Teori Makna
2.1 Pendekatan-Pendekatan Terhadap Kajian Makna
Tipe pengetasan yang dipandang Davidson ini dapat ditunjukkan sebagai berikut. Kita
ingin mendefinisikan kebenaran untuk sebuah bahasa imajiner yang disebut Tipilese. Sebagai
langkah, kita dituntut untuk membuat kalimat-kalimat T Tarksi dalam sebuah metabahasa :
Kalimat-kalimat T dalam metabahasa :
“Torka dit Prama” adalah benar jika dan hanya jika hujan turun
“Spila dit frip” adalah benar jika dan hanya jika bulu ringan
Semantik kondisi kebenaran merupakan teori filosofis dan linguistic makna referensial
makna dapat dilihat lebih umum dalam berbagai disiplin di luar disiplin-disiplin filsafat dan
linguistic. Salah satu disiplin semacam ini adalah intelijensi artifisial.
2.4 Pendekatan Psikologis Terhadap Makna
Selama berabad-abad, banyak pikiran filsafat besar telah digunakan oleh pertanyaan-
pertanyaan tentang eksistensi dan bentuk representasi mental. Menurut Chomsky, kaidah-kaidah
yang menghasilkan representasi-representasi ini harus merupakan pembawaan sejak lahir jika
fakta-kfakta linguistic tertentu harus dijelaskan secara tepat.
Chomsky berpendapat bahwa tata bahasa yang diperoleh oleh anak anak itu sendiri tidak
dapat dijelaskan dengan data-data linguistic yang selalu diberikan kepada mereka- anak-anak
secara rutin memeroleh kaidah-kaidah linguistic yang tidak pernah dicontohkan oleh data-data
lingkuingan bahasa mereka.
Sejauh ini, kita telah membahas penelitian para ahli bahasa pikiran secara bersama-sama
dan telah menyelidiki asumsi sentral para ahli teori ini, bahwa pikiran tersusun dan berfungsi
menurut prinsip prinsip komputasional.
Kita telah melihat bagaimana hipotesis bahasa pikiran dan modularitas tesis pikiran
diwujudkan dalam berbagai macam bentuk dalam usulan-usulan teori relevansi Sperber dan
Wilson. Meskipun membentuk landasan teori pragmatic, usulan-usulan ini melakukannya dari
dalam kerangka kognitif.
Teori-teori sosial/pragmatic makna telah dibahas secara luas dalam teori tindak tutur,
teori implikatur, untuk menyebutkan dua contoh saja. Yang juga dibhas dalam bab tersebut
adalah sejumlah konsep pragmatic sentral, seperti dieksis dan praanggapan. Dari pembahasan
tentang teori tidak tutur dan teori implikatur dapat diketahui dengan jelas bahwa banyak teori
pragmatik kita yang diketahui dengan jelas bahwa banyak teori pragmatik.
Kajian tentang penggunaan bahasa tidak akan lengkap bila tidak dilakukan penyelidikan
tertentu terhadap bentuk penggunaan bahasa yang paling umum, yakni percakapan. Analisis
wacan percaya bahwa pengintegrasian dalam pragmatic maupun pengintegrasian pragmatic
dengan linguistic dapat dicapai dengan memperluas pinsip-prinsip teoritas dan konsep-konsep
lingustik (misalnya kaidah-kaidah) di luar tingkatan masing-masing kalimat.
BAB 3
Inferensi
3.1 Pragmatik dan Inferensi
Ada pengertian penting dimana gagasan inferensi membentuk batu pijakan bagi
pragmatik. Meskipun ciri-ciri pengkarakterisasian inferensi di atas tidak berlaku tanpa
menimbulkan berbagai persoalan pada semua fenomena pragmatic.
Dalam linguistic dan psikologi peran logika deduktif masing-masing dalam hal makna
dan penalaran merupakan sumber banyak kontroversi. Kelompok inferensi deduktif dapat
diklasifikasikan secara luas sebagai inferensi langsung, dimana kesimpulan ditarik dari satu
premis tunggal, dan inferensi menengah, dimana kesimpulan ditarik dari dua premis atau lebih.
Inferensi langsung memiliki relevansi tertentu dengan kajian pragmatic. Relevansi
inferensi ini berasal dari kesamaan structural antara jenis inferensi langsung ini dengan fenomena
pragmatic sentral interpretasi sentral.
Contoh :
Jika Sue telah terkena TB, maka Sue akan mati
Sue tidak terkena TB
: Sue tidak akan mati.
Grice memahami proses implikatur ini melalui penggunaan kata ‘argumen’ dalam
kutipan berikut dari buku berjudul ‘Logic dan Conversation’
Adanya Implikatur percakaoan harus bisa diteliti; kareena meskipun sesungguhnya
implikatur percakapan dapat dipahami secara intuitif, namun jika intuisi tidak dapat digantikan
dengan argument, implikaturnya (jika memang ada) tidak akan dapat berarti sebagai implikatur
percakapan; ia akan menjadi implikatur kovensional. (1975:50; Penekanan Tambahan).
Argumen dari kebodohan merupakan bagian integral dari mekanisme inferensial yang
digunakan untuk menemukan kembali implikatur dalam percakapan. Argumen ini
memungkinkan kita untuk menarik kesimpulan bahwa prinsip-prinsip percakapan dan maksim-
maksimnya dipatuhi atas dasar bahwa tidak ada alasan untuk percaya bahwa prinsip-prinsip da
dan maksim-maksim tersebut tidak dipenuhi.
Kerangka dasar Grice diadopsi oleh Sperber dan Wilson yang memodifikasi dan
mengembangkannya dalam berbagai cara yag penting.
Gagasan bahwaa bahasa merefleksikan atau mencerminkan isi pikiran bukanlah hal baru.
Untuk mengatasi ketidaksempurnaan yang selalu ada dalam bahasa alami, Leibniz berusaha
mengembangkan satu bahasa ideal yakni karakteristik universal, dimana kompleksitas konsep-
konsep manusia yang penuh tersebut dapat diwakili secara sempurna.
Demikianlah luasnya dominasi pendekatan modul pikiran yang mulai ditentang secara
serius oleh beberapa ahli teori. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila pada beberapa
kesempatan ketika pragmatic dan modularitas telah diselidiki secara bersama-sama, para ahli
teori sudah memperkirakan kemampuan untuk mempertahankan diri bagi pendekatan modul
tersebut