Anda di halaman 1dari 13

CRITIKAL BOOK REPORT MENGGIRING REKAN SEJATI

DI BUAT OLEH :
NAMA : JOHANESLIM ZALUKHU (192124033)

SEM/KLS : IV/B
PRODI : B. INDONESIA
M.K : PRAGMATIK BAHASA INDONESIA

DOSEN PENGAMPU : NOIBE HALAWA , S.Pd, M.Pd.

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) GUNUNGSITOLI


FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
TAHUN AJARAN 2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. IDENTITAS BUKU
1. NAMA BUKU : MENGGIRING REKAN SEJATI
2. PENYUNTING : SOENJONO DARDJOWIDJOJO
3. DI TERBITKAN OLEH : UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA
ATMAN JAYA
4. KOTA : JAKARTA,INDONESIA
5. TAHUN DI TERBITKAN : 1994
6. HAK CIPTA : UNIKA ATMA JAYA
7. TEBAL BUKU : 60 HALAMAN

B. Latar Belakang

Bidang kajian linguistik ini akan diuraikan secara umum, sebatas pada hal- hal
yang dianggap sebagai yang pokok-pokok saja karena uraian selayang pandang ini
terutama ditujukan kepada para mahasiswa yang ingin mendalami linguistik. Jika setelah
mengikuti paparan ini mereka menjadi lebih tahu apakah pragmatik itu, apa bedanya
dengan semantik, apa butir-butir atau hal-hal yang (biasanya) diliput di dalam pragmatik
dan, terutama, topik-topik pragmatik apa saja yang kiranya dapat dijadikan topik
penelitian, tujuan tulisan ini sudah dapat dikatakan tercapai, apa lagi jika uraian ini dapat
merangsang minat peserta untuk lebilh mendalami pragmatik. Pemilihan topik tulisan ini
antara lain didorong oleh permintaan International Pragmatics Association, sebuah
organisasi yang bertujuan menyebarluaskan pengetahuan tentang pragmatik, yang secara
umum dapat diartikan sebagai bidang kajian antardisiplin dengan perspektif kognitif,
sosial dan kultural. Seperti yang disebutkan di dalam surat sekretaris jenderalnya yang
dikirimkah dari Antwerpen, Belgia, 16 Desember yang lalu, permintaan itu ialah 'untuk
mengusahakan agar di Indonesia didirikan semacan pusat penerangan pragmatik yang
antara lain akan berfungsi sebaga penyalur informasi tentang hal-hal yang berkaitan
dengan pragmatik.

C. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari pragmatik
2. Pokok-pokok bahasan pragmatik.
3. Bagaimana yang di namakan tindak tutur.
4. Jenis-jenis tindak tutur.
5. Bagaimana tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung.
6. Apa itu isi isu dalam pragmatik.
D. Manfaat
1. Untuk mengetahui apakah pengertian pragmatik
2. Untuk mengetahuai apa saja kajian dari pragmatik.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis tindak tutur dan lain-lain.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Pragmatik
Di dalam linguistik terdapat dua aliran utama, yaitu formalisme dan fungsionalisme.
Yang pertama itu mengacu ke pandangan bahwa kajian linguistik adalah kajian tentang
bentuk (form bahasa dan bahan (ubstaitc bahasa. Yang kedua merujuk ke pendapat
bahwa kajian linguistik adalah kajian fungsi ujaran. Tokoh aliran formalisme m isalnya
adalalı Bioomfield dan Chomsky: tokch aliran fungsionalisme misalnya adalahı Halliday.
pragmatik dapat didefinisikan sebagai bidang linguistik yang mengkaji hubungan
(timbal-balik) fungsi ujar- an dan bentuk (struktur) kalimat yang mengungkapkan ujaran
itu.
Yang barang kali perlu dicatat di dalam hal ini adalah bahwa istilah
fungsionalisme di sini tidaklah sama dengan fungsionalisme yang berasal dari Aliran
Praha. Seperti yang kita ketahui, fungsionalisme di dalam Aliran Praha itu memang
menelaah fungsi, tetapi yang di telaah terbatas pāda fungsi bentuk-bentuk bahasa di
dalam kalimat, bukan fungsi ujaran. Dengan demikian, fungsionalisme Aliran Praha itu,
yang antara lain menghasilkan konsep-konsep seperti fungsi distingtif fitur fonetis dan
perspektif kalimat fungsional, dapat disebut sebagai fungsionalisme di dalam kubu
formalis- me, bukan fungsionalisme yang menjadi landasan pragmatik/ Ada kesan bahwa
pragmatik itu adalah bidang kajian linguistik batu,
Sebenarnya, istilah pragmatik itu sudah lama dipakai di kalangan linguis, yaitu,
kalau tidak salah, sejak diterbitkannya buku John Austin How to Do Things with Words
(962). Bahkan jauh sebelum itu, pada 1937 Charles Morris sudah menggunakannya
(Fasold, 1990: 120), yaitu di dalam kaitannya dengan semiotik. Morris membagi "ilmu
lambang" ini menjadi tiga! sintaksis, semantik dan pragmatik.
perbedaan di antara semantik dan pragmatik? Singkat- nya,
 yang pertama itu mempelajari makna (makna kata dan makna kalimat), sedangkan
yang kedua mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan)
 semantik bertanya "Apa makna X?" dan pragmatik bertanya "Apa yang anda
maksudkan dengan X
 semantik berkaitan dengan makna tanpa acuan
,

Sedangkan pragmatik justru mengaitkan "makna" dengan siapa berbicara kepada


siapa, di mana, bilamana, bagaimana . apa lungsi ujaran itu. Perbedaan yang ketiga ini
berimplikasi bahwa makna di dalam semantik di satukan oleh koteks (cotext), sedangkan
"makna" di dalam pragmatik ditentukan oleh konteks.

Bagaimanapun, salah satu batasan pragmatik yang diterima di kalangan kedua


tradisi itu adalah bahwa bidang kajian ini adalah bidang di dalam linguistik yang
mengkaji maksud ujaran, bukan se mata-mata makna kalimat yang diujarkan. Makna
kalimat, seperti yang disinggung di atas, dikaji di dalam semantik; maksud atau daya
(force) ujaran di kaji di dalam pragmatik. Dengan demikian, slah satu satuan analisis
pragmatik bukanlah kalimat (karena kalimat adalah satuan tata bahasa), melainkan tindak
tutur (tindak ujaran) atau panjang lebar itu di sini dikutip beberapa pengertian tentang
prag- matik.

1. Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan di antara tanda (lambang) dan


penafsirannya (berbeda dengan semantik. yang adalah kajian mengenai hubungan
di antara tanda (lambang) dan objek yang di olehnya).
2. semantik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa dan semantik adalah kajian
mengenai makna
3. pramagtik adalah bahwa kajian ini mencoba menjelaskan aspek aspek struktur
linguistik dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonlinguistik.
2. Pokok-Pokok Bahasan Dasar Pragmatik
Apakah kita mengikuti tradisi Anglo-Amerika atau tradisi kontinental, ada pokok-pokok
bahasan dasar yang perlu diketahui oleh orang yang akan mempelajari pragmatik. Di
antaranya adalah. Tindak tutur, implikatur, kesantunan, dan isu-isu di dalam pragmatik
3. Tindak Tutur
a. Performatif
Tindak tutur atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan penting di
dalam pragmatik karena ia adalah salah satu satu analisisnya. Istilah act sering di
kaitkan dengan filosof Britania John L. Austin, yang untuk pertama kalinya, di
dalam kuliahnya di Universitas Harvard pada tahun 1955, yang kemadian di bu-
kukan dan diterbitkan secara anumerta pada tahun 1962 dengan ju- dul How to Do
Things with Words, mengalakan bahwa mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat
dilihat sebagai melakukan tindakan (act), di samping, memang, mengucapkan
(mengujarkan) kalimat itu. la membedakan ujaran yang kalimatnya bermodus
deklaratif menjadi dua, yaitu konstatif dan per formatjf. Yang Pertama itu adalah
ujaran yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji, yaitu benar atau
salah, dengan menggunakan pengetahuan kita tentang dunia. Contohnya adalah
"Jakarta ibu kota Indonesia", yang kebenarannya, yaitu apakah benar bahwa Jakarta
memang ibu kota Indonesia, dapat kita tolak atau kita terima dengan menggunakan
pengetahuan kita (tentang dunia).
kedua, performatif, adalah ujaran yang merupakan tindakan melakukan sesuatu
dengan membuat ujaran itu. Contoh- contohnya adalah: "Saya berjanji saya akan
datang."
Sahih atau tidaknya sebuah performatif bergantung kepada apakah persyaratan
kesahihan (felicity conditions) dipenuhi atau tidak. Menurut Austin (1962), yang
contoh-contoh performatifnya adalah yang biasanya dipakai di dalam upacara, ada
empat syarat kesahihan yang mesti di penuhi agar (tindak) performatif berhasil yaifu
sali, atau tidak batal).
 Mesti ada prosedur konvensional yang mempunyai efek konvensional, dan
prosedur itu mestilah mencakup pengujaran kata-kata tertentu oleh orang-orang
terientu pada peristiwa tertentu
 Orang-orang dan peristiwa tertentu di dalam kasus terientu mestilah yang
berkelayakan atau yang patut (appropriate) untuk pelaksanaan prosedur yang
dilaksanakan
 Prosedur itu mestilah dilaksanakan oleh para peserta secara (benar dan secara
sah).
 Secara lengkap.
b. Lokusi, llokusi, dan Perlokusi

Austin (1962) membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran.
Ketiganya adalah tindak lokusioner, tindak iloku- sioner, dan tindak perlokusioner
atau, singkatnya, lokusi, ilokusi dan porlokusi. Yang pertama itu semata-mata adalah
tindak berbi- cara atau tindak bertutur, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata
dan makna kalimat sesuai dengan makna kata itu dan makna sintaktis kalimat itu
menurut kaidah sintak- sisnya.

kedua, tindak ilokusioner atau ilokusi adalalh tindak melakukan sesuatu. Di


sini kita berbicara tentang maksud fungsi. atau daya ujaran yang bersangkutan, dan
bertanya "Untuk apa ujaran itu dilakukan?". Jadi, "Saya haus" yang maksudnya minta
minum adalah sebuah tindak ilokusioner (atau ilokusi).

Yang ketiga, tindak perlokusioner atau perlokusi, menurut Austin, mengacu


ke efek yang di hasilkan penutur dengan mengatakan sesuatu Di sinilah
ketidakjelasan rumusan Austin itu. Lokusi dan ilokusi dikatakan sebagai tindak (act),
sedangkan perlokusi di katakan sebagai efek. Jika di katakan bahwa perlokusi adalah
tindak melakukan sesuatu dengan mengatakan sesuatu (Leech, 1983: 199), ini pun
agak rancu dengan batasan ilokusi di atas karena bedanya hanyalah terletak pada
dalam mengatakan sesuatu.

c. Jenis-Jenis Tindak Tutur


John Searle, salah scorang murid Austin, menerbitkan buku Speech Acts berdasarkan
disertasi yang ditulisnya, yang berjudul "Sense and Reference". la mengembangkan
buah pikiran Austin dan sampai kepada kesimpulan bahwa semua ujaran, bukan saja
yang berisi kata kerja perforimatif. ("performatif eksplisit). pada hakikatnya adalah
tindakan. Jadi, ujaran "Saya minta maaf", misalnya, adalah tindak tutur minta maaf
dan ujaran "Ali mengatakan ia minta maaf", misalnya, adalah tindak tutur yang
menyatakan sesuatu misalnya, Scarle mengatakan ada lima syarat kesahihan, yang ia
namakan kaidah isi proposisional (propo- silional content rules), yaitu:
1. Penutur mestilah bermaksud memenuhi apa yang ia janjikan.
2. Penutur mestilah percaya (bahwa si pendengar percaya) bahwa tindakan yang di
janjikan menguntungkan pendengar.
3. Penutur mestilah percaya bahwa ia dapat memenuhi janji itu
4. Penutur mestilah memprediksikan tindakan (yang akan dilakukan) pada masa
yang akan datang
5. Penutur mesti memprediksikan tindakan yang akan di lakukan dirinya.

Yang penting disebutkan sehubungan dengan pengertian tindak ujaran atau


tindak tutur adalah bahwa ujaran (entah berapa jumlahnya) dapai di kategorikan,
seperti yang di utarakan oleh Searle (1975), menjadi lima jenis, yaitu:

1. representatif (kadang-kadang disebut asertif), yaitu tindak tutur yang


mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang di katakanınya
(misalnya: menyatakan, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan):
2. direktif (kadang-kadang di sebut impositif). yatu tindak tutur yang di lakukan
penuturnya dengan maksud agar sıpendengar melakukan tindakan yang di
sebutkan di dalam ujaran itu (misalnya: menyuruli, memohon, mcnuntut,
menyarankan, menantang).
3. ekspresif, yaitu tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya di
artikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam ujaran itu
(misalnya: memuji. mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh).
4. komisit, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan
apa yang di sebutkan di dalam ujarannya (misalnya: berjanji, bersumpah,
mengancam).
5. deklarası (bukan deklaratif), yaitu tindak tutur yang di lakukan si penutur
dengan maksud untuk menciptakan hal (status keadaan dan sebagainya)

Namun, yang dapat disimpulkan dari teori tindak tutur adalah bahwa satu
bentuk ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi. Kebalikannya adalah
kenyataan di dalam komunikasi yang scbenarnya, yakni bahwa salu fungsi dapat
dinyatakan, dilayani, atau diutarakan dalam berbagai bentuk ujaran. Menyuruh,
misalnya, dapat diungkapkan dengan menggunakan bentuk ujaran yang berupa
(Blum-Kulka. 198?):

1. kalimat bermodus imperatif (dan ini adalah yang dikatakan di dalam tata bahasa
tradisional) ("Pindahkan kotak ini. ")
2. kalimat performatif cksplisit ("Saya minta Saudara memin- dahkan kolak ini. ")
kalimat performatif berpagar ("Saya sebenarnya mau minta Saudara memindahkan
kotak ini. )
3. pernyataan keharusan ("Saudara harus memindahkan kotak )
4. pernyataan keinginan ("Saya ingin kotak ini dipindahkan. ")
5. rumusan saran ("Bagaimana kalau kotak ni dipindahkan?")
6. persiapan pertanyaan ("Saudara dapat memindahkan koak ini?")
7. isyarat kuat ("Dengan kotak ini di sini, ruangan ini keli hatan sesak.)
8. isyarat halus ("Ruangan ini kelihatan sesak. (misalnya memutuskan, membatalkan,
melarang)
d. Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung
Di dalam hal ini kita berbicara tentang tindak tutur langsung dan tindak tutur
tak langsung (Searle, 1975), dan derajat kelangsungan tindak tutur diukur berdasarkan
"jarak tempuh" yang diambil oleh sebuah ujaran, yaitu "titik" ilokusi (di benak
penutur) ke "titik" tujuan ilokusi (di benak pendengar). Jarak paling pendek adalah
garis jurus yang menghubungkan kedua titik tersebut, dan ihi dimungkinkan jika
ujarannya bermodus imperaif. Makin melengkung garis pragmatik itu, makin tidak
langsunglah ujarannya. Alih-alih jarak ilokusi, derajat kelangsungan tindak tufur
dapat juga diukur berdasarkan kejelasan pragmatisnya
Jika kedua hal ini (yaitu kelang- sungan dan keharfiahan ujaran) kita
gabungkan, kita akan menda- patkan empat macam ujaran, yaitu :
 langsung, harfiah ("Buka mulut," misalnya diucapkan olch dokter gigi kepada
pasiennya)
 langsung, tidak harfiah ("Tetup mulut!" misalnya diucapkan olch seseorang yang
jengkei kepada lawan bicaranya yang berbicara terus-mencrus);
 tidak langsung ("Bagaimana kalaumulutnya dibuka? (" misalnya diucapkan oleh
dokter gigi kepada pasien anak-anak agar si anak tidak takut)
 tidak langsung, tidak harfiah ("Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika kita semua
menutup mulut kita masing-masing, misalnya diucapkan oleh penutur kepada
orang yang diseganinya agar ia tidak membuka rahasia).
4. Implikatur
Paul Grice (1975) menunjukkan bahwa sebuah ujaran dapat mempunyai
implikası yang berupa proposisi yang sebenarnya bukan Bagian dari ujaran tersebut
dan bukan pula merupakan konsekuensi yang harus ada dari ujaran itu. Grice
menamakan proposisi atau "pernyataan" implikatif itu implikatur.
Walaupun demikian, kita perlu berhati-hati untuk mengatakan apakah sebuah
jawaban atas sebuah pertanyaan itu melanggar prinsip kerja sama atau tidak.
Berdasarkan "makna permukaan". Jawaban si pengemudi tadi memang melenceng.
Namun, seandainya si pengemudi tahu bahwa si polisi tahu yang dimaksudkannya
adalah menawar denda damai (dengan mengajukan "rumus" 2 x 22/7 x R, misalnya R
(rupiah itu adalah koheren. la tidak melanggar prinsip kerja sama Grice karena
berdasarkan "makna dalam" jawabannya nyambung. Setidak-tidaknya ia tidak
melanggar salah satu maksimnya, yaitu mak- sim relevansi. Grice menjabarkan
prinsip kerja samanya itu menjadi empat maksim yaitu:
Tiga di antaranya dijabarkan lagi menjadi submaksim-sub- maksim: = 10.000), maka
jawaban si pengemudi
 Maksimum Kuantitas
Submaksim: Buatlah sumbangan alau kontribusi anda seinformatif mungkin
sesuai dengan yang diperlukan (untuk maksud percakapan).
 Maksim Kualitas: Cobalah memberi sumbangan yang benar
Submaksim: Jangan katakan sesuatu yang anda tahu(percaya) tidak benar.
Submaksim: Jangan kaiakan sesuatu yang anda tidak punya cukup bukti.
 Maksim Relevansi (Keterkaitan). Katakan yang, relevan
 Maksim Cara: Katakar. dengan jelas.
 Submaksim: Hindarkan ketidak jelasan ujaran.
 Submaksim: Hindarkan ketaksaan.
 Submaksim: Singkat (hindarkan uraian panjang berlebihan dan lebar
 Submaksim: Tertib dan teratur

Menurut Grice, ada lima cara yang dapat diambil oleh percakapan

 Pertama, ia mematuhi maksım-maksin tersebut seperti apa adanya : ia dapat


mengungkapkan kebenaran yang ada (tanpa ditutup-tutupi), dengan memberikan
informasi yang cukup, dengan cara yang jelas, tidak taksa, ringkas dan terțib.
 Kedua ia melanggar maksim seperti halnya jika kita berbohong dengan sengaja.
 Ketiga, ia mematuhi maksim sejenak tetapi tidak meneruskannya misalnya bila ia
diminta untuk memberi keterangan, tetapi ia tidak dapat memberikan seluruh
keterangan karena terikat janji sumpah.
 Keempat, ia menempatkan dirinya pada situası di mana dua maksim (atau lebih)
berlanggar, artinya, ia "terpaksa" melanggar satu maksim (atau lebih) agar supaya
ia dapat mematuhi maksim yang lain.
 Kelima peserta percakapan "melecehkan" (flout) salah atu maksim; artinya ia
tidak mematuhi maksim, tetapi ia tidak dapat dituduh melanggarnya karena
pelanggarannya begitu mencolok schingga setiap orang yang terlibat percakapan
itu pun tahu bahwa melanggar maksim.
5. Isu-Isu di dalam Pragmatik

Sebagai kajian yang berkembang lebih kemudian, pragmatik mempunyai isu-isu


yang belum terjawab. Salah satunya adalah bahwa batas-batas kajlan ini belum jelas
benar. Sejalan dengan isu ini adalah pertanyaan apakah di antara pragmatik dan semantik
dapat ditarik garis pemisah yang jelas-tegas. Isu yang lain berkaitan dengan kesemestaan
teori-teori pragmatik. Misalnya, dapat dipertanyakan apakah prinsip kerja sama Grice itu
juga berlaku di dalam budaya-budaya non-Barat. Paling tidak sudah ada petunjuk bahwa
hal itu tidak benar. Di dalam masyarakat Malagasi, misalnya, seperti yang dilaporkan
oleh Elinor Ochs Keenan (1976), submaksim kuantitas ("Buatlah sumbangan anda
seinformatif mungkin sesuai dengan yang diperlukan") tidaklah dipatuhi orang pada
umumnya. Jadi, misalnya, jika seseorang penduduk desa Malagası yang baru pulang dari
pasar ditanya "Apa yang baru di pasar?" ia akan menjawab "Ada banyak orang di sana.
(ibid.: 173). Dari sudut pandang prinsip kerja sama Grice, jawaban itu jelas melanggar
maksim kuantitas. Namun, jika pengertian "sesuai dengan yang diperlukan di dalam
maksim itu ditafsirkan sebagai "sesuai dengan yang diperlukan di dalam percakapan yang
berlatar belakang kebudayaan tcrtentu", kita tidak dapat mengatakan bahwa maksim itu
dilanggar. Hal yang serupa juga terdapat di dalam masyarakat Jawa. Pertanyaan "Mau ke
mana?" boleh dijawab dengan "Mau ke barat situ, lo". Apakah ini contoh pelanggaran
maksinm kuantitas di dalam masyarakat Jawa? Pertanyaan itu membawa kita ke isu
penelitian pragmatik. Artinya, jika kita memang bersikap ilmiah, pertanyaan ringan
seperti itu sudah patutlah mendorong kita untuk membuat penelitian. Mungkin saja
pertanyaan "Mau ke mana?" itu bukan pertanyaan yang sebenarnya, melainkan hanyalah
merupakan rumusan tegur sapa, dan karenanya tidak terlalu menuntut jawaban yang
"tepat". Akan tetapi, tegur sapa, terulama yang menggunakan bentuk (kata) sapaan pun
masih berada di dalam rubrik pragmatik, setidak-tidaknya pragmatik tradisi kontinental.
BAB IV
PENUTUP
A. Pandangan Penulis Tentang Buku
Tulisan ini dibuat oleh peminat pragmatik, bukan oleh pakar pragmatik. Dengan
demikian, jika uraian di atas terasa kurang mendalam, hal ini dapat dimaklumi. Kekurang
dalaman terlihat pada terbatasnya konsep-konsep pragmatik yang dibahas. Untuk yang
ini, scbenarnya ada unsur kesengajaan. Tulisan ini dimaksudkan bagi orang yang belum
pernah belajar pragmatik. Penalaran mengapa konsep-konsep pragmatik yang diliput
terbatas adalah: jika terlalu banyak, orang yang mula-mula berminat dapat menjadi cepat
jenuh dan bingung. Bagi yang berminat mendalani pragmatik, ada buku-buku bacaan
wajib. Di antaranya adalah Pragmatics (Levinson, 1983) dan Principles of Pragmatics
(Leech, 1982). Ada Journal of Pragmalics yang juga patut dibaca. ang diterbitkan oleh
International Pragmatics Association.

B. Manfaat
Untuk dapat mengetahui berbagai kajian dalam pragmatik dan jenis dan hal yang lain
yang berkaitan pada pragmatik
C. Kritik
Buku ini sangat bagus untuk di pahami isinya karena kata dan kalimatnya mudah di
pahami dan sedikat ada kesalahan dalam penulisan tanda baca dan kata atau kalimat.

Anda mungkin juga menyukai