Anda di halaman 1dari 10

PROJECT

PRAGMATIK

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Rosmawaty Harahap, M.Pd.

Oleh:

Dini Sartika Br Tarigan

Putri Damayanti

Tri Zanatiaz

PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN, 2019

1
Kesantunan Berbahasa Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Binjai
Menurut Prinsip Kesantunan Leech

Dini Sartika Br Tarigan, Putri Damayanti, Tri Zanatiaz

Universitass Negeri Medan


Medan, Indonesia
Email: dinisartika1999@gmail.com

Abstrak

Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu
masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh
perilaku sosial. Kesantunan berbahasa tecermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal
atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak
hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan
unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannnya suatu
bahasa dalam berkomunikasi.Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar
komunikasi. Oleh karena itu, pemakaian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat
sasaran, atau yang tidak menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih
tua juga merupakan ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat
Indonesia karena terbawa oleh budaya “tidak terus terang” dan menonjolkan perasaan.

Kata Kunci: Kesantunan dan Berbahasa

A. Pendahuluan
Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Manusia mempergunakan
bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi. Berbahasa berkaitan dengan pemilihan jenis kata,
lawan bicara, waktu (situasi) dan tempat (kondisi) diperkuat dengan cara pengungkapan yang
menggambarkan nilai-nilai budaya masyarakat. Dewasa ini, masyarakat sedang mengalami
perubahan menuju era globalisasi. Setiap perubahan masyarakat melahirkan konsekuensi-
konsekuensi tertentu yang berkaitan dengan nilai dan moral, termasuk pergeseran bahasa dari
bahasa santun menuju kepada bahasa yang tidak santun.

1
Berdasarkan observasi semula, ketika peneliti ketika melakukan Mini Riset di SMP
Negeri 1 Binjai. Peneliti melihat bahwa siswa masih sering menggunakan kata-kata yang kurang
santun ketika melakukan percakapan tidak saja di di luar kelas bahkan ketika berada di dalam
kelas siswa juga menggunakan kata-kata yang kurang santun. Tentu saja hal ini bukan
merupakan contoh yang baik karena ketika berada di lingkungan sekolah baik di dalam kelas
maupun di luar kelas seharusnya siswa menggunakan bahasa yang santun dalam percakapannya.
Kesantunan berbahasa terkait langsung dengan norma yang dianut oleh masyarakatnya.
Jika masyarakat menerapkan norma dan nilai secara ketat, maka berbahasa santun pun menjadi
bagian dari kebiasaan masyarakat. Dalam kaitan dengan pendidikan, maka masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai kesantunan akan menjadikan berbahasa santun sebagai bagian penting
dari proses pendidikan, khususnya pendidikan persekolahan.
Penelitian mengenai kesantunan telah banyak dilakukan antara lain: Penerapan
Kesantunan Berbahasa dalam Komunikasi Verbal dalam pengajaran bahasa bagi Guru SMP oleh
Epril Purweni, S.Pd. Dari banyaknya penelitian yang dilakukan mengenai kesantunan penulis
beranggapan bahwa penelitian mengenai kesantunan berbahasa di lingkungan sekolah sangat
menarik dan perlu untuk dilakukan.

B. Landasan Teori
1. Kesantunan Berbahasa

Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan
disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi
prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut
“tatakrama”.
Masinambouw (dalam Chaer, 1995: 172) mengatakan bahwa sistem bahasa mempunyai
fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia di dalam masyarakat, maka berarti di
dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu.
Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya ini disebut etika berbahasa atau tata
cara berbahasa.
Etika berbahasa atau disebut juga kesantunan berbahasa merupakan aturan perilaku yang
ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus

2
menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, etika berbahasa ini
antara lain akan “mengatur” (a) apa yang harus kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu
kepada seorang partisipan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat
itu; (b) ragam bahasa apa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi sosiolinguistik dan
budaya tertentu; (c) kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita, dan menyela
pembicaraan orang lain; (d) kapan kita harus diam; (e) bagaimana kualitas suara dan sikap fisik
kita di dalam berbicara itu. Seseorang baru dapat disebut pandai berbahasa kalau dia menguasai
tatacara atau etika berbahasa itu.

2. Prinsip Kesantunan Berbahasa


Kesantunan berbahasa menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya.
Kesantunan berbahasa (menurut Leech, 1986) pada hakikatnya harus memperhatikan empat
prinsip, yaitu penerapan prinsip kesantunan, penghindaran pemakaian kata tabu (taboo),
penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan penghalus, dan penggunaan pilihan kata honorifik.
Leech (dalam Rahardi 2010: 59) menyebutkan dalam suatu interaksi para pelaku
memerlukan prinsip lain selain prinsip kerja sama yaitu prinsip kesopanan ‘politeness principle’.
Prinsip kesopanan mempunyai sejumlah maksim ‘maxim’, yakni:
1. Maksim Kebijaksanaan (Text Maxim)
Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta
pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya
sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur
yang berpegang pada dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan
sebagai orang santun. Apabila didalam bertutur
orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap
dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap si mitra tutur.
2. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)
Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan
diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi
apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan
keuntungan bagi pihak lain.
3. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)

3
Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila
dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan
maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci,
atau saling merendahkan pihak yang lain.
4. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)
Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan
dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri.
5. Maksim Permufakatan (Agreement Maxim)
Maksim permufakatan sering disebut dengan maksim kecocokan. Di dalam maksim ini,
ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di
dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur
dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masingmasing dari mereka akan dapat dikatakan
bersikap santun.
6. Maksim Kesimpatisan (Sympath Maxim)
Di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan
sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah
seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Kesimpatisan terhadap
pihak lain sering ditunjukkan dengan senyuman, anggukan, gandengan tangan, dan
sebagainya.
Di dalam model kesantunan Leech (dalam Rahardi 2010: 66) setiap maksim interpersonal
itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Kelima macam
skala pengukur kesantunan Leech, yaitu Cost- benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan,
0ptionality scale atau skala pilihan, Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan, Authority
scale atau skala keotoritasan, Social distance scale atau skala jarak sosial.
Tabu berasal dari kata taboo yang dipungut dari bahasa Tonga, salah satu bahasa dari
rumpun bahasa Polinesia. Di masyarakat Tonga kata taboo merujuk pada tindakan yang dilarang
atau yang harus dihindari. Bila tindakannya saja dilarang, maka bahasa/kata-kata yang
merupakan simbol dari tindakan itu pun dilarang. Dengan demikian kita dapat mendefenisikan
“tabu” sebagai kata-kata yang tidak boleh digunakan, setidak-tidaknya, tidak dipakai di tengah-
tengah masyarakat beradap.

4
Fenomena tabu atau pemikiran yang berkaitan dengan tabu mendorong timbulnya gejala
lain, yaitu eufemisme. Kata itu berasal dari istilah euphemism; (yang berarti:) “kata atau frase
yang menggantikan satu kata tabu, atau yang digunakan sebagai upaya menghindari hal-hal yang
menakutkan dan kurang menyenangkan” Fromkin & Rodman (dalam Paul 2007: 96).
Kridaklaksana (dalam Paul 2007: 96) mendefenisikannya sebagai: “pemakai kata atau bentuk
lain untuk menghindari bentuk larangan atau tabu”.
Sedangkan penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan
menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang
mengenal tingkatan tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal. Hanya saja,
bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara
baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan.

C. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai oleh penulis, yaitu metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Metode deskriptif, yaitu metode paparan hasil temuan berdasarkan fakta yang ada atau
fenomena yang diperoleh berdasarkan data yang dikumpulkan dari lapangan. Data yang
digunakan dalam tulisan ini berasal dari hasil observasi dan rekaman di lapangan secara
langsung dalam bentuk catatan yang memuat tentang informasi, situasi serta kejadian dari
responden. Penelitian ini dilakukan pada Sabtu, 07 September 2019 di SMP Negeri 1 Binjai,
dengan sampel penelitian sebanyak 30 responden atau sekelas.
Kajian penelitian ini difokuskan pada tuturan yang dikaitkan dengan prinsip kesantunan
dari siswa/I sebagai penutur di lingkungan sekolah. Teknik analisis data dilakukan melalui
beberapa tahapan, yaitu (a): data yang diperoleh, baik melalui observasi, catatan lapangan,
maupun kuesioner diklasifikasi sesuai dengan karakteristik masing-masing data. Data
percakapan siswa/I yang berupa transkrip rekaman dikelompokkan berdasarkan percakapan di
kelas dan di luar kelas; (b) data yang telah ditranskripsikan dan dikelompokkan tersebut
dianalisis melalui analisis prinsip kesantunan yang dikembangkan oleh Leech dengan empat
tahap, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) pereduksian data, (3) penyajian data, dan (4)
penyimpulan temuan dan verifikasi.

5
D. Hasil dan Pembahasan
Pada bagian pembahasan ini, peneliti akan membahas kesantunan berbahasa siswa/I SMP
Negeri 1 Binjai di kelas maupun luar kelas. Dalam hal ini, peneliti akan membahas prinsip
kesantunan berbahasa menurut Leech.
1. Realisasi Kesantunan Berbahasa Siswa
a) Maksim Kebijaksanaan
Dari hasil penelitian ditemukan satu tuturan yang memenuhi maksim
kebijaksanaan. Adapun tuturannya “Eh.. Bia ada pulpen dua?”. Tuturan ini dinilai
memenuhi maksim kebijaksanaan karena sipenutur bersikap menghindari kata-kata
yang kurang menyenangkan mitra tuturnya ketika meminjam pulpen teman
sebangkunya. Sipenutur menggunakan kata – kata yang sopan untuk meminjam
pulpen teman sebangkunya.

b) Maksim Kedermawanan
Dari hasil penelitian ditemukan satu tuturan yang memenuhi maksim
kedermawanan, yaitu tuturan “Jadi bagi siswa yang tidak mengerjakan tugas Ibu kasih
waktu 10 menit mengerjakannya tapi tidak boleh menyontek”. Tuturan ini dituturkan
oleh guru kepada siswa yang tidak mengerjakan tugas. Guru memiliki sikap
kedermawanan kepada siswa yang tidak mengerjakan tugas sehingga memberi waktu
10 menit kepada siswa untuk mengerjakan tugas mereka. Tuturan ini dinilai santun.

c) Maksim Penghargaan
Dari hasil penelitian tidak ditemukan tuturan yang memenuhi maksim
kedermawanan. Jadi jika dinilai dari maksim kedermawanan maka tuturan yang
terjadi dalam percakapan yang diteliti tidak ada yang santun.

d) Maksim Kesederhanaan
Dari hasil penelitian ditemukan dua tuturan yang memenuhi maksim
kedermawanan. Adapun tuturan yang memenuhi maksim kesederhanaan yaitu, tuturan
“Kan enak nonton bola” dinilai memenuhi maksim kesederhanaan. Sipenutur berusaha
bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Tuturan

6
ini dinilai santun. Tuturan “Biasa-biasa aja, klo kau?” memenuhi maksim
kesederhanaan. Tuturan ini memiliki makna sipenutur bersikap rendah hati dengan cara
tidak menyombongkan dirinya di depan mitra tuturnya. Tuturan ini dinilai santun.

e) Maksim permufakatan
Dari hasil penelitian ditemukan tuturan yang memenuhi maksim permufakatan.
Adapun tuturan yang memenuhi maksim permufakatan yaitu:
1) Tuturan “Kan enak nonton bola” dinilai memenuhi skala permufakatan. Di mana
tuturan ini memiliki makna Sipenutur berusaha membina kecocokan dengan mitra
tuturnya. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun.
2) Tuturan “Eh..Bia ada pulpen dua?” dinilai memenuhi skala permufakatan. Sipenutur
meminjam pulpen kepada mitra tuturnya dengan cara berusaha membina kecocokan
dengan mitra tuturnya. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun.
3) Tuturan “Kawanilah” dinilai memenuhi maksim permufakatan. Sipenutur berusaha
bermufakat kepada mitra tuturnya untuk menemani Sipenutur ke kamar mandi.
Dengan demikian tuturan ini dinilai santun.
4) Tuturan “Bu gak boleh nyontek tapi kerja sama bolehlah Bu” dinilai memenuhi
maksim permufakatan. Tuturan ini memiliki makna Sipenutur berusaha menjalin
kecocokan dengan mitra tuturnya. Dimana penutur yang merupakan siswa berusaha
bermufakat kepada guru untuk diberi ijin menyontek. Tuturan ini dinilai santun karena
memenuhi maksim permufakatan. rmufakatan. Adapun tuturan yang memenuhi
maksim permufakatan yaitu:

f) Maksim Kesimpatisan
Dari penelitian yang dilakukan ditemukan beberapa tuturan yang memenuhi
maksim kesimpatisan. Adapun tuturan yang memenuhi maksim kesimpatisan dari
percakapan yang diteliti yaitu:
1) Tuturan “Knapa?” dalam tuturan ini dinilai memenuhi maksim kesimpatisan.
Sipenutur memiliki rasa simpati kepada mitra tuturnya sehingga menanyakan
kenapa mitra tuturnya tidak menonton bola. Dengan demikian tuturan ini dinilai
santun.

7
2) Tuturan “Ngapain rupanya” dalam tuturan ini dinilai memenuhi maksim
kesimpatisan. Sipenutur memiliki rasa simpati kepada mitra tuturnya sehingga
menanyakan apa yang dilakukan mitra tuturnya sehingga tidak menonton bola.
Dengan demikian tuturan ini dinilai santun.
3) Tuturan “Kenapa rupanya gak bermutu” dalam tuturan ini dinilai memenuhi
maksim kesimpatisan. Sipenutur memiliki rasa simpati kepada mitra tuturnya
sehingga menanyakan alasan mitra tuturnya mengatakan menonton bola bukan hal
yang bermutu. Meskipun Simitra tutur terkesan tidak simpati terhadap Sipenutur,
Sipenutur tetap berusaha menunjukan rasa simpati kepada mitra tuturnya. Dengan
demikian tuturan ini dinilai santun.
4) Tuturan “Kan enak nonton bola” dalam tuturan ini dinilai memenuhi maksim
kesimpatisan. Sipenutur memiliki rasa simpati kepada mitra tuturnya sehingga
berusaha membujuk mitra tuturnya untuk menyukai bola. Dengan demikian tuturan
ini dinilai santun.
5) Tuturan “Kau pegang apa rupanya?” dalam tuturan ini dinilai memenuhi maksim
kesimpatisan. Sipenutur memiliki rasa simpati kepada mitra tuturnya sehingga
menanyakan negara apa yang dibela oleh Simitra tutur. Dengan demikian tuturan
ini dinilai santun.
6) Tuturan “Biasa-biasa aja, klo kau?” dalam tuturan ini dinilai memenuhi maksim
kesimpatisan. Sipenutur memiliki rasa simpati kepada mitra tuturnya sehingga
bertanya kembali hasil dari ujian mitra tuturnya, setelah sebelumnya mitra tuturnya
menanyakan hasil ujian Sipenutur. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun.
7) Tuturan “Gimana kabarnya?” dalam tuturan ini dinilai memenuhi maksim
kesimpatisan. Sipenutur yang merupakan seorang guru mememiliki rasa simpati
kepada mitra tuturnya yang adalah siswa sehingga menayakan kabar dari mitra
tuturnya. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun.

g) Skala kerugian dan Keuntungan


Dari hasil penelitian tidak ditemukan tuturan yang memenuhi skala kerugian dan
keuntungan. Jadi jika dinilai dari skala kerugian dan keuntungan maka tuturan yang terjadi
dalam percakapan yang diteliti tidak ada yang santun.

8
E. Penutup
1) Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai Kesantunan Berbahasa dalam
pembelajaran bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Binjai, maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa realisasi kesantunan bahasa di SMP Negeri 1 Binjai hampir terpenuhi karena 5 maksim
terpenuhi dan 1 maksim tidak ditemukan selama penelitian itu dilakukan. Dan dari penelitian ini
dapat disimpulkan juga bahwa kebanyakan siswa/i jika berbicara dengan siwa/i lainnya selama
pembelajaran berlangsung tidak menggunakan bahasa baku atau menggunakan bahasa sehari-
hari. Begitu juga jika siswa ingin bertanya atau ingin berbicara dengan gurunya, kebanyakan
siswa/i tidak menggunakan bahasa baku.

2) Saran
1. Bagi siswa, penerapan prinsip kesantunan berbahasa perlu ditingkatkan, baik dalam
lingkungan di sekolah maupun di lingkungan masyarakat karena akan berpengaruh
dengan kebahasaan dan tingkah laku anak.
2. Bagi peneliti, penelitian tentang kesantunan berbahasa perlu ditingkatkan, karena
sangat berguna dalam proses berkomunikasi dengan orang lain terutama masalah
kesantunan berbahasa dalam berbahasa.
3. Bagi pembelajaran di sekolah, materi prinsip kesantunan berbahasa ini dapat digunakan
sebagai materi tambahan yang diimplementasikan dalam pembelajaran dan dapat
dikaitkan dalam muatan pendidikan karakter agar tuturan yang dihasilkan siswa akan
terdengar santun ketika sedang berkomunikasi dengan mitra tuturnya.

DAFTAR PUSTAKA

Cummings, Louise. 2007. Pragmatik ( sebuah Perspektif Multidisipliner). Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.
Novitasari, Ria. 2017. Wacana dan Pragmatik. Bandung: PT. Refika Aditama.
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik. Jakarta: Erlangga.
Sadapotto, Andi. Kesantunan Berbahasa Dalam Perspektif Pragmatik. 548- 555.

Anda mungkin juga menyukai

  • CBR Wacana
    CBR Wacana
    Dokumen15 halaman
    CBR Wacana
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    Belum ada peringkat
  • CBR Semiotika
    CBR Semiotika
    Dokumen36 halaman
    CBR Semiotika
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    100% (1)
  • CTH Pertanyaan
    CTH Pertanyaan
    Dokumen5 halaman
    CTH Pertanyaan
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    Belum ada peringkat
  • Bipa
    Bipa
    Dokumen7 halaman
    Bipa
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    Belum ada peringkat
  • ARTIKEL MAHDALEINA Print
    ARTIKEL MAHDALEINA Print
    Dokumen16 halaman
    ARTIKEL MAHDALEINA Print
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    Belum ada peringkat
  • Dokumen
    Dokumen
    Dokumen3 halaman
    Dokumen
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    Belum ada peringkat
  • Perubahan Makna Kelompok 7
    Perubahan Makna Kelompok 7
    Dokumen6 halaman
    Perubahan Makna Kelompok 7
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    Belum ada peringkat
  • Makalah Perubahan Makna
    Makalah Perubahan Makna
    Dokumen13 halaman
    Makalah Perubahan Makna
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    100% (1)
  • CBR Seminar
    CBR Seminar
    Dokumen10 halaman
    CBR Seminar
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    Belum ada peringkat
  • Tugas Penelitian Tindakan Kelas
    Tugas Penelitian Tindakan Kelas
    Dokumen20 halaman
    Tugas Penelitian Tindakan Kelas
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    Belum ada peringkat
  • Deskripsi KKN
    Deskripsi KKN
    Dokumen4 halaman
    Deskripsi KKN
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    Belum ada peringkat
  • LK 2 Pba Bipa
    LK 2 Pba Bipa
    Dokumen3 halaman
    LK 2 Pba Bipa
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    Belum ada peringkat
  • CJR Pragmatik
    CJR Pragmatik
    Dokumen14 halaman
    CJR Pragmatik
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    Belum ada peringkat
  • Perubahan Makna
    Perubahan Makna
    Dokumen7 halaman
    Perubahan Makna
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    Belum ada peringkat
  • CBR Wacana
    CBR Wacana
    Dokumen15 halaman
    CBR Wacana
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    0% (1)
  • Menulis Proposal Kegiatan
    Menulis Proposal Kegiatan
    Dokumen6 halaman
    Menulis Proposal Kegiatan
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    Belum ada peringkat
  • Ringkasan Buku Shalman
    Ringkasan Buku Shalman
    Dokumen5 halaman
    Ringkasan Buku Shalman
    Dini Sartika Ramlan Tarigan
    Belum ada peringkat