Anda di halaman 1dari 9

Keterampilan Mempersonalisasi Atas Problematika

(Faciliting Helpee Understanding)

Oleh:
Azka Faila Shofa
(23080200024)

A. Keterampilan Dasar Konseling


Menurut Suwandi, dkk (2015), bahwa dalam mengupayakan terciptanya tujuan
konseling, maka konselor wajib menguasai beberapa keterampilan dasar tentang
pelaksanaan konseling, yaitu:
a. 3-M dalam konseling (mendengar dan memperhatikan, memahami, dan
merespon secara tepat dan positif). Keterampilan dasar tersebut dalam hubungan
konseling berkenaan dengan 3-M yaitu sebagai berikut:
1. Mendengar dan memperhatikan, dalam kegiatan mendengar ini hendaknya
konselor lebih banyak diam dan menggunakan semua inderanya untuk
menangkap semua pesan serta memberikan dorongan minimal. Dalam suasana
ini konselor bersedia berempati, konselor membuktikan diri bahwa dia benar-
benar mendengar, mengerti dan menerima segala sesuatu yang telah dikatakan
oleh klien kedepannya”.
2. Memahami, dalam hal ini, konselor memahami apa yang didengar dan
dikatakan oleh konseli serta mampu mengkomunikasikan pemahaman konselor
itu kepada konseli. Suwandi dkk (2014) bahwa konselor hendaknya
mempercayai pemahamannya sendiri tentang diri konseli dan tentang apa yang
sedang berlangsung, dan perlu berhati-hati untuk tidak menfsirkan apa yang
diceritakan konseli menurut pikiran konselor saja
3. Merespon secara tepat, positif dan dinamis, artinya dalam memberikan
tanggapan hendaknya secara tepat direspon permasalahan yang dialami konseli.
Memberikan tanggapan positif kepada konseli sehingga konseli merasa ada
yang memahami dan mau membantunya. Dinamis artinya adanya kemajuan
kearah yang lebih baik. Tanggapan tersebut memberikan kemajuan dalam
pengentasan masalah konseli. Dalam merespon konseli, konselor perlu
memperhatikan hal-hal seperti kalimat singkat, dan jelas. Artinya mengena
kepada yang disampaikan konseli, bahasanya tidak tumpang tindih. Misalnya:
“Anda sedih hari ini”; bahasa harus jelas, tidak boleh campur aduk, dan
dipahami dengan baik oleh konseli; bermakna. Tanggapan yang diberikan harus
memiliki makna bagi konseli; tidak menggunakan kata tetapi dan namun. Jika
konselor menggunakan kata tetapi dan namun dikhawatirkan bisa mendorong
konseli untuk bereaksi mempertahankan diri.
Selain keterampilan diatas, menurut Suwandi, dkk (2015) konselor juga harus
menguasai beberapa keterampilan dasar konseling sebagai berikut: Penjelajahan
masalah dalam konseling Berikut yang harus diperhatikan dalam penjelajahan masalah
antara lain:
a. Pertanyaan terbuka, yaitu pertanyaan yang menghendaki jawaban yang
panjang, lengkap, tanpa batas untuk mendapatkan informasi. Pertanyaan
terbuka juga merupakan pertanyaan yang memungkinkan konseli
memberikan jawaban yang panjang dan luas.
b. Keruntutan, yaitu dalam konseling, konselor perlu memahami apa yang
konseli katakan dan mampu mengkomunikasikan pemahaman konselor itu
kepada konseli. Untuk dapat melakukan hal tersebut konselor harus
mengikuti pokok pembicaraan konseli. Konselor berusaha untuk
memusatkan perhatiannya pada apa yang dikatakan oleh konseli, tidak
menyimpangkan atau membelok-belokkan arah pembicaraan konseli, atau
menambah-nambah pengertian lain terhadap isi pembicaraan selain yang
dimaksud oleh konseli. Kerap kali dijumpai dalam proses konseling
pembicaraan klienkonselor menjadi menyimpang dan kehilangan arah
sehingga pokok pembicaraan menjadi “kabur”, tidak jelas, dan
mengambang. Untuk mengatasi hal tersebut, konselor dalam pembicaraan
harus “Tuntut” Keruntutan dalam konseling membawa proses konseling
menjadi terarah (jelas apa yang sedang dibicarakan) hingga pada akhirnya
sampai pada titik temu permasalahan yang dialami oleh konseli. Keruntutan
juga mendorong semakin dalamnya proses penggalian masalah dalam diri
konseli, mengembangkan pembicaraan dan memelihara fokus konselor-
klien dalam membicarakan materi/pokok masalah konseli.
c. Konfrontasi, yaitu mempertentangkan dua hal yang berbeda. Seringkali
konseli tidak menyadari ada berbagai pertentangan dalam dirinya baik itu
menyangkut dengan perkataannya, perilakunya dan sikapnya. Ada konseli
yang memiliki keinginan tertentu, namun dia tidak melakukan kegiatan
yang mengarahkan pada pencapaian keinginan tersebut. Ada konseli yang
tidak konsisten dalam arti berbeda tentang apa yang dinyatakan dulu dengan
sekarang. Juga ada konseli yang cenderung mempertahankan diri terhadap
kekeliruan yang dilakukannya, sementara dia ingin menjadi baik. Kondisi
yang semacam inilah yang perlu dikonfontasikan oleh konselor.
d. Refleksi, yaitu salah satu tugas konselor ialah sebagai reflektor bagi
konselinya. Dengan demikian konselor perlu memahami bagaimana dia
menjadi yang baik. Ini dapat memberikan kesan pada konseli bahwa
konselor benar-benar mamahami dan mengerti dengan tepat masalah yang
dihadapi oleh konseli, serta menerima konseli apa adanya. Memantulkan
ungkapan konseli melalui refleksi dapat dirumuskan oleh konselor dengan
menggunakan kata-kata sendiri atau menggunakan kata-kata atau kalimat
yang sebelumnya telah diungkapkan konseli.
e. Suasana Diam, yaitu orang yang diam bisa berarti sedang mengalami
kebingungan, bisa juga sedang memikirkan sesua dalam proses konseling,
dapat terjadi bahwa konseli dan konselor sama-sama terdiam. Keadaan ini
dapat terjadi misalnya Setelah konselor melakukan konfrontasi kepada
konseli. Lamanya suasana diam tergantung kepada keadaan. Sebaiknya
suasana diam berlangsung tidak terlalu lama, yaitu antara 15 30 detik. Untuk
dapat menggunakan suasana diam secara efektif, tergantung kepada manfaat
dan makna yang ada dalam diamnya konseli. Misalnya, konseli merasa sulit
mengungkapkan perasaannya, malu dan gelisah untuk berbicara, enggan
menjalani konseling atau bingung dan mengharapkan sesuatu dari konselor
atau mungkin juga lega setelah mengungkapkan perasaannya.
f. Kontak Psikologis (Empati), yaitu kontak psikologis merupakan
keikutsertaan konselor untuk menjadi dan merasakan suasana yang ada
dalam diri konseli sehingga terasa ada kaitan antara hubungan atau
sambungan jiwa antara konselor-konseli. Kontak psikologis dapat dirasakan
oleh konseli apabila konselor benar-benar memahami masalah konseli. Agar
konselor dapat mengadakan kontak psikologis, perlu terlebih dahulu
menerapkan kemampuan mendengarkan, memahami dan merespon masalah
konseli secara baik. Konselor dituntut dapat memahami masalah konseli
secara untuk dan menyeluruh serta dapat mengikuti pembicaraan konseli
secara baik. Kontak psikologis biasanya bersifat lebih mendalam,
menyangkut dengan aspek psikologis dan wujud dari kontak psikologis
adalah empati. Empati adalah salah satu kemampuan dasar yang harus
dikembangkan konselor dalam setiap melakukan kegiatan konseling.
Empati didefinisikan sebagai kondisi maksimal dinamik yang dimana
seseorang (konselor) ikut merasakan atau memikirkan apa yang dirasakan
atau dipikirkan oleh orang lain (konseli).
B. Macam-Macam Keterampilan Konseling
Gibson dan Mitchell (1995:150) menyebutkan ada empat keterampilan dasar konseling
yakni keterampilan komunikasi, keterampilan diagnostik, keterampilan memotivasi
dan keterampilan manajemen. a. Keterampilan Komunikasi Keterampilan komunikasi
terdiri atas dua yakni keterampilan komunikasi nonverbal dan keterampilan komunikasi
verbal. b. Keterampilan Diagnostik Keterampilan ini mensyaratkan konselor terampil
dalam mendiagnosa dan memahami konseli, memperhatikan konseli, dan pengaruh
lingkungan yang relevan. Konselor harus terampil dalam menggunakan pengukuran
psikologi terstandar dan teknik non standar untuk mendiagnosa konseli. c.
Keterampilan Memotivasi Tujuan konseling biasanya untuk membantu perubahan
perilaku dan sikap konseli. Untuk memenuhi tujuan ini, seorang konselor harus
mempunyai keterampilan memotivasi konseli. d. Keterampilan Manajemen Yang
termasuk keterampilan manajemen adalah perhatian terhadap lingkungan dan
pengaturan fisik, pengaturan waktu, mengatur proses membantu konseli bahagia,
mengatur kontribusi konselor dalam proses konseling, mengenali dan bekerja dalam
keprofesionalan seorang konselor.

C. Konsep Personalisasi
Personalisasi adalah dimensi yang lebih kritikal bagi perubahan klien. Dikatakan
kritikal, karena ia menekankan peragasukmaan tanggung jawab klien akan masalah-
masalahnya; dan mencakup arah di balik materi yangdiekspresikannya. Manakala
konselor mengatakan lagi secara akurat kepada ekspresi-ekspresi klien, ia memudahkan
pemahaman klien akan dimana dirinya berada sekaitan dengan keinginan dan
kebutuhannya. Personalisasi mencakup personalisasi makna atau implikasi-implikasi
dari tanggapan terhadap makna.Personalisasi menekankan peragasukmaan tanggung
jawab bagi kekurangan-kekurangan tanggapan klien. Personalisasi mengarah langsung
kepada tujuan yang dinyatakan secara tidak langsung melalui kekurangan (deficit); juga
mengembalikan perasaan-perasaan baru menjadi makna. Masalah-masalah dan tujuan-
tujuan yang dipribadikan. Personalisasi memudahkan dan menyiapkan klien
berprakarsa untuk bertindak. Sebelum bergerak kearah personalisasi, konselor
menetapkan suatu dasar komunikasi.
Penanggapan yang dapat dipertukarkan terhadap ekspresi-ekspresi klien
menentukan bahwa konselor memahami setiap ekspresi klien pada level yang
ditampilkannya. Ketika konselor menghasilkan tanggapan yang memasukkan secara
akurat perasaan dan makna yang diekspresikan oleh klien, koselor menyatakan bahwa
dirinya memiliki penentuan suatu dasar komunikasi yang dapat dipertukarkan. Dalam
menentukan suatu dasar komunikasi yang dapat dipertukarkan, konselor mungkin
mendapatkan jalan yang berguna sekali untuk menjawab pertanyaan yang tentu mengisi
”kekosongan” dalam pemahamannya. Di dalam batasan dimensi respek, konselor
mengkomunikasikan penghargaan positif yang meningkatkan aset-aset yang
didemontrasikan klien. Hal ini akan berguna untuk memperkuat perilaku-perilaku
konstruktif klien. Dalam berhubungan, konselor hendaknya meningkatkan ketulusan.
Konselor datang untuk mengetahui klien,dapat bertukar secara tentatif, mempelajari
umpan balik yang diperoleh dari klien sebagai pertanda efek-efek pertukaran. Dalam
kekonkretan, konselor menjadi lebih khusus, ia meningkatkan penelaahannya untuk
menegaskan masalah-masalah dan tujuan-tujuan klien.1
D. Jenis dan Langkah Personalisasi
Carkhuff (1985) mengajukan tiga jenis langkah personalisasi, yakni personalisasi
makna (personalizing meaning), masalah-masalah (personalizing problems), dan
tujuan-tujuan (personalizing goals). Ajuan ini didasarkan atas tiga pertanyaan,
manakala konselor mulai memikirkan tentang personalisasi, yakni:
1. Bagaimana Anda mengetahui saat orang mempertunjukkan bahwa mereka
memahami benar keberartian akan suatu pengalaman penting dalam hidup
Anda?;
2. Bagaimana Anda mengetahui kala seseorang telah menduga sesuatu dengan
tepat dari apa yang Anda katakan?
3. Bagaimana Anda mengetahui ketika seseorang telah dibantu Anda
mengidentifikasi masalah-masalah dan tujuantujuan dalam kehidupan Anda?

1
Dahlan, M.D. (1987), Latihan Keterampilan Konseling; Seni Memberikan
Bantuan, Bandung: C.V Diponegoro.
Secara umum pengertian personalisasi atau personalizing mempersonalisasikan adalah
menumbuhkan pada konseli segala peristiwa, pengalaman yang terjadi di luar dirinya
menjadi sesuatu yang ada dalam dirinya. Dengan demikian diharapkan konseli
memahami kedudukan dirinya dan kebutuhan yang ingin dicapainya. Sedangkan
personalisasi makna atau arti personalisasi makna adalah langkah pertama ke arah
memudahkan pemahaman klien akan di mana dirinya berada dalam hubungan dengan
keinginan atau kebutuhannya. Konselor mempribadikan makna, saat ia
menghubungkan makna secara langsung dari pengalaman pengalaman klien. Bagi klien
personalisasi arti ditujukan untuk memahami makna pribadinya, mampu berbuat atau
berperan sesuai dengan situasi dirinya berada. Bagi konselor, personalisasi bertujuan
untuk memahami pengalaman klien yang berarti melalui pengetahuannya tentang
situasi, cara dan peranan klien dalam situasinya. Personalisasi makna meliputi tiga
tahapan yaitu pempribadian tema-tema. Mempersonalisasi makna : memungkinkan
klien mengapa pengalaman yang dialami itu penting bagi dirinya.2

2
Carkhuff, R.R. & Anthony, W.A (1979), The Skills of Helping, Amherst,
Massachusett: Human Resource Press, Inc.
E. Jenis Personalisasi
Mempersonalisasikan adalah menumbuhkan pada konseli segala peristiwa, pengalaman
yang terjadi di luar dirinya menjadi sesuatu yang ada dalam dirinya. Dengan demikian
diharapkan konseli memahami kedudukan dirinya dan kebutuhan yang ingin
dicapainya.
Contoh Personalisasi :

++ Konseli : "Saya selalu kesiangan kuliah, karena kamar mandi di asrama terbatas
sehingga antrunya lama, di jalan macet belum lagi angkotnya suka nunggu lama. Di
kelas suka kecapean sehingga tidak mudah konsentrasi"
++ Konselor : "Anda suka kesiangan kuliah karena belum dapat mengatur kebutuhan
waktu secara tepat agar tidak terburu-buru ke kelas"
++ Konseli : "Saya sering tidak mengerjakan tugas karena dosen tidak jelas
menyampaikan kapan tugas dikumpulkan, sulit memperoleh bahan dan saya tidak
punya waktu untuk bertanya kepada teman"
++ Konselor : "Anda kesulitan mengerjakan tugas karena tidak minta penjelasan kepada
dosen, dan sulit bertanya kepada teman"

• Mempersonalisasikan Implikasi
Contoh :
++ Konseli : "Saya marah sekali pada mereka. Mula-mula mereka memberi saya
kesempatan, tetapi kemudian mereka mencabutnya kembali"
++ Konselor : "Anda merasa geram karena anda merasa dikhianati"

• Mempersonalisasikan Masalah
mempersonalisasikan masalah adalah langkah untuk menuju tujuan, tindakan dan
merencanakan program pelaksanaannya. konselor mendorong konseli untuk melihat
dirinya sebagai "sumber" dari masalah. Setelah itu, kemudian mengkonseptualisasikan
kekurangan-kekurangan, mengkondisikan kekurangan-kekurangan dan
mengkondisikan kekurangan.
Contoh :
Mengkonseptualisasikan kekurangan
++ Konseli : "Saya marah sekali pada orang tua saya"
++ Konselor : "Kamu merasa orangtua membedakan, karena kamu merasa tidak seperti
kakak kamu"
Kesimpulan
Bimbingan dan konseling merupakan salah satu bagian penting dalam pelaksanaan
program pendidikan. Dalam layanan bimbingan dan konseling, konselor memiliki
peran utama dan signifikan atas keberhasilan layanan bimbingan dan konseling.
Konselor mempunyai tugas dan tanggungjawab terhadap peningkatan mutu dan
pembaharuan kompetensi konselor yang menjadi suatu bagian pasti dalam
perkembangan dan kompleksitas permasalahan yang ditangani oleh layanan bimbingan
dan konseling di sekolah. Berkembangnya informasi yang begitu pesat menjadikan
kondisi ini melahirkan karakteristik siswa yang beragam. Sebagai tenaga profesional,
konselor diharuskan memiliki kompetensi dan keterampilan konseling yang memadai
sebagai modal utama dalam memberikan layanan konseling. Untuk mewujudkan
harapan tersebut, direkomendasikan kepada konselor sekolah dalam hal ini adalah guru
Bimbingan dan Konseling agar memahami secara teoritis keterampilan-keterampilan
konseling dan mampu mengimplementasikan keterampilan-keterampilan tersebut
dalam layanan konseling individual.
DAFTAR PUSTAKA

Asmani. (2010). Panduan Efektif Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Yogyakarta:


DIVA Press.
Geldard, K. &Geldard, D. (2011). KeterampilanPraktikKonseling. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Hariastuti, dkk. (2007). Keterampilan–Keterampilan Dasar
dalam Konseling. Unesa University Press
Gibson, R.L. & Mitchell, M.H. (1995). Introduction to Guidance. New York:
Macmillan Publisher.
Hartono & Soedarmadji. (2013). Psikologi Konseling. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group Hellen (2005). Bimbingan Dan Konseling. Jakarta: Quantum Teaching.
Hibana Rahman S. (2003). Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
Holipah. (2011). The Using Of Individual Counseling Service to Improve Student’s
Learning Atitude And Habit At The Second Grade Student of SMP PGRI 6
Bandar Lampung (Journal Counseling)
Kusmaryani. (2010).Penguasaa Keterampilan Konseling Guru Pembimbing di
Yogyakarta.Jurnal kependidikan Volume 40, Nomor 2, November 2010 hal
175-188. Mahadhita. (2015). Hubungan antara Ketrampilan Dasar Konseling
(KDK) dengan Minat Siswa Mengikuti layanan konseling Individu di SMA
Negeri Godog Tahun Ajaran 2014/2015. Universitas Negeri Semarang.
(Skripsi) Prayitno, Erman Amti. (1994). Dasar-Dasar Bimbingan Dan
Konseling. Jakarta:Rineka Cipta
Yusuf, S. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Program Pasca
Sarjana Universitas Pendidikan indonesia dan Rosda.
Yusuf, S. (2009). Program Bimbingan & Konseling Di Sekolah. Bandung: Rizqi Press
Yusuf, S. (2004). Psikologi perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT.
Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai