Anda di halaman 1dari 9

A.

KETERAMPILAN DASAR KONSELING

Seorang konselor dibekali keterampilan dasar konseling. Keterampilan-keterampilan


ini yang harus dikuasai oleh seorang calon konselor sebelum dapat menguasai beberapa
pendekatan/teori-teori konseling lebih lanjut. Berikut 14 keterampilan dasar konseling yang
umum digunakan oleh konselor dalam melakukan proses konseling.

1.  Opening
Pada awal pertemuan konseling, Konselor membuka pertemuan dengan menciptakan
rapport (hubungan baik/hubungan yang erat antara konselor dengan konseli), menerima
dengan tulus, bersikap hangat dan memperhatikan secara mendalam. Opening dilakukan
dengan cara menanyakan topik-topik netral. Topik netral adalah topik umum, yang tidak
berkenaan dengan masalah klien, seperti identitas klien (contohnya: nama, alamat, keluarga,
asal daerah), kesukaan/hobi, berita-berita aktual di televisi atau di media cetak.Tujuan dari
keterampilan opening adalah klien dapat percaya pada konselornya, konselor dapat
menghangatkan suasana karena bisa jadi klien takut atau grogi ketika menemui konselor.
Opening ini juga penting untuk mengantarkan klien masuk ke dalam dunia konseling tanpa
klien menyadari hal itu, seperti ketika konselor menanyakan tentang identitas klien, ternyata
ditemukan bahwa klien mengalami masalah dengan keluarganya, masalah hubungan dengan
teman-temannya. Karena sifatnya masih umum, maka pada saat opening, diupayakan dahulu
terbangun kepercayaan dan hubungan yang baik antara konselor dengan klien, tidak masuk
pada bagian-bagian yang detail, yang menyangkut permasalahan klien secara langsung.
Contoh Opening :
Verbal :
“Senang sekali saya bisa bertemu dengan saudara pagi ini”, “Siapa nama Saudara?”,
“Bagaimana kabar saudara hari ini?”, “Berapa jumlah saudara Anda?”, “Apakah Anda
melihat televisi pagi ini, Apa berita yang paling Anda?”
Non Verbal : Tersenyum, Gerak tangan mempersilahkan masuk/mempersilahkan
duduk, menjabat tangan klien.

2.  Acceptance
Keterampilan Acceptance berarti konselor dapat menerima klien apa adanya
walaupun tidak berarti menyetujuinya. Menurut Carl Rogers, kondisi ini disebut pula dengan
Uncondition Positive Regard, yaitu menerima/menghargai tanpa syarat atau tanpa berbuat
baik terlebih dahulu. Konselor menerima klien tanpa melihat status klien, kondisi sosial
ekonomi klien, permasalahan klien, perbuatan baik/buruk klien. Kesalahan yang sering
dilakukan oleh kebanyakan orang adalah ketika seseorang mencurahkan apa yang telah
dilakukan dan hal tersebut buruk menurut pandangan moral masyarakat dan agama, secara
langsung kita lalu menyalahkannya. Hal ini tidak boleh terjadi pada konselor yang telah
dibekali keterampilan acceptance, artinya konselor menerima apapun yang telah dilakukan
oleh klien di masa lalunya, tetapi bukan berarti perlakuan tersebut membenarkan perbuatan
negative yang telah dilakukan oleh klien. Acceptance dapat dilakukan secara verbal dan non
verbal :
Contoh :
Non Verbal :
Menganggukan Kepala,
“hem…hem…”
Verbal :
“Saya mengerti apa yang Anda katakan”
“Saya dapat memahami apa yang Anda rasakan.”
“Saya bisa merasakan apa yang Anda rasakan.”
“Berada di posisi Anda saat ini pasti cukup sulit ya.”
“Saya bisa mengikuti jalan pikiranmu.”

3.  Restatement
Konselor mengulangi sebagian atau seluruh pernyataan klien, tidak menambah atau
mengurangi maknanya. Setiap klien menceritakan masalahnya (setiap bagian topik),
sebaiknya langsung di restatement. Jadi tidak menunggu klien selesai bercerita. Karena
konselor tidak dimungkinkan untuk menulis, dan tidak mungkin konselor mengingat semua
perkataan klien. Restatement sebagai bagian inti dari penyataan klien.

4. Reflection of Feeling
Konselor menyatakan perasaan atau sikap yang ada di balik pernyataan klien. Kata-
kata perasaan yang sesuai dengan perasaan klien sebenarnya tidak terlalu dalam atau terlalu
lemah. Maksud dari teknik ini adalah dari teknik ini adalah untuk memantulkan perasaan
yang tersembunyi sehingga menjadi eksplisit dan jelas bagi klien.
Keterampilan ini menjadi penting bagi konselor karena:
a. Klien bisa jadi tidak memahami apa yang dirasakannya yang menjadi pantulan atas
permasalahannya yang dialami, sehingga konselor perlu memberitahukan kepada klien
bagaimana dan apa yang sebetulnya apa dirasakan klien. Seperti sedih, kecewa, marah,
kesal, bimbang, bingung, gundah.
b. Konselor pada saat itu melakukan interpretasi atas perasaan klien, bisa jadi interpretasi
konselor berbeda dengan kondisi yang dialami klien. Dengan melakukan refleksi,
konselor dan klien memahami apa yang dirasakan oleh klien.
Biasanya keterampilan ini diawali dengan kata-kata seperti berikut :
Agaknya…, Nada-nadanya…., agak….merasa…, ….merasa, barangkali…, kelihatannya…,
mungkin…, Kayaknya…, Bisa jadi…., Boleh jadi…., Kalau tidak salah…, kalau saya boleh
menafsirkan perasaan Anda…tampaknya Anda sedang mengalami…, Tampaknya…,
kedengarannya…., menurut perasaan saya…, menurut kata hati Saya…., Menurut saya….,
Menurut perasaan saya…, Rupa-rupanya…, Apakah anda sedang merasakan…., Dari cerita
Anda, sepertinya Anda merasa…, kelihatan dari ekspresi bahasa Tubuh Anda mengalami
perasaan…, Dari kacamata saya, saya melihat Anda seperti…, Mungkinkah Anda merasa…,
Perasaan…yang Anda rasakan sekarang,
Penting bagi seorang konselor untuk menggunakan variasi kata dan mencatat kata-
kata baru sebanyak-banyaknya, agar dalam proses konseling ketika merefleksikan perasaan
klien tidak monoton menggunakan kata-kata itu-itu saja.

5. Clarification
Konselor menangkap makna isi dari pernyataan klien. Selanjutnya, konselor
menyatakan kembali pernyataan klien tersebut. Namun dengan pernyataan baru yang lebih
segar dan berbeda dari pernyataan sebelumnya tetapi dengan substansi yang sama. Klarifikasi
biasanya diawali dengan kata-kata seperti :
Singkatnya…, dengan kata lain…, Itu berarti bahwa Anda…, Bisa dikatakan…,
Kesimpulannya…, Jika saya boleh menyimpulkan…, Intinya…, kalau begitu…, Jika
demikian….

6. Structuring
Konseling merupakan pembicaraan yang memiliki arah tujuan tertentu, bukan
pembicaraan biasa. Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus diatur menyangkut waktu,
topik, problem dan perbuatan.
Ada 4 macam Structuring ;

a. Structuring Time Limit


Waktu konseling diatur setiap pertemuan sekitar 45-60 menit. Aturan waktu perlu
dinyatakan di hadapan klien agar ia mau memanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya.
Time limit dapat digunakan diawal dan diakhir.
Time Limit diawal pertemuan biasanya digunakan konselor apabila konselor memiliki
waktu konseling kurang dari waktu ideal (45-60 menit). Oleh karena itu konselor dapat
menawarkan kepada klien apakah klien mau melanjutkan proses konseling dengan waktu
yang terbatas atau melakukan konseling di waktu lain yang memungkinkan waktu ideal.
Time Limit diakhir pertemuan dilakukan apabila waktu konseling telah mendekati akhir dari
waktu ideal (60 menit), pembicaraan konseling lebih dari waktu ideal, dapat menyebabkan
proses konseling menjadi tidak fokus sehingga perlu diakhiri.
Time Limit diakhir pertemuan dapat dilakukan dengan dua cara baik verbal maupun
non verbal:
Contohnya :
1) verbal: “Tampaknya kita sudah lama sekali melakukan pembicaraan ini, apa yang bisa
saudara simpulkan diakhir pertemuan kita hari ini?”
2) Non verbal : dengan melihat jam tangan, jam dinding, menata buku, melakukan gerakan-
gerakan yang tidak biasa, mengangkat kedua tangan seperti pada saat bangun tidur,

b. Structuring Topic Limit/Problem Limit


Isi pembahasan selama konseling dibatasi pada topik-topik tertentu atau membahas
permasalahan tertentu. Tujuan dari keterampilan ini adalah agar klien dapat memahami
permasalahan apa saja yang dia hadapi saat ini dan proses konseling focus pada pemecahan
masalah klien, tidak melebar pada hal-hal yang kurang ada hubungannya dengan
permasalahan klien.
Contoh : “setelah saya mendengar ceritamu tadi saya menangkap masalah yang Anda hadapi
tidak hanya satu, coba kemukakan ada berapa masalah yang Anda hadapi?”
Jika Konselor merasa ada masalah yang belum dikemukakan klien, maka konselor
bertanya dengan mengatakan, “Kelihatannya masih ada lagi?”, jika klien benar-benar tidak
tahu baru konselor yang meberitahukannya.

c. Structuring Action Limit


Selama proses konseling, perbuatan klien dibatasi apa-apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan. Konselor membatasi perbuatan klien yang tidak normative (norma moral, hukum
atau agama)
Contoh : Ada dua orang klien yang sedang bertengkar, lalu mereka memutuskan untuk ke
ruang konseling. Dalam keadaan tersebut konselor sebaiknya menyuruh klien duduk,
mencarikan minum, diam sejenak dengan duduk dipisahkan, lalu dimulailah proses konseling
apabila klien sudah dalam keadaan tenang. Sulit bagi konselor untuk memaksakan proses
konseling berlangsung dalam kondisi yang tidak tepat.

d. Structuring Role Limit


Menjelaskan tentang peran konselor dan Klien pada sesi/selama dan sesudah proses
konseling. Konselor menjelaskan kode etik konseling, sementara klien diminta partisipasinya
dalam proses konseling.
Keterampilan ini digunakan terutama apabila klien diam karena mengalami resistensi
pada konselornya, Jika begitu Konselor lebih dahulu menggunakan keterampilan Silence
kemudian Structuring Role Limit.
Contoh : “Saudara, dalam melakukan proses konseling ini saya diikat oleh kode etik.
Percayalah pada saya, Saya akan menjaga rahasia Anda. Saya tidak dapat membantu Anda
apabila Anda tidak mau berbicara.”

7. Lead
Secara bahasa, Lead berarti memimpin/mengarahkan. Di dalam konseling cara untuk
memimpin atau mengarahkan klien dan proses konseling menggunakan pertanyaan.
Lead/Bertanya merupakan keterampilan yang ditampilkan konselor dengan harapan klien
dapat berbicara lebih bebas dan terbuka.
Lead dapat terbagi menjadi 2 yaitu.
a. Pertanyaan Tertutup merupakan pertanyaan yang hanya perlu dijawab dengan kalimat
pendek, misalnya Siapa yang terlibat? Atau Apakah masalahnya? Atau jawaban “iya”
atau “tidak”.
b. Pertanyaan terbuka Pertanyaan terbuka dapat mendorong klie menjelaskan atau memebri
informasi yang maksimal. Biasanya pertanyaan terbuka diawali dengan pertanyaaan
bagaimana, mengapa, apa saja, atau dapatkah.
Agar konselor dapat memperoleh banyak informasi dan data tentang diri klien.
Konselor dapat mendorong klien untuk berbicara lebih banyak dengan mengungkapkan,
contoh :
Coba ceritakan…, kalau saya boleh tahu…., Bisakah Anda menceritakan…, Coba
kemukakan…, Coba ungkapkan…, Coba jelaskan kepada saya…, menurut Anda….
Sebaiknya dalam proses konseling Konselor lebih sering menggunakan Pertanyaan
terbuka, dan bukan pertanyaan tertutup. Jika konselor terlalu banyak menggunakan
pertanyaan tertutup dapat mengakibatkan konselor kehabisan pertanyaan, sementara data
yang diperoleh kurang maksimal.

8. Reassurance
Reassurance merupakan listening response, atau respon yang diungkapkan oleh
konselor pada saat klien berbicara/bercerita. Melalui keterampilan ini, konselor mendukung
apa yang dikatakan oleh klien atau dengan bahasa lain konselor memberikan reinforcement
(penguatan) pada diri klien.
Reassurance dibagi menjadi 3, yaitu :

a. Prediction Reassurance
Ketika klien menyatakan bahwa ia akan melakukan suatu rencana tindakan yang
positif, maka konselor dapat mendukung pernyataan klien tersebut atau memberikan suatu
keyakinan bahwa ia bisa melakukan tindakan tersebut.
Contoh : “Bagus, saya yakin Anda sukses.”, “Anda pasti bisa”, “Itu rencana yang bagus
sekali, Anda pasti bisa melakukannya.”

b. Postdiction Reassurance
Semula klien merasa takut untuk menghadapi sesuatu, tetapi dengan keberaniannya
ternyata ia berhasil juga menyelesaikan tugas yang selama ini dia takutkan. Keterampilan ini
memberikan penguatan pada diri klien saat ini, yang semula ragu atas ketidakyakinan dirinya
untuk mengulangi melakukan sesuatu hal, yang sebenarnya di masa lalu ia pernah berhasil
melakukannya.
Contoh : “Tuh kan, buktinya Anda bisa melakukannya, Coba Anda lakukan sekali lagi. Anda
pasti bisa.”

c. Factual Reassurance
Pada saat klien mengalami musibah, misalnya, Konselor dapat membantu
meringankan beban klien dengan memberikan dukungan factual bahwa apa yang dialami
klien juga dapat dialami oleh orang lain dan merasakan seperti apa yang dirasakan klien saat
ini.
Contoh : “Saya dapat memahami apa yang Anda rasakan saat ini, sebenarnya Saya juga
pernah mengalami apa yang Anda alami itu. Kuatkan diri Anda, Anda pasti bisa melaluinya.”

9. Silence
Teknik silence digunakan konselor ketika klien pun sedang diam. Klien menjadi diam
dalam suatu percakapan, disebabkan :
a. Klien kehabisan energi untuk melanjutkan pembicaraan.
b. Klien tidak tahu apa yang harus diungkapkan berikutnya.
c. Klien mengalami resistensi (keraguan/ketidakpercayaan pada konselornya).
Menghadapi klien seperti ini, konselor pun seharusnya ikut diam sejenak untuk
memberi kesempatan memikirkan apa yang dilakukan kemudian. Waktu klien diam biasanya
sekitar 1-2 menit, setelah itu pada umumnya klien akan merasa terganggu dengan adanya
konselor yang juga diam, sehingga klien akan terdorong untuk berbicara kembali.

10. Advice
Keterampilan ini merupakan keterampilan untuk memberi nasehat kepada klien agar
klien menjadi jelas/lebih pasti tentang apa yang hendak ia lakukan. Keterampilan ini
merupakan keterampilan yang paling akhir (senjata mutakhir), yang sebaiknya dikeluarkan
pada saat akhir, dan tidak perlu diberikan pada klien apabila klien dirasa tidak memerlukan.
Dalam penggunaannya, keterampilan ini ada 3 tingkatan :
a. Alternatif Advice (Explanatory Advice)
Keterampilan ini diberikan apabila klien tahu kelebihan dan kekurangan setiap
alternative pilihan. Konselor meminta pada klien dengan mempertimbangkan untung ruginya
dalam setiap keputusan yang akan diambil.

b. Persuasive Advice
Keterampilan ini diberikan apabila klien mengetahui sedikit kelebihan dan kelemahan
dari setiap pilihan. Konselor mengajak/menawarkan kepada klien untuk memilih alternative
pilihan yang paling baik.

c. Direct Advice
Apabila klien tidak tahu sama sekali tentang pilihan yang seharusnya ia ambil/tidak
tahu apa yang akan dilakukannya, maka konselor meberikan nasehat secara langsung kepada
klien.

11. Confrontation
Keterampilan ini digunakan untuk menunjukkan kesenjangan yang membuat klien
menjadi mandeg (tidak berkembang). Konselor menghadapi klien yang plin-plan atau tidak
konsisten, kurang jujur pada diri sendiri atau pada konselor.
Kesenjangan itu adalah :
a. Antara dua pernyataan (menyatakan hal yang berbeda dalam satu sesi).
b. Antara apa yang dikatakan dan dilakukan.
c. Antara pernyataan dengan tingkah laku non verbal (apa yang dikatakan berbeda dengan
bahasa tubuhnya)
d. Antara pernyataan dengan konteks/situasi yang sebenarnya terjadi.
e. Antara pernyataannya dengan pernyataan orang lain (dua/lebih dari dua orang)
Respon konselor berbentuk konflik :
“Di satu sisi…., tetapi di sisi lain…”

12. Rejection
Konselor melarang klien secara tersamar (lunak/halus), atau secara langsung (keras),
apabila :
a. Klien melakukan sesuatu yang membahayakan/merugikan dirinya.
b. Klien mengungkapkan suatu kata-kata yang tidak sopan
c. Klien berencana melakukan sesuatu yang akan membahayakan atau merugikan dirinya,
mengambil keputusan yang salah secara normatif, (moral hukum dan agama)
Contoh :
Lunak : “Coba pikirkan dua, tiga kali lagi….”
Keras : “Jangan, jangan kau lakukan….”

13. Summary
Konselor/klien membuat simpulan dalam proses dalam proses konseling.

a. Summary bagian.
Simpulan tentang suatu data/seeklompok data dalam suatu proses konseling. Contoh :
“sementara ini…,” “sejauh ini…”

b. Summary akhir.
Simpulan akhir untuk mengakhiri proses konseling.
Contoh :
“Kita sudah berbicara banyak sejauh ini, apa yang bisa Anda simpulkan dari pertemuan kali
ini?”
“Kalau Anda bisa menyimpulkan, kesimpulannya bagaimana pada pertemuan hari ini?”

14. Termination
Mengakhiri konseling untuk maksud dilanjutkan pada pertemuan berikutnya atau
memang sudah benar-benar berakhir.
Cara :
a. Time Limit (Berpedoman pada batas waktu ideal 45-60 menit).
b. Gunakan Summary akhir.
c. Mengacu pada pertemuan yang akan dating (Kapan, dimana, topik yang akan dibahas)

Anda mungkin juga menyukai