i
d
BAB II
LANDASAN TEORI, KAJIAN PUSTAKA, DAN KERANGKA PIKIR
A. Landasan Teori
1. Pragmatik
Teori yang digunakan untuk menelaah data dalam tulisan ini menggunakan salah
satu cabang ilmu dari pragmatik, yaitu sosiopragmatik. Berdasarkan kenyataan tersebut,
penulis bermaksud menjabarkan posisi sosiopragmatik sesuai dengan perannya sebagai
sub ilmu yang menginduk pada pragmatik. Oleh sebab itu, landasan teori dimulai dari
penjelasan seluk beluk pragmatik yang akhirnya menuju kepada sosiopragmatik pada
sub bab berikutnya.
Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara
eksternal, yakni bagaimana satuan bahasa itu digunakan di dalam komunikasi. Secara
praktis, pragmatik dapat didefinisikan sebagai studi mengenai makna ujaran dalam
situasi-situasi tertentu (Leech, 1993: ix). Pengertian lebih lengkap oleh Levinson (1980)
dalam tulisannya, mengatakan bahwa pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara
bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman
bahasa, dengan kata lain telaah mengenai kemampuan bahasa menghubungkan serta
menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat.
Tercakupnya pragmatik merupakan tahap terakhir dalam gelombang-gelombang
ekspansi linguistik, dari sebuah disiplin sempit yang mengurusi data fisik bahasa,
menjadi suatu disiplin yang luas meliputi bentuk, makna, dan konteks. Pragmatik umum
sebagai cabang dari ilmu linguistik dapat dibagi menjadi dua jenis sesuai dengan objek
yang ditelaah. Dua pembagian tersebut adalah pragmalinguistik dan sosiopragmatik.
2. Pragmalinguistik
Pragmalinguistik adalah telaah mengenai kondisi-kondisi umum penggunaan
komunikatif bahasa. Pragmalinguistik cdoampmatitdtioteuraseprkan pada
pembahasan pragmatik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac2.i
d
3. Sosiopragmatik
Sosiopragmatik digambarkan oleh Leech (1983: 10) sebagai “the sociological
interface of pragmatics” atau ilmu pragmatik yang dibahas melalui sudut pandang
sosiologis. Sosiopragmatik tidak hanya mengutamakan bahasanya saja tetapi juga
lingkungan sosial yang mendukung bahasa tersebut. Jadi dengan kata lain,
sosiopragmatik merupakan titik pertemuan antara sosiologi dan pragmatik. Jelas sekali
bahwa sosiopragmatik sangat erat kaitannya dengan sosiologi.
Lebih lanjut lagi, Subroto (2008) menuturkan pendapatnya bahwa
sosiopragmatik adalah telaah mengenai kondisi-kondisi “setempat” atau “lokal” yang
lebih khusus mengenai penggunaan bahasa. Sosiopragmatik erat hubungannya dengan
sosiologi karena peneliti menghubungkan cara berbahasa dari sekelompok orang dengan
faktor sosialnya (umur, jenis kelamin, pekerjaan, dll). Variabel-variabel tersebut
(variabel bebas/ independent variable) sangat penting kemunculannya dalam studi
sosiopragmatik karena analisis yang dilakukan berkaitan erat dengan hubungan antara
penutur dan mitra tutur beserta bentuk tuturannya (variabel tergantung/ dependent
variable). Perlu ditekankan bahwa sosiopragmatik dan sosiolinguistik adalah cabang
ilmu yang berbeda. Meskipun kedua disiplin ilmu ini menggunakan konteks pada
rangkaian penelitiannya, namun sifat konteks dalam sosiopragmatik adalah dinamis
sedangkan sosiolinguistik bersifat statis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac3.i
d
a. Assertives (asertif), yaitu tindak tutur yang dapat dipastikan sebagai suatu
pernyataan yang dianggap benar atau salah. Sebagian verba sebagai ciri khusus
tindak tutur asertif meliputi assert „menyatakan‟, claim „menegaskan‟, affirm
„mengiyakan‟, inform „memberitahu‟, predict „memprediksi‟, report „melaporkan‟,
insist „menuntut‟, hypothesize „mengadakan hipotesa‟, swear „bersumpah‟, admit
„mengakui‟, dan blame „menyalahkan‟.
b. Directives (direktif), yaitu tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud
agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Verba
tindak tutur direktif meliputi direct „mengatur‟, request „memohon‟, ask „bertanya‟,
urge „mendesak‟, demand „meminta‟, command „memerintahkan‟, forbid
„melarang‟, suggest „menganjurkan‟, insist „meminta dengan tegas‟, recommend
„menasehatkan‟, implore „memohon dengan sangat‟, dan beg „memohon‟.
c. Expressives (ekspresif), yaitu tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar
tuturannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam
tuturan itu, misalnya apologize „meminta maaf‟, thank „berterimakasih‟, condole
„berbelasungkawa‟, congratulate „mengucapkan selamat‟, complain „mengeluh‟,
protest „memprotes‟, compliment „memberi pujian‟, praise „memuji‟, dan welcome
„menyambut‟.
d. Commissives (komisif) yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk
melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Verba yang termasuk
dalam tindak tutur komisif misalnya promise „berjanji‟, vow „bersumpah‟, dan
consent „menyetujui‟, refuse „menolak/tidak menuruti‟, guarantee „memberi
garansi‟, contract „merekrut‟, dan bet „bertaruh‟.
e. Declaratives (deklaratif) yaitu tindak tutur yang di dalamnya terkandung suatu
tindakan yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal dalam
bentuk status atau keadaan yang baru, misalnya fire „memecat‟, pronounce
„mengumumkan‟, declare „mendeklarasikan‟, appoint „menunjuk/mengangkat
seseorang untuk menjadi‟, confirm „menegaskan‟, endorse „mengesahkan‟,
renounce „meninggalkan kekuasaan‟, denounce „mengadukan‟, name
„menyebutkan/menamakan‟, dan repudiate „menanggalkan‟.
Dalam perkembangannya, klasifikasi jenis tindak tutur Searle dimutakhirkan
oleh Kreidler (1998) yang menyatakan bcaohmwmaittitnoduasketrutur dibagi menjadi
tujuh kategori
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a1
commit to user
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a1
lawan bicara untuk memelankan suaranya, karena terlalu keras. Kedua kalimat tersebut
adalah kalimat berita yang bermaksud memerintah. Jadi dalam analisis tindak tutur
bukan apa yang dikatakan yang penting bagaimana cara mengatakannya.
7. Konteks
Pragmatik tidak bisa dipisahkan dari konteks karena makna di luar bahasa
sebagai objek kajian pragmatik sangat ditentukan oleh konteks. Pembagian tipe konteks
ada dua, yaitu konteks verbal dan konteks sosial. Konteks verbal mengacu pada
ekspresi-ekspresi dan teks-teks yang ditemukan pada saat terjadinya tindak tutur.
Konteks sosial tampak lebih jelas karena konteks ini dipengaruhi oleh variabel sosial
jenis kelamin, ras, dan kelompok masyarakat tertentu.
Menurut Subroto (2008: 511) dalam tulisannya mengenai pragmatik dan
beberapa segi metode penelitiannya, pengertian konteks dalam pragmatik (khususnya
sosiopragmatik) dapat dinyatakan sebagai berikut:
a. Konteks itu sesuatu yang bersifat dinamis, bukan sesuatu yang statis.
b. Konteks itu menyangkut benda-benda dan hal-hal yang terdapat di mana dan kapan
tuturan itu terjadi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a1
c. Konteks itu berkaitan dengan interaksi antara penutur dan mitra tutur menyangkut
variabel kekuasaan, status sosial, jarak sosial, umur, jenis kelamin.
d. Konteks juga berkaitan dengan kondisi psikologis penutur dan mitra tutur selama
proses interaksi terjadi dan motif tuturan.
e. Konteks juga menyangkut presuposisi, pengetahuan latar, skemata, implikatur
(kaitannya dengan eksplikatur).
f. Termasuk dalam konteks yang bersifat fisik ialah warna suara dan nada suara para
peserta tutur.
8. Implikatur Percakapan
Implikatur percakapan merupakan konsep yang paling penting di dalam
pragmatik. Implikatur berfungsi untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan atau
dimaksudkan oleh penutur (maksud sebenarnya dibalik tuturan). Terkadang untuk
mencapai tujuannya seorang penutur tidak berbicara melalui tuturan langsung.
Implikatur akan lebih mudah dipahami jika penutur dan peserta tutur memiliki
pengetahuan atau pengalaman yang sama tentang hal yang dibicarakan.
Grice (dalam Rahardi, 2005: 43) di dalam artikelnya yang berjudul Logic and
Conversation menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi
yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan itu
dapat disebut dengan implikatur percakapan.
Di dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan
maksud yang tidak dituturkan itu bersifat tidak mutlak. Inferensi maksud tuturan itu
harus didasarkan pada konteks situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut.
Konsep itu merujuk pada implikasi pragmatis tuturan akibat adanya pelanggaran prinsip
percakapan yaitu prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan di dalam suatu peristiwa
percakapan dengan situasi tutur tertentu.
kerjasama, seorang pembicara harus mematuhi empat maksim. Maksim adalah prinsip
yang harus ditaati oleh peserta dalam suatu tindak tutur untuk berinteraksi satu sama
lain dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi. Keempat maksim
percakapan itu adalah:
a. Maksim Kuantitas
Berdasarkan maksim kuantitas, dalam percakapan penutur harus memberikan
kontribusi yang secukupnya kepada mitra tuturnya. Maksim kuantitas juga dipenuhi
oleh apa yang disebut dengan pembatas (hedge), yang menunjukkan keterbatasan
penutur dalam mengungkapkan informasi. Hal itu dapat dilihat dalam tuturan yang
diawali dengan satuan lingual seperti singkatnya, dengan kata lain, kalau boleh
dikatakan, dan sebagainya. Berikut contoh tuturan yang mematuhi dan melanggar
maksim kuantitas:
- Anak gadis saya sekarang sudah dewasa. (mematuhi maksim kuantitas)
- Anak gadis saya yang perempuan sudah punya pacar. (melanggar maksim
kuantitas)
b. Maksim Kualitas
Berdasarkan maksim kualitas, peserta tindak tutur harus mengatakan hal yang
sebenarnya. Apabila pada saat tertentu penutur merasa tidak yakin dengan apa yang
dikonfirmasikannya, ada cara yang tepat untuk mengungkapkan keraguan seperti itu
tanpa harus melanggar maksim kualitas. Satuan lingual yang tepat untuk menangani
situasi tersebut antara lain setahu saya, kalau tidak salah dengar, katanya, dan
sebagainya. Berikut contoh tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim kualitas:
- Saya mahasiswa Pascasarjana UNS. Kampus saya berada di daerah Kentingan
Surakarta. (mematuhi maksim kualitas)
- Saya mahasiswa Pascasarjana UNS. Kampus saya berada di daerah Selo
Boyolali. (melanggar maksim kualitas)
c. Maksim Relevansi
Berdasarkan maksim relevansi, setiap pihak yang terlibat dalam tuturan memberikan
kontribusi yang relevan dengan situasi pembicaraan. Topik-topik yang berbeda di
dalam sebuah tindak tutur dapat menjadi relevan juka mempunyai tanda hubung
satuan lingual yang tepat untuk mengaitkan topik-topik yang berbeda tersebut.
Satuan lingual yang dapat digunakancotmanmpiat tmo eulasenrggar maksim
relevansi antara lain
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a2
tuturan tersebut. Pada penelitian ini, prinsip kesantunan yang digunakan adalah Prinsip
Kesantunan yang dirumuskan oleh Leech (Rahardi, 2005: 59-66).
1) Maksim Kebijaksanaan
Maksim kebijaksanaan adalah maksim yang berprinsip kurangi kerugian orang
lain, tambahi keuntungan orang lain. Dalam maksim ini peserta penuturan hendaknya
berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan
memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Contoh:
Tuan rumah: “Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami semua sudah
mendahului.” Tamu: “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
2) Maksim Kedermawanan
Maksim kedermawanan adalah maksim yang berprinsip kurangi keuntungan diri
sendiri, tambahi pengorbanan diri sendiri. Dengan maksim kedermawanan atau maksim
kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain.
Contoh:
Kakak: “Dik, Indosiar filmnya bagus, lho, sekarang!”
Adik : “Sebentar, Mas. Saya hidupkan dulu saluran listriknya.”
3) Maksim Penghargaan
Maksim penghargaan adalah maksim yang berprinsip kurangi cacian pada orang
lain, tambahi pujian pada orang lain. Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa
orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan
penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini diharapkan agar para peserta
pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain.
Contoh:
Dosen A: “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business
English.” Dosen B: “ Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari
sini.”
4) Maksim Kesederhanaan
Maksim kesederhanaan adalah maksim yang berprinsip kurangi pujian pada diri
sendiri. Di dalam maksim kesederhanaan peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah
hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Contoh:
Sekretaris A: “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya! Anda yang
memimpin!” Sekretaris B: “ Ya, Mbak. Tapi, saya jelek, lho.”
5) Maksim Permufakatan commit to user
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a2
peringkat sosial (rank rating) antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang
digunakan akan cenderung menjadi semakin santun.
5) Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peingkat hubungan
sosial antara penutur yang mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada
kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat social diantara keduanya, akan
menjadi semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur.
Agar apa yang dikatakan dalam interaksi tersebut bermakna, maka pelaku
tuturan harus mengetahui berbagai macam faktor yang berkaitan dengan kesenjangan
dan kedekatan sosial. Sebagian dari faktor-faktor ini terbentuk khusus melalui suatu
interaksi selain karena faktor luar juga. Faktor-faktor ini khususnya melibatkan status
partisipan atau berdasarkan pada nilai-nilai social yang mengikatnya, misalnya usia dan
kekuasaan.
Faktor eksternal dan internal memiliki pengaruh tidak hanya pada apa yang
dikatakan tetapi bagaimana interpretasinya. Dalam banyak kasus, interpretasi keluar
jauh melebihi apa yang kita maksudkan untuk disampaikan dan melibatkan penilaian
seperti „kasar‟, dan „tidak tenggang rasa‟, atau „tenggang rasa‟ dan „penuh pengertian‟.
berbahasa ke dalam bahasa standar dan bahasa non standar yang terdiri dari dialek,
idiolek, slang, jargon, dan register.
Bahasa standar digunakan oleh penutur dalam situasi tertentu yang biasanya
bersifat formal seperti dalam upacara bendera, pertemuan bisnis, lingkungan pendidikan
dan perkantoran. Lawan bicara yang berusia lebih tua dari penutur juga salah satu
situasi yang menyebabkan kecenderungan penggunaan bahasa standar. Penjelasan lebih
terperinci disampaikan oleh Trudgill (2002). Dalam bukunya, ia berpendapat bahwa
bahasa standar mempunyai karakteristik untuk mengekspresikan ide yang lebih
kompleks dan kosakata yang lebih lengkap. Bahasa macam ini memiliki fitur gramatika
yang kompleks dengan munculnya kelengkapan struktur kalimat berupa subjek,
predikat, dan pelengkap.
Ragam bahasa non standar tidak hanya ditemukan dalam bahasa Indonesia
melainkan juga bahasa-bahasa lain di seluruh dunia. Ragam bahasa ini dipilih oleh para
penutur dalam menyampaikan pikirannya karena beberapa alasan. Pertama, bahasa non
standar tidak memperhatikan aturan gramatika pada bahasa induknya sehingga akan
lebih mudah menyusunnya baik pada situasi ujar tertulis atau verbal. Kedua, bahasa non
standar lebih sering digunakan daripada bahasa standar sehingga menyebabkan
keluwesan baik pada penuturnya maupun tindak tuturnya. Ketiga, penutur merasa lebih
santai dan akrab apabila menggunakan bahasa non standar. Dengan alasan-alasan
tersebut, ragam bahasa non standar mengalami banyak pengembangan seiring
kebutuhan dari penuturnya sendiri. Beberapa ragam dari bahasa non standar yang
berwujud antara lain dialek, idiolek, slang, jargon, dan register dijelaskan berikutnya
dalam penelitian ini.
a. Dialek
Dialek adalah variasi bahasa dari penutur aslinya yang dipengaruhi oleh
perbedaan wilayah geografis. Dialek juga dianggap oleh beberapa pakar linguistik
sebagai bahasa kedua yang berbeda dengan penutur aslinya menurut daerah tempat
tinggalnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berdasarkan pemakaian
bahasa, dialek dibedakan menjadi dialek regional atau geografis, sosial, dan temporal.
Dialek regional adalah varian bahasa yang dipakai di daerah tertentu, misalnya
Bahasa Indonesia dialek Solo, dialek Jakarta, atau dialek Papua. Dialek sosial
merupakan dialek yang dipackoami moiltetho ukseelor mpok sosial tertentu atau
yang
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a2
menandai strata sosial tertentu, contohnya dialek remaja atau dialek orang tua. Dialek
temporal dijelaskan sebagai dialek yang dipakai pada kurun waktu tertentu, antara
lain dialek Melayu zaman Sriwijaya atau dialek Melayu zaman Abdullah.
b. Idiolek
Idiolek adalah variasi dalam berbahasa yang bersifat individual sesuai dengan
penuturnya. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik instrumen berbicara
seperti bibir, lidah, gigi, pita suara, dll. Idiolek dapat diklasifikasikan sesuai dengan
faktor paralinguistik (tinggi rendahnya suara dan cepat lambatnya tona), pemilihan
kata (diksi), dan struktur kata dalam kalimat.
c. Slang
Slang adalah penggunaan kata-kata dan ekspresi yang bersifat tak resmi untuk
menjelaskan suatu kondisi maupun benda. Slang lebih bersifat perbedaan pada
kosakata pemakainya yang saling dapat memahami maksudnya apabila para penutur
tersebut terdapat pada lingkungan dan latar belakang pengetahuan yang sama.
d. Jargon
Jargon adalah istilah yang berhubungan dengan aktivitas tertentu, profesi atau
kelompok. Sama seperti slang, jargon berkembang sebagai semacam kemudahan
yang dengan cepat mengekspresikan ide-ide yang sering dibahas antar anggota
kelompok. Dalam banyak kasus, istilah yang bersifat standar sering kali lebih dipilih
untuk digunakan daripada jargon karena dapat menyajikan maksud yang lebih jelas
antar praktisi tindak tutur di lapangan. Meskipun begitu, dapat diasumsikan juga
bahwa jargon bisa sangat berguna untuk menyampaikan makna secara lebih efisien
untuk kalangan masyarakat tertentu.
e. Register
Istilah register pertama muncul dan digunakan oleh khalayak umum di tahun
1960-an (dalam Leckie-Tarry:1993). Wardhaugh (1977) berpendapat bahwa register
adalah pilihan kosakata tertentu yang dibuat oleh individu atau kelompok untuk
memenuhi varietas bahasa yang dibuat oleh mereka dengan penciptaan pilihan
kosakata khusus untuk berkomunikasi. Selain itu, Holmes mendefinisikan register
sebagai bahasa sekelompok orang dengan kepentingan bersama atau pekerjaan, atau
bahasa yang digunakan dalam situasi tertentu terkait dengan kelompok kerja atau
sosial. Dari definisi tersebut, jelas bcaohmwma itretgoisutseerr berhubungan erat
dengan variasi
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a2
bahasa. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa istilah register adalah ragam
variasi bahasa dengan pilihan kosakata yang dibuat dan digunakan oleh sekelompok
orang dengan kepentingan bersama atau pekerjaan, yang artinya dipahami oleh
sebagian kecil kelompok saja.
Di dalam tindak tutur yang diucapkan oleh komunitas gamer di kota Solo,
terdapat beberapa register yang berupa konvensi dari gamer-gamer tersebut. Mereka
saling mengerti register tersebut tanpa ada kesulitan dalam memahami maknanya.
Sebagian besar register yang digunakan oleh komunitas gamer di kota Solo berasal
dari istilah-istilah yang ditemukan dalam berbagai judul permainan elektronik
komputer online. Register tersebut digunakan tidak hanya di permainan tersebut
tetapi juga dalam percakapan antar gamer sebagai tindak tutur yang khas.
menggerakkan tokoh di dalam game dan memberi perintah seperti menyerang atau
bertahan. Contoh game dengan genre turn-based strategy adalah Atlantica
(http://atlantica.gemscool.com/).
b. FPS (First Person Shooter)
Jenis permainan ini berupa tembak-menembak dengan tampilan pada layar
pemain adalah sudut pandang tokoh karakter yang dimainkan, jadi yang terlihat pada
layar komputer adalah tangan dan senjata dari masing-masing pemain. Tiap tokoh
karakter mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam tingkat akurasi menembak,
reflek menembak, dll. Permainan ini dapat melibatkan banyak orang .
Genre FPS tergolong paling diminati dalam dunia game online khususnya di
Indonesia. Meskipun begitu, hanya terdapat sedikit contoh judul game yang termasuk
genre ini. Permainan ini bisa berupa misi melumpuhkan penjahat maupun karakter fiktif
lainnya seperti alien dan zombie. Terkadang sejumlah pemain dibagi beberapa tim yang
bertugas melumpuhkan tim lainnya. Ciri utama lain adalah penggunaan senjata
genggam jarak jauh. Contoh game dari genre FPS adalah Point Blank
(http://pb.gemscool.com/), Warrock (http://warrock.megaxus.com/), dan Cross Fire
(http://crossfire.lytogame.com/).
B. Kajian Pustaka
Dalam melakukan penelitian mengenai tindak tutur komunitas gamer ini, penulis
menemukan beberapa penelitian yang layak untuk dijadikan acuan dalam mencari
research gap. Penelitian yang pertama berjudul “Tingkat Tutur Bahasa Jawa dalam
Program Berita Kabar Awan di TATV Solo (Kajian Sosiolinguistik)” oleh Kurniawan
tahun 2009. Penulis menjadikan penelitian tersebut sebagai pembanding dan juga
referensi karena sebagian besar data yang diperoleh dari komunitas gamer berupa
bahasa Jawa, sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk memahami tindak tutur
antar komunitas-komunitas tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a3
Acuan penelitian kedua berasal dari tahun 2016 disusun oleh Fitri Puji
Rahmawati dengan judul “Tindak Tutur dalam Proses Jual Beli di Pasar Tradisional
Surakarta”. Tesis tersebut disusun untuk mendeskripsikan bentuk tindak tutur dan
menunjukkan tindak tutur yang dominan beserta alasannya yang terdapat dalam proses
jual beli barang di pasar tradisional Surakarta.
Penelitian terakhir yang penulis gunakan sebagai acuan adalah tesis dengan
judul “Tindak Tutur Penolakan dalam Bahasa Jepang” oleh Titien Wahyu Andarwati
pada tahun 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan cara orang Jepang
mengungkapkan penolakannya, faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta penerapan
prinsip kerjasama ketika mengungkapkan penolakan tersebut. Dengan menggunakan
acuan dua tesis terakhir disebutkan sebelumnya, penulis mendapatkan referensi cara
penyajian data tuturan beserta cara analisis tindak tutur dengan teori-teori yang sesuai
dan melandasinya.
Pada acuan penelitian ketiga, ditemukan research gap yang berupa objek
penelitiannya. Meskipun terdapat kesamaan dalam hal analisis tindak tutur, objek yang
diteliti pada penelitian tersebut lebih berpusat pada analisis pragmatik salah satu fungsi
tindak tutur saja, yaitu penolakan. Sedangkan pada penelitian ini, penulis menggunakan
teori-teori tindak tutur yang relevan dan berhubungan dengan sosiopragmatik.
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh penulis untuk
menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Sumber data penelitian ini adalah
dialog atau percakapan yang terjadi antar anggota komunitas pemain game online di
kota Solo ketika mereka sedang memainkan game online. Berdasarkan hal tersebut,
dapat diketahui bahwa data dalam penelitian ini adalah tuturan antar pemain game
online beserta konteksnya di komunitas yang tersebar di lima kecamatan di kota Solo,
yaitu Jebres, Pasar Kliwon, Serengan, Banjarsari, dan Laweyan.
Dengan mengambil awal mula kajian pragmatik yang diturunkan pada
sosiopragmatik, penulis dapat menjabarkan data yang berwujud tindak tutur komunitas
gamer di kota Solo dengan bantuan konteks dan implikatur. Maksud dari tuturan yang
sudah dimengerti kemudian dianalisiscomsemsuiat itoduesnegran rumusan masalah
penelitian.
perpustakaan.uns.ac. digilib.uns.a3
Diawali dengan pembahasan jenis dan fungsi tindak tutur yang didasari teori tindak
tutur Kreidler, langkah analisis tindak tutur dilanjutkan dengan mengungkapkan
bagaimana tuturan komunitas gamer tersebut disampaikan beserta hubungannya dengan
pematuhan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan. Setelah itu penulis dapat
memperoleh hasil simpulan dari pembahasan dalam penelitian ini. Kerangka pikir yang
terkait dengan penelitian ini secara garis besar dapat digambarkan pada bagan di bawah
ini.
PRAGMATIK
SOSIOPRAGMATIK
A PENYAMPAIAN TINDAKJENIS
TUTURDAN
KOMUNITAS
FUNGSI
PRINSIP
TIDAK
KERJA
GAMER
TUTUR
SAMA
KOMUNITAS
PRINSIP KESANTUNAN
GAMER TINDAK TUTUR KOM
BAB
commit to user