Anda di halaman 1dari 40

TUGAS MANDIRI

MEMBUAT KAJIAN TEORI

ANEMIA DALAM TINJAUAN TEORI KEPERAWATAN


VIRGINIA HENDERSON

Oleh:

Mamahuhu
210301522000
Kelas A

PROGRAM STUDI ILMU GIZI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2023
DAFTAR ISI

Halaman

A. Sejarah dan Konsep Teori Kebenaran Pragmatik, 1


1. Sejarah Teori Kebenaran Pragmatik,1
2. Tindak Tutur, 1
3. Aspek-aspek Situasi Ujar, 3
4. B. Faktor Peristiwa Tindak Tutur, 4
5. Setting and Scene, 4
6. Participants, 4
7. Ends, 5
8. Act sequence, 5
9. Key, 5
10. Instrumentalities, 5
11. Norm of Interaction and Interpretation, 5
12. Genre, 5
C. Teori Kebenaran Pragmatik Charles Pierce, 6
1. 'Kebenaran Akhir dari Penyelidikan, 6
2. Entitas Pencari Kebenaran, 7
D. Teori Kebenaran Pragmatik William James, Agama , Iman, dan
Humanisme, 11
1. Konfirmasi Peristilahan (Konseptualisasi), 11
2. Metode Meliorisme, 13
3. Teori Kebenaran, 14
4. Metafisika dan Epistemologi, 15
5. Humanisme dan Kehidupan Moral, 16
6. Agama dan Iman, 17
E. Teori Kebenaran Pragmatik John Dewey, 18
1. Kebenaran dan Penyelidikan Ilmiah, 18
2. Produk Penyelidikan Terkontrol, 20
F. Teori Kebenaran Neo Pragmatik, 22
1. Filsafat Kontemporer yang Terabaikan, 22
2. Teori Kehendak Bebas dan Determinis, 23
3. Gagasan Korespondensi, 25
4. Pengumpulan Kebenaran, 26
5. Fertilisasi Silang, 30

DAFTAR REFERENSI, 34
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1. Tabel IPA, 7


DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1. Trapesium Sumber Letupan, 8


KONSEP DAN TEORI KEBENARAN PRAGMATIK

A. Sejarah dan Konsep Teori Kebenaran Pragmatik


1. Sejarah Teori Kebenaran Pragmatik
Sejarah teori kebenaran pragmatis terkait dengan sejarah
pragmatisme klasik Amerika. Menurut catatan standar, CS Pierce
mendapat pujian karena pertama kali mengusulkan teori kebenaran
pragmatis, William James bertanggung jawab untuk mempopulerkan teori
pragmatis, dan John Dewey kemudian membingkai ulang kebenaran
dalam hal ketegasan yang lebih khusus lagi (John Dewey, 2016). Pierce
diasosiasikan dengan gagasan bahwa keyakinan yang benar adalah
keyakinan yang akan bertahan di masa depan; James dengan gagasan
bahwa kepercayaan yang benar dapat diandalkan dan berguna; Dewey
dengan gagasan bahwa kebenaran adalah milik klaim yang diverifikasi
dengan baik ‘penilaian’ (Charles Sanders Jan Hendrik Rapar, 2002).
Pragmatik sebagai salah satu bidang ilmu linguistik,
mengkhususkan pengkajian pada kaitan antara bahasa dan konteks
tuturan. Berkaitan dengan itu, Mey mendefinisikan pragmatik bahwa
‘pragmatics is the study of the conditions of human language uses as there
determined by the context of society’, ‘pragmatik adalah studi mengenai
kondisikondisi penggunaan bahasa manusia yang ditentukan oleh konteks
masyarakat (Rahardi Kunjana, 2013).
Salah satu bidang pragmatik yang menonjol adalah tindak tutur.
Pragmatik dan tindak tutur mempunyai kaitan yang erat. Hal itu terlihat
pada bidang kajiannya. Secara garis besar antara tindak tutur dengan
pragmatik membahas tentang makna tuturan yang sesuai konteksnya
(Lorens Bagus, 2016). Hal itu sesuai dengan, David R dan Dowty, secara
singkat menjelaskan bahwa sesungguhnya ilmu bahasa pragmatik adalah
telaah terhadap pertuturan langsung maupun tidak langsung, presuposisi,
implikatur, entailment, dan percakapan atau kegiatan konversasional antara
penutur dan mitra tutur (Rahardi Kunjana, 2013; John Capss, 2019)
2. Tindak Tutur
Istilah dan teori yang mengenai tindak tutur mula-mula
diperkenalkan oleh J.L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard
pada Tahun 1959 (John Langshaw Austin, 2012). Menurut Chaer dan Leoni
(2015) teori ini merupakan catatan kuliah yang kemudian dibukukan oleh
J.O. Urmson (1965) dengan judul ‘How to do thing with word?’ Teori itu
baru terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan
judul Speech Act and Essay in The Philosophy of Language (Abdul Chaer &
Leonie Agustina, 2015)
Leech menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran,
yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan; menanyakan apa yang seseorang
maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan
siapa 10 berbicara kepada siapa, di mana, dan bagaimana. Tindak tutur
merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga
merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti
praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama dan
prinsip kesantunan. Retorika tekstual, pragmatik membutuhkan prinsip
kerjasama (Rahardi Kunjana, 2013).
Menurut Wijana untuk melaksanakan prinsip kerjasama, penutur
harus mematuhi empat maksim percakapan, yaitu maksim kuantitas,
kualitas, relevansi, dan pelaksanaan. Maksim kuantitas menghendaki
setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau
sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Maksim kualitas
mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya.
Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara
secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta
runtut (Abdul Chaer & Leonie Agustina, 2015)
Sementara itu, Austin dalam Leech menyatakan bahwa semua
tuturan adalah suatu bentuk tindakan dan tidak sekadar sesuatu tentang
dunia tindak ujar atau tutur (speech act) adalah fungsi bahasa sebagai
sarana penindak. Semua kalimat atau ujaran diucapkan oleh penutur
sebenarnya mengandung fungsi komunikatif tertentu. Berdasarkan
pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa mengujarkan sesuatu dapat
disebut sebagai aktivias atau tindakan. Hal tersebut dimungkinkan karena
dalam setiap tuturan memiliki maksud tertentu yang berpengaruh pada
orang lain (John Langshaw Austin, 2012)
Menurut Chaer dan Leonie, tindak tutur merupakan gejala
individual, bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh 11
kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam
tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.
Tindakan dalam tuturan akan terlihat dari makna tuturan (Abdul Chaer &
Leonie Agustina, 2015).
3. Aspek-aspek Situasi Ujar
Sebagai produk tindak verbal. Leech membagi aspek situasi tutur
atas lima bagian. Aspek-aspek situasi tutur tersebut yaitu:
1. Penutur dan mitra tutur
Konsep penutur dan mitra tutur ini juga mencakup penulis dan
pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan
media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan
lawan tutur ini adalah usia, latar belakang, sosial ekonomi, jenis
kelamin, tingkat keakraban dsb.
2. Konteks Tuturan
Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam
semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan
bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks
(cotext), sedangkan konteks setting sosial disebut konteks.
Konteks dalam pragmatik itu pada hakikatnya adalah semua
latar belakang pengetahuan (back ground knowledge) yang
dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.
3. Tujuan tuturan
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur
dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Tuturan yang
bermacam-macam ini dapat digunakan untuk menyatakan
maksud yang sama. Begitu juga sebaliknya, berbagai macam
maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Pragmatik
merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented
activities).
4. Tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau kegiatan
Gramatika tutur sebagai bentuk tindakan atau kegiatan.
Gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai editor
yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi
dalam studi semantik dan sebagainya. Pragmatik berkaitan
dengan tindak verbal yang terjadinya dalam situasi tertentu.
Dalam kaitan ini pragmatik menangani bahasa dalam
tingkatannya yang lebih konkret dibanding dengan tata bahasa.
Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas penutur dan lawan
tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.
5. Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik seperti
yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk
dari tindak tutur. Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan
merupakan bentuk dari tindak verbal. Sebagai contoh kalimat
Apakah rambutmu tidak terlalu panjang? Dapat ditafsirkan
sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam kaitan ini dapat
ditegaskan ada perbedaan mendasar antara kalimat (sentence)
dengan tuturan (utturance). Kalimat adalah entitas gramatikal
sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat
penggunaannya dalam situasi tertentu (Thomas S. Kuhn, 2012).

B. Faktor Peristiwa Tindak Tutur


Hymes menjelaskan bahwa dalam peristiwa tutur, penutur selalu
mempertimbangkan faktor-faktor yang mengambil peran dalam peristiwa
tutur yang disebut dengan komponen tutur. Komponen tutur ini dapat
diungkapkan sebagai singkatan SPEAKING yang masing-masing
merupakan fonem awal dari faktor-faktor yang dimaksudkan sebagai
berikut:
1. Setting and Scene
Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung,
sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi
psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda
dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di
lapangan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan
berbicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca
dan dalam keadaan sunyi.
2. Participants
Participant adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa
pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan
penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran
sebagai pembicara atau pendengar; tetapi dalam khotbah di masjid, khatib
sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar
peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang
digunakan.
3. Ends
Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Maksud dan
tujuan muncul dari para penuturnya sendiri. Sebagai contoh: peristiwa
tutur di ruang kuliah linguistik, ibu dosen yang cantik itu berusaha
menjelaskan materi kuliah agar dapat dipahami mahasiswanya; namun,
barangkali di antara para mahasiswa itu ada yang datang hanya untuk
memandang wajah bu dosen yang cantik.
4. Act sequence
Mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini
berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaanya,
dan kaitan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk
ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta
adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.
5. Key
Mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan
disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan
sombong, dengan mengejek dan lain-lain. Hal ini dapat juga ditunjukan
dengan gerak dan isyarat.
6. Instrumentalities
Mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan,
tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu
pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek ragam, atau
rigester.
7. Norm of Interaction and Interpretation
Mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya,
yang berkaitan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan lain-lain. Juga
mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.
8. Genre.
Mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,
pepatah, doa, dan lain-lain (Chaer dan Leonie, 2015).
C. Teori Kebenaran Pragmatik Charles Pierce
1. 'Kebenaran Akhir dari Penyelidikan
Pierce terkenal menulis, ‘Penyelidikan yang dilakukan dengan
benar akan mencapai beberapa hasil yang pasti dan tetap atau perkiraan
tanpa batas terhadap batas itu dan ‘Pendapat yang ditakdirkan untuk
akhirnya disetujui oleh semua yang menyelidiki, adalah apa yang kami
maksud dengan kebenaran’ (John Tiffin and Nobuyashi Terashima, 2005).
Pernyataan-pernyataan ini, yang sering dipoles dengan slogan: 'Kebenaran
adalah akhir dari penyelidikan', menawarkan pemahaman tentang
kebenaran yang bisa dibilang berbeda dari dugaan teori korespondensi,
koherensi, deflasi, dan identitas yang biasa (dan memberikan penjelasan
tentang hal ini). gagasan dasar filosofis yang begitu orisinal bukanlah
prestasi yang berarti) (G.F. Pappas, 2018).
Pemahaman tentang kebenaran juga sangat berbeda dengan
instrumentalisme para pragmatis seperti James (dalam, misalnya,
Pragmatisme) (M. Bacon, 2012). Entri ini mengeksplorasi sejauh mana
Pierce dapat dikatakan menghadirkan 'konsep batas kebenaran',
menempatkan pandangan dalam pragmatismenya, menjelaskan
bagaimana karakter teleologisnya menjadikannya tidak 'ontologis' atau
'semantik' dalam pengertian kontemporer, mengeksplorasinya berakar
pada konsep limit yang sangat matematis, dan mempertahankannya dari
keberatan bahwa itu: tidak koheren, dalam keyakinannya pada
konvergensi, terlalu realis dan dalam 'realisme internal', tidak cukup
realis (John Tiffin and Nobuyashi Terashima, 2005).
Catatan Pierce juga memungkinkan suatu penjelasan untuk
mencari kebenaran yang secara jelas bertentangan dengan metode
‘memperbaiki keyakinan’ lainnya, seperti menolak untuk
mempertimbangkan bukti yang bertentangan (Metode Keuletan),
menerima perintah lembaga (Metode Otoritas), atau keyakinan yang
paling koheren dan/atau tampak elegan (Metode Apriori) (Chaterine Legg,
2014; Todd May, 2011; M. William, 2010)
Ketiga metode ini kontras dengan Metode Sains yang secara
komunal berusaha menyesuaikan keyakinan dengan apa yang tidak
bergantung padanya, dan memiliki hipotesis kunci yang memungkinkan
bahwa, ‘ada hal-hal nyata, yang karakternya sepenuhnya independen dari
pendapat kita tentang mereka dan siapa pun, jika dia memiliki
pengalaman yang cukup dan dia cukup beralasan tentang hal itu, akan
dituntun pada satu kesimpulan yang benar’ (John Tiffin and Nobuyashi
Terashima, 2005)
Pierce lebih lanjut menjelaskan kebenaran sebagai berikut:
Kebenaran adalah karakter yang melekat pada proposisi abstrak,
seperti yang mungkin diucapkan seseorang. Ini pada dasarnya bergantung
pada proposisi yang tidak mengaku benar (Albert J. Ayer dan J. O’Grady,
2014). Tetapi kami berharap bahwa dalam kemajuan ilmu pengetahuan,
kesalahannya akan berkurang tanpa batas, seperti kesalahan, nilai yang
diberikan untuk , akan berkurang tanpa batas karena perhitungan
dilakukan ke lebih banyak tempat desimal. Apa yang kita sebut adalah
batas ideal di mana tidak ada ekspresi numerik yang benar-benar
sempurna (John Tiffin and Nobuyashi Terashima, 2005).
Tabel 1.1. Tabel IPA

Sumber: Fromkin (2008)

2. Entitas Pencari Kebenaran


Pandangan tentang kebenaran seperti itu sebagai sesuatu yang
harus kita akui bahwa kita selalu gagal memunculkan pernyataan Russell
yang terkenal tidak percaya bahwa ‘ini akan menobatkan Epimenides
sebagai satu-satunya orang bijak’ (John Dewey, 2016). Namun Pierce hanya
mengklaim bahwa sejauh kita mencari kebenaran, kita menjadi bagian dari
'entitas pencari kebenaran' (komunitas penyelidikan) yang besar tanpa
batas, meskipun sebagai penyelidik individu kita memiliki kekuatan
epistemik yang terbatas (John Tiffin and Nobuyashi Terashima, 2005).
Apakah Konsep Batas Kebenaran Tidak Koheren?
Telah dituduhkan bahwa penggunaan konsep limit oleh Pierce
untuk menjelaskan kebenaran adalah tidak koheren. Saya akan
mempertimbangkan tiga pendekatan utama untuk keberatan ini. Pertama,
beberapa orang tampaknya menyarankan bahwa penyertaan konsep-
konsep yang tak terbatas itu merusak pandangan Pierce (Bertrand Russell,
2014; John Tiffin and Nobuyashi Terashima, 2005). Jadi Rorty mengeluh,
‘tidak ada yang namanya 'pemirsa yang ideal' yang di hadapannya
pembenaran akan cukup untuk memastikan kebenaran, seperti halnya
bilangan bulat terbesar’, ‘Apakah Kebenaran adalah Tujuan Penyelidikan?’
(John Tiffin and Nobuyashi Terashima, 2005).
Gambar 1.1. Trapesium Sumber Letupan

Sumber: Fromkin (2008)

Sekali lagi ini gagal untuk menghargai arti sebenarnya dari 'akhir
penyelidikan' sebagai bukan tempat peristirahatan epistemik yang
sempurna seperti halnya model yang memastikan bahwa penyelidikan
dapat berlanjut tanpa batas (John Capss, 2019). Selain itu, pertimbangkan
cara kalkulus integral menentukan luas di bawah kurva sebagai jumlah tak
terhingga dari persegi panjang dengan lebar tak terhingga yang melalui
kejeniusan metode Matematika yang ditemukan pada abad ke-17
diselesaikan menjadi tertentu yang terbatas (Chaterine Legg, 2014)
Ini menunjukkan bahwa tidak konsisten secara logis untuk
menempatkan perhitungan tak terbatas yang menghasilkan hingga
jawaban yang pasti. Meskipun sekarang sedikit yang percaya bahwa kritik
keras Uskup Berkeley terhadap kalkulus untuk inkonsistensi logis harus
ditanggapi dengan serius, tantangan mendalam yang ditawarkannya
terhadap pemahaman tradisional tentang 'apa yang logis' dan sumber daya
yang ditawarkannya untuk memahami kembali hal yang sama masih bisa
dibilang tidak mencukupi. dihargai oleh para filsuf yang pikirannya
umumnya berdiam di alam yang lebih terbatas (John Tiffin and
Nobuyashi Terashima, 2005).
Kedua, Johnston telah menyarankan bahwa kisah Pierce tentang
kebenaran tidak valid oleh Teorema Ketidaklengkapan Goedel. Dia
mengklaim bahwa pada batas penyelidikan harus terletak suatu 'teori
ideal' (T) yang harus menjadi seperangkat kalimat dari mana setiap kalimat
yang benar dapat disimpulkan. Dia kemudian keberatan bahwa, ‘masalah
metalogi sederhana tidak mungkin benar sesuatu itu benar jika dan hanya
jika mengikuti dari teori ideal T’, karena jika T cukup kaya untuk
mengekspresikan aritmatika itu akan cukup kaya untuk argumen Goedel
yang akan dibangun di dalamnya, sehingga akan ada kebenaran yang
dapat diungkapkan tetapi tidak dapat dibuktikan dalam T (‘objectivity
refigured’) (John Capss, 2019).
Namun, apakah Pierce berkomitmen untuk setiap pernyataan yang
benar dapat dibuktikan dalam pendapat akhir? Atau hanya termasuk di
dalamnya, entah bagaimana? (John Tiffin and Nobuyashi Terashima,
2005). Mungkin diprotes bahwa Pierce telah berkomitmen untuk setiap
pertanyaan yang menerima jawaban pada suatu saat, jadi harus
berkomitmen pada satu set kalimat yang akan mengumpulkan semua
jawaban itu bersama-sama (Chaterine Legg, 2014).
3. Hipotesis Konvergensi
Namun ada kesalahan logika yang serius di sini, bertumpu pada
ambiguitas lingkup quantifier. Seorang pragmatis dapat berkomitmen
untuk setiap pertanyaan yang menerima jawaban pada suatu waktu,
sementara tidak berkomitmen untuk ada setiap saat di mana setiap
pertanyaan telah menerima jawaban (Todd May, 2011), sama seperti fakta
bahwa setiap orang memiliki ibu yang penuh kasih tidak berarti ada
beberapa ibu yang mencintai semua orang (John Tiffin and Nobuyashi
Terashima, 2005), dibahas secara rinci di Legg, ‘Bentuk-Argumen yang
Mengubah Domain Tak Terbatas menjadi Tidak Valid’) (Chaterine Legg,
2014.)
Hal serupa dikemukakan oleh Hookway yang membedakan .siapa
pun yang bertanya 'ke dalam sifat realitas'...ditakdirkan untuk
memercayai’ beberapa proposisi, dan ‘...siapa pun yang menyelidiki
beberapa pertanyaan yang proposisi itu memberikan jawabannya
ditakdirkan untuk mempercayainya (Albert J. Ayer dan J. O’Grady, 2014).
Akhirnya, Quine terkenal keberatan bahwa pendekatan ke batas
‘bergantung pada 'lebih dekat dari', yang didefinisikan untuk angka dan
bukan untuk teori’ (Kata dan Objek) (Burhanuddin Salam, 2015). Almeder
telah membantah bahwa untuk Pierce kebenaran tidak terdiri dari
pendekatan tak tentu dari suatu teori ke teori yang paling benar, tetapi
dalam perkiraan tak terbatas dari probabilitas bahwa suatu proposisi benar
untuk pertama (John Tiffin and Nobuyashi Terashima, 2005).
Misak telah mengakui kepada Quine bahwa ‘penyelidikan bisa
sangat salah selama beberapa generasi dan titik tertentu dalam
penyelidikan bukanlah titik dalam proses konvergen’, mengklaim bahwa
semua Pierce membutuhkan adalah bahwa penyelidikan menghasilkan
‘konsensus’ (Kebenaran dan Akhir Penyelidikan) (Louis Kattsoff, 2004).
Namun ini tampaknya berjalan kasar di atas bagian-bagian kunci tertentu
seperti yang dikutip di atas (Thomas Kuhn, 2012)
Tetapi bahkan jika pendekatan kita terhadap kebenaran bukanlah
peningkatan yang stabil dan bertahap, dapat dikatakan bahwa konsep
batas bekerja secara pragmatis dalam hal lain (Neil Postman, 2013).
Misalnya, ini menandakan bahwa ketika komunitas penyelidikan
memperoleh kebenaran, koreksi-dirinya menjadi semakin baik sekaitan
dengan pertanyaan apa pun yang diberikan, seperti halnya pengerjaan
yang berkelanjutan menghasilkan lebih banyak tempat desimal (Bertrand
Russell, 2004).
Setiap teori yang diberikan dimulai dengan konsep yang tidak jelas
dengan kekuatan prediksi yang baru dan mencolok dan secara bertahap
mempertegasnya sampai hasil prediksi yang semakin berkurang
membawa para ilmuwan ke pertanyaan lain yang lebih menarik (John
Tiffin and Nobuyashi Terashima, 2005).
Terkait, dan dalam istilah yang mengkhianati utang seumur hidup
Pierce untuk Kant, hipotesis konvergensi pada satu jawaban untuk
pertanyaan apapun dapat dilihat sebagai harapan regulatif (Harold H.
Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, 2014). Di akhir karirnya (1908)
Pierce menulis dalam suatu surat kepada Lady Welby, ‘Saya tidak
mengatakan bahwa itu sepenuhnya benar bahwa ada kepercayaan yang
seseorang akan datang jika dia membawa pertanyaannya cukup jauh. Saya
hanya mengatakan bahwa hanya itu yang saya sebut Kebenaran’ (dikutip
Haack, ‘The Pragmatist Theory of Truth’) (Bertrand Russell, 2014).
Kutipan terakhir ini juga menyoroti cara akun Pierce mewujudkan
argumen transendental. Kita manusia dilemparkan ke dalam dunia yang
beragam, seringkali mengejutkan, terkadang berbahaya dan untuk
menavigasinya harus memperbaiki keyakinan kita, sehingga kita dapat
bertindak berdasarkan itu. Penyelidikan adalah salah satu (meskipun,
Pierce mencatat, bukan satu-satunya) sarana untuk memperbaiki
keyakinan (John Dewey, 2016). Tanpa hipotesis bahwa penyelidikan akan
memberikan jawaban atas pertanyaan kita, kita sama sekali tidak dapat
memahami pertanyaan, dan Pierce mengajukan bahwa analisis yang
cermat dari ‘memberikan jawaban’, menunjukkan bahwa konvergensi pada
keyakinan bersama diandaikan olehnya (M. William, 2010).
D. Teori Kebenaran Pragmatik William James, Agama , Iman, dan
Humanisme
1. Konfirmasi Peristilahan (Konseptualisasi)
William James (1842-1910) merupakan tokoh yang paling
bertanggungjawab yang membuat pragmatisme menjadi terkenal di
seluruh dunia. Lebih dari itu, ia adalah orang pertama yang memberikan
kontribusi ke dalam gelombang dahsyat pemikiran filsafat di dunia Barat.
Karena terbitnya buku James Pragmatism (1907) dan The Meaning of Truth
(1909), gerakan pragmatisme meluncur seolah-olah akan menguasai filsafat
abad keduapuluh (James William, 2013).
Pragmatisme lebih banyak disangkutkan pada James daripada John
Tiffin and Nobuyashi Terashima (1839-1914), meskipun James berhutang
banyak pada Pierce. James memang berbeda dengan Pierce. Dia telah
mengubah atau mamanusiakan konsep pragmatisme yang orisinal yang
diambilnya dari Pierce1 , sehingga, melalui tangan James, pragmatisme
menjadi benar-benar hidup dalam kepentingan praktis kehidupan manusia
(M. Bacon, 2012).
Secara epistemologis, James telah mengembangkan pragmatisme
Pierce dari sekadar metode menjadi teori tentang kebenaran, agama, dan
seluruh filsafat pada umumnya (James William, 2013; G.F. Pappas, 2018).
Karena alasan itulah, di antara dua tokoh yang ditawarkan (William James
dan John Dewey) untuk topik pragmatisme pasca kajian terhadap Pierce,
penulis lebih mengedepankan (meminati) James daripada Dewey (1859-
1952) (Chaterine Legg, 2014).
Sedangkan Dewey sendiri dapat dikata merupakan perpanjangan
tangan James, yang mengambil bentuk aplikasi dalam perancangan
pendidikan. Pendidikan inilah yang menghasilkan orang Amerika
sekarang, sehingga, dapat dinyatakan bahwa orang yang paling
bertanggungjawab terhadap generasi dan kehidupan moral orang Amerika
sekarang adalah William James dan John Dewey (Todd May, 2011).
Alasan kedua adalah di antara keempat tokoh terkemuka
pragmatisme, sebagaimana seleksi Hutchins, hanya James yang lulus
eksaminasi. Hutchins mempresentasikan karya-karya agung 73 tokoh
dunia Barat mulai dari Aeschylus hingga Sigmund Freud (1856-1939) (John
Langshaw Austin, 2012). Alasan ketiga adalah, bahwa di antara keempat
tokoh tersebut, sebagaimana tipologi Diamond, hanya James yang
memberi perhatian terhadap pemikiran agama dalam filsafatnya. Ini
penting dicatat kaitannya dengan spesikikasi studi pemikiran keagamaan
(keislaman) (Albert J. Ayer and J. O’Grady, 2014).
Selanjutnya, secara metodologis, di antara tiga ‘pisau tembak’
filsafat (empirisisme, rasionalisme, dan intuisisme) yang digunakan untuk
menjawab persoalanpersoalan penting, James mencoba menjawab
pertanyaan dengan rasionalisme dan ingin menggabungkannya dengan
empirisme (Burhanuddin Salam, 2015). Justru masalah yang menarik untuk
dilacak secara cermat adalah, apakah dia berhasil atau gagal dalam
penggabungan tersebut (Louis Kattsoff, 2004).
Secara etimologis, pragmatisme mempunyai akar kata dari bahasa
Yunani pragmatikos, yang dalam bahasa Latin menjadi pragmaticus, berarti
cakap dan berpengalaman dalam urusan hukum, kenegaraan dan
perdagangan. Akar katanya dalam Bahasa Inggris adalah pragmatic, yang
berarti berkaitan dengan hal-hal praktis. Didapati juga bahwa asal katanya
adalah pragma, berarti sesuatu yang dilakukan, suatu aksi, berbuat, suatu
konsekuensi; dan prassein berarti berbuat (Thomas Kuhn, 2012).
Kemudian, pada level konseptual, secara umum pragmatisme
berarti hanya idea (pemikiran, pendapat, teori) yang dapat dipraktikkan
saja yang dianggap benar dan berguna. Idea-idea yang hanya ada dalam
idea (seperti idea pada Plato, pengertian umum pada Socrates, definisi
pada Aristoteles), juga kebimbangan terhadap realitas objek indera (pada
Descartes), semua itu nonsens bagi pragmatisme. Yang ada ialah yang ialah
apa yang real ada; demikian kata James ketika ia membantah Zeno yang
mengaburkan arti gerak (Neil Postman, 2013).
Implikasi dari pandangan nonsens James adalah penafiannya
terhadap: pertama, adanya idea yang hanya idea. Padahal idea yang hanya
idea sebenarnya ada. Kalaupun ‘idea’ seperti pada Plato dianggapnya tidak
ada, tetapi ‘pengertian umum’ pada Socrates dan ‘definisi’ pada Aristoteles
tidak dapat dikatakan tidak ada. Sementara John Lock meskipun ia
empiris mengakui adanya idea, asal saja memiliki kenyataan di alam ini;
kenyataan itu tidak mesti terjadi sekarang (Bertrand Russell, 2004).
‘Idea’ pada Socrates dan Aristoteles itu ada, karena: (1) idea itu
dibuat melalui abstraksi, dan (2) idea itu beroperasi dalam kehidupan.
Misalnya, idea tentang ‘kursi’ adalah tempat duduk yang bersandaran.
Idea ini dibuat dan beroperasi ketika orang mengenali suatu objek yang
disebut kursi (John Dewey, 2016).
Orang itu dapat menetapkan objek itu kursi meskipun ia belum
pernah mengenalnya. Kedua, James menganggap idea yang aplikatif saja
yang benar. Padahal, banyak juga idea yang tidak aplikatif. Misalnya, (1)
idea tentang adil, tetap ada meskipun keadilan tidak pernah muncul di
dunia ini, dan (2) idea tentang Allah swt, juga benar sekalipun Allah swt
tidak pernah muncul dalam pengalaman empiris (M. William, 2010).
2. Metode Meliorisme
Inti metode meliorisme James adalah pengambilan keputusan di
antara idea-idea yang berlawanan, tetapi tidak harus dan tidak selalu
demikian. Dikatakan tidak selalu, karena dapat ditemukan banyak idea
yang bertentangan, yang benar-benar tidak dapat digabungkan, tidak
mungkin didamaikan dalam satu keputusan, seperti kasus teisme dan
ateisme (James William, 2013).
Meliorisme mencoba untuk menggabungkan isme-isme yang
berbeda. Padahal, suatu isme tententu merupakan suatu sistem yang utuh.
Bagian-bagiannya terkait, tidak dapat dipisah-pisahkan. Apabila
dipaksakan untuk mengambil dan menggabungkan bagian-bagian sistem
isme-isme yang berbeda, niscaya menimbulkan kekacauan dalam sistem
yang lama dan sekaligus dalam sistem yang baru sebagai hasil gabungan
(M. Bacon, 2012).
Meliorisme James menyatakan bahwa ‘seharusnya’ isme-isme itu
dapat digabungkan. Tetapi, ‘adanya’ ternyata tidak dapat digabungkan.
Disini meliorisme menjadi tidak pragmatis lagi. Jauh sebelum masa James,
sekitar 23 abad, sudah ada metode yang esensinya sama dengan metode
Meliorisme, yakni metode Dialektika (atau secara lengkap Maieutik
Dialektis Kritis Induktif) milik Socrates (470-399 SM). Keduanya
(Meliorisme dan Dialektika) memiliki kelemahan, bukan pada kedirian
metodenya, akan tetapi pada kasuskasus kehidupan, sebagaimana contoh
kasus teisme dan ateisme di atas (James William, 2013).
3. Teori Kebenaran
Inti teorinya adalah, bahwa kebenaran suatu proposisi adalah hal
pokok dari akibat-akibat yang berguna yang ditunjukkannya (G.F. Pappas,
2018). Dalam teori kebenaran, James menggunakan metode meliorismenya
untuk menilai kebenaran rasionalisme dan empirisme, lalu mencoba
mendamaikan keduanya. James menerima tough minded, karena ada yang
sesuai dengan pragmatisme, yaitu empirisisme. Ia juga menerima tender
minded, karena watak pragmatisme James menerima kehadiran agama.
Keduanya merupakan watak kefilsafatannya yang pokok. Tetapi, untuk
membedah agama, James tidak menggunakannya, melainkan dari sudut
pandang filsafat dan psikologi, berupa penjelasan deskripsinya dan hasil
evaluasinya (James William, 2013).
Tough minded menyatakan diri dalam pendekatan empiris, dalam
mencari kebenaran. Ia hanya berkepentingan terhadap fakta yang dapat
diindera, lalu bernuansa materialistis, dan bersikap skeptis terhadap apa
saja yang berwajah immateri. Tandanya adalah pendekatan sedikit demi
sedikit dan pluralistis. Apa yang didapatkan adalah kenyataan sebagian-
sebagian, bukan kenyataan yang menyeluruh tentang objek. Sikap ini
melahirkan pesimisme, lalu menuju fatalisme yang tidak mempunyai daya
harapan menghadapi keganasan alam (hewan dan cuaca) (John Capss,
2019).
Karakter ini berbeda dengan tender minded, yang temperamennya
tampak dalam pemikiran dan usaha intelektual, lebih sistematis, dan lebih
konsisten daripada kepercayaan tough minded. Karenanya, tender minded
menemukan abstraksi-abstraksi dan eksistensi immaterial, cenderung
idealistis. Para filosofnya tidak menemukan kesulitan dalam menemukan
nilai-nilai abadi dan absolut. Pendapat-pendapatnya tidak berobah
menurut perobahan pengalaman dan dunia yang ditangkapnya.
Konsekuensinya adalah, mereka cenderung menjadi idealistis, optimistis,
dan religius, juga cenderung meyakini kebebasan kemauan dan menentang
fatalisme, dan menolak skeptisisme (Chaterine Legg, 2014).
4. Metafisika dan Epistemologi
Menurut tipologi Russel, James secara utama adalah seorang
psikologis, akan tetapi ia dipandang penting dalam filsafat pada dua
perhitungan: (1) ia menyebarkan doktrin yang disebutnya radical
empiricism, dan (2) ia adalah seorang dari tiga protagonis tentang teori
yang disebut pragmatisme atau instrumentalisme (Bertrand Russell, 2014).
Empirisisme radikal itu berisi tentang pandangan James tentang
dunia, sebagaimana karyanya Essays on Radical Empiricism dan A Pluralistic
Universe pada penjelasan di muka. Di sini ia mempraktikkan
pragmatismenya dalam wilayah metafisika dan epistemologi. Inti
pandangannya adalah bahwa pemikiran (pengetahuan) abstrak tentang
alam semesta hanya dapat disusun lewat pengalaman (John Dewey, 2016).
Fakta tidak lebih dari sekadar pengalaman (bersifat a posteriori).
Karena itu James menolak pengetahuan a priori yang tidak dapat
menyusun keterangan yang komprehensip semisal fakta ‘beratnya batu’.
Apa yang tidak dapat dilacak dengan cara itu dianggap bukan
pengetahuan. Melalui pandangan tersebut James memperlihatkan
ketidakpuasannya terhadap pandangan tender minded yang menyebabkan
hal-hal yang konkret, yang hidup, yang plural bahkan lenyap ke alam
abstrak, dan juga terhadap pandangan tough minded yang tidak
menghasilkan keterangan yang komprehensip tentang alam semesta ini
(James William, 2013).
5. Humanisme dan Kehidupan Moral
Istilah humanisme sudah lama dikenal sebelum James
menggunakannya. Pertama, meskipun tidak menonjol, doktrin Protagoras
mengangkat manusia sebagai ukuran. Dengan demikian doktrin ini
kontras dengan macam-macam bentuk absolutisme, khususnya yang
bersifat epistemologis (James William, 2013). Kedua, rasionalisme
Descartes (1596-165) memiliki corak humanistis dalam arti bahwa manusia
dipandang mampu mengatur hidupnya tanpa bantuan Allah swt atau
yang lainnya. Sedangkan pada James, demikian juga F.C.S. Schiller,
humanisme diangkat sebagai pandangan yang bertolak belakang dengan
pandangan absolutisme filosofis (G.F. Pappas, 2018).
Sifat humanistis yang dimaksud oleh James di sini adalah, bahwa
realitas tidak boleh dan tidak mungkin dipisahkan dari faktor-faktor
kemanusiaan, tidak ada kebenaran yang terpisah dari kegunaannya bagi
manusia. James menolak sains yang tidak humanis (tidak manusiawi),
yaitu sains yang abstrak. Menurutnya, betapapun abstraknya teori sains, ia
dapat diterima, akan tetapi dengan syarat bahwa teori tersebut sekurang-
kurangnya dapat memberikan prediksi untuk masa depan, atau dengan
penjelasan lain, teori tidak harus mempunyai bukti pengalaman.
Kemudian, James menambahkan bahwa realitas itu harus realitas yang
‘menjadi’ (bukan final) (John Capss, 2019).
Mengenai pandangan James tentang teori sains, tidak ada yang
perlu dikomentari, karena ia telah menetapkan syarat minimal daya
prediksi teori dan ketidakharusan teori memiliki bukti pengalaman. Tetapi,
pandangannya mengenai realitas merupakan bagian yang sulit diterima.
Sebab, pandangan itu niscaya memicu lahirnya sejumlah permasalahan: (1)
apakah ‘yang menjadi’ itu merujuk kepada Heraclitus?, (2) apakah itu
berlaku bagi semua kebenaran, semua teori?, dan (3) apakah principium
Aristoteles juga belum final? (Sokhi Huda, 2019).
Sementara mengenai kehidupan moral, James berpandangan
bahwa kaidah moral yang umum tidak mungkin dibuat, karena situasi dan
lingkungan selalu berobah. Dengan ini dapat dikatakan bahwa
pragmatisme James sebenarnya merupakan filsafat yang bercorak relativis,
sama dengan filsafat sofisme Yunani yang menyatakan bahwa kebenaran
itu relatif. Relativisme moral inilah yang dapat menjelaskan watak moral di
Barat sekarang (James William, 2013).
James menjelaskan bahwa moral adalah apa yang baik, atau akan
menjadi baik bila sesuatu eksis. Sains tidak dapat mengatakan kepada kita
apa yang eksis; akan tetapi untuk membandingkan beberapa kebaikan.
Apa yang eksis dan tidak eksis, tidak dikonsultasikan kepada sains, akan
tetapi kepada hati (Chaterine Legg, 2014).
6. Agama dan Iman
James mengemukakan bahwa agama itu perlu, karena berguna bagi
kehidupan. Ada dua bagian yang penting untuk dikritik dalam pernyataan
di atas, yaitu ‘agama perlu’ dan ‘karena berguna’/ ‘apabila berguna’. Pada
bagian pertama, agama perlu, tentu diterima oleh semua orang yang
beragama. Tetapi, di dalamnya terdapat kelemahan argumentasi (Todd
May, 2011). Kalau diajukannya bahwa agama itu perlu, karena bermanfaat,
maka orang dapat juga mengajukan argumen tandingan bahwa agama
bahkan merugikan. Pada bagian kedua, istilah ‘bila berguna’ dapat juga
dimanfaatkan untuk hal-hal yang membahayakan bagi kehidupan. Orang
dapat mengatakan bahwa ‘minuman keras itu bermanfaat untuk jamu atau
dopping dalam menetralisasi masalah yang membelit pikiran’ (John
Langshaw Austin, 2012).
Mengenai definisi agama, James menyatakan bahwa agama
merupakan perasaan, tindakan, dan pengalaman manusia individual
dalam kesunyiannya bersama Yang Maha Tinggi. Katanya, definisi ini
netral. Kemudian, ia menyatakan bahwa ada orang yang tidak mau
menerima agama karena agama tidak ilmiah. Kaitannya dengan
kebenaran, ia mengemukakan, kalau kita menerima bahwa kebenaran
agama adalah kebenaran yang belum selesai, maka kebenaran agama dapat
diterima (Albert J. Ayer dan J. O’Grady, 2014).
Terhadap pernyataan diatas dapat dilakukan tiga kritik. Pertama,
inti definisi agama tersebut adalah kepercayaan kepada Yang Maha Tinggi.
Definisi secara psikologis itu dapat dipahami dalam frame filsafatnya yang
mengharmonikan kerjasama filsafat dan psikologi. Tetapi pernyataannya
bahwa definisi tersebut netral, masih perlu dipersoalkan. Bahkan
pemersoalan dapat dilakukan juga terhadap arti netral itu sendiri (Suciarti,
2012).
Definisi itu amat umum, yang menunjukkan betapa rumitnya
fenomena agama. Kedua, penulis setuju atau menilai benar terhadap
argumen James bahwa memang ada orang yang menolak agama karena
agama tidak ilmiah. Ketiga, ada persoalan yang dapat ditolak dalam
pernyataan bahwa syarat diterimanya kebenaran agama adalah kebenaran
yang belum selesai. Sebab, dalam ajaran agama apapun, ada bagian yang
sudah selesai dan yang belum selesai (Louis Kattsoff, 2004).
Dengan penjelasan lain, dalam agama, meminjam dua istilah dalam
‘program riset’ Imre Lakatos terdapat wilayah absolut/ doktriner (heuristik
negatif) dan wilayah historisitas (heuristik positif). Heuristik positif dapat
berobah sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan, yang perobahan ini
harus terkendali oleh heuristik negatif. Meskipun demikian, tampaknya,
pernyataan James tersebut terkait dengan kerangka keinginannya untuk
menjadikan agama bersifat dinamik (Thomas Kuhn, 2012).
Dalam bukunya The Varieties of Religious Experience, James
menemukan bahwa untuk melihat validitas serta signifikansi semua
pengamalan beragama para individu amat rumit. Psikologi memang
membantu, akan tetapi tidak cukup untuk mengevaluasi kebenaran agama.
Psikologi dapat menjelaskan gejala seperti trance, sakit jiwa karena
perasaan berdosa, yang mungkin timbul dari hukum genetik. Tetapi
psikologi hanya menjelaskan permukaannya saja; tidak pada bagian
dasarnya. Menurutnya, agar kita mampu menafsirkan gejala pengalaman
beragama seseorang, maka kita harus melihat pengalaman itu lebih jauh;
tidak hanya pada sebab pengalaman itu terjadi (Neil Postman, 2013).
E. Teori Kebenaran Pragmatik John Dewey
1. Kebenaran dan Penyelidikan Ilmiah
John Dewey (1859–1952), tokoh ketiga dari era keemasan
pragmatisme Amerika klasik, secara mengejutkan tidak banyak bicara
tentang konsep kebenaran, terutama karena tulisan-tulisannya yang
banyak tentang topik-topik lain. Pada tingkat anekdot, seperti yang telah
diamati banyak orang, Logic: The Theory of Inquiry (1938) hanya memiliki
satu referensi untuk ‘kebenaran’, dan itu ke catatan kaki yang
menyebutkan Pierce (John Dewey, 2016).
Sepintas, kisah kebenaran Dewey tampak seperti kombinasi Pierce
dan James. Seperti Pierce, Dewey menekankan kaitan antara kebenaran
dan penyelidikan ilmiah yang ketat; seperti James, Dewey memandang
kebenaran sebagai hasil yang diverifikasi dari penyelidikan masa lalu
daripada sebagai hasil yang diantisipasi dari penyelidikan yang berlanjut
ke masa depan yang tidak terbatas (Bertrand Russell, 2004). Misalnya, pada
Tahun 1911 ia menulis bahwa: ‘Dari sudut pandang penyelidikan ilmiah,
kebenaran tidak hanya menunjukkan keyakinan yang diterima, tetapi
keyakinan yang diterima berdasarkan metode tertentu. Bagi sains,
kebenaran menunjukkan keyakinan yang diverifikasi, proposisi yang
muncul dari prosedur tertentu. dari penyelidikan dan pengujian. Maksud
saya, jika seorang ilmuwan diminta untuk menunjukkan contoh dari apa
yang dia maksud dengan kebenaran, dia akan memilih kepercayaan yang
merupakan hasil dari teknik penyelidikan terbaik yang tersedia di
beberapa bidang tertentu; dan dia akan melakukan ini tidak peduli apa
konsepsinya tentang sifat kebenaran (Jan Hendrik Rapar, 2002)
Lebih jauh, seperti Pierce dan James, Dewey menuduh teori-teori
kebenaran korespondensi menjadi tidak jelas karena teori-teori ini
bergantung pada kaitan abstrak (dan tidak dapat diverifikasi) antara suatu
proposisi dan bagaimana hal-hal ‘sebenarnya’ (John Dewey, 2016).
Akhirnya, Dewey juga menawarkan reinterpretasi pragmatis dari teori
korespondensi yang mengoperasionalkan ide korespondensi:
Definisi kita tentang kebenaran menggunakan korespondensi
sebagai tanda makna atau proposisi dalam arti yang sama persis dengan
yang digunakan di tempat lain sebagai bagian dari mesin sesuai (John
Dewey, 2016).
Dewey memiliki pemahaman yang luas tentang ‘sains’. Bagi
Dewey, sains muncul dari dan terus berlanjut dengan proses coba-coba
sehari-hari memasak dan memperbaiki mesin kecil dianggap ‘ilmiah’ yang
berarti dia tidak boleh dianggap terlalu ketat ketika menyamakan
kebenaran dengan verifikasi ilmiah (M. William, 2010). (Pierce dan James
juga memiliki pemahaman yang luas tentang sains.) Sebaliknya, poin
Dewey adalah bahwa proposisi yang benar, ketika ditindaklanjuti,
mengarah pada jenis hasil yang dapat diprediksi dan dapat diandalkan
yang merupakan ciri verifikasi ilmiah, ditafsirkan secara luas. Dari sudut
pandang pragmatis, verifikasi ilmiah bermuara pada proses mencocokkan
harapan dengan hasil, suatu proses yang memberi kita semua
‘korespondensi’ yang bisa kita minta (John Tiffin and Nobuyashi
Terashima, 2005; G.F. Pappas, 2018).
Dewey akhirnya percaya bahwa istilah filosofis konvensional
seperti ‘kebenaran’ dan ‘pengetahuan’ dibebani dengan begitu banyak
beban, dan telah menjadi begitu membatu, sehingga sulit untuk memahami
peran praktis dari istilah-istilah ini pada awalnya. Akibatnya, dalam
tulisan-tulisannya selanjutnya Dewey sebagian besar menghindari
berbicara tentang ‘kebenaran’ atau ‘pengetahuan’ sambil berfokus pada
fungsi yang dimainkan oleh konsep-konsep ini.1938-nya Logic Dewey
berbicara tentang ‘ketegasan yang dijamin’ sebagai tujuan penyelidikan,
menggunakan istilah ini sebagai pengganti ‘kebenaran’ dan ‘pengetahuan’
(John Capss, 2019).
2. Produk Penyelidikan Terkontrol
Pada Tahun 1941, dalam menanggapi Russell yang berjudul
‘Proposisi, Ketegasan yang Dijamin, dan Kebenaran’, ia menulis bahwa
‘ketegasan yang dijamin’ adalah ‘definisi sifat pengetahuan dalam arti
kehormatan yang menurutnya hanya kepercayaan yang benar adalah
pengetahuan’ (Bertrand Russell, 2014). Di sini Dewey menyarankan bahwa
‘ketegasan yang dijamin’ adalah cara yang lebih baik untuk menangkap
fungsi pengetahuan dan kebenaran sejauh keduanya merupakan tujuan
penyelidikan. Maksudnya adalah bahwa itu membuat sedikit perbedaan,
secara pragmatis, apakah kita menggambarkan tujuan penyelidikan
sebagai ‘memperoleh lebih banyak pengetahuan’, ‘memperoleh lebih
banyak kebenaran’, atau lebih baik lagi, ‘membuat penilaian yang lebih
dapat dibenarkan’ (John Dewey, 2016).
Karena berfokus pada fungsi kebenaran sebagai tujuan
penyelidikan, penjelasan pragmatis Dewey tentang kebenaran memiliki
beberapa fitur yang tidak konvensional. Untuk mulai dengan, Dewey
mencadangkan istilah ‘benar’ hanya untuk klaim yang merupakan produk
dari penyelidikan terkontrol (M. William, 2010). Ini berarti bahwa klaim
tidak benar sebelum diverifikasi tetapi, sebaliknya, proses verifikasi yang
membuatnya benar: kebenaran dan kepalsuan adalah properti hanya dari
materi pelajaran yang merupakan akhir, penutup, penyelidikan oleh sarana
yang dicapai (M. Bacon, 2012).
Kedua, Dewey menegaskan bahwa hanya ‘penilaian’ bukan
‘proposisi’ yang dianggap benar sebagai pembawa kebenaran. Bagi Dewey,
‘proposisi’ adalah proposal dan hipotesis kerja yang digunakan, melalui
proses penyelidikan, untuk menghasilkan kesimpulan dan penilaian yang
diverifikasi. Dengan demikian, proposisi mungkin lebih atau kurang
relevan dengan penyelidikan yang ada tetapi tidak, secara tegas benar atau
salah (James William, 2013).
Sebaliknya, kebenaran dan kepalsuan dicadangkan untuk
‘penilaian’ atau ‘hasil penyelidikan yang diselesaikan’: untuk klaim,
dengan kata lain, yang dijamin dapat ditegaskan (John Tiffin and
Nobuyashi Terashima, 2005). Ketiga, Dewey terus berargumen bahwa
pendekatan pragmatis terhadap kebenaran ini adalah ‘satu-satunya yang
berhak disebut teori korespondensi kebenaran’ menggunakan istilah yang
hampir identik dengan yang dia gunakan pada Tahun 1911:
Pandangan saya sendiri mengambil korespondensi dalam
pengertian operasional menjawab, sebagai jawaban kunci untuk kondisi
yang dipaksakan oleh kunci, atau sebagai dua koresponden ‘menjawab’
satu sama lain; atau, secara umum, sebagai jawaban adalah jawaban yang
memadai untuk pertanyaan atau kritik; sebagai, singkatnya, solusi
menjawab persyaratan masalah (G.F. Pappas, 2018).
Terima kasih kepada Russell (misalnya, 1941: Bab XXIII) dan yang
lainnya, pada Tahun 1941 Dewey menyadari masalah yang dihadapi oleh
catatan kebenaran pragmatis. Sebagai tanggapan, kita melihatnya beralih
ke bahasa ‘ketegasan yang dijamin’, menarik perbedaan antara ‘proposisi’
dan ‘penilaian’, dan mendasarkan konsep kebenaran (atau ketegasan yang
dijamin) dalam penyelidikan ilmiah (Lorens Bagus, 2016). Penyesuaian ini
dirancang untuk memperluas, memperjelas, dan meningkatkan akun
Pierce dan James. Apakah mereka melakukannya adalah pertanyaan
terbuka. Tentu banyak, seperti Quine, menyimpulkan bahwa Dewey hanya
menghindari pertanyaan penting tentang kebenaran: bahwa strategi
Dewey adalah ‘hanya untuk menghindari predikat kebenaran dan pincang
bersama dengan keyakinan yang dijamin’ (Chaterine Legg, 2014).
Pierce, James, dan Dewey bukan satu-satunya yang mengusulkan
atau mempertahankan teori kebenaran pragmatis di abad kesembilan belas
dan awal abad kedua puluh. Lainnya, seperti FCS Schiller (1864-1937), juga
mengajukan teori pragmatis (walaupun pandangan Schiller, yang
disebutnya ‘humanisme’, juga menarik lebih dari sekadar kritik, bisa
dibilang untuk alasan yang sangat bagus). Teori kebenaran pragmatis juga
mendapat perhatian dari kritikus terkemuka, termasuk antara lain Russell
(1909, 1910, 2014), Moore (1908), Lovejoy (1908) (Bertrand Russell, 2014).
Beberapa kritik ini akan dipertimbangkan nanti; cukup untuk mengatakan
bahwa teori kebenaran pragmatis segera mendapat tekanan yang
menyebabkan revisi dan beberapa pendekatan penerus selama lebih dari
seratus tahun ke depan (John Tiffin and Nobuyashi Terashima, 2005).
Secara historis Pierce, James, dan Dewey memiliki pengaruh
terbesar dalam menetapkan parameter untuk apa yang membuat teori
kebenaran menjadi pragmatis meskipun terkadang ada perbedaan yang
signifikan antara catatan mereka masing-masing, dan seiring waktu
mereka mengubah dan mengklarifikasi posisi mereka dalam menanggapi
kedua kritik. dan pujian yang terlalu antusias. Meskipun hal ini dapat
mempersulit untuk menentukan satu definisi tentang apa yang, secara
historis, dianggap sebagai teori kebenaran pragmatis, ada beberapa tema
umum yang melintasi setiap kisah mereka (Todd May, 2011). Pertama,
setiap kisah dimulai dari analisis pragmatis terhadap makna predikat
kebenaran. Dengan asumsi bahwa menggambarkan kepercayaan, klaim,
atau penilaian sebagai ‘benar’ harus membuat semacam perbedaan praktis,
masing-masing akun ini mencoba untuk menggambarkan apa perbedaan
ini (John Langshaw Austin, 2012). Kedua, setiap kisah kemudian
menghubungkan kebenaran secara khusus dengan proses penyelidikan:
menggambarkan suatu klaim sebagai benar berarti mengatakan bahwa
klaim itu telah atau akan bertahan untuk pemeriksaan (Albert J. Ayer dan J.
O’Grady, 2014). Ketiga, masing-masing akun menolak teori korespondensi
kebenaran sebagai terlalu abstrak, ‘transendental’, atau metafisika. Atau,
lebih tepatnya, masing-masing mencoba untuk mendefinisikan kembali
korespondensi dalam istilah pragmatis, sebagai kesepakatan antara klaim
dan hasil yang diprediksi (Suciarti, 2012).
Sementara penjelasan yang tepat yang ditawarkan oleh Pierce,
James, dan Dewey menemukan beberapa pembela pada pertengahan abad
kedua puluh teori kebenaran pragmatis sebagian besar tidak aktif -tema-
tema ini memang menetapkan lintasan untuk versi teori kebenaran
pragmatis di masa depan (Louis Kattsoff, 2004).
F. Teori Kebenaran Neo Pragmatik
1. Filsafat Kontemporer yang Terabaikan
Sampai penerbitan Filsafat dan Cermin Alam, pragmatisme adalah
anak tiri filsafat kontemporer yang terabaikan. Jika Rorty tidak melakukan
apa pun dan saya termasuk di antara mereka yang percaya bahwa dia
melakukan banyak hal lain mengingat kita pada kontribusi para filsuf
seperti James dan Dewey akan cukup membantu filsafat (Thomas Kuhn,
2012). Mungkin karena banyak dari tulisan mereka dapat diakses oleh
orang-orang yang tidak mendalami filsafat akademis, para pemikir ini
dianggap memiliki kualitas yang lebih rendah daripada orang lain yang
teksnya lebih kabur. Saya ingin menyatakan di sini bahwa Michel Foucault,
dari semua orang, adalah semacam pragmatis (Neil Postman, 2013). Dia
bukan seorang pragmatis klasik, meskipun dalam beberapa hal
metodologinya lebih dekat dengan metodologi Dewey daripada yang
mungkin dipikirkan orang. Dia, memang, dalam beberapa hal lebih dekat
dengan seorang pemikir seperti Dewey daripada beberapa neo-pragmatis
kontemporer, misalnya Rorty sendiri (Bertrand Russell, 2004).
Di atas segalanya, bagaimanapun, berpikir tentang Foucault dalam
hal pragmatisme tidak hanya mencerahkan kita pada karya Foucault.
Lebih penting lagi, ini memberi kita kesempatan untuk memperumit
pragmatisme dengan cara yang bermanfaat. Singkatnya, ini menggeser
pertanyaan pragmatis dari salah satu pertanyaan ‘Apa yang berhasil?’
menjadi salah satu pertanyaan ‘Bagaimana cara kerjanya?’ Pergeseran
metodologis produktif ini sekaligus menantang bidang kebutaan
pragmatisme dan membukanya pada perspektif politik yang lebih
halus. Dalam kuliah Tahun 1906-7 tentang pragmatisme, William James
mendefinisikan pragmatisme sebagai pertama, suatu metode; dan kedua,
teori genetik tentang apa yang dimaksud dengan kebenaran (James
William, 2013).
Sebagai suatu metode, pragmatisme bertanya, Apa bedanya secara
praktis bagi siapa pun jika gagasan ini daripada gagasan itu? Benarkah
gagasan jika tidak ada alternatif praktis yang dapat ditelusuri, maka
alternatif-alternatif tersebut secara praktis memiliki arti yang sama, dan
semua perselisihan tidak ada artinya (John Dewey, 2016). Setiap kali
perselisihan serius, kita harus dapat menunjukkan beberapa perbedaan
praktis yang harus mengikuti kebenaran dari satu sisi atau sisi lainnya (M.
William, 2010).
2. Teori Kehendak Bebas dan Determinis
Sebagai teori kebenaran, pragmatisme berpendapat bahwa Ide-ide
yang benar adalah ide-ide yang dapat kita asimilasi, validasikan, menguatkan dan
memverifikasi. Ide-ide palsu adalah ide-ide yang kita tidak bisa< Kebenaran suatu
ide bukanlah properti stagnan yang melekat di dalamnya. Kebenaran
terjadi pada suatu ide James (M. Bacon, 2012).
Untuk memahami apa yang dimaksud James dengan pragmatisme
sebagai suatu metode, kita harus membedakannya dari verifikasionisme
Ayer. Keduanya mungkin terdengar mirip pada pandangan pertama.
Ingatlah bahwa bagi Ayer, arti klaim adalah metode verifikasinya. Kriteria
yang kita gunakan untuk menguji kebenaran pernyataan fakta yang
tampak adalah kriteria keterverifikasian. Kami mengatakan bahwa suatu
kalimat secara faktual signifikan bagi orang tertentu jika, dan hanya jika,
dia tahu bagaimana memverifikasi posisi pro yang dimaksudkan untuk
diungkapkan yaitu, jika dia tahu pengamatan apa yang akan
menuntunnya, dalam kondisi tertentu, untuk menerima proposisi sebagai
benar, atau menolaknya (M. Bacon, 2012).
Bagi Ayer, jika kita ingin memahami apa arti suatu kalimat, kita
perlu tahu apa yang membuatnya benar atau salah. ‘Membuat benar atau
salah’ ini adalah pembuatan empiris. Jadi, misalnya, arti dari Ada tentara
AS di Irak‛ diberikan oleh apa yang akan dianggap sebagai bukti bahwa
mereka adalah tentara AS di Irak (AJ Ayer, Language, Truth and Logic (New
York: Dover, 1946) (James William, 2013).
Pandangan James berbeda. Meskipun, seperti Ayer, James prihatin
dengan konsekuensi praktis, dia tidak memodelkan konsekuensi itu hanya
pada penelitian empiris. Konsekuensi yang dia minati terikat pada bentuk
kehidupan kita. 'Perbedaan praktis' yang dicarinya tidak semata-mata
bersifat ilmiah. Ini adalah masalah apa yang membuat perbedaan dalam
cara kita menavigasi kehidupan kita. Ini dicontohkan dalam diskusi
singkat James tentang kehendak bebas (G.F. Pappas, 2018),
Setelah mengkritik penempatan kehendak bebas sebagai sesuatu
yang dapat direduksi menjadi masalah hukuman dan penghargaan, James
mengatakan kepada pendengarnya bahwa kehendak bebas secara
pragmatis berarti hal-hal baru di dunia, hak untuk mengharapkan hal itu
dalam elemen terdalamnya serta dalam fenomena permukaannya, masa
depan mungkin tidak secara identik mengulangi dan meniru masa lalu. Ini
menahan perbaikan setidak-tidaknya mungkin; sedangkan determinisme
meyakinkan kita bahwa seluruh gagasan kita tentang kemungkinan lahir
dari ketidaktahuan manusia, dan bahwa keharusan dan ketidakmungkinan
di antara mereka mengatur takdir dunia (James William, 2013).
Bandingkan doktrin ini dengan klaim Ayer bahwa kita harus
bertanya bagaimana saya bisa membuat pilihan saya. Entah itu kebetulan
bahwa saya memilih untuk bertindak seperti yang saya lakukan atau tidak.
Jika itu adalah kecelakaan, maka itu hanya masalah kebetulan bahwa saya
tidak memilih sebaliknya; dan jika itu hanya masalah kebetulan bahwa
saya tidak memilih sebaliknya, tentu tidak rasional untuk meminta saya
bertanggung jawab secara moral untuk memilih seperti yang saya lakukan
(Lorens Bagus, 2016). Jika bukan kebetulan saya memilih untuk melakukan
satu hal sebagai gantinya daripada yang lain, maka mungkin ada beberapa
penjelasan kausal dari pilihan saya: dan dalam hal ini kita dibawa kembali
ke determinisme (John Capss, 2019).
Baginya, perdebatan antara ahli teori kehendak bebas dan
determinis bermuara pada tanggung jawab moral, yang pada gilirannya
sampai pada pertanyaan tentang penjelasan kausal. Bagi James, sebaliknya,
perbedaan yang seharusnya dibuat oleh suatu klaim bukanlah perbedaan
epistemik, melainkan, dalam arti luas, perbedaan eksistensial. Dewey
memberikan catatan yang sama ketika dia menulis (Chaterine Legg, 2014).
Suatu temuan empiris disangkal bukan dengan penyangkalan
bahwa seseorang menemukan hal-hal sebagai demikian dan demikian,
tetapi dengan memberikan arahan-arahan untuk suatu rangkaian
pengalaman yang menghasilkan penemuan kebalikannya sebagai
kasusnya. Menyakinkan kesalahan serta menuntun pada kebenaran berarti
membantu orang lain untuk melihat dan menemukan sesuatu yang sampai
sekarang gagal ia temukan dan kenali (John Dewey, 2016).
3. Gagasan Korespondensi
Pandangan pragmatis tentang kebenaran, elemen kedua dari
pragmatisme yang diisolasi James, sejalan dengan pendekatan
metodologisnya. Kebenaran, bagi James, adalah menjadi. Ini bukan
korelasi antara dunia yang sudah ada sebelumnya dan klaim tentangnya
(Thomas S. Kuhn, 2012). Gagasan korespondensi itu sendiri mengandaikan
perbedaan antara subjek dan objek yang dikritik Dewey dalam Experience
and Nature. Sebaliknya, kebenaran harus dipahami sebagai keyakinan yang
membantu kita menavigasi dunia dengan lebih efisien ke tujuan kita.
Rorty menulis, poin James' *ketika mendefinisikan kebenaran sebagai 'apa
yang baik dalam cara kepercayaan'+ adalah bahwa tidak yang lebih dalam
untuk dikatakan: kebenaran bukanlah hal yang memiliki esensi (Richard
Rorty, “Pragmatism, Relativism, Irrationalism” in Consequences of
Pragmatism (Todd May, 2011).
Kami menemukan kebenaran ketika kita menyadari bahwa pilihan
tertentu lebih baik untuk dimiliki daripada yang lain, karena mereka lebih
cocok dengan usaha kita untuk hidup. Ini tidak boleh disalahartikan
sebagai teori kebenaran koherensi. Untuk teori koherensi, yang membuat
suatu klaim benar adalah kesesuaiannya dengan klaim lain. Pendekatan
seperti itu, bagaimanapun, memisahkan pengalaman dari ranah epistemik,
berpura-pura bahwa klaim yang kita buat membentuk arena di mana
kebenaran menjadi referensial secara internal. Itu bukan poin pragmatis
(John Langshaw Austin, 2012).
Kenyataannya, itu akan mengkhianati pengakuan James dan Rorty
dengan mengajukan esensi kebenaran. Sebaliknya, kita mungkin
mengatakan bahwa tidak ada yang khusus untuk dikatakan tentang
kebenaran, tetapi hanya tentang kebenaran tertentu. Seperti yang
dikatakan Dewey, Kebenaran adalah kumpulan kebenaran; dan kebenaran
konstituen ini berada dalam penyimpanan metode penyelidikan dan
pengujian terbaik yang tersedia untuk masalah fakta; metode yang, ketika
dikumpulkan di bawah satu nama, ilmu. Mengenai kebenaran, filsafat
tidak memiliki status unggulan; itu adalah penerima, bukan donor ( John
Dewey, 2016).
4. Pengumpulan Kebenaran
Orang mungkin berdalih dengan rincian jenis akun kebenaran ini.
Misalnya, mungkin sulit bagi seseorang untuk mempertahankan akun dari
klaim seperti Itu benar, secara ketat dalam istilah Ini adalah klaim yang
akan membantu seseorang menavigasi dunia dengan lebih baik. Seperti
yang telah diakui oleh neo-pragmatis lain, satu perlu memiliki pandangan
kebenaran yang sedikit diubah, tetapi tetap deflasi, untuk menyesuaikan
penjelasan pragmatis dengan teknis khusus tentang bagaimana istilah-
istilah seperti 'benar' berfungsi dalam bahasa. Namun, intinya tetap bahwa
bagi Brandom dan kaum neo-pragmatis, tidak ada yang menarik secara
filosofis tentang kebenaran. Yang menarik terletak pada keyakinan itu
sendiri, dalam struktur inferensialnya dan jalinannya dengan kehidupan
kita (Albert J. Ayer dan J. O’Grady, 2014).
Baru dalam jalinan kebenaran, struktur inferensial, dan kehidupan
inilah kita menemukan kaitan Foucault dengan pragmatisme. Ada ikatan
yang dalam, tetapi juga kritik tertentu yang berperan di sini. Mari kita
mulai dengan ikatan, karena itu akan membawa kita pada kritik. Foucault
menulis bahwa, Kebenaran adalah sesuatu dari dunia ini: itu diproduksi
hanya berdasarkan berbagai bentuk kendala. Seperti halnya pendekatan
pragmatis terhadap kebenaran, orang mungkin berdalih dengan kata-kata
Foucault di sini ( Suciarti, 2012).
Dari sini, kita dapat melihat bahwa keyakinan dan tindakan sangat
terkait. Kita dapat melangkah lebih jauh dan melihat bahwa
kepercayaan/perbuatan kita terjalin dengan sendirinya dengan dunia.
Langkah terakhir ini didasarkan pada gagasan pragmatisme bahwa
pembedaan subjek/objek adalah ilusi filosofis (Louis Kattsoff, 2004). Ketika
objek diisolasi dari pengalaman yang melaluinya mereka dicapai dan di
mana mereka berfungsi, tulis Dewey, pengalaman itu sendiri menjadi
direduksi menjadi sekadar proses mengalami, dan oleh karena itu
pengalaman diperlakukan seolah-olah itu juga lengkap dalam dirinya
sendiri. Kita mendapatkan absurditas dari suatu pengalaman yang hanya
mengalami dirinya sendiri, keadaan dan proses kesadaran, alih-alih hal-hal
alam (John Dewey, 2016).
Gagasan tentang praktik bukanlah hal yang asing bagi
pragmatisme. Bahkan, tampaknya tersirat dalam banyak literatur
pragmatis; meskipun saya tidak tahu di mana saja ia menerima perlakuan
eksplisit. Ilmu-ilmu yang dirujuk oleh Dewey dalam kutipan di atas
sebagai pengumpulan kebenaran, serta filsafat, adalah contoh-contoh daya
tarik praktik sebagai bentuk perilaku yang koheren dan terstruktur (John
Capss, 2019).
Silsilah Foucault sebenarnya adalah silsilah praktik. Ketika ia
menelusuri munculnya kaitan kekuasaan tertentu, terutama dalam Disiplin
dan Menghukum dan volume pertama Sejarah Seksualitas, ia sebenarnya
menelusuri konvergensi historis dari praktik-praktik tertentu. Dan
meskipun fakta ini tidak diakui secara umum, itu diakui oleh Foucault
sendiri. Dalam diskusi meja bundar tentang Disiplin dan Hukuman, Foucault
pernah berkata, 'Dalam pekerjaan di penjara ini, seperti di tempat lain,
target, titik serangan analitik, bukanlah 'institusi,' atau 'teori' atau 'ideo
logi', tetapi 'praktik'<ini adalah pertanyaan menganalisis 'rezim praktik'
praktik dianggap sebagai tempat terjalinnya apa yang dikatakan dan apa
yang dilakukan, aturan yang diberlakukan dan alasan yang diberikan,
proyek dan bukti (Chaterine Legg, 2014).
Pada titik inilah, titik kontak paling dekat antara pragmatisme dan
Foucault, kita dapat mulai melihat apa yang memisahkan keduanya, dan
apa yang Foucault tawarkan pragmatisme dalam hal kedalaman politik
kritis. Seperti yang kita lihat di atas, perhatian Yakobus terhadap
kebenaran adalah perhatian pada apa yang mungkin kita sebut
keberhasilan klaim atau keyakinan tertentu (Todd May, 2011). Pembedaan
antara klaim dan keyakinan tidak menjadi masalah untuk pertaruhan
diskusi ini.) Ini adalah tema pragmatis yang umum. Kebenaran dan
akibatnya kebaikan keyakinan didefinisikan dalam hal apa yang berhasil,
apa yang memungkinkan seseorang untuk menavigasi dunia lebih berhasil
daripada sebelumnya (John Langshaw Austin, 2012).
Tujuan bisa lebih atau kurang dicerminkan secara epistemik. Sains,
misalnya, adalah praktik yang lebih berorientasi epistemi, sedangkan
baseball tidak. Akibatnya, kebenaran yang terjadi dalam sains akan tampak
lebih terpisah dari kehidupan sehari-hari, lebih mementingkan
pengetahuan 'murni', daripada kebenaran yang terjadi dalam bisbol; tetapi
keduanya, dengan caranya masing-masing, adalah kejadian kebenaran
yang memungkinkan menavigasi dunia melalui praktik seseorang
(penyelidikan ilmiah, baseball) dengan lebih sukses (Albert J. Ayer dan J.
O’Grady, 2014).
Justru pada titik inilah kritik Foucault terjadi. Dia tidak menyangkal
apapun yang telah kita katakan sejauh ini. Bagi Foucault, dan bagi James,
kebenaran terjadi pada suatu ide. Sebaliknya, intervensinya terdiri dalam
menanyakan tentang karakter politik dari praktik, terutama dalam dimensi
historisnya yang khusus. Begitu karakter politik ini dikenali, gagasan
navigasi dunia yang sukses akan tampak lebih rumit. Untuk
mengantisipasi, pertanyaan-pertanyaan yang dalam penyelidikannya
memungkinkan kita untuk bertanya, menyangkut karakter keterlibatan
dunia yang sukses (Suciarti, 2012).
Pada titik ini saya ingin mengambil beberapa ide yang sudah
dikenal dari karya Foucault dan mengaturnya sedemikian rupa untuk
memperjelas kaitan antara kekuasaan dan praktik. Seperti yang diketahui
semua sarjana Foucault, di antara ide-ide Foucault tentang kekuasaan,
setidaknya ada tiga yang sentral: bahwa kekuasaan muncul di kapiler-
kapiler, bahwa kekuasaan itu produktif dan tidak sekadar represif, dan
bahwa banyak kekuasaan terkait erat dengan pengetahuan. Klaim saya
adalah bahwa konsep praktiklah yang menyatukan ketiga gagasan ini.
Untuk melihat caranya, mari kita ambil contoh praktik yang sering muncul
dalam karya Foucault: psikoterapi. (Demi kesederhanaan, kita dapat
mengesampingkan pertanyaan apakah berbagai jenis psikoterapi
merupakan praktik sosial yang berbeda) (Louis Kattsoff, 2004).
Pertama, psikoterapi beroperasi di kapiler. Di jantung ada struktur
seperti negara atau kumpulan praktik seperti ekonomi. Sebaliknya, praktik
tertentu seperti psikoterapi, sementara efeknya (psikologis, ekonomi, dan
lainnya) mungkin mengalir ke jantung, tetap pada tingkat kapiler (Thomas
Kuhn, 2012).
Psikoterapi membutuhkan dan menyumbangkan jenis pengetahuan
tertentu; pengetahuan tentang seperti apa orang dan khususnya
kepribadian mereka. Berbagai inkarnasi dari Diagnostic and Statistical
Manual, yang diagnosisnya diperlukan oleh perusahaan asuransi jika
pasien ingin mendapatkan penggantian biaya untuk terapi, menelusuri
pemahaman yang berbeda tentang gangguan kepribadian (Neil Postman,
2013).
Dalam versi DSM sebelumnya, misalnya, homoseksualitas adalah
suatu kelainan. Sekarang, karena anugerah profesi, tidak demikian. Mereka
yang mengembangkan DSM punya cerita tentang sejarah ini. Ini adalah
kisah yang akrab, yang menyangkut kemajuan pengetahuan ilmiah (G.F.
Pappas, 2018). Ketika kita belajar lebih banyak tentang seperti apa pikiran
manusia, kita menjadi lebih akurat dalam mengenali dan mendiagnosis
gangguan psikologis tertentu. Pembaca Foucault, bagaimanapun, akan
segera mengenali jenis sejarah progresif yang telah banyak ditumbangkan
oleh karyanya (Bertrand Russell, 2004).
Secara khusus, karyanya telah berbuat banyak untuk
menumbangkan kisah kemajuan dalam sejarah psikoterapi. Kita hanya
perlu mengingat halaman-halaman dalam Disiplin dan Menghukum tentang
peran ilmu-ilmu 'jiwa' dalam mengindividualisasikan penjahat dan
membuat kejahatan mereka menjadi ekspresi kepribadian mereka atau
diskusi tentang sosok wanita histeris, anak yang melakukan masturbasi,
dan orang dewasa yang jahat di volume pertama Sejarah Seksualitas untuk
mengenali ini. Tanpa menceritakan kisah-kisah akrab itu secara rinci, kita
dapat menyimpulkan bahwa, bagi Foucault, pengetahuan yang terkait
dengan praktik psikoterapi adalah pengetahuan yang terkait erat dengan
kekuasaan (Bertrand Russell, 2014).
Dari sana, hanya langkah singkat menuju konsepsi kekuasaan
sebagai produktif. Diagnosis yang diajukan oleh praktik psikoterapi dan
praktik-praktik yang terkait dengan psikologi akademis dihasilkan
sebanyak yang ditemukan (Lorens Bagus, 2016). Faktanya, tidak ada garis
yang jelas yang dapat ditarik antara produksi dan penemuan berbagai
tokoh DSM: kaum homoseksual, skizofrenia, kepribadian borderline, dan
lain-lain. Ini karena mereka yang menjalani psikoterapi, sejauh terapi
tersebut berhasil, mulai memahami diri mereka sendiri dalam istilah yang
mereka lihat. Ketika mereka melakukannya, mereka bertindak sesuai
dengan diagnosis mereka dan pengobatan khusus untuk diagnosis
tersebut. (Ingat di sini desakan pragmatis tentang jalinan kepercayaan dan
tindakan) (John Capss, 2019).
5. Fertilisasi Silang
Psikoterapi adalah praktik yang juga merupakan bentuk
pengetahuan. Tindakannya sendiri dari intervensi kepribadian disusun
oleh, dan pada gilirannya menyusun seluruh jaringan inferensial di mana
DSM adalah salah satu ekspresi utamanya. Sekali lagi pada gilirannya,
mereka yang tunduk pada praktik sosial ini pasien, keluarga mereka,
terapis, rumah sakit, klinik, serta perusahaan asuransi dan lembaga
kesejahteraan negara - mengadopsi, sampai batas tertentu, karakteristik
pemahaman dan pemahaman diri dari praktik ini; sejauh mereka
tenggelam dalam jaringan inferensial dari praktik ini, pemahaman dan
pemahaman diri ini masuk akal dan dapat dibenarkan (Albert J. Ayer dan
J. O’Grady, 2014).
Orang mungkin keberatan di sini bahwa contoh psikoterapi adalah
condong. Tentu saja, psikoterapi, karena ia mengintervensi kehidupan
orang-orang, tunduk pada kaitan kekuasaan seperti yang dibahas Foucault,
tetapi seberapa jauh kita dapat mendorong poin ini? Seberapa luas kaitan
antara praktik, pengetahuan, dan kekuasaan? Apakah itu meluas,
misalnya, ke latihan bola dasar? (Franz Magniz Suseno, 2000).
Saya yakin kita bisa menjawab pertanyaan ini dengan tegas.
Klaimnya bukanlah bahwa semua praktik memiliki tingkat kedalaman
atau pengaruh yang sama dalam hal kaitan kekuasaan dan pengetahuan.
Jika itu masalahnya, maka Foucault akan sama bijaksananya untuk
mempelajari bisbol seperti halnya praktik psikoterapi. Sebaliknya, idenya
adalah bahwa, sampai batas tertentu, kekuatan dan pengetahuan, dan
khususnya kaitan mereka, muncul dalam praktik. Jadi, dalam kasus bisbol
orang mungkin menemukannya beroperasi, setidaknya di margin memang
tidak sulit untuk membayangkan kasus seperti itu (Louis Kattsoff, 2004).
Pikirkan, misalnya, seorang pemain bisbol yang akan memberikan
pidato publik diberitahu bahwa dia on deck. Implikasinya di sini adalah
bahwa orang tersebut akan terlibat dalam aktivitas kompetitif yang
tujuannya adalah untuk memenangkan sesuatu, apakah itu rasa hormat
penonton, keterlibatan berbicara lainnya, atau sesuatu yang lain (Thomas
Kuhn, 2012). Sejauh orang ini memahami dirinya sendiri melalui
permainan bisbol, mentransfer citra berada di geladak ke aktivitas lain
mempromosikan pemahaman diri yang kompetitif, yang menghasilkan
keyakinan dan tindakan yang terkait dengan dunia dalam mode kompetitif
(Neil Postman, 2013).
Mungkin ditunjukkan di sini bahwa tidak hanya pemain bisbol,
tetapi orang lain juga tunduk pada lokusi berada di geladak. Ini benar. Juga
benar bahwa orang-orang yang tidak berada dalam psikoterapi tunduk
pada pengaruh dari praktik itu. Praktik tidak berdiri sendiri. Mereka
terjalin dan meresapi budaya dan masyarakat kita dengan cara yang
berbeda dan pada tingkat yang berbeda. Selain itu, perendaman individu
dalam praktik yang berbeda dapat menyebabkan fertilisasi silang dari efek
kekuatan/pengetahuan dari praktik tersebut dalam keyakinan, tindakan,
dan keterlibatannya (Bertrand Russell, 2004).
Apa yang ditawarkan Foucault dalam memfokuskan pada tingkat
praktik sebagai unit penyelidikan historis dan silsilahnya bukanlah analitik
khusus atau sempit, melainkan cara memahami diri kita sendiri dan
bagaimana kita menjadi diri kita sendiri melalui cara yang paling umum
dan meresap. di mana kita terlibat dengan dunia. Tambahan yang saya
buat untuk klaim Foucault sendiri tentang praktik adalah bahwa dalam
praktiklah kaitan kekuasaan dapat ditemukan pengetahuan (Lorens Bagus,
2016).
Bahkan ini bukanlah tambahan melainkan klarifikasi yang
memungkinkan kita untuk melihat secara lebih gamblang kaitan antara
karyanya dan pragmatisme. Namun, setelah membuat klarifikasi ini, kita
harus bertanya tentang kaitan itu. Apa implikasi dari semua ini bagi
pragmatisme? Itu terletak pada pengenalan kompleksitas yang tampaknya
telah lolos dari James dan, pada tingkat lebih rendah, Dewey, yang
keberhasilan suatu praktik terletak pada kemampuannya untuk membantu
kita menavigasi dunia (G.F. Pappas, 2018).
Jika pendekatan silsilah Foucault membantu, konsep kesuksesan itu
sendiri harus diselidiki daripada menjadi semacam 'penjelasan yang tidak
dapat dijelaskan.' Tujuan dunia yang berhasil tampaknya menjadi masalah
pencapaian tujuan seseorang dengan lebih baik atau lebih efisien atau lebih
bermakna. Dengan mengatakan ini, kita mungkin bertanya, apa
pemahaman diri yang terkait dengan perasaan sukses tertentu? (John
Capss, 2019).
Jika, misalnya, kita diproduksi sampai batas tertentu menjadi
makhluk psikologis dengan kepribadian dari tipe yang dipromosikan
psikoterapi, maka kesuksesan akan didefinisikan dalam istilah psikoterapi.
Ini, pada gilirannya, memiliki efek politiknya sendiri, efek yang telah
dilacak Foucault dalam Discipline and Punish dan volume pertama History of
Sexuality (Sokhi Huda, 2019).
Efek-efek ini tidak selalu seperti yang ingin diratifikasi,
berdasarkan refleksi. Beberapa di antaranya, misalnya membuat-jinak
tubuh manusia, dalam istilah Foucault, tidak dapat ditoleransi. Maka, kita
tidak dapat mengambil gagasan tentang kesuksesan atau gagasan untuk
menavigasi dunia dengan lebih berhasil pada nilai nominalnya. Kita harus
melihatnya sebagai nama masalah yang akan diselidiki daripada solusi
yang harus dicapai. Ini, menurut saya, adalah poin yang akan
memperdalam pragmatisme tanpa melanggar komitmen utamanya.
Sebaliknya, ia akan menawarkan dimensi historis bagi pemikiran
pragmatis (Chaterine Legg, 2014).
Sukses dalam menavigasi dunia tidak diberikan. Sebaliknya,
seseorang berhasil dalam parameter tertentu, dan parameter tersebut
memiliki pengaruh politik. Parameter tidak hanya memberikan batas
teritorial di mana seseorang dapat sedikit banyak berhasil dalam
navigasinya. Masalahnya lebih dalam: apa yang dianggap sebagai
kesuksesan serta apa yang didorong atau dihalangi (atau bahkan dilarang)
atas nama kesuksesan itu adalah masalah politik. Mereka adalah masalah
tentang siapa kita telah dibentuk dan terdiri dari apa pemahaman dan
pemahaman diri kita (Todd May, 2011).
Dari sudut lain, ditemukan perbedaan antara Foucault dan
pragmatis dan neo-pragmatis dengan cara ini. Untuk yang terakhir,
pragmatisme adalah masalah apa yang praktis; sedangkan bagi Foucault,
pragmatisme adalah soal mengambil praktik kita sebagai unit analisis. Apa
yang memberi kekuatan pada karya Foucault, dan apa yang membuatnya
relevan bagi pragmatisme, adalah bahwa melalui praktik-praktik kitalah
yang dianggap praktis muncul bagi kita. Kita tidak bisa menganggap
praktis, atau sukses di dalamnya, sebagai sesuatu yang diberikan. Itulah
pelajaran dari silsilahnya (Rahardi Kunjana, 2013).
Karya Foucault tentu saja tidak menggantikan pragmatisme klasik
atau neo-pragmatisme. Penekanan pragmatisme pada ikatan antara
keyakinan dan tindakan dan antara mereka dan dunia tetap relevan bagi
kita. Bahkan gagasannya tentang navigasi dunia yang berhasil, yang secara
tepat diperumit oleh analisis politik, memiliki banyak hal untuk dikatakan.
(John Langshaw Austin, 2012). Jika apa yang saya kemukakan di sini
benar, daripada melihat karya Foucault sebagai pengganti pragmatisme,
kita harus melihatnya dalam garis yang membentang dari James dan
Dewey melalui Rorty ke Foucault (bahkan jika kronologi dari dua yang
terakhir harus pada saat-saat tertentu) di balik) (Albert J. Ayer dan J.
O’Grady, 2014). Pragmatisme telah menawarkan kepada kita perspektif
filosofis yang kuat tentang jalinan diri kita dan dunia kita, tidak diragukan
lagi sekuat yang terbaik dari tradisi fenomenologis. Melihat karya Foucault
terlibat dengan tradisi itu tidak memungkinkan kita untuk melampauinya,
melainkan untuk menambahkan dimensi pada tradisinya yang sudah kaya
(Albert J. Ayer dan J. O’Grady, 2014).
DAFTAR REFERENSI

Austin, John Langshaw. (2012). How to Do Things with Words. Oxford:


Clasendon Press.
Ayer, Albert J. dan J. O’Grady. (2014). A Dictionary of Philosophical
Quotations. Oxford: Blackwell Publishers.
Bacon, M. (2012). Pragmatism. Oxford: Polity Press.
Capss, John (2019). The Paragmatic Theory of Truth. Stanford Encyclopedia of
Philosophy. NY: Rochester Institute of Technology.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina (2015). Sosiolinguistik, Perkenalan Awal,.
Jakarta: Rineka Cipta.
Dewey, John. (2016). The pragmatism of Peirce. The Journal of Philosophy,
Psychology and Scientific Methods, 13)(26), 709-715). .
Huda, Sokhi (2019). Pragmatisme William James: Harmoni Kerjasama Psikologi
dan Filsafat. Surabaya: UIN Sunan Ampel.
Kattsoff, Louis. (2004). Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuhn, Thomas. (2012). The Structure of Scientifc Revolution. Chicago:
University of Chicago Press.
Kunjana, Rahardi. (2013). Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang:
Dioma.
Legg, Catherine. (2014). Charless Peirce's Limit Concept of Truth. Deakin:
University of Waikato.
May, Todd. (2011). A New Neo-Pragmatism: From James and Dewey to
Foucault. Clemson: Foucault Studies Clemson University.
Pappas, G. F. (2018). “The Latino Character of American Pragmatism”,
Transactions of the Charles S. Peirce Society, Volume 34, Nomor 1.
Postman, Neil. (2013). Technopoly, The Surrender of Culture to Technology.
New York: Vintage Books..
Rapar, Jan Hendrik. (2002). Pengantar Filsafat Yogyakarta: Kanisius.
Russell, Bertrand. (2014). Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi
Sosio-politik dari Zaman Kuni hingga Sekarang, terj. Sigi Jatmiko dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salam, Burhanuddin. (2015). Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.
Tiffin, John and Nobuyashi Terashima. (2005). Hypereality, Paradigm for The
Third Millenium. New York: Routledge.
Titus, Harold H.; Smith, Marilyn S.; Nolan, Richard T. (2014). Persoalan-
Persoalan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.
Williams, M. (2010). “Pragmatism, Minimalism, Expressivism”.
International Journal of Philosophical Studies. Volume 18, Noor 3.

Anda mungkin juga menyukai