Anda di halaman 1dari 8

TUGAS 1

Laporan Buku: Menggiring Rekan Sejati

Festschrift Buat Pak Ton

Tanggal Penyerahan:

JENNYFER PUJI LESTARI WOI

NIM : 19174040

Kelas : Pagi
PENGERTIAN PRAGMATIK

Pragmatik mulai sering terdengar di Indonesia sejak diberlakukannya


Kurikulum 1984. Sedangkan istilah pragmatik di Inggris sudah lama sejak
diterbitkannya buku Jhon Austin How to Do Things with Words (1962). Kajian
pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji maksud ujaran, bukan semata-
mata makna kalimat yang diujarkan.

Secara sederhana beberapa pengertian pragmatik yang dapat menjelaskan


hakikat pragmatik secara keseluruhan sebagai berikut:

1. Pragmatik adalah kajian bahasa dari prespektif fungsi dalam arti bahwa
kajian ini mencoba menjelaskan aspek aspek struktur linguistik dengan
mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonlinguisitik.
2. Pragmatik adalah kajian tentang hubungan-hubungan di antara bahasa dan
konteks yang merupakan dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa.
3. Pragmatik (umum) adalah kajian komunikasi linguistik menurut prinsip-
prinsip percakapan (Leech, 1983:11).
4. Pragmatik adalah kajian tentang penggunaan bahasa di dalam komunikasi,
terutama hubungan di antara kalimat dan konteks dan situasi
penggunaannya (Richards dll, 1985).

POKOK-POKOK BAHASAN DASAR PRAGMATIK.

1. Tindak Tutur
a. Performatif
Tindak tutur atau tindak ujaran (speech act) menurut Jhon
L.Austin dalam bukunya How to Do Things with Words tahun 1962.
Ia mengatakan bahwa mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat
dilihat sebagai melakukan tibdakan (act). Ia membedakan ujaran
yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua, yaitu konstatif
dan performative.
Kalimat konstatif adalah ujaran yang menyatakan sesuatu yang
kebenarannya dapat diuji yaitu benar atau salah dengan
menggunakan pengetahuan kita tentang dunia. Kalimat performatív
adalah ujaran yang merupakan tindakan melakukan sesuatu dengan
membuat ujaran itu.
Contoh:
“Saya berjanji saya akan datang"
“Saya minta maaf atas kealpaan saya"
Kita tidak dapat mengatakan bahwa ukaran tersebut benar atau
dapat, namun kita dapat mengatakan ujaran itu sahih, atau tidak.

Menurut Austin (1962), ada empat syarat kesahihan yang mesti


dipenuhi agar tindak performatif berhasil:

1) Mesti ada prosedur konvensional yang mempunyai efek


konvensional, dan prosedur itu mestilah mencakup
pengujaran kata-kata tertentu oleh orang-orang tertentu pada
peristiwa tertentu.
2) Orang-orang dan peristiwa tertentu di dalam kasus tertentu
mestilah yang berkelayakan atau yang patut untuk
melaksanakan prosedur yang dilaksanakan.
3) Prosedur itu mestilah dilaksanakan oleh para peserta secara
benar.
4) Secara lengkap.
b. Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Tiga jenis tindak ujaran yang dibedakan oleh Austin (1962).
Yang pertama Lokusi (lokusioner), adalah tindak berbicara atau
tindak tutur yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan
makna kalimat sesuai dengan makna kata itu. Kedua ilokusi (tindak
illokusioner), yaitu berbicara tentang maksud fungsi atau daya
ujarab yang bersangkutan, dan bertanya “Untuk apa ujaran itu
dilakukan?”. Ketiga perlokusi adalah efek dari tindak tutur itu, yaitu
efek yang timbul pada si pendengar sebagai akibat dari apa yang
dikatakan oleh si penutur.
Contoh:
Lokusi “Saya haus"
Jenis ujaran yang hanya dilihat dari kaidah sintaksisnya tanpa
melihat lebih jauh mengenai makna sesungguhnya.

Ilokusi “Saya haus"


Ilokusi melihat ujaran tersebut dengan melihat maksud, fungsi dan
tujuan ujaran itu. “Untuk apa ujaran itu dilakukan?” barangkali
ujaran “Saya haus" mengisyaratkan bahwa ia minta minum.

Perlokusi “Saya haus"


Perlokusi merupakan efek yang di lakukan oleh petutur terhadap apa
yang di sampaikan penutur. Ketika seseorang menuturkan “Saya
haus" maka ada tindakan yang dikakukan yaitu memberikan minum
kepada orang tersebut.

c. Jenis-jenis Tindak Tutur


Jhon Searle menerbitkan buku Specch Act yang berjudul “Sense
and Reference". Ia mengemnangkan buah pikiran Austin mengenai
tindak tutur performatif. Ia menyimpulkan bahwa semua tindak tutur
adalah tindak tutur performatif yang pada hakikatnya adalah
tindakan.
Scarle mengembangkan teori tindak tutur dengan membagi menjadi
jenis-jenis tindak tutur dan mencoba menentukan persyaratan
kesahihan masing-masing. Untuk tindak tutur “Berjanji" Scarle
mengatakan ada lima syarat kesahihan yang dinamakan isi
proposisional:
1) Penutur mestilah bermaksud memenuhi apa yang ia janjikan.
2) Penutur mestilah percaya bahwa tindakan yang dijanjikan
menguntungkan pendengar.
3) Penutur mestilah percaya bahwa ia dapat memenuhi janji itu.
4) Penutur mestilah memprediksikan tindakan pada masa yang
akan datang.
5) Penutur mesti memeprediksi tindakan yang akan dilakukan
oleh dirinya sendiri.

Searle (1975) mengkategorikan tindak ujaran atau tindak tutur


menjadi lima jenis:

1) Representatif (asertif)
Tindak tutur yang mengikat penuturnya dengan kebenaran
(Menyatakan, melaporkan, menunjukan, menyebutkan)
2) Direktif (impositif)
Tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar si
pendengar melakukan tindakan ujaran tersebut (Memohon,
menuntut, menyarankan, menantang)
3) Ekspresif
Tindak tutur yang dimaksudkan sebagai evaluasi, tentang hal
yang disebutkan (memuji, mengucapkan terima kasih,
mengkritik, mengeluh)
4) Komisif
Tindak tutur yang mengikat pendengarnya untuk
melaksananan apa yang disebutkannya (berjanji, bersumpah,
mengancam)
5) Deklarasi
Tindak tutur yang dilakukan dengan maksud untuk
menciptakan hal baru (memutuskan, membatalkan,
mengizinkan, memberi maaf)

I Dapat disimpulkan dari teori tindak tutur adalah bahwa satu


bentuk ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi. Jenis tindak
tutur dapat disebutkan jenis yang lain yaitu (1) tindak tutur
vernakuler tindak tutur yang dapat dilakukan oleh setiao anggota
masyarakat tutur, dan (2) tindak tutur seremonial tindak tutur yang
dilakukan oleh orang yang berkelayakan untuk hal itu misalnya
menikahkan orang, anggota DPR dan sebagainya.

d. Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung

Tindak tutur langsung dan tidak langsung merupakan tindak


tutur yang mengukur derajat kelangsungan dalam menyampaikan
maksud dari bentuk ujaran. Searle 1975 menyatakan tindak tutur
langsung dan tidak langsung dapat diukur berdasarkan “jarak
tempuh” yang diambil oleh sebuah ujaran, yaitu “titik ilokusi ke titik
tujuan ilokusi". Jarak yang paling pendek adalah garis lurus yang
menghubungkan kedua titik tersebut, dan ini memungkinkan jika
ujarannya bermodus imperatif. Makin melengkung garis pragmatik
itu, makin tidak langsunglah ujarannya.

Makin tembus pandang atau transparan, atau makin jelas


maksud sehuah ujaran, makin langsunglah ujaran itu dan demikian
pula sebaliknya. Maka pendengar harus mencari-cari koteks dan
konteksnya sebelum menangkap daya ujaran yang ia dengar. Alih-
alih membahasa tindak tutur langsung dan tidak langsung. Penutur
dapat memilih tindak tutur yang harfiah atau tidak dalam
mengutarakan maksudnya. Jika keduanya digabungkan maka kita
mendapatkan empat macam ujaran yaitu:

1) Langsung harfiah
2) Langsung, tidak harfiah.
3) Tidak langsung, harfiah.
4) Tidak langsung, tidak harfiah.
Dapat tidaknya seseorang menangkap maksud dari tuturan yang
disampaikan tergantung pada tingkat kompetensi komunikatif di
dalam bahasa yang bersangkutan.

2. Implikatur
Dalam artikelnya yang berjudul “ Logic and Conversion" Grice (1975)
menunjukan bahwa sebuah ujaran dapat mempunyai implikasi yang berupa
proposisi yang sebenarnya bukan bagian dari ujaran tersebut dan bukan pula
merupakan konsekuensi yang harus ada dari ujarsn itu. Maksud dari
pernyataan Grice dapat kita pahami melalui contoh berikut. Seseorang
bertanya kepada temannya yang mengikuti kongres bahasa Indonesia VI:
“Bagaimana makalah Dr. X?” Si teman menjawab “Bahasa Indonesianya
baik.” Orang yang mendengar pernyataan itu dapat menarik inferensi bahwa
bahasa Indonesia Dr.X baik, namun dari segi isi makalah tidak baik.
Ada tiga hal yang perlu kita perhatikan pada contoh implikatur itu.
Pertama, implikatur bahwa makalah Dr. X tidak baik bukanlah bagian dari
ujaran si teman, hal itu tidak diucapkanya. Kedua implikatur itu bukanlah
akibat logis dari ucapan si teman. Ketiga mungkin saja satu ujaran memiliki
lebih dari satu implikatur.
Yang ingin dikemukakan oleh Grice bahwa setiap ujaran selalu ada
tambahan makna. Tambahan keterangan yang tidak diujarkan oleh
penuturnya, yang walaupun tidak diujarkan, tertangkap juga oleh
pendengar. Makna ekstra itu muncul karena adanya kaidah dan prinsip kerja
sama. Grice menjabarkan prinsip kerja sama menjadi empat maksim:
a. Maksim Kuantitas
Buatlah sumbangan atau kontribusi anda seinformatif mungkin
sesuai yang dibutuhkan.
b. Maksim kualitas
Cobalah memberi sumbangan informasi yang benar dan cukup
bukti.
c. Maksim relevansi
Berikan jawaban kontribusi yang sejalan.
d. Maksim cara
Hindari ketidakjelasan ujaran, hindari ketaksaan ujaran, hindari
ketaksaan dan singkatan, tertib teratur.
Menurut Grice ada lima cara yang dapat diambil oleh peserta percakapan.
Pertama mematuhi maksim-maksim tersebut. Kedua jika melanggar
Maksim sama saja berbohong dengan sengaja. Ketiga ia mematuhi Maksim
sejak tetapi meneruskannya. Keempat, ia menempatkan dirinya pada situasi
dimana dua Maksim berlanggar. Kelima, peserta percakapan melecehkan
salah satu maksim.

ISU ISU DALAM PRAGMATIK

Isu yang paling menonjol pada kajian pragmatik adalah, batas kajian
yang membedakan secara jelas antara pragmatik dan semantik. Isu lainnya
yaitu berkaitan dengan prinsip kerja sama Grice apakah dapat di gunakan
pada masyarakat selain masyarakat barat? Isu penelitian kajian pragmatik
pun dianggap masih perlu digali lebih banyak, contohnya pelanggaran
maksim kuajtitas pada pertnyaan “mau kemana?”.
Pertanyaan tersebut dapat diartikan lain, pertanyaan tersebut dapat
diartikan sebagai teguran sapa. Isu dalam pragmatik yang selanjutnya
mengenai penelitian implikatur. Penelitian mengenai bagaimana anggota-
anggota suatu masyarakat untuk menarik implikatur dari percakapan,
tentang penerapan kerja sama Grice. Hubungan fungsi dan bentuk tindak
tutur di dalam suatu masyarakat tutur, dan presepsi masyarakat tentang
kepatuhan bentuk-bentuk tindak tutur.

Anda mungkin juga menyukai