beberapa defenisi pernikahan menurut empat mazdhab, yakni:
1. Definisi nikah dalam mazhab HanafiUlama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah
adalah sebagai akad yang berakibat pada “pemilikan” seks secara sengaja.Yang
dimaksud dalam pemilikan seks itu adalah kepemilikan laki-laki atas kelamin serta
seluruh tubuh perempuan untuk dinikmati. Sudah tentu kepemilikan ini bukan bersifat
hakiki, karena kepemilkan yang hakiki hanya ada pada Allah SWT.
2. Definisi nikah dalam mazhab MalikiUlama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah
adalah sebagai akad untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan anak adam tanpa
menyebutkan harga secara pasti sebelumnya.Secara sederhana mazhab malikiyah
mengatakan bahwa nikah adalah kepemilikan manfaat kelamin dan seluruh badan
istri.
3. Definisi nikah dalam mazhab Syafi’iUlama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah
adalah sebagai akad yang berdampak akibat kepemilikan seks.Inti dari definisi ini
adalah kepemilikan hak bagi laki-laki untuk mengambil manfaat seksual dari alat
kelamin perempuan, sebagian ulama syafi’iyah berpendapat bahwa nikah adalah akad
yang memperbolehkan seks, bukan akad atas kepemilikan seks.
4. Definisi nikah dalam mazhab HanbaliUlama dalam mazhab ini tampak praktis dalam
mendefinisikan pengertian dari nikah. Menurut ulama Hanbaliyah, nikah adalah akad
yang diucapkan dengan menggunakan kata ankah atau tazwij untuk kesenangan
seksual.
Sedangkan dalam Hukum Perkawinan Islam, definisi Nikah adalah melakukan suatu akad
atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
menghalalkanhubungan kelamin antara dua belah pihak, dengan rasa sukarela dan keridhoan
kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputu
rasa kasih sayang.Setiap manusia yang sudah dewasadan sehat jasmani rokhaninya pasti
membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi
2
kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi,
yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian dan
kesejahteraan hidup berumah tangga
Hukum melaksanakan pernikahan jika jika dihubungkan dengan kondisi seseorang serta niat
dan akibat-akibatnya ada beberapa macam:
1. Wajib, bagi Orang yang telah cukup sandang, pangan dan papan serta
dikhawatirkan akan terjerumus pada perzinaan
2. Sunnah, bagi orang yang berkeinginan menikah serta cukup sandang dan pangan.
3. Mubah, bagi orang yang belum mempunyai hajat nikah, tetapi sudah mampu
mendirikan rumah tangga ( sebagai asal hukumnya ).
4. Makruh, bagi orang yang belum mempunyai hajat kawin dan belum mampu
mendirikan rumah tangga.
5. Haram, bagi orang yang berkehendk menyakiti orang yang dinikahinya.
“hai para pemuda, barang siapa diantara kalian sanggup menikah, maka menikahlah karena
menikah itu lebih menahan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.” (muttafaq Alaih)
3
Zaujah harus dinyatakan (harus jelas). Maka tidak sah apabila dalam akad zaujah
tidak dinyatakan, seperti contoh: Saya nikahkan kamu dengan salah satu dari
anak perempuanku. Di sini jelas bahwa zaujah tidak dinyatakan, karena masih
samar anak yang mana dari wali yang hendak dinikahkan. Namun sah menyatakan
Zaujah dengan berupa washfin (sifat), seperti contoh: Saya nikahkan kamu
dengan anakku (wali hanya mempunyai satu anak perempuan).
Zaujah bukan mahram dari zauj sebab satu nasab. Ini berdasarkan firman Allah
dalam Surat Al-Maaidah: 3 dan surat An-Nisa’: 23
2. Wali, yaitu ayah kandung, atau penerima wasiat, atau kerabat terdekat dan seturusnya
sesuai urutan dari ahli waris wanita tersebut, atau orang bijak dari keluarga wanita
tersebut, atau pemimpin setempat, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda,
“tidak ada nikah kecuali dengan wal.”(diriwayatkan semua penulis sunan di-
shahih-kan Al-Hakim dan Ibnu Hibbab).
Dan karena umar bin kaththab RadhiyallahuAnhu berkata,”wanita tidak boleh
dinikahi Kecuali dengan izin walinya, atau orang bijak dari keluarga wanita, atau
pemimpin.”
a. Ia layak menjadi wali, yaitu laki-laki baligh, berakal sempurna, dan orang merdeka
(bukan budak)
b. Orang yang hendak menikahi seorang wanita harus meminta izinkepada walinya jika
wanita tersebut gadis dan walinya adalah ayahnya sendiri, atau menanyakan wanita
tersebut kepada walinya jika wanita tersebut janda dan walinya bukan ayahnya
sendiri.
c. Perwakilan wali yang dekat tidak sah dengan keberadaan wali yang lebih dekat. Jika
tidak sah perwakilan saudara seayah dengan keberadaan saudara kandung, atau
perwakilan anak saudara dengan keberadaan saudara.
4
d. Jika seorang wanita meminta dua orang dari kerabatnya menikahkan dirinya,
kemudian masing-masing dari keduanya menikahkan dengan orang lain, maka wanita
tersebut menjafi laki-laki yang lebih dahulu diarahkan dengannya dan jika akad
dilaksanakan pada waktu yang sama maka pernikahan wanita tersebut dengan kedua laki-
laki tersebut batal.
4. Dua orang saksi, yang dimaksud dengan dua orang saksi bahwa akad nikah harus
dihadiri oleh dua orang saksi atau lebih dari laki-laki yang adil dari kaum muslimin,
karena AllahTa’ala berfirman,
“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kalian.”(ath-Thalaq:2).
5
“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kalian.”(ath-
Thalaq:2).
Dan karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”
(diriwayatkan Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthni).
c. Jumlah saksi disunnahkan diperbanyak pada zaman kita karena sedikitnya sifat
adil pasa zaman sekarang.
a. Kesamaan suami dengan dengan istri dalam arti suami adalah orang merdeka
(bukan budak), berakhlak mulia, religius, dan jujur karena Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
b. Wakalah (mewakilkan) diperbolehkan dalam akad nikah. Jadi calon suami
boleh mewakilkan siapapun dalam akad. Sedang calon istri, maka walinya
yang melangsungkan akad pernikahannya.
6. Mahar
Mahar yaitu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan pada saat
pernikahan sebagai lambsng kecintaan calon suami terhadap calon istri untuk
menjadi istrinya. Dasar hukum mahar dalam perkawinan adalah firman Allah
SWT., QS An-Nisaa’:4.
Surat
Ayat diatas dikuatkan pada ayat lain yaitu QS an-Nisaa’ ayat 25.
Dalam ayat ayat tersebut diatas, jumlah dan jenis mahar tidak ditentukan dalam
ajaran islam, tetapi dianjurkan sesuai dengan kemampuan pihal laki-laki. Dalam
ajaran islam mahar adalah hukumnya wajib bagi pihak laki-laki akan tetapi
apabila didalam akad nikah masalah mahar tidak disebutkan maka pernikahan
tersebut tetap sah.
6
2. Lelaki yang tertentu
3. Bukan lelaki mahram dengan bakal isteri
4. Mengetahui wali yang sebenar bagi akad nikah tersebut
5. Bukan dalam ihram haji atau umrah
6. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
7. Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa
8. Mengetahui bahawa perempuan yang hendak dikahwini adalah sah dijadikan isteri
1. Islam
2. Perempuan yang tertentu
3. Bukan perempuan mahram dengan bakal suami
4. Bukan seorang khunsa
5. Bukan dalam ihram haji atau umrah
6. Tidak dalam idah
7. Bukan isteri orang
Syarat wali
Syarat-syarat saksi
1. Sekurang-kurangya dua orang
2. Islam
3. Berakal
4. Baligh
5. Lelaki
6. Memahami kandungan lafaz ijab dan qabul
7. Dapat mendengar, melihat dan bercakap
8. Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak berterusan melakukan dosa-dosa
kecil)
9. Merdeka
Syarat ijab
1. Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
2. Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
7
3. Diucapkan oleh wali atau wakilnya
4. Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(nikah kontrak
e.g.perkahwinan(ikatan suami isteri) yang sah dalam tempoh tertentu seperti yang
dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah)
5. Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafazkan)
* Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada bakal suami:"Aku
nikahkan/kahwinkan engkau dengan Diana Binti Daniel dengan mas kahwinnya/bayaran
perkahwinannya sebanyak RM 3000 tunai".
Syarat qabul
1. Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
2. Tiada perkataan sindiran
3. Dilafazkan oleh bakal suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
4. Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)
5. Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu qabul dilafazkan)
6. Menyebut nama bakal isteri
7. Tidak diselangi dengan perkataan lain
* Contoh sebutan qabul(akan dilafazkan oleh bakal suami):"Aku terima nikah/perkahwinanku
dengan Diana Binti Daniel dengan mas kahwinnya/bayaran perkahwinannya sebanyak RM
3000 tunai" ATAU "Aku terima Diana Binti Daniel sebagai isteriku".
1. Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 sampai dengan 11
UU No. 1 tahun 1974, yaitu:
8
2. Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No.1 Tahun 1974
direalisasikan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas, yang telah kami bahas. Maka kami mengambil kesimpulan,
yaitu sebagai berikut :
1. Akad nikah mempunyai beberaparukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan
syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau
tidaknyaperbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama
dalam hal bahwa keduanyamerupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan
misalnya,rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila
keduanya tidak ada atau tidak lengkap.Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu
harus ada dalam satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut.
Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian
dari amalan tersebut.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi
wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau
dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
10
DAFTAR PUSTAKA
http://staffnew.uny.ac.id/upload/131862252/pendidikan/PAI+Pernikahan+Dalam+Islam+Dis
kusi+Mahasiswa.pdf
Hamid, Zahry. Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam & Undang-Undang Perkawinan di Indonesia.
(Yogyaakarta: Bina Cipta, 1978)
11