Anda di halaman 1dari 25

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac1.

i
d

BAB II
LANDASAN TEORI, KAJIAN PUSTAKA, DAN KERANGKA PIKIR

A. Landasan Teori

Acuan teori yang digunakan sebagai landasan untuk menganalisis penelitian


mengenai tindak tutur komunitas gamer di kota Solo dijabarkan sebagai berikut.

1. Pragmatik
Teori yang digunakan untuk menelaah data dalam tulisan ini menggunakan salah
satu cabang ilmu dari pragmatik, yaitu sosiopragmatik. Berdasarkan kenyataan tersebut,
penulis bermaksud menjabarkan posisi sosiopragmatik sesuai dengan perannya sebagai
sub ilmu yang menginduk pada pragmatik. Oleh sebab itu, landasan teori dimulai dari
penjelasan seluk beluk pragmatik yang akhirnya menuju kepada sosiopragmatik pada
sub bab berikutnya.
Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara
eksternal, yakni bagaimana satuan bahasa itu digunakan di dalam komunikasi. Secara
praktis, pragmatik dapat didefinisikan sebagai studi mengenai makna ujaran dalam
situasi-situasi tertentu (Leech, 1993: ix). Pengertian lebih lengkap oleh Levinson (1980)
dalam tulisannya, mengatakan bahwa pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara
bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman
bahasa, dengan kata lain telaah mengenai kemampuan bahasa menghubungkan serta
menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat.
Tercakupnya pragmatik merupakan tahap terakhir dalam gelombang-gelombang
ekspansi linguistik, dari sebuah disiplin sempit yang mengurusi data fisik bahasa,
menjadi suatu disiplin yang luas meliputi bentuk, makna, dan konteks. Pragmatik umum
sebagai cabang dari ilmu linguistik dapat dibagi menjadi dua jenis sesuai dengan objek
yang ditelaah. Dua pembagian tersebut adalah pragmalinguistik dan sosiopragmatik.

2. Pragmalinguistik
Pragmalinguistik adalah telaah mengenai kondisi-kondisi umum penggunaan
komunikatif bahasa. Pragmalinguistik cdoampmatitdtioteuraseprkan pada
pembahasan pragmatik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac2.i
d

yang tujuannya mengarah pada tujuan linguistik. Pragmalinguistik mempunyai


hubungan erat dengan tata bahasa. Dengan demikian, pragmalinguistik memfokuskan
perhatiannya pada makna dalam hubungannya dengan konteks.
Sebagian besar penelitian di Indonesia terkait dengan pragmatik menggunakan
sosiopragmatik sebagai pendekatannya. Alasan pemilihan sosiopragmatik daripada
pragmalinguistik karena rakyat Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa
dengan pemakaian bahasa khas yang layak untuk diteliti. Mereka menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa resmi dan bahasa daerah sebagai fungsinya untuk menjalin
keakraban.

3. Sosiopragmatik
Sosiopragmatik digambarkan oleh Leech (1983: 10) sebagai “the sociological
interface of pragmatics” atau ilmu pragmatik yang dibahas melalui sudut pandang
sosiologis. Sosiopragmatik tidak hanya mengutamakan bahasanya saja tetapi juga
lingkungan sosial yang mendukung bahasa tersebut. Jadi dengan kata lain,
sosiopragmatik merupakan titik pertemuan antara sosiologi dan pragmatik. Jelas sekali
bahwa sosiopragmatik sangat erat kaitannya dengan sosiologi.
Lebih lanjut lagi, Subroto (2008) menuturkan pendapatnya bahwa
sosiopragmatik adalah telaah mengenai kondisi-kondisi “setempat” atau “lokal” yang
lebih khusus mengenai penggunaan bahasa. Sosiopragmatik erat hubungannya dengan
sosiologi karena peneliti menghubungkan cara berbahasa dari sekelompok orang dengan
faktor sosialnya (umur, jenis kelamin, pekerjaan, dll). Variabel-variabel tersebut
(variabel bebas/ independent variable) sangat penting kemunculannya dalam studi
sosiopragmatik karena analisis yang dilakukan berkaitan erat dengan hubungan antara
penutur dan mitra tutur beserta bentuk tuturannya (variabel tergantung/ dependent
variable). Perlu ditekankan bahwa sosiopragmatik dan sosiolinguistik adalah cabang
ilmu yang berbeda. Meskipun kedua disiplin ilmu ini menggunakan konteks pada
rangkaian penelitiannya, namun sifat konteks dalam sosiopragmatik adalah dinamis
sedangkan sosiolinguistik bersifat statis.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac3.i
d

4. Teori Tindak Tutur


Istilah dan teori tentang tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin,
seorang guru besar di Universitas Harvard pada tahun 1956, kemudian teori yang
berasal dari materi kuliah itu dibukukan oleh J.O. Urmson (1962) dengan judul How to
Do Thing with Word. Lalu teori tersebut menjadi terkenal setelah Searle menerbitkan
buku berjudul Speech Act: An Essay in the Philosophy of Language (1969).
Dalam percakapan menuntut hadirnya komponen tutur. Austin (1962)
menyatakan ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam tuturan performatif, syarat itu
disebut felicity conditions, yaitu (1) pelaku dan situasi harus sesuai, (2) tindakan
dilaksanakan dengan lengkap dan benar oleh semua pelaku, dan (3) pelaku punya
maksud yang sesuai
Tindak tutur yang dilakukan dalam bentuk kalimat performatif oleh Austin
(1962) dirumuskan sebagai tiga buah tindakan yang berbeda. Tindakan-tindakan
tersebut yaitu (1) tindak tutur lokusi, (2) tindak tutur ilokusi, dan (3) tindak tutur
perlokusi.
Pertama-tama, tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu
sebagaimana adanya atau the act of saying something „tindakan untuk mengatakan
sesuatu‟. Selanjutnya, tindak tutur ilokusi selain untuk menyatakan sesuatu juga
menyatakan tindakan melakukan sesuatu. Oleh karena itu, tindak tutur ilokusi ini
disebut the act of doing something „tindakan melakukan sesuatu‟. Akhirnya, tindak tutur
perlokusi adalah tindak tutur yang mempunyai pengaruh atau efek terhadap lawan tutur
atau orang yang mendengar tuturan tersebut. Maka tindak tutur perlokusi sering disebut
sebagai the act of affective someone „tindak yang memberi efek pada orang lain‟.
Menurut Gunarwan (1994) memang kadang-kadang agak sukar membedakan
tindak tutur ilokusi dan perlokusi. Karena dalam tindak tutur yang menyatakan maksud
ujaran terkandung juga akan adanya efek kepada lawan tutur. Menurut Gunarwan juga,
terdapat kata kerja yang menunjukan tindak tuturnya adalah ilokusi. Misalnya kata kerja
melaporkan, mengumumkan, bertanya, menyarankan, dan sebagainya. Di samping itu
terdapat juga kata kerja yang menunjukan tindak tuturnya adalah perlokusi. Contohnya
adalah membujuk, menipu, menjengkelkan, menakut-nakuti, dan sebagainya.
Searle (1974) membagi tindak tutur atas lima kategori, yaitu:
commit to user
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a1

a. Assertives (asertif), yaitu tindak tutur yang dapat dipastikan sebagai suatu
pernyataan yang dianggap benar atau salah. Sebagian verba sebagai ciri khusus
tindak tutur asertif meliputi assert „menyatakan‟, claim „menegaskan‟, affirm
„mengiyakan‟, inform „memberitahu‟, predict „memprediksi‟, report „melaporkan‟,
insist „menuntut‟, hypothesize „mengadakan hipotesa‟, swear „bersumpah‟, admit
„mengakui‟, dan blame „menyalahkan‟.
b. Directives (direktif), yaitu tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud
agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Verba
tindak tutur direktif meliputi direct „mengatur‟, request „memohon‟, ask „bertanya‟,
urge „mendesak‟, demand „meminta‟, command „memerintahkan‟, forbid
„melarang‟, suggest „menganjurkan‟, insist „meminta dengan tegas‟, recommend
„menasehatkan‟, implore „memohon dengan sangat‟, dan beg „memohon‟.
c. Expressives (ekspresif), yaitu tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar
tuturannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam
tuturan itu, misalnya apologize „meminta maaf‟, thank „berterimakasih‟, condole
„berbelasungkawa‟, congratulate „mengucapkan selamat‟, complain „mengeluh‟,
protest „memprotes‟, compliment „memberi pujian‟, praise „memuji‟, dan welcome
„menyambut‟.
d. Commissives (komisif) yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk
melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Verba yang termasuk
dalam tindak tutur komisif misalnya promise „berjanji‟, vow „bersumpah‟, dan
consent „menyetujui‟, refuse „menolak/tidak menuruti‟, guarantee „memberi
garansi‟, contract „merekrut‟, dan bet „bertaruh‟.
e. Declaratives (deklaratif) yaitu tindak tutur yang di dalamnya terkandung suatu
tindakan yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal dalam
bentuk status atau keadaan yang baru, misalnya fire „memecat‟, pronounce
„mengumumkan‟, declare „mendeklarasikan‟, appoint „menunjuk/mengangkat
seseorang untuk menjadi‟, confirm „menegaskan‟, endorse „mengesahkan‟,
renounce „meninggalkan kekuasaan‟, denounce „mengadukan‟, name
„menyebutkan/menamakan‟, dan repudiate „menanggalkan‟.
Dalam perkembangannya, klasifikasi jenis tindak tutur Searle dimutakhirkan
oleh Kreidler (1998) yang menyatakan bcaohmwmaittitnoduasketrutur dibagi menjadi
tujuh kategori
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a1

sesuai dengan jenisnya. Melalui gagasan pengklasifikasian tindak tutur Kreidler,


terdapat dua buah kategori baru yang belum dibahas oleh Searle, mereka adalah
verdictive utterance dan phatic utterance. Penjelasan lebih lengkap mengenai tujuh
kategori tindak tutur Kreidler adalah sebagai berikut:
a) Assertive Utterances (asertif)
Kreidler (1998: 183) menyatakan bahwa “pada tindak tutur asertif para penutur dan
penulis memakai bahasa untuk menyatakan bahwa mereka mengetahui atau
mempercayai sesuatu. Bahasa asertif berkaitan dengan fakta”. Tujuannya adalah
memberikan informasi. Tindak tutur ini berkaitan dengan pengetahuan, data, apa
yang ada atau diadakan, atau telah terjadi atau tidak terjadi. Dengan demikian,
tindak tutur asertif bisa benar bisa salah dan biasanya dapat diverifikasi atau
disalahkan.
“Tindak tutur asertif dibagi menjadi dua, yaitu tindak tutur asertif langsung dan tak
langsung” (Kreidler, 1998: 183). Tindak tutur asertif langsung diawali dengan kata
saya atau kami dan diikuti dengan verba asertif. Sedangkan tindak tutur asertif tak
langsung juga diikuti dengan verba asertif yang merupakan tuturan yang dituturkan
kembali oleh penutur. Yang termasuk verba asertif antara lain mengatakan,
mengumumkan, menjelaskan, menunjukkan, menyebutkan, melaporkan, dan
sebagainya.
b) Performative Utterances (performatif)
Tindak tutur performatif merupakan tindak tutur yang menyebabkan pernyataan
resmi. Tuturan performatif menjadi sah jika dinyatakan oleh seseorang yang
berwenang dan dapat diterima. Verba performatif antara lain bertaruh,
mendeklarasikan, membabtis, menamakan, menominasikan, menjatuhkan hukuman,
menyatakan, mengumumkan.
Biasanya ada pembatasan-pembatasan terhadap tindak tutur performatif. Pertama,
subjek kalimat harus saya atau kami. Kedua, verbanya harus dalam bentuk kala kini.
Dan yang paling penting penutur harus diketahui memiliki otoritas untuk membuat
pernyataan dan situasinya harus cocok. Tindak tutur performatif terjadi pada situasi
formal dan berkaitan dengan kegiatan-kegiatan resmi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a1

c) Verdictive Utterances (verdiktif)


Tindak tutur verdiktif merupakan tindak tutur ketika penutur membuat penilaian atas
tindakan orang lain, biasanya mitra tutur. Penilaian-penilaian ini termasuk
merangking, menilai, memuji, memaafkan. Yang termasuk verba verdiktif adalah
menuduh, bertanggung jawab, dan berterima kasih. Karena tindak tutur ini
menampilkan penilaian penutur atas perbuatan petutur sebelumnya, maka tindak
tutur ini bersifat retrospektif.
d) Expressive Utterances (ekspresif)
Jika tindak tutur verdiktif berkaitan dengan apa yang telah dilakukan oleh mitra
tutur, tindak tutur ekpresif bermula dari kegiatan penutur sebelumnya, atau mungkin
akibat yang ditimbulkan atau kegagalannya. Maka dari itu tindak tutur ekspresif
bersifat retrospektif dan melibatkan penutur. Verba-verba tindak tutur ekpresif
antara lain mengakui, bersimpati, memaafkan, dan sebagainya.
e) Directive Utterances (direktif)
Tindak tutur direktif merupakan tindak tutur yang memungkinkan penutur berusaha
meminta mitra tutur untuk melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan.
Jadi, tindak tutur direktif menggunakan pronomina „kamu‟ sebagai pelaku baik
hadir secara eksplisit maupun tidak.
Tindak tutur direktif bersifat prospektif, artinya seseorang tidak bisa menyuruh
orang lain suatu perbuatan pada masa lampau. Seperti tindak tutur yang lain, tindak
tutur direktif mempresuposisikan suatu kondisi tertentu kepada mitra tutur sesuai
dengan konteks.
f) Commissive Utterances (komisif)
Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang menyebabkan penutur melakukan
serangkaian kegiatan. Hal ini termasuk berjanji, bersumpah, mengancam dan
berkaul. Verba tindak tutur komisif antara lain menyetujui, bertanya, menawarkan,
menolak, berjanji, bersumpah, dan sebagainya.
Verba-verba tersebut bersifat prospektif dan berkaitan dengan komitmen penutur
terhadap perbuatan di masa akan datang. Predikat komisif adalah predikat yang
dapat digunakan untuk menjalankan seseorang (atau menolak menjalankan
seseorang) terhadap perbuatan masa akan datang. Subjek kalimat sebagian besar
adalah „saya‟ dan „kami‟. commit to user
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a1

g) Phatic Utterances (fatis)


Tindak tutur fatis bertujuan untuk menciptakan hubungan antara penutur dan mitra
tutur. Tindak tutur fatis memiliki fungsi yang kurang jelas jika dibandingkan dengan
enam jenis tindak tutur sebelumnya, namun bukan berarti bahwa tindak tutur fatis
ini tidak penting.
Tuturan-tuturan fatis ini termasuk ucapan salam, ucapan salam berpisah, cara-cara
yang sopan seperti ekspresi dalam Bahasa Inggris thank you, you are welcome,
excuse me yang tidak berfungsi verdiktif atau ekspresif.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan gabungan kategori tindak tutur dari
Searle dan Kreidler untuk digunakan dalam analisis data tindak tutur komunitas gamer
di kota Solo. Lima kategori tindak tutur milik Searle (asertif, direktif, ekspresif, komisif,
deklaratif) tetap digunakan oleh penulis karena mereka memiliki definisi yang sama
dengan lima kategori tindak tutur Kreidler (asertif, direktif, ekspresif, komisif,
performatif), ditambah dengan dua kategori tindak tutur milik Kreidler yang belum
dibahas oleh Searle (verdiktif dan fatis). Oleh karena itu, kategori tindak tutur yang
diaplikasikan dalam analisis data penelitian ini adalah jenis asertif, direktif, ekspresif,
komisif, performatif, verdiktif, dan fatis.

5. Jenis Tindak Tutur Berdasarkan Cara Penyampaiannya


Wijana (1996:29-30) membagi tindak tutur menjadi tindak tutur langsung dan
tindak tutur tidak langsung, dan tindak tutur literal dan tindak tutur nonliteral. Untuk
lebih jelasnya, perhatikan uraian berikut.
a. Tindak tutur langsung literal
Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) adalah tindak tutur yang
diungkapkan sesuai dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud
pengutaraannya, misalnya:
(1) Orang itu sangat rajin.
(2) Tutup pintunya!
Tuturan (1) dan (2) adalah tindak tutur langsung literal yang bermaksud
memberitahukan bahwa orang yang dibicarakan sangat rajin dan menyuruh lawan bicara
untuk menutup pintu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a1

b. Tindak tutur tidak langsung literal


Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speect act) adalah tindak tutur
yang diungkapkan dengan modus tuturan yang tidak sama dengan maksud
pengutaraannya, tetapi makna kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang
dimaksudkan penutur, contohnya:
(3) Lantainya kotor.
(Baik, Saya akan nyapu sekarang)
(4) Dimana handuknya?
(Sebentar, Saya ambilkan)
Tuturan (3) yang diucapkan oleh seorang majikan kepada pembantunya, tidak
hanya memberikan informasi tetapi juga bermaksud memerintah yang diungkapkan
secara tidak langsung dengan kalimat berita. Kalimat (4) yang diucapkan seorang suami
kepada istrinya bermaksud meminta diambilkan handuk yang dungkapkan secara tidak
langsung dengan kalimat tanya.
c. Tindak tutur langsung nonliteral
Tindak tutur langsung nonliteral (direct nonliteral speect act) adalah tindak tutur
yang diungkapkan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi
kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud
penuturnya, misalnya:
(5) Suaramu sangat bagus, kok!
(6) Kalau ingin lulus tidur saja terus.
Kalimat (5) menyatakan bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus, sedangkan
kalimat (6) penutur menyuruh lawan tuturnya agar bisa lulus ujian dengan belajar, tidak
tidur-tiduran saja.
d. Tindak tutur tidak langsung nonliteral
Tindak tutur tidak langsung nonliteral (indirect nonliteral speect act) adalah
tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat dan makna kalimat tidak sesuai
dengan maksud tuturan, contohnya:
(7) Kamarmu bersih sekali, ya.
(8) Suaramu pelan sekali, tidak kedengaran.
Kalimat (7) diucapkan oleh seorang majikan kepada pembantunya untuk
menyapu lantai yang kotor, demikian haclonmyamditetnogaunsekralimat (8) yang
diucapkan kepada
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a1

lawan bicara untuk memelankan suaranya, karena terlalu keras. Kedua kalimat tersebut
adalah kalimat berita yang bermaksud memerintah. Jadi dalam analisis tindak tutur
bukan apa yang dikatakan yang penting bagaimana cara mengatakannya.

6. Fungsi Tindak Tutur


Dalam pertuturan terdapat juga fungsi-fungsi yang dapat dilihat dari wujud
kalimat yang digunakan antara penutur dan peserta tutur lainnya. Kalimat yang
dimaksud dalam hal ini terdiri dari empat bentuk kalimat dasar, yaitu kalimat afirmatif,
negatif, interogatif, dan imperatif. Melalui masing-masing bentuk kalimat tersebut,
fungsi tindak tutur dapat diperinci lagi menjadi fungsi tindak tutur langsung dan tak
langsung.
Fungsi tindak tutur langsung memiliki maksud bahwa fungsi yang ditemukan di
dalam tuturan dapat serta merta ditentukan berdasarkan bentuk kalimat yang dilekati.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh kasus berikut:
a. Fungsi menyampaikan berita pada bentuk kalimat afirmatif.
Siswa A: “Saya akan mengunjungi tempat wisata Tawangmangu
besok.” Siswa B: “Baiklah. Hati-hati di jalan.”
Fungsi pertuturan untuk menyampaikan berita yang disampaikan oleh siswa A dan
siswa B benar-benar berfungsi dengan baik pada contoh dialog di atas. Hal ini dapat
terjadi karena kalimat afirmatif hakikatnya memang menjadi bentuk kalimat guna
menyampaikan berita. Dalam konteks ini, siswa A berkeinginan untuk
menyampaikan berita bahwa dia ingin mengunjungi tempat wisata Tawangmangu
esok hari. Melalui kabar berita yang diterimanya, siswa B merespon dengan cara
memberikan nasihat agar perjalanan menuju ke tempat wisata dilakukan secara hati-
hati.
b. Fungsi bertanya pada bentuk kalimat interogatif dan menyampaikan sanggahan pada
bentuk kalimat negatif.
Siswa B: “Apakah kamu baik baik saja?”
Siswa A: “Sepulang dari Tawangmangu, saya tidak merasa enak badan.”
Melalui dialog singkat di atas, siswa B mencoba memastikan kabar rekannya setelah
pulang berkunjung dari tempat wisata Tawangmangu. Maksud dari pertanyaan
siswa B yang mengira rekannya dalcaommkmeiatdtaoaunsbear ik-baik saja
disanggah oleh siswa
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a1

A dengan menyebutkan bahwa dirinya tidak dalam keadaan sehat, melainkan


mengalami kondisi tidak enak badan. Sanggahan yang dilontarkan oleh siswa A
layak disandingkan sesuai dengan fungsi dari kalimat negatif itu sendiri. Sedangkan
fungsi bertanya sepantasnya melekat pada bentuk kalimat tanya dari siswa B.
c. Fungsi memberikan perintah pada bentuk kalimat imperatif.
Siswa B: “Segeralah minum obat dan istirahat yang cukup agar cepat
sembuh.” Siswa A: “Baiklah.”
Kalimat imperatif yang jelas mengandung fungsi untuk memerintahkan terdapat
pada tuturan yang diucapkan oleh siswa B. Tidak ada maksud lain yang ditemukan
dari tuturan tersebut melainkan hanya untuk memberikan perintah pada siswa A
untuk minum obat dan istirahat supaya kesehatannya kembali normal. Sewajarnya
suatu perintah apabila ditujukan kepada lawan tuturnya, siswa A menuruti perintah
tersebut dengan mengucapkan “baiklah”.
Pokok pikiran yang dapat disimpulkan terkait fungsi tindak tutur langsung
melalui uraian di atas adalah bentuk kalimat akan secara langsung mempengaruhi fungsi
tuturan. Baik pada kalimat afirmatif, negatif, interogatif, dan imperatif, fungsi yang
dapat ditentukan dari tuturan akan berbanding setara dengan bentuk kalimatnya masing-
masing, antara lain: afirmatif untuk menyampaikan berita, negatif untuk menyanggah
pernyataan, interogatif untuk bertanya, dan imperatif untuk memberikan perintah.
Fungsi tindak tutur tak langsung membutuhkan pengetahuan konteks yang
melatarbelakangi terjadinya tuturan. Berbeda dengan fungsi tindak tutur langsung yang
secara otomatis dipengaruhi oleh bentuk kalimatnya, fungsi tindak tutur tak langsung
memiliki kekhasan tersendiri yang menarik untuk dibahas. Secara singkat, fungsi yang
ditemukan dari tuturan tidak tercermin dari bentuk kalimat, melainkan dari faktor
pemahaman konteks. Berikut adalah beberapa contoh tuturan yang mengandung fungsi
tindak tutur tak langsung:
a. Karyawan A: “Tengah malam nanti akan ditayangkan piala Champion. Ayo
nonton!”
Karyawan B: “Besok ada meeting jam tujuh.”
Kalimat dari karyawan A menyatakan bahwa akan ada tayangan piala Champion
yang mempertandingkan klub sepak bola terkenal dari luar negeri pada dini hari.
Muncul perkiraan dari karyawan cAommbaithwtoauspeerrtandingan tersebut
akan sangat
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a1

menarik untuk disaksikan sehingga memutuskan untuk mengajak karyawan B untuk


menonton bersama-sama. Ajakan yang seharusnya direspon oleh karyawan B
dengan jawaban “ya” atau “tidak” menjadi rancu karena muncul kalimat afirmatif
untuk memberitahukan informasi yang tidak ada kaitannya dengan maksud
karyawan A, yaitu tentang rapat yang akan diadakan esok pagi pada pukul tujuh.
Apabila pemahaman konteks tidak dikuasai oleh peserta tutur, percakapan mereka
tidak akan memiliki titik temu dan hanya menghasilkan omong kosong tanpa tahu
fungsinya. Konteks sangat berperan penting guna memahami fungsi tuturan
karyawan B, yaitu berwujud fungsi menolak ajakan karena apabila karyawan A dan
B menyaksikan pertandingan sampai larut malam, mereka akan terlambat mengikuti
rapat di pagi harinya. Dengan uraian konteks tersebut, fungsi tindak tutur tak
langsung karyawan B adalah bukan untuk menyatakan informasi, melainkan fungsi
menolak ajakan.
b. Karyawan A: “Enaknya rokok ini. Kamu mau rokok? Nih saya beri satu.”
Karyawan B: “Bagus ya. Sudah dinasihati tapi masih saja merokok. Sana beli dua
slop sekalian!”
Tawaran untuk memberikan rokok dari karyawan A kepada karyawan B sekiranya
menunjukkan bahwa karyawan A adalah orang yang dermawan karena suka berbagi
dengan temannya. Karyawan B yang ditawari pun sekilas paham dengan maksud
kedermawanan tersebut dengan mengucapkan kalimat “bagus ya” untuk
menyatakan pujian kepada temannya karena sudah berbaik hati membagi rokoknya.
Analisis tersebut tidak salah apabila konteks tidak menyertai terjadinya tuturan, di
sinilah hubungan antara konteks dan penentuan fungsi tindak tutur sangat
ditentukan. Diterangkan di kalimat selanjutnya bahwa karyawan B sudah pernah
menasihati karyawan A untuk tidak merokok, tetapi ajakan tersebut tidak dihiraukan
dengan fakta bahwa karyawan A masih tetap merokok, bahkan berani menawari
rokok kepada orang yang menyuruhnya untuk berhenti menghisap rokok. Dengan
didasari uraian konteks tersebut, karyawan B tampak berusaha menyindir kebiasaan
buruk temannya dengan cara memberikan perintah untuk membeli dua slop rokok.
Harapan yang diinginkan karyawan B adalah supaya karyawan A merasa
tersinggung dengan sindiran tak langsung tersebut sehingga mau menghentikan
kebiasaannya untuk merokok. Jadic,omfumngitsitotiunsdeark tutur tak langsung
yang dapat
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a1

disimpulkan dari percakapan di atas adalah melarang, bukan memuji atau


memerintahkan.
c. Guru: “Siapa yang piket hari ini?”
Siswa: “Baik pak, segera saya bersihkan.”
Tuturan singkat antara guru dan siswa di atas juga mengandung fungsi tindak
tutur tak langsung akibat dari konteks tuturan yang mengikutinya. Pada awal
tuturan, guru menggunakan kalimat tanya guna untuk menanyakan informasi perihal
jadwal piket saat itu. Respon yang berwujud jawaban singkat “saya pak” atau “yang
piket hari ini Andi pak” seharusnya diterima oleh guru yang sedang bertanya kepada
siswanya tersebut. Konteks situasi yang tak nampak pada tuturan adalah pertanyaan
guru disampaikan karena pada saat itu papan tulis masih sangat kotor dan penuh
coretan. Dengan seketika, pertanyaan tersebut berubah dari kalimat tanya menjadi
kalimat perintah karena di dalamnya terkandung fungsi imperatif dari guru yang
menyuruh anak didiknya untuk membersihkan papan tulis yang kotor. Siswa yang
mengerti maksud fungsi tuturan tersebut memberikan respon untuk segera
membersihkan papan tulis. Dengan demikian, fungsi tindak tutur bertanya yang
seharusnya melekat pada tuturan guru berubah menjadi fungsi tak langsung untuk
menyuruh.

7. Konteks
Pragmatik tidak bisa dipisahkan dari konteks karena makna di luar bahasa
sebagai objek kajian pragmatik sangat ditentukan oleh konteks. Pembagian tipe konteks
ada dua, yaitu konteks verbal dan konteks sosial. Konteks verbal mengacu pada
ekspresi-ekspresi dan teks-teks yang ditemukan pada saat terjadinya tindak tutur.
Konteks sosial tampak lebih jelas karena konteks ini dipengaruhi oleh variabel sosial
jenis kelamin, ras, dan kelompok masyarakat tertentu.
Menurut Subroto (2008: 511) dalam tulisannya mengenai pragmatik dan
beberapa segi metode penelitiannya, pengertian konteks dalam pragmatik (khususnya
sosiopragmatik) dapat dinyatakan sebagai berikut:
a. Konteks itu sesuatu yang bersifat dinamis, bukan sesuatu yang statis.
b. Konteks itu menyangkut benda-benda dan hal-hal yang terdapat di mana dan kapan
tuturan itu terjadi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a1

c. Konteks itu berkaitan dengan interaksi antara penutur dan mitra tutur menyangkut
variabel kekuasaan, status sosial, jarak sosial, umur, jenis kelamin.
d. Konteks juga berkaitan dengan kondisi psikologis penutur dan mitra tutur selama
proses interaksi terjadi dan motif tuturan.
e. Konteks juga menyangkut presuposisi, pengetahuan latar, skemata, implikatur
(kaitannya dengan eksplikatur).
f. Termasuk dalam konteks yang bersifat fisik ialah warna suara dan nada suara para
peserta tutur.

8. Implikatur Percakapan
Implikatur percakapan merupakan konsep yang paling penting di dalam
pragmatik. Implikatur berfungsi untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan atau
dimaksudkan oleh penutur (maksud sebenarnya dibalik tuturan). Terkadang untuk
mencapai tujuannya seorang penutur tidak berbicara melalui tuturan langsung.
Implikatur akan lebih mudah dipahami jika penutur dan peserta tutur memiliki
pengetahuan atau pengalaman yang sama tentang hal yang dibicarakan.
Grice (dalam Rahardi, 2005: 43) di dalam artikelnya yang berjudul Logic and
Conversation menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi
yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan itu
dapat disebut dengan implikatur percakapan.
Di dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan
maksud yang tidak dituturkan itu bersifat tidak mutlak. Inferensi maksud tuturan itu
harus didasarkan pada konteks situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut.
Konsep itu merujuk pada implikasi pragmatis tuturan akibat adanya pelanggaran prinsip
percakapan yaitu prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan di dalam suatu peristiwa
percakapan dengan situasi tutur tertentu.

9. Prinsip Kerja Sama


Implikatur dalam percakapan akan dapat ditangkap dengan baik oleh penutur
dan mitra tutur apabila terdapat kaidah-kaidah yang ditaati, khususnya bagi penutur.
Kaidah-kaidah ini dalam kajian pragmatik dikenal sebagai prinsip kerja sama
(Cooperative Principles). Grice (19c7o5m)mimt teonguusenrgkapkan bahwa
dalam prinsip
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a2

kerjasama, seorang pembicara harus mematuhi empat maksim. Maksim adalah prinsip
yang harus ditaati oleh peserta dalam suatu tindak tutur untuk berinteraksi satu sama
lain dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi. Keempat maksim
percakapan itu adalah:
a. Maksim Kuantitas
Berdasarkan maksim kuantitas, dalam percakapan penutur harus memberikan
kontribusi yang secukupnya kepada mitra tuturnya. Maksim kuantitas juga dipenuhi
oleh apa yang disebut dengan pembatas (hedge), yang menunjukkan keterbatasan
penutur dalam mengungkapkan informasi. Hal itu dapat dilihat dalam tuturan yang
diawali dengan satuan lingual seperti singkatnya, dengan kata lain, kalau boleh
dikatakan, dan sebagainya. Berikut contoh tuturan yang mematuhi dan melanggar
maksim kuantitas:
- Anak gadis saya sekarang sudah dewasa. (mematuhi maksim kuantitas)
- Anak gadis saya yang perempuan sudah punya pacar. (melanggar maksim
kuantitas)
b. Maksim Kualitas
Berdasarkan maksim kualitas, peserta tindak tutur harus mengatakan hal yang
sebenarnya. Apabila pada saat tertentu penutur merasa tidak yakin dengan apa yang
dikonfirmasikannya, ada cara yang tepat untuk mengungkapkan keraguan seperti itu
tanpa harus melanggar maksim kualitas. Satuan lingual yang tepat untuk menangani
situasi tersebut antara lain setahu saya, kalau tidak salah dengar, katanya, dan
sebagainya. Berikut contoh tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim kualitas:
- Saya mahasiswa Pascasarjana UNS. Kampus saya berada di daerah Kentingan
Surakarta. (mematuhi maksim kualitas)
- Saya mahasiswa Pascasarjana UNS. Kampus saya berada di daerah Selo
Boyolali. (melanggar maksim kualitas)
c. Maksim Relevansi
Berdasarkan maksim relevansi, setiap pihak yang terlibat dalam tuturan memberikan
kontribusi yang relevan dengan situasi pembicaraan. Topik-topik yang berbeda di
dalam sebuah tindak tutur dapat menjadi relevan juka mempunyai tanda hubung
satuan lingual yang tepat untuk mengaitkan topik-topik yang berbeda tersebut.
Satuan lingual yang dapat digunakancotmanmpiat tmo eulasenrggar maksim
relevansi antara lain
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a2

ngomong-ngomong..., sambil lalu..., by the way..., dan lain sebagainya. Berikut


contoh tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim relevansi:
- A: Kamu sudah sarapan apa tadi pagi?
B: Saya tadi sudah sarapan nasi goreng. (mematuhi maksim relevansi)
- A: Kamu sudah sarapan apa tadi pagi?
B: Sudah saya gantung di pagar. (melanggar maksim relevansi)
d. Maksim Cara
Berdasarkan maksim cara, setiap peserta tindak tutur harus berbicara langsung dan
lugas serta tidak berlebihan. Di dalam maksim ini, seoang penutur juga harus
menafsirkan kata-kata yang dipergunakan oleh mitra tuturnya berdasarkan konteks
pemakaiannya. Untuk memenuhi maksim cara, adakalanya kelugasan tidak selalu
bermanfaat di dalam interaksi verbal, khususnya untuk menunjukkan sopan santun
dan keakraban. Sebagai pembatas dari maksim cara, penutur dapat mengawali
tuturan dengan menggunakan satuan lingual bagaimana kalau..., menurut saya..., dan
sebagainya. Berikut contoh tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim relevansi:
- A: Kamu lebih suka musik apa, pop atau dangdut?
B: Saya lebih suka dangdut. (mematuhi maksim cara)
- A: Kamu lebih suka musik apa, pop atau dangdut?
B: Sebenarnya hip hop itu bagus tapi saya tidak suka liriknya. Apalagi kalau
penyanyinya mengenakan baju seronok. Kalau jazz lebih santai dan enak
didengar, alat musiknya juga sangat unik. (melanggar maksim cara)
A: Jadi kamu lebih suka yang mana?

10. Prinsip Kesantunan


Kesantunan diperlakukan sebagai suatu konsep yang tegas, seperti gagasan
(tingkah laku sosial yang sopan) atau etiket, terdapat dalam budaya, juga dimungkinkan
menentukan sejumlah prinsip-prinsip umum yang berbeda untuk menjadi sopan atau
santun dalam interaksi sosial suatu budaya khusus.
Sosiopragmatik mengkaji bahasa tidak hanya dari maksud tuturan saja, namun
juga aspek-aspek yang sifatnya nontekstual. Untuk masalah-masalah interpersonal,
digunakan prinsip kesantunan (politeness principle) untuk menganalisis maksud dari
commit to user
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a2

tuturan tersebut. Pada penelitian ini, prinsip kesantunan yang digunakan adalah Prinsip
Kesantunan yang dirumuskan oleh Leech (Rahardi, 2005: 59-66).
1) Maksim Kebijaksanaan
Maksim kebijaksanaan adalah maksim yang berprinsip kurangi kerugian orang
lain, tambahi keuntungan orang lain. Dalam maksim ini peserta penuturan hendaknya
berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan
memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Contoh:
Tuan rumah: “Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami semua sudah
mendahului.” Tamu: “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
2) Maksim Kedermawanan
Maksim kedermawanan adalah maksim yang berprinsip kurangi keuntungan diri
sendiri, tambahi pengorbanan diri sendiri. Dengan maksim kedermawanan atau maksim
kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain.
Contoh:
Kakak: “Dik, Indosiar filmnya bagus, lho, sekarang!”
Adik : “Sebentar, Mas. Saya hidupkan dulu saluran listriknya.”
3) Maksim Penghargaan
Maksim penghargaan adalah maksim yang berprinsip kurangi cacian pada orang
lain, tambahi pujian pada orang lain. Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa
orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan
penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini diharapkan agar para peserta
pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain.
Contoh:
Dosen A: “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business
English.” Dosen B: “ Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari
sini.”
4) Maksim Kesederhanaan
Maksim kesederhanaan adalah maksim yang berprinsip kurangi pujian pada diri
sendiri. Di dalam maksim kesederhanaan peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah
hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Contoh:
Sekretaris A: “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya! Anda yang
memimpin!” Sekretaris B: “ Ya, Mbak. Tapi, saya jelek, lho.”
5) Maksim Permufakatan commit to user
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a2

Maksim permufakatan adalah maksim yang berprinsip kurangi ketidaksesuaian


antara diri sendiri dengan orang lain, tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan
orang lain. Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling
membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat
kemufakatan antara penutur dan petutur maka akan dikatakan sopan. Contoh:
Guru A: “Ruangannya gelap, Bu!”
Guru B: “ He..eh! Saklarnya mana, ya?”
6) Maksim Simpati
Maksim simpati adalah maksim yang berprinsip kurangi antipati antara diri
sendiri dengan orang lain, perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain. Di
dalam maksim simpati, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap
simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya.
Contoh
Ani: “Tut, nenekku meninggal.”
Tuti: “Innalilahiwainnailaihi rojiun. Ikut berduka cita.”
Di dalam model kesantunan Leech (Rahardi, 2005: 66-68), setiap maksim
interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah
tuturan. Berikut skala kesantunan menurut Leech.
1) Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar
kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada
sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur akan semakin
dianggap sopan.
2) Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan
yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin
pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang
banyak dan leluasa akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
3) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat
langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat
langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu.
4) Authorithy scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial
antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak
commit to user
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a2

peringkat sosial (rank rating) antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang
digunakan akan cenderung menjadi semakin santun.
5) Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peingkat hubungan
sosial antara penutur yang mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada
kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat social diantara keduanya, akan
menjadi semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur.
Agar apa yang dikatakan dalam interaksi tersebut bermakna, maka pelaku
tuturan harus mengetahui berbagai macam faktor yang berkaitan dengan kesenjangan
dan kedekatan sosial. Sebagian dari faktor-faktor ini terbentuk khusus melalui suatu
interaksi selain karena faktor luar juga. Faktor-faktor ini khususnya melibatkan status
partisipan atau berdasarkan pada nilai-nilai social yang mengikatnya, misalnya usia dan
kekuasaan.
Faktor eksternal dan internal memiliki pengaruh tidak hanya pada apa yang
dikatakan tetapi bagaimana interpretasinya. Dalam banyak kasus, interpretasi keluar
jauh melebihi apa yang kita maksudkan untuk disampaikan dan melibatkan penilaian
seperti „kasar‟, dan „tidak tenggang rasa‟, atau „tenggang rasa‟ dan „penuh pengertian‟.

11. Variasi Bahasa


Variasi dalam berbahasa adalah masalah pelik yang dihadapi oleh peneliti dalam
bidang sosial kebahasaan, baik sosiolinguistik maupun sosiopragmatik. Variasi tersebut
tidak hanya terbatas pada perbedaan bunyi pengucapan oleh penutur, melainkan juga
bervariasi pada pemilihan kata dan penggunaan aturan gramatika yang sangat
dipengaruhi oleh umur, pekerjaan, jenis kelamin, minat, dan faktor geografis dimana
penutur itu tinggal. Selain faktor-faktor tersebut, pengaruh eksternal yang menyebabkan
variasi dalam berbahasa juga dipengaruhi oleh kelompok-kelompok sosial yang ada di
sekitar tempat tinggal penutur.
Penulis merasa perlu untuk membahas lebih lanjut terkait dengan variasi bahasa
dalam komunitas gamer karena banyak ditemukan kosakata unik sebagai penanda
istilah khusus yang digunakan oleh gamer tersebut. Maksud yang terdapat dalam
kosakata unik dari gamer dapat digunakan untuk mempertajam pembahasan analisis
data pada bab IV tesis ini. Untuk selanjutnya, penulis mengklasifikasikan macam variasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a2

berbahasa ke dalam bahasa standar dan bahasa non standar yang terdiri dari dialek,
idiolek, slang, jargon, dan register.
Bahasa standar digunakan oleh penutur dalam situasi tertentu yang biasanya
bersifat formal seperti dalam upacara bendera, pertemuan bisnis, lingkungan pendidikan
dan perkantoran. Lawan bicara yang berusia lebih tua dari penutur juga salah satu
situasi yang menyebabkan kecenderungan penggunaan bahasa standar. Penjelasan lebih
terperinci disampaikan oleh Trudgill (2002). Dalam bukunya, ia berpendapat bahwa
bahasa standar mempunyai karakteristik untuk mengekspresikan ide yang lebih
kompleks dan kosakata yang lebih lengkap. Bahasa macam ini memiliki fitur gramatika
yang kompleks dengan munculnya kelengkapan struktur kalimat berupa subjek,
predikat, dan pelengkap.
Ragam bahasa non standar tidak hanya ditemukan dalam bahasa Indonesia
melainkan juga bahasa-bahasa lain di seluruh dunia. Ragam bahasa ini dipilih oleh para
penutur dalam menyampaikan pikirannya karena beberapa alasan. Pertama, bahasa non
standar tidak memperhatikan aturan gramatika pada bahasa induknya sehingga akan
lebih mudah menyusunnya baik pada situasi ujar tertulis atau verbal. Kedua, bahasa non
standar lebih sering digunakan daripada bahasa standar sehingga menyebabkan
keluwesan baik pada penuturnya maupun tindak tuturnya. Ketiga, penutur merasa lebih
santai dan akrab apabila menggunakan bahasa non standar. Dengan alasan-alasan
tersebut, ragam bahasa non standar mengalami banyak pengembangan seiring
kebutuhan dari penuturnya sendiri. Beberapa ragam dari bahasa non standar yang
berwujud antara lain dialek, idiolek, slang, jargon, dan register dijelaskan berikutnya
dalam penelitian ini.
a. Dialek
Dialek adalah variasi bahasa dari penutur aslinya yang dipengaruhi oleh
perbedaan wilayah geografis. Dialek juga dianggap oleh beberapa pakar linguistik
sebagai bahasa kedua yang berbeda dengan penutur aslinya menurut daerah tempat
tinggalnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berdasarkan pemakaian
bahasa, dialek dibedakan menjadi dialek regional atau geografis, sosial, dan temporal.
Dialek regional adalah varian bahasa yang dipakai di daerah tertentu, misalnya
Bahasa Indonesia dialek Solo, dialek Jakarta, atau dialek Papua. Dialek sosial
merupakan dialek yang dipackoami moiltetho ukseelor mpok sosial tertentu atau
yang
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a2

menandai strata sosial tertentu, contohnya dialek remaja atau dialek orang tua. Dialek
temporal dijelaskan sebagai dialek yang dipakai pada kurun waktu tertentu, antara
lain dialek Melayu zaman Sriwijaya atau dialek Melayu zaman Abdullah.
b. Idiolek
Idiolek adalah variasi dalam berbahasa yang bersifat individual sesuai dengan
penuturnya. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik instrumen berbicara
seperti bibir, lidah, gigi, pita suara, dll. Idiolek dapat diklasifikasikan sesuai dengan
faktor paralinguistik (tinggi rendahnya suara dan cepat lambatnya tona), pemilihan
kata (diksi), dan struktur kata dalam kalimat.
c. Slang
Slang adalah penggunaan kata-kata dan ekspresi yang bersifat tak resmi untuk
menjelaskan suatu kondisi maupun benda. Slang lebih bersifat perbedaan pada
kosakata pemakainya yang saling dapat memahami maksudnya apabila para penutur
tersebut terdapat pada lingkungan dan latar belakang pengetahuan yang sama.
d. Jargon
Jargon adalah istilah yang berhubungan dengan aktivitas tertentu, profesi atau
kelompok. Sama seperti slang, jargon berkembang sebagai semacam kemudahan
yang dengan cepat mengekspresikan ide-ide yang sering dibahas antar anggota
kelompok. Dalam banyak kasus, istilah yang bersifat standar sering kali lebih dipilih
untuk digunakan daripada jargon karena dapat menyajikan maksud yang lebih jelas
antar praktisi tindak tutur di lapangan. Meskipun begitu, dapat diasumsikan juga
bahwa jargon bisa sangat berguna untuk menyampaikan makna secara lebih efisien
untuk kalangan masyarakat tertentu.
e. Register
Istilah register pertama muncul dan digunakan oleh khalayak umum di tahun
1960-an (dalam Leckie-Tarry:1993). Wardhaugh (1977) berpendapat bahwa register
adalah pilihan kosakata tertentu yang dibuat oleh individu atau kelompok untuk
memenuhi varietas bahasa yang dibuat oleh mereka dengan penciptaan pilihan
kosakata khusus untuk berkomunikasi. Selain itu, Holmes mendefinisikan register
sebagai bahasa sekelompok orang dengan kepentingan bersama atau pekerjaan, atau
bahasa yang digunakan dalam situasi tertentu terkait dengan kelompok kerja atau
sosial. Dari definisi tersebut, jelas bcaohmwma itretgoisutseerr berhubungan erat
dengan variasi
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a2

bahasa. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa istilah register adalah ragam
variasi bahasa dengan pilihan kosakata yang dibuat dan digunakan oleh sekelompok
orang dengan kepentingan bersama atau pekerjaan, yang artinya dipahami oleh
sebagian kecil kelompok saja.
Di dalam tindak tutur yang diucapkan oleh komunitas gamer di kota Solo,
terdapat beberapa register yang berupa konvensi dari gamer-gamer tersebut. Mereka
saling mengerti register tersebut tanpa ada kesulitan dalam memahami maknanya.
Sebagian besar register yang digunakan oleh komunitas gamer di kota Solo berasal
dari istilah-istilah yang ditemukan dalam berbagai judul permainan elektronik
komputer online. Register tersebut digunakan tidak hanya di permainan tersebut
tetapi juga dalam percakapan antar gamer sebagai tindak tutur yang khas.

12. Genre Permainan Elektronik Komputer


Penulis dalam mengumpulkan data mengenai tindak tutur masyarakat gamer di
kota Solo menemukan beberapa register dalam genre permainan elektronik komputer
yang berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan genre tersebut didasarkan pada cara
memainkannya dan fitur-fitur yang terdapat dalam permainan itu sendiri. Penulis
membatasi contoh-contoh game dalam setiap genre hanya pada game yang bersifat
online. Hal ini mempunyai alasan bahwa pada game bersifat online ditemukan
percakapan (chatting) antar pemainnya yang berhubungan dengan tindak tutur sebagai
objek penelitian di tulisan ini. Contoh genre tersebut antara lain:
a. RTS (Real Time Strategy)
Real Time Strategy adalah genre suatu permainan elektronik komputer yang
memiliki ciri khas berupa permainan perang yang tiap pemainnya memiliki suatu negara
atau daerah kekuasaan. Negara tersebut dikelola dalam hal pengumpulan sumberdaya
(alam, manusia, ekonomi), pengaturan strategi pasukan-pasukan tempur, diplomasi
dengan negara tetangga, peningkatan ekonomi, pengembangan keyakinan, sampai
dengan pengembangan pendidikan dari negara primitif menuju peradaban modern.
Contoh game dari genre ini adalah Avalon (http://avalon.lytogame.com), DOTA II, dan
DOTA I (Defend of the Ancient) sebagai anakan dari game offline ternama Warcraft.
RTS mempunyai cabang genre sendiri yang disebut dengan turn-based strategy.
Dalam genre ini, permainan diatur secsoumami igtitlioraunsemr asing-masing
pemainnya dalam
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a2

menggerakkan tokoh di dalam game dan memberi perintah seperti menyerang atau
bertahan. Contoh game dengan genre turn-based strategy adalah Atlantica
(http://atlantica.gemscool.com/).
b. FPS (First Person Shooter)
Jenis permainan ini berupa tembak-menembak dengan tampilan pada layar
pemain adalah sudut pandang tokoh karakter yang dimainkan, jadi yang terlihat pada
layar komputer adalah tangan dan senjata dari masing-masing pemain. Tiap tokoh
karakter mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam tingkat akurasi menembak,
reflek menembak, dll. Permainan ini dapat melibatkan banyak orang .
Genre FPS tergolong paling diminati dalam dunia game online khususnya di
Indonesia. Meskipun begitu, hanya terdapat sedikit contoh judul game yang termasuk
genre ini. Permainan ini bisa berupa misi melumpuhkan penjahat maupun karakter fiktif
lainnya seperti alien dan zombie. Terkadang sejumlah pemain dibagi beberapa tim yang
bertugas melumpuhkan tim lainnya. Ciri utama lain adalah penggunaan senjata
genggam jarak jauh. Contoh game dari genre FPS adalah Point Blank
(http://pb.gemscool.com/), Warrock (http://warrock.megaxus.com/), dan Cross Fire
(http://crossfire.lytogame.com/).

c. RPG (Role Playing Game)


Role Playing Game adalah sebuah permainan yang para pemainnya memainkan
peran tokoh-tokoh khayalan dan berkolaborasi untuk merajut sebuah cerita bersama.
Para pemain memilih aksi dari karakter mereka berdasarkan karakteristik tokoh
tersebut, dan keberhasilan aksi mereka tergantung dari sistem peraturan permainan yang
telah ditentukan. Dengan tetap mengikuti peraturan yang ditetapkan, para pemain bisa
berimprovisasi membentuk arah dan hasil akhir permainan ini.
Dalam sebuah permainan RPG, jarang ada yang kalah atau menang. Seperti
sebuah novel atau film, permainan RPG mempunyai daya tarik karena permainan ini
mengajak para pemain untuk menggunakan imajinasi mereka. RPG biasa lebih
mengarah ke kolaborasi sosial daripada kompetisi. Pada umumnya dalam RPG, para
pemain tergabung dalam satu kelompok.
Dalam game online, dikenal istilah lain dari RPG yaitu MMORPG (Massively
multiplayer online role-playing game)c.omTimpeit tdoaruisesrub genre ini
memfokuskan pada
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a2

pengembangan karakter masing-masing pemain dalam hal kemampuan menyerang,


bertahan, dan penggunaan kemampuan yang tergantung dari job yang dipilih.
MMORPG melibatkan ribuan pemain untuk bermain bersama dalam dunia maya yang
terus berkembang pada saat yang sama melalui media internet dan jaringan. Dengan
alasan-alasan tersebut, MMORPG menjadi genre dengan koleksi judul game terbanyak
di Indonesia sampai saat ini. Contoh judul game tersebut antara lain Ragnarok
(http://ragnarok.lytogame.com/), Seal (http://seal.lytogame.com/), RF
(http://rf.lytogame.com/), Perfect World (http://perfectworld.lytogame.com/), Rohan
(http://rohan.lytogame.com/), Luna (http://luna.lytogame.com/), Yulgang
(http://yulgang.gemscool.com/), Lineage 2 (http://lineage2.megaxus.com/), Dragon
Nest.
d. Sport
Genre sport dari game online sangat mudah dikenali karena tipe permainan ini
melibatkan berbagai macam olahraga seperti basket, balap mobil, pertarungan, dan
dansa. Peminat dari game bergenre sport ini tergolong lebih sedikit dari beberapa genre
lainnya. Beberapa judul game dengan genre sport adalah Freestyle
(http://fs.gemscool.com/), On Air (http://onair.gemscool.com/), Getamped
(http://getamped-x.lytogame.com/), Idol Street (http://idolstreet.lytogame.com/), Crazy
Cart 2 (http://crazykart2.lytogame.com/), Drift City (http://driftcity.co.id/), dan
Ayodance (http://ayodance.megaxus.com/).

B. Kajian Pustaka

Dalam melakukan penelitian mengenai tindak tutur komunitas gamer ini, penulis
menemukan beberapa penelitian yang layak untuk dijadikan acuan dalam mencari
research gap. Penelitian yang pertama berjudul “Tingkat Tutur Bahasa Jawa dalam
Program Berita Kabar Awan di TATV Solo (Kajian Sosiolinguistik)” oleh Kurniawan
tahun 2009. Penulis menjadikan penelitian tersebut sebagai pembanding dan juga
referensi karena sebagian besar data yang diperoleh dari komunitas gamer berupa
bahasa Jawa, sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk memahami tindak tutur
antar komunitas-komunitas tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a3

Acuan penelitian kedua berasal dari tahun 2016 disusun oleh Fitri Puji
Rahmawati dengan judul “Tindak Tutur dalam Proses Jual Beli di Pasar Tradisional
Surakarta”. Tesis tersebut disusun untuk mendeskripsikan bentuk tindak tutur dan
menunjukkan tindak tutur yang dominan beserta alasannya yang terdapat dalam proses
jual beli barang di pasar tradisional Surakarta.
Penelitian terakhir yang penulis gunakan sebagai acuan adalah tesis dengan
judul “Tindak Tutur Penolakan dalam Bahasa Jepang” oleh Titien Wahyu Andarwati
pada tahun 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan cara orang Jepang
mengungkapkan penolakannya, faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta penerapan
prinsip kerjasama ketika mengungkapkan penolakan tersebut. Dengan menggunakan
acuan dua tesis terakhir disebutkan sebelumnya, penulis mendapatkan referensi cara
penyajian data tuturan beserta cara analisis tindak tutur dengan teori-teori yang sesuai
dan melandasinya.
Pada acuan penelitian ketiga, ditemukan research gap yang berupa objek
penelitiannya. Meskipun terdapat kesamaan dalam hal analisis tindak tutur, objek yang
diteliti pada penelitian tersebut lebih berpusat pada analisis pragmatik salah satu fungsi
tindak tutur saja, yaitu penolakan. Sedangkan pada penelitian ini, penulis menggunakan
teori-teori tindak tutur yang relevan dan berhubungan dengan sosiopragmatik.

C. Kerangka Pikir

Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh penulis untuk
menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Sumber data penelitian ini adalah
dialog atau percakapan yang terjadi antar anggota komunitas pemain game online di
kota Solo ketika mereka sedang memainkan game online. Berdasarkan hal tersebut,
dapat diketahui bahwa data dalam penelitian ini adalah tuturan antar pemain game
online beserta konteksnya di komunitas yang tersebar di lima kecamatan di kota Solo,
yaitu Jebres, Pasar Kliwon, Serengan, Banjarsari, dan Laweyan.
Dengan mengambil awal mula kajian pragmatik yang diturunkan pada
sosiopragmatik, penulis dapat menjabarkan data yang berwujud tindak tutur komunitas
gamer di kota Solo dengan bantuan konteks dan implikatur. Maksud dari tuturan yang
sudah dimengerti kemudian dianalisiscomsemsuiat itoduesnegran rumusan masalah
penelitian.
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a3

Diawali dengan pembahasan jenis dan fungsi tindak tutur yang didasari teori tindak
tutur Kreidler, langkah analisis tindak tutur dilanjutkan dengan mengungkapkan
bagaimana tuturan komunitas gamer tersebut disampaikan beserta hubungannya dengan
pematuhan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan. Setelah itu penulis dapat
memperoleh hasil simpulan dari pembahasan dalam penelitian ini. Kerangka pikir yang
terkait dengan penelitian ini secara garis besar dapat digambarkan pada bagan di bawah
ini.
PRAGMATIK

SOSIOPRAGMATIK

TINDAK TUTUR KOMUNITAS GAMER


KONTEKS IMPLIKATUR

A PENYAMPAIAN TINDAKJENIS
TUTURDAN
KOMUNITAS
FUNGSI
PRINSIP
TIDAK
KERJA
GAMER
TUTUR
SAMA
KOMUNITAS
PRINSIP KESANTUNAN
GAMER TINDAK TUTUR KOM

PEMBAHASAN UNTUK MENGHASILKAN SIMPULAN

BAB

Bagan I. Kerangka Pikir Penelitian

commit to user

Anda mungkin juga menyukai