Anda di halaman 1dari 10

Rapport 

dalam psikologi didefinisikan sebagai prosedur untuk membangun keakraban dalam proses komunikasi agar
baik sender maupun receiver memiliki pandangan yang sama tentang hal yang dikomunikasikan sehingga proses
komunikasi pun berjalan dengan efektif. Melengkapi definisi ini, NLP mengajarkan bahwa rapport adalah
proses connection building agar antara pihak yang berkomunikasi berada dalam ‘gelombang’ yang sama. Tanpa rapport,
kita ibarat seseorang yang memiliki keinginan untuk mencapai sebuah tempat di seberang sungai besar tanpa ada
jembatan yang menjadi penghubung. Kita mungkin bisa mencapai tempat tersebut, namun tentu dengan effort yang
cukup besar baik dengan cara berenang atau membuat rakit plus berjibaku dengan derasnya arus air. Memahami dan
mengaplikasikan rapport akan menjadikan Anda seorang komunikator handal dengan hambatan resistensi minimal.

Structuring (pembatasab) adalah teknik yang digunakan konselor untuk memberikan batas-batas atau
pembatasan agar proses konseling berjalan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dalam konseling.
Menurut Lutfi dkk, structuring adalah teknik penyepakatan dan penginformasian akan perlunya dan
diikutinya batasan-batasan tertentu dalam proses konseling agar dapat berjalan sesuai dengan
prinsip-prinsip layanan profesional.

 Prinsip-prinsip
Adapun prinsip=prinsip dalam teknik structuring adalah sebagai berikut:
1.       Di lakukan pada sesi awal pertemuan.
2.       Diberikan pada keadaannya membutuhkan.
Jenis-jenis Strukturing:
Teknik strukturing terdiri atas beberapa macam, antara lain sebagai berikut:
a.      Time limit (pembatasan waktu), menyepakati pertemuan konseling akan dilakukan seberapa lama.
1)   Time limit dari konseli
Konseli      : “pak, sebetulnya sudah seminggu yang lalu saya ingin
menemui bapak, tetapi baru kali ini saya dapat berjumpa dengan bapak. Dan hari ini saya dapat
berjumpa dengan bapak dari jam 08.00 sampai jam 08.30, karena jam 08.30 nanti saya ada acara
pembekalan PPL di laboratorium.”
Konselor  : “kalau demikian, marilah kita manfaatkan waktu selama 30
menit ini dengan sebaik-baiknya.”
2)   Time limit dari konselor
Konseli    : “saya sulit sekali menyesuaikan diri dengan teman-teman di
kampus ini, karena itulah saya kemari untuk memperbincangkannya dengan ibu.”
Konselor  : “bagus, anda kemari untuk membahas masalah anda dengan
saya, namun perlu diketahui bahwa jam 10.00 nanti saya diundang oleh dekan untuk menghadiri
rapat dan kita hanya memiliki waktu selama 45 menit. Oleh karena itu, marilah kita gunakan waktu ini
dengan sebaik-baiknya.”
b.     Role limit (pembatasan peran), menjelaskan peran konselor yang pokok agar tidak salah persepsi
mengenai tugas dan tanggung awab konselor.
Konseli          : “akhir-akhir ini saya sulit sekali mengkonsentrasikan diri
Dalam belajar, karena itu saya menemui bapak untuk meminta nasihat bagaimana cara belajar yang
baik.”
Konselor        : “anda meminta nasihat dari saya? Perlu diketahui bahwa saya
tidak dapat memberikan nasihat sebagaimana yang anda minta, tetapi marilah kita bicarakan
bersama masalah yang sedang anda alami  kemudian kita cari jalan keluarnya.”
c.      Problem limit (pembatasan masalah)
Konseli          : “pak, saya sulit sekali berkonsentrasi dalam belajar, sehingga
ketika ujian berlangsung saya tidak dapat mengerjakannya dengan baik, maka dari itu nilai saya
menjadi jelek. Disamping itu, dikelas saya juga sulit sekali bergaul dengan lawan jenis dan satu hal
lagi pak, bagaimana ya caranya agar saya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru?”
Konselor        : “dalam masalah yang anda kemukakan tadi, setidaknya ada
tiga hal yang menjadi masalah yaitu masalah berkonsentrasi dalam belajar, masalah dengan bergaul
dengan lawan jenis, dan masalah penyesuaian diri. Nah, dari ketiga masalah tersebut, mana yang
mendesak untuk kita bicarakan terlebih dahulu?”
d.     Action limit  (pembatasan tindakan), meminta konseli untuk mengendalikan tindakannya agar tidak
mengarah pada perusakan.
Konseli          : “(datang ke ruang konseling dengan marah-marah, wajah
memerah, dan dengan menyobek-nyobek kertas)”
Konselor        : “tenang-tenang, anda boleh mengutarakan apa saja disini,
tetapi satu hal yang tidak boleh anda lakukan disini yaitu mengotori ruangan ini.”
e.      Service limit (pembatasan layanan), menjelaskan jenis-jenis dan sifat-sifat layanan yang diberikan
oleh konselor.
f.      Topic limit (pembatasan topik), mengajak konseli memilih masalah diantara sejumlah masalah yang
ada.
g.     Goal limit (pembatasan tujuan), mengspesifikasikan tujuan yang diharapkan akan tercapai dalam
proses konseling.
h.     Cost limit (pembatasan biaya), penginformasian biaya jika dalam konseling yang dilakukan dikenakan
biaya.
i.       Confidentiality limit (batasan jaminan kerahasiaan), meyakinkan konseli bahwa semua yang
diceritakan akan sepenuhnya dijaga kerahasiannya.
Konseli          : “bagaimana ya pak, apa saya harus menceritakan
semuanya..... saya nggak enak pak....”
Konselor        : “saya memahami perasaanmu, memang berat untuk
menyampaikan, tetapi perlu kamu ketahui, kita tidak ingin merugikan atau menyakiti siapapun. Kalau
itu sifatnya rahasia, saya menjamin untuk menjaga kerahasiaannya.
Arah pembicaraan     : agarkonseli bisa bercerita lebih bebas tanpa takut
rahasianya akan tersebar.

Penolakan (resistance)

Resistensi merupakan suatu sistem pertahanan klien yang berlawanan dengan tujuan konseling


atau terapi (Brammer dan Shostrom, 1982). Pada umumnya konselor melihat resistensi sebagi
suatu hal yang berlawanan dengan kemajuan dalam pemecahan masalah dan oleh karena itu
konselor harus berusaha menguranginya sebanyak mungkin. Namun, konselor melihat resistensi
sebagai suatu gejala yang penting untuk dianalisa secara intensif. Dengan demikian pada
dasarnya resistensi merupakan gejala normal dalam proses konseling.

Sumber munculnya resistensi dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu resistensi internal
dan resistensi yang bersifat eksternal. Resistensi internal datang dari kepribadian klien sendiri,
dan resistensi eksternal timbul sebagai hasil konseling misalnya pengaruh teknik yang digunakan
oleh konselor atau sikap kontratransparasi konselor.

Fungsi positif dari resistensi dalam proses konseling adalah:

 Memberikan indikasi kemajuan wawancara pada umumnya dan dasar untuk rumusan
diagnostik dan prognostik
 Memberikan informasi kepada konselor, bahwa ada struktur pertahanan dari klien,
sehingga konselor harus mempertimbangkan proses selanjutnya.
 Sebagai mekanisme protektif (perlindungan dari ancaman) bagi diri klien
melalui sistem pertahanannya.

Menurut Bugental (1952) dalam Brammer dan Shostrom (1982) mengemukakan lima tingkatan
intensitas gejala resistensi mulai dari yang paling rendah sampai ke paling tinggi intensitasnya
yaitu:

1. Bersikap lamban (lagging)


Klien menghindari tanggung jawab, responya tidak bersemangat, distractible, dan lebih
ke arah intelektualisasi daripada konten emosi
2. Kaku (inertia)
Menjawab dengan kata-kata pendek, tidak memperhatikan pengarahan konselor dan
tampak lelah.
3. Tentatif resistensi
Termasuk indikasi bahwa klien tidak mau melanjutkan ketegangan fisik, menahan rasa
marah, perasaan berdosa, cemas.
4. Resistensi sebenarnya
Menunjukkan intensifikasi tentatf seperti diam, menanyakan kompetensi konselor, atau
mempergunakan kata-kata kasar.
5. Penolakan.
Tindakan klien sangat ekstrim misalnya dengan mengakhiri konseling, melawan
konselor.

Ada beberapa langkah untuk mengatasi sikap resistensi dari klien yaitu

1. Menghiraukan gejala-gejala resistensi klien tetapi tetap waspada peningkatan resistensi.


Dengan kata lain bila terjadi resistensi itu adalah hal normal, namun konselor berusaha
memahami karakteristik atau gaya pertahanan diri klien
2. Menggunakan teknik adaptasi minor, yaitu melakukan tindakan mengurangi resistensi
dengan cara mengurangi pengaruh emosional, mengubah langkah (mengurangi bertanya,
mengeser postur lebih rileks), menggunakan humor, dan memberikan dorongan dan
penerimaan.
3. Mengarahkan kembali isi wawancara pada hal-hal yang dapat mengurangi resistensi
4. Teknik penanganan langsung dengan cara: interpretasi resistensi, refleksi perasaan
resistensi, teknik referal, dan ancaman.

Pemindahan (transference)

Secara umum menunjukkan dimana klien mengalihkan atau mengaitkan perasaan atau sikap
kepada konselor menurut cara yang pernah klien arahkan kepada orang berarti (significant
others), misalnya orang tua atau orang yang pernah menguasai dan mendominasinya pada masa
lalu (Mappiare, 2006).
Istilah pemindahan (transference) dalam pengertian yang luas menurut Brammer dan Shostromm
(1982) menunjukkan penyataan perasaan-perasaan klien terhadap konselor, apakah berupa reaksi
rasional kepada kepribadian konselor atau proyeksi yang tidak sadar dari sikap-sikap dan
stereotipe sebelumnya. Dalam proses konseling klien memproyeksikan sikap-sikapnya secara
tidak sadar terhadap konselor.

Pemindahan dapat bersifat positif yaitu bila klien memproyeksikan perasaannya afeksinya
(misalnya: cinta, hormat, menghargai) atau ketergantungannya kepada konselor. Bersifat negatif
yaitu bila klien memproyeksikan perasaan kebencian dan agresinya kepada konselor. Fungsi
terapeutik pemindahan dalam konseling adalah

1. dapat membangun hubungan yang baik,


2. meningkatkan kepercayaan,
3)memungkinkan klien memperoleh gambaran perasaan melalui penafsiran perasaannya.

Dalam psikoterapi perkembangan dan proses pemindahan dipandang sebagai bagian


perubahan kepribadian dalam jangka panjang. Penyelesaian pemindahan perasaan dapat dicapai
bila konselor menjaga sikap menerima dan memahami, dan juga menerapkan bebrapa
keterampilan dasar konseling misalnya teknik refleksi perasaan, refleksi isi, bertanya, klarifikasi
dan interpretasi.

Pemindahan balik (countertransference)

Secara umum pemindahan balik mengacu pada suatu kejadian dalam konseling dimana konselor
memproyeksikan, menanggapi setara, perasaan-perasaan atau sikap klien berdasarkan pada
pengalaman masa lalu atau hubungan konselor dengan orang lain (Mappiare, 2006).

Definisi yang lain dikemukakan oleh Brammer dan Shostrom (1982) bahwa pemindahan balik
merupakan reaksi emosional dan proyeksi konselor terhadap klien, baik yang disadari maupun
tidak disadari. Pemindahan balik ini dapat timbul karena bersumber dari kecemasan.

Pola kecemasan konselor dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu

1. masalah pribadi yang tak terpecahkan,


2. tekanan situasional, dan
3. komunikasi perasaan klien pada konselor .

Konselor dapat mengatasi perasaan pemindahan balik ini dengan cara

1. membatasi sumber perasaan pemindahan balik,


2. meminta bantuan kepada ahli lain.
3. mendiskusikan dengan klien,
4. menyadari diri sendiri
5. rujukan kepada konseling atau terapi kelompok.

Dalam psikologi komunikasi, bahasa disebut juga dengan pesan linguistik. Bahasa dalam psikologi
komunikasi didefinisikan melalui dua macam cara yaitu definisi fungsional dan definisi formal. \
Definisi fungsional memandang bahasa dari segi fungsi. Dalam artian, bahasa dipandang sebagai
alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Bahasa sebagai alat komunikasi hanya
dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk
menggunakannya. Sedangkan, definisi formal memandang bahasa sebagai semua kalimat yang
terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tata bahasa.

Bahasa sebagai bagian terpenting dalam proses komunikasi efektif telah menjadi magnet para
peneliti dari berbagai disipilin ilmu untuk mengkaji bahasa lebih jauh. Berbagai teori pun
dikembangkan sebagai cara untuk memahami bahasa dan penerapannya dalam komunikasi.

Teori bahasa dalam komunikasi umumnya menitikberatkan pada cara manusia berbahasa, bahasa
dan kaitannya dengan proses berpikir, kata-kata dan makna, karakteristik bahasa, diskursus, dan
lain-lain.

Adapun teori-teori bahasa dalam komunikasi yang dikemukakan oleh para ahli adalah sebagai
berikut :

1. Teori Struktur Bahasa


Teori ini dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure (1916). Menurut penggagas teori semiotika
Ferdinand de Saussure ini, struktur bahasa meliputi suara, kata-kata, dan tata bahasa. Sistem
struktur bahasa ini didasarkan atas perbedaan masing-masing elemen struktur bahasa.

Bagi Saussure, bahasa tidak mencerminkan realitas namun menciptakan pengalaman bagi
penggunanya. Saussure menekankan pada kajian struktur bahasa dibandingkan penggunaan
bahasa dalam tataran praktis (Baca juga : Penggunaan Dialek Dalam Komunikasi).

2. Teori Belajar dari Behaviorisme


Menurut teori belajar, anak-anak memperoleh pengetahuan bahasa melalui asosiasi, imitasi, dan
peneguhan. Asosiasi adalah melazimkan suatu bunyi dengan obyek tertentu.

Sementara itu, imitasi adalah menirukan pengucapan dan struktur kalimat yang didengarnya. Dan,
yang dimaksud dengan peneguhan adalah ungkapan kegembiraan yang dinyatakan ketika anak-
anak mengucapkan kata-kata dengan benar.

Sang penggagas teori operant conditioning yaitu B.F Skinner kemudian menerapkan ketiga proses


ini untuk menjelaskan tiga macam respon yang diberikan oleh anak kecil ketika belajar bahasa.
Ketiga respon yang dimaksud adalah mand, tact, dan echoic.

Respon mand terjadi manakala anak-anak mengeluarkan bunyi secara sembarangan.


Respon tact terjadi manakala anak menyentuh obyek dan kemudian mengucapkan bunyi. Dan,
respon echoic terjadi manakala anak-anak menirukan apa yang diucapkan oleh orang tuanya dan
kaitannya dengan stimuli tertentu (Rakhmat, 2001 : 271-272). 

3. Teori Nativisme
Melalui teori ini, Noam Chomsky menyatakan bahwa setiap anak mampu menggunakan suatu
bahasa karena adanya pengetahuan bawaan yang dibawa secara genetik.

Pengetahuan bawaan ini disebut dengan Language Acquisition Device atau L.A.D. Pengetahuan


bawaan ini merupakan satu sistem yang memungkinkan manusia untuk menggabungkan
beberapa komponen bahasa dalam konteks komunikasi.

Meskipun bahasa memiliki struktur luar yang berbeda, namun masing-masing bahasa sejatinya
memiliki struktur pokok bahasa yang sama (Rakhmat, 2001 : 272-273).
4. Teori Perkembangan Mental
Teori yang dikembangakan oleh Jean Piaget ini menyatakan bahwa struktur universal yang yang
menimbulkan pola berpikir yang sama pada tahap-tahap tertentu dalam perkembangan mental anak-
anak.

Piaget dan Chomsky sependapat bahwa otak manusia bukanlah penerima pengalaman yang pasif
melainkan sebuah organ yang dilengkapi dengan bermacam kemampuan bawaan (Rakhmat, 2001 :
273) (Baca juga : Keterbatasan Bahasa dalam Komunikasi Verbal).

5. Teori Principle of Linguistic Relativity


Teori ini berpendapat bahwa bahasa menyebabkan kita memandang realitas sosial dengan cara
tertentu. Teori principle of linguistic relativity ini sejatinya dikembangkan oleh beberapa ahli namun
yang paling mencuri perhatian adalah teori principle of linguistic relativity yang dikemukakan oleh
Whorf.

Secara singkat, teori ini menyatakan bahwa pandangan kita tentang dunia dibentuk oleh bahasa.
Karena bahasa berbeda, maka pandangan kita tentang dunia juga akan berbeda.

Secara selektif, kita menyaring data sensori yang masuk seperti yang telah diprogam oleh bahasa
yang kita pakai. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda hidup dalam
dunia sensori yang berbeda pula (Rakhmat, 2001 : 275) (Baca juga : Gangguan Bahasa dalam
Komunikasi).

6. Teori General Semantics
Teori general semantics yang pertama kali digagas oleh Alfred Korzybski ini menjelaskan
karakteristik bahasa yang mempersulit proses penyandian. Menurut teori ini, bahasa bukanlah alat
penyandian yang baik.

Teori ini juga menguraikan kesalahan penggunaan bahasa, menelaah bagaimana berbicara dengan
cermat, bagaimana keadaan sebenarnya, bagaimana menghilangkan kebiasaan berbahasa yang
menyebabkan kerancuan dan kesalahapahaman (Rakhmat, 2001 : 281-282). (Baca
juga : Kelemahan Bahasa sebagai Media Komunikasi).

7. Teori Tindak Tutur


Teori tindak tutur atau speech act theory merupakan bagian dari studi penggunaan bahasa secara
luas. Teori ini dikaitkan dengan Ludwig Wittgenstein dan John Searle. Teori tindak tutur menjelaskan
bagaimana pesan-pesan mengekspresikan niat penggunanya. Dalam komunikasi, teori ini diterapkan
dalam studi atau analisis percakapan (Baca juga : Cara Mempersatukan Persepsi dalam Bahasa
Komunikasi).

8. Analisis Percakapan
Menurut Littlejohn (2009), berbagai teori yang menekankan pada percakapan didasarkan pada
asumsi bahwa manusia menggunakan diskursus untuk mencapai beragam fungsi komunikasi sosial
menurut para ahli. Mereka akan melakukan lebih banyak terkait dengan fungsi pesan individu.

Mereka memahami bahwa diskursus dicapai melalui tindakan bersama. Fungsi-fungsi tersebut
dicapai secara bersama-sama melalui interaksi yang terorganisir di antara partisipan.

Lebih lanjut Littlejohn menyatakan bahwa teori ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana mitra
percakapan bergabung membentuk pola yang koheren yang dapat membuat atau membentuk makna
(Baca juga : Faktor Penyebab Distorsi dalam Komunikasi).

Demikianlah ulasan singkat tentang teori bahasa dalam komunikasi. Semoga dapat menambah
wawasan dan pengetahuan tentang berbagai teori yang menitikberatkan pada bahasa dalam
komunikasi.
Self-Disclosure (Pengungkapan Diri)
Menurut Morton (dalam Sears, dkk., 1989) pengungkapan diri merupakan kegiatan membagi perasaan dan
informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi di dalam pengungkapan diri ini bersifat deskriptif atau
evaluatif. Deskniptif artinya individu melukiskan berbagai fakta mengenai diri sendiri yang mungkin belum
diketahui oleh pendengar seperti, jenis pekerjaan, alamat dan usia. Sedangkan evaluatif artinya individu
mengemukakan pendapat atau perasaan pribadinya seperti tipe orang yang disukai atau hal-hal yang tidak
disukai atau dibenci.

Pengungkapan diri ini dapat berupa berbagai topik seperti informasi perilaku, sikap, perasaan, keinginan,
motivasi dan ide yang sesuai dan terdapat di dalam diri orang yang bersangkutan. Kedalaman dan
pengungkapan diri seseorang tergantung pada situasi dan orang yang diajak untuk berinteraksi. Jika orang
yang berinteraksi dengan menyenangkan dan membuat merasa aman serta dapat membangkitkan semangat
maka kemungkinan bagi idividu untuk lebih membuka diri amatlah besar. Sebaliknya pada beberapa orang
tertentu yang dapat saja menutup diri karena merasa kurang percaya (Devito, 1992).

Tingkatan-tingkatan pengungkapan diri


Dalam proses hubungan interpersonal terdapat tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam pengungkapan diri.
Menurut Powell (dalam Supratikna, 1995) tingkatan-tingkatan pengungkapan diri dalam komunikasi yaitu:

a. Basa-basi merupakan taraf pengungkapan diri yang paling lemah atau dangkal, walaupun terdapat
keterbukaan diantara individu, terapi tidak terjadi hubungan antar pribadi. Masing-masing individu
berkomuniikasi basa-basi sekedar kesopanan.

b. Membicarakan orang lain yang diungkapkan dalam komunikasi hanyalah tentang orang lain atau hal-hal
yang diluar dirinya. Walaupun pada tingkat ini isi komunikasi lebih mendalam tetapi pada tingkat ini individu
tidak mengungkapkan diri.

c. Menyatakan gagasan atau pendapat sudah mulai dijalin hubungan yang erat. Individu mulai
mengungkapkan dirinya kepada individu lain.

d. Perasaan: setiap individu dapat memiliki gagasan atau pendapat yang sama tetapi perasaan atau emosi
yang menyertai gagasan atau pendapat setiap individu dapat berbeda-beda. Setiap hubungan yang
menginginkan pertemuan antar pribadi yang sungguh-sungguh, haruslah didasarkan atas hubungan yang jujur,
terbuka dan menyarankan perasaan-perasaan yang mendalam.

e. Hubungan puncak: pengungkapan diri telah dilakukan secara mendalam, individu yang menjalin hubungan
antar pribadi dapat menghayati perasaan yang dialami individu lainnya. Segala persahabatan yang mendalam
dan sejati haruslah berdasarkan pada pengungkapan diri dan kejujuran yang mutlak.

Fungsi pengungkapan diri.


Menurut Derlega dan Grzelak (dalam Sears, dkk., 1988) ada lima fungsi pengungkapan diri, yaitu :

a. Ekspresi (expression)
Dalam kehidupan ini kadang-kadang manusia mengalami suatu kekecewaan atau kekesalan, baik itu yang
menyangkut pekerjaan ataupun yang lainnya. Untuk membuang semua kekesalan ini biasanya akan merasa
senang bila bercerita pada seorang teman yang sudah dipercaya. Dengan pengungkapan diri semacam ini
manusia mendapat kesempatan untuk mengekspresikan perasaan kita.

b. Penjernihan diri (self-clarification)


Dengan saling berbagi rasa serta menceritakan perasaan dan masalah yang sedang dihadapi kepada orang
lain, manusia berharap agar dapat memperoleh penjelasan dan pemahaman orang lain akan masalah yang
dihadapi sehingga pikiran akan menjadi lebih jernih dan dapat melihat duduk persoalannya dengan lebih baik.

c. Keabsahan sosial (sosial validation)


Setelah selesai membicarakan masalah yang sedang dihadapi, biasanya pendengar akan memberikan
tanggapan mengenai permasalahan tersebut Sehingga dengan demikian, akan mendapatkan suatu informasi
yang bermanfaat tentang kebenaran akan pandangan kita. Kita dapat memperoleh dukungan atau sebaliknya.

d. Kendali sosial (social control)


Seseorang dapat mengemukakan atau menyembunyikan informasi tentang keadaan dirinya yang dimaksudkan
untuk mengadakan kontrol sosial, misalnya orang akan mengatakan sesuatu yang dapat menimbulkan kesan
baik tentang dirinya.

e. Perkembangan hubungan (relationship development).


Saling berbagi rasa dan informasi tentang diri kita kepada orang lain serta saling mempercayai merupakan
saran yang paling penting dalam usaha merintis suatu hubungan sehingga akan semakin meningkatkan
derajat keakraban.

Pedoman dalam Pengungkapan Diri


Pengungkapan diri kadang-kadang menimbulkan bahaya, seperti resiko adanya penolakan atau dicemooh
orang lain, bahkan dapat menimbulkan kerugian material. Untuk itu, kita harus mempelajari secara cermat
konsekuensi-konsekuensinya sebelum memutuskan untuk melakukan pengungkapan diri. Menurut Devito
(1992) hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengungkapan diri adalah sebagai berikut:

a. Motivasi melakukan pengungkapan diri


Pengungkapan diri haruslah didorong oleh rasa berkepentingan terhadap hubungan dengan orang lain dan diri
sendiri. Sebab pengungkapan diri tidak hanya bersangkutan dengan diri kita saja tetapi juga bersangkutan
dengan orang lain. Kadang-kadang keterbukaan yang kita ungkapkan dapat saja melukai perasaan orang lain.

b. Kesesuaian dalam pengungkapan diri.


Dalam melakukan pengungkapan diri haruslah disesuaikan dengan keadaan lingkungan. Pengungkapan diri
haruslah dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat. Misalnya bila kita ingin mengungkapkan sesuatu pada
orang lain maka kita haruslah bisa melihat apakah waktu dan tempatnya sudah tepat.

c. Timbal balik dan orang lain.


Selama melakukan pengungkapan diri, berikan lawan bicara kesempatan untuk melakukan pengungkapan
dirinya sendiri. Jika lawan bicara kita tidak melakukan pengungkapan diri juga, maka ada kemungkinan bahwa
orang, tersebut tidak menyukai keterbukaan yang kita lakukan.

Self-loathing atau self-hatred 

Self-loathing atau self-hatred adalah keadaan yang menggambarkan terjebaknya


seseorang dalam belenggu kebencian diri sendiri. Kebencian dapat terjadi ketika
“keadaan diri sekarang” tidak bisa memenuhi standar, mimpi, atau keinginan dari “diri
yang ideal”. Dirinya selalu merasa tidak cukup baik dan melihat orang lain jauh lebih
baik. Selalu mencari kesalahan dan lupa menghargai diri. Merasa gambaran impian diri
selalu sulit untuk diraih dan tidak puas dengan keadaan saat ini.

Seseorang yang terjebak dalam self-loathing tidak selamanya karena memiliki self-


esteem (harga diri) yang rendah. Akan tetapi, lebih kepada tidak mampu mengenali dan
menyadari kemampuan diri yang dimiliki. Kalaupun diri tidak cukup meyakini bahwa kita
membenci diri sendiri, ada saja dorongan dari lingkungan yang membuat kita membenci
diri sendiri. Seolah-olah kita adalah bahan tawa dan candaan orang-orang di luar sana.

Self-Loathing sebagai Motivasi Mengubah Diri

Hampir setiap orang pernah merasa kurang baik dan tidak puas dengan keadaan
sekarang. Hingga akhirnya, muncul rasa tidak suka dan seolah memarahi diri karena
menjadi tidak cukup baik untuk saat ini. Pernyataan seperti,
“Aku terlalu gendut, tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka yang bertubuh
langsing.”
“Memang ku selalu buat kesalahan ya, gak bisa tampil dengan baik seperti dia. Gimana
ingin jadi yang terbaik kalau begini.”
“Aku memang gak pantas berhasil, ku saja tidak mengetahui apa yang sesungguhnya
ingin ku capai.”

Pernyataan di atas menjadi contoh percakapan yang bernuansa ketidaksukaan


terhadap diri sendiri. Bagi sebagian orang, percakapan seperti itu adalah cara yang
tidak sehat dan memperburuk keadaan diri. Namun, sebagian orang menilai, self-
loathing mampu memotivasi untuk mengubah diri menjadi lebih baik.

Personalistik (Ilmu Kepribadian)


      Menurut Stern, Personalistik memiliki 3 arti:
1. Personalistik adalah ilmu pengetahuan yang menjadi dasar untuk memperlajari manusia. Misalnya: ilmu
jiwa, ilmu tubuh, dan ilmu hayat.
2. Personalistik adalah ilmu pengetahuan tentang pribadi yang netral. Artinya yang tak terkena oleh perbedaan
antara tubuh dan jiwa.
3. Personalistik adalah ilmu jiwa pengalaman. Sebab segala sesuatu yang bersifat metafisis dikesampingkan.
      Dalam bukunya, Stern menjelaskan pendapatnya apa yang dimaksud Person dan Sache. Person adalah
suatu kesatuan yang dapat menentukan diri sendiri dengan merdeka dan mempunyai 2 tujuan: mengembangkan
diri dan mempertahankan diri. Jadi, sel-sel tumbuhan, binatang dan sebagainya adalah person. Sedangkan,
Sache (benda) adalah segala sesuatu yang tak dapat dipandang sebagai suatu kesatuan yang mempunyai
maksud untuk menentukan diri dengan merdeka. Sache tidak memiliki kepribadian, sebab benda hanya
kumpulan dari bagian yang masing-masing berdiri sendiri. Sache juga tidak mepunyai tujuan, sifatnya pasif,
dapat diukur, dan tergantung sama sekali oleh hukum-hukum alam.
      Meskipun demikian, antara Person dengan Sache tidak terdapat pertentangan, sebab adanya asas hierarki.
Berhubungan dengan Person dan Sache, Stern berpendapat tentang Tuhan, yaitu: Tuhan tidak mempunyai
kesadaran akan diri sendiri. Dan hubungan antara aku dan Tuhan, tak mungkin. Karena hal inilah maka ajaran
Stern itu disebut PERSONALISTISCHE PANTHEISMUS.

Mindful Listening

Mendengarkan seharusnya kita lakukan dengan sepenuh hati, penuh perhatian dan
kesadaran atau lebih dikenal dengan istilah mindful listening. Mindful listening  adalah
proses mendengarkan dengan penuh perhatian, penuh kesadaran dan tidak ada
penghakiman ketika kita berinteraksi dengan orang lain. Mendengarkan dengan ‘being
fully present’ (sepenuhnya hadir pada saat ini) mungkin masih sulit bagi sebagian
orang. Ketika kita mendengarkan orang lain, pikiran kita cenderung mengembara,
kemudian menganalisa dan dengan penuh percaya diri kita menawarkan saran, atau
menjelaskan persepsi kita sendiri tentang informasi yang diberikan. Mendengarkan
dengan penuh kesadaran dan perhatian mengharuskan kita memberi orang lain
ruang untuk berbagi tanpa ada gangguan, timpalan, koreksi, atau saran dan
nasihat yang tidak perlu. Dengan begitu, kita akan dengan mudah mengerti dan
memahami apa yang sedang orang lain rasakan, sehingga timbul rasa empati dari
dalam diri kita.

2. Mendengarkan dengan sabar dan penuh empati

Mendengarkan tidak perlu tergesa-gesa. Biarkanlah orang lain meluapkan apa yang
sedang ia rasakan. Beri sedikit jeda agar ia merasa nyaman dan tidak diburu-
buru. Hargailah mereka yang mau membuka diri terhadap kita karena
perjuangannya membuka diri itupun tidak mudah. Dengarkanlah mereka dengan
sabar dan penuh keyakinan bahwa kita mendengar untuk benar-benar memahami
mereka.

3. Mendengarkan tanpa ada penghakiman

Dalam mendengarkan terkadang kita merasa perlu memberikan penilaian


atau judgment, tetapi hal itu tidak selalu berlaku. Terkadang orang-orang yang sedang
berbicara pada kita tidak selalu menginginkan penilaian, pendapat, maupun solusi dari
kita. Mereka hanya butuh pendengar yang penuh dengan perhatian dan
empati. Mereka berharap bahwa kita sebagai pendengar memahami sudut
pandangnya terhadap sesuatu dan berempati terhadap hal itu.
Bukan mendengarkan dengan kesiapan dan bahasa tubuh untuk menimpali atau
menggurui. Sisihkan dulu ego dan arogansi yang kita punya. Perhatikan dan pahami
apa yang sedang mereka coba sampaikan, tanpa perlu penilaian dan penghakiman
pribadi.

Anda mungkin juga menyukai