Anda di halaman 1dari 18

1.

Pragmatik
Untuk memahami apa itu pragmatik, mungkin kita bisa mengkaji
pendapat para pakar pragmatik yang mana pendapat mereka berbeda
antara satu dan lainnya. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat
definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2)
bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang,
melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang
dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang
yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi
partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.

Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam


pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan
sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna
pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut
pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran
(utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan
mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang
melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara
konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang
mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai
bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).

Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik


sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan
semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik
sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik
sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat
semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.1

2. Beberapa Topik Pembahasan dalam Pragmatik


2.1 Teori Tindak Tutur

1 http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik
Yang pertama kali mengungkapkan gagasan bahwa bahasa
dapat digunakan untuk mengungkapkan tindakan melalui pembedaan
antara ujaran konstantif dan ujaran performatif adalah Austin. Ujuran
kontanstif menggambarkan atau memerikan peristiwa, prose, keadaan.
Dengan demikian, ujaran kontanstif dapat dikatakan benar atau salah.
Namun ujaran performatif memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah
diselesaikan pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti
perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga.2

Austin melanjutkan bahwa tutur performatif dapat dibedakan


atas (1) tutur performatif yang eksplisit dan tutur performatif yang
implisit. Tutur performatif Saya menyuruh anda pergi adalah tutur
performatif eksplisit, sedangkan tutur performatif pergi adalah tutur
performatif implisit.3

Perbedaan antara ujaran performatif dan konstatif yang


dikemukakan Austin kemudian diganti oleh pengklasifikasian rangkap tiga
terhadap tindak-tindak yakni dalam bertutur, seseoang melakukan
tindak lokusi, tindak ilokusi, dan mungkin bahkan tindak perlokusi.
Menurut Austin, tindak lokusi kira-kira sama dengan pengujaran kalimat
tertentu dengan pengertian dan acuan tertentu, yang sekali lagi kira-kira
sama dengan makna dalam pengertian traditional. Selama penutur
yang berkata anjing galak itu ada di kebun sedang berusaha
memproduksi kalimat yang maknanya didasarkan pada acuan pada anjing
dan kebun tertentu dalam dunia luar, maka penutur ini sedang
memproduksi tindak lokusi. Namaun demikian, dalam memproduksi
tindak lokusi kita juaga melakukan berbagai tindak ilokusi seperti
memberitahu, memerintah, mengingatkan, melaksanakan dan
nsebagainya. Yakni ujara-ujaran yang miliki daya (konvevsional) tertentu.
Bagi Austin, tujuan penutur dalam bertutur bukan hanya untuk

2 Louise Cummings, 2007, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal: 8

3 J.D Parera, 2004, Teori Semantik Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga hal: 266
memproduksi kalimat-kalimat yang memiliki pengertian dan acuan
tertentu. Bahkan, tujuannya adalah untuk menghasilkan kalimat-kalimat
semacam ini dengan pandangan untuk memberikan konstribusi jenis
gerakan interaksional tertentu pada komunikasi. Misalnya, dalam berujar
Anjing galak itu ada di kebun, penutur bisa sedang melakukan tindak
ilokusi dalam bentuk memperingatkan seseorang agar tidak masuk ke
dalam kebun. Dalam hal ini, perinagtan merupakan daya ilokusi ujaran itu.
Akhirnya, kita mungkin juga melakukan beberapa tindak perlokusi: apa
yang kita hasilkan atau capai denagn mengatakan sesuatu, seperti
manyakinkan, membujuk, menghalangi. Jika dengan mengujarkan Anjing
galak itu ada di kebun, penutur berhasil menghalangi pendengarnya
untuk masuk ke dalam kebun, maka, melalui ujaran ini penutur telah
melakukan suatu tintack perlokusi.

Searle menggunakan kaidah-kaidah konstitutif untuk


menetapkan klasifikasi tindak ilokusi berikut-asertif, direktif, komisif,
ekspresif dan deklarasi. Asertif atau representatif ialah jenis tindak tutur
yang menyatakan apa yang di yakini penutur kasus atau bukan. Direktif
ialah jenis tindak tutur yang di pakai oleh penutur untuk menyuruh orang
lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang
menjadi keinginan penutur. Tndak tutur ini meliputi: perintah, pemesanan,
permohonan, pemberian saran. Komisif ialah jenis tindak tutur yang di
pahami oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-
tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini dapat berupa; janji,
ancaman, penolakan, ikrar. Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang
menyatakan sesuatu yang di rasakan oleh penutur. Tindak tutur ini
mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa
perrnyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan,
atau kesengsaraan. Deklarasi ialah jenis tindak tutur yang mengubah
dunia melalui tuturan. Tindak-tindak ini lebih luas daripada kata kerja
ilokusi yang bisa mewakilinya. Misalnya, tindak ilokusi komisif berjanji
dapat berbentuk saya berjanji.4

4 George Yule, 2006, Pragmatik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal:92-94


2.2 Teori Implikatur

Dalam suatu tindak percakapan, setiap bentuk tuturan


(utterance) pada dasamya mengimplikasikan sesuatu. Implikasi tersebut
adalah maksud atau proposisi yang biasanya tersembunyi dibalik tutur
yang diucapkan dan bukan merupakan bagian langsung dari tutur
tersebut. Pada gejala demikian apa yang dituturkan berbeda dengan apa
yang diimplikasikan. Meskipun implikasi tidak dinyatakan secara nyata
atau formal, tetapi keberadaannya justru berfungsi sebagai pengikat
komunikasi antar penutur.
Setiap bentuk tuturan biasanya diasumsikan memiliki atau
dilandasi suatu maksud tertentu. Maksud dari suatu ucapan seperti itulah
yang disebut oleh Grice sebagai implicatum (apa yang diiplikasikan), yang
kemudian diformulasikan dengan istilah meaning nonnatural (meaning
nn). Sementara gejalanya disebut sebagai implicature. Secara nominal istilah ini mempunyai
relasi dengan kata implication (implikasi) yang artinya maksud, pengertian, atau keterlibatan.
Berdasarkan konsep yang terjabar tersebut, implikatur
(percakapan) dapat diidentifikasi dengan ciri-ciri: (1) implikasi tidak
dinyatakan secara eksplisit, (2) Tidak memiliki hubungan mutlak dengan
tuturan yang merealisasikannya (apa yang diucapkan berbeda dengan
apa yang dimaksudkan), (3) Termasuk unsur luar wacana, (4) Implikatur
dapat dibatalkan, (5) Bersifat terbuka penafsiran atau banyak makna
(multi interpretable), dan (6) Terjadi karena mematuhi atau tidak
qlematuhi prinsip kerja sarnadalam percakapan.
Grice, seperti diungkap oleh Thomas, menyebut dua macam
implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional.
Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari
penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti
diungkap oleh Gunarwan, dapat dicontohkan dengan penggunaan kata
bahkan. Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan
karena tuntutan konteks tertentu.5

5 http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik.html
Grice (sebagaimana dikutip oleh Levinson, 1983 : 101)
berpendapat bahwa pelaksanaan percakapan itu dipandu oleh
seperangkat asumsi. Asumsi itu didasarkan atas pertimbangan rasional
dan dapat di rumuskan sebagai panduan untuk menggunakan bahasa
secara efektif dan efisien dalam percakapan. Panduan itu disebut Grice
sebagai maksim percakapan (maxims of conversation) atau prinsip-prinsip
umum yang mendasari penggunaan bahasa yang dilandasi kerja sama
secara efisien. Kesatuan seluruh maksim percakapan yang berjumlah
empat itu disebut prinsip kerja sama (co-operative principle). Keempat
maksim tersebut sebagai tersebut:6

Maksim Kualitas

Buatlah sumbangan anda sumbangan yang benar, khususnya:

1) Jangan mengatakan apa yang anda anggap salah.


2) Jangan mengatakan sesuatu yang tidak didukung dengan bukti yang
cukup

Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan


dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di
dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti
yang jelas. Tuturan berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas
pernyataan ini.
(1)Silahkan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya!
(2)Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti!

Tuturan (1) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama


antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan (2) dikatakan melanggar
maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya
tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan seseorang. Akan
merupakan sesuatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan
terdapat seorang dosen yang mempersilahkan para mahasiswanya
melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung.

6 Yudi Cahyono Bambang, 1995, Kristal-Kristal Ilmu Bahasa, Surabaya: Airlangga


University Press hal: 221
Maksim Kuantitas

1) Buatlah sumbangan anda seinformatif mungkin seperti yang


diperlukan dalam percakapan itu.
2) Jangan memberikan sumbangan lebih informatif daripada yang
diperlukan.

Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharap dapat


memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif
mungki. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang
sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung
informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan
melanggar maksim kuantitas dalam prinsip Kerja Sama Grice. Demikian
sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan
akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Untuk memperjelas
pembahasan di atas, berikut beberapa contoh:
(1)Biarlah kedua pemuas nafsu itu habis berkasih-kasihan!
(2)Biarlah kedua pemuas nafsu yang sedang sama-sama mabuk
cinta dan penuh nafsu birahi itu habis berkasih-kasihan!
Tuturan (1) dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah
jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan demikian, karena
tanpa harus ditambahi dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat
dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur.
Penambahan informasi seperti contoh (2) justru akan menyebabkan
tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang
digariskan maksim ini, tuturan seperti pada (2) di atas tidak mendukung
atau bahkan melanggar maksim kuantitas.

Maksim Relevansi
1) Buatlah perkataan yang relevan

Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja


sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing
hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu
yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan
kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip
kerja sama Grice. Sebagai ilustrasi atas penjelasan di atas perlu dicermati
tuturan berikut:

Sang Hyang Tunggal : Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-


kataku ini dalam hati!

Semar : Hamba bersedia, Ya Dewa.

Cuplikan pertuturan di atas dapat dikatakan mematuhi dan


menepati maksim relevansi. Apabila dicermati secara mendalam, tuturan
yang disampaikan tokoh Semar, yakni Hamba bersedia, Ya Dewa, benar-
benar merupakan tanggapan atas perintah Sang Hyang Tunggal yang
dituturkan sebelumnya, yakni Namun sebelum kau pergi, letakkanlah
kata-kataku ini dalam hati!. Dari penjelasan di atas, kita dapat
simpulkan bahwa tuturan itu patuh dengan maksim relevansi dalam
Prinsip Kerja Sama Grice.

Dan berikut contoh tuturan antara seorang dierktur dengan


sekretarisnya yang melanggar maksim relevansi dalam Prinsip Kerja Sama
Grice.

Direktur : Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda


tangani dulu!

Sekretaris : Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu.

Dituturkan pada saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah


ruang kerja Direktur. Pada saat itu, ada seorang nenek tua yang
sudah menunggu lama.

Di dalam cuplikan percakapan di atas, tampak dengan jelas


bahwa tuturan sang Sekretaris, yakni, Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua
itu tidak memiliki relevansi dengan apa yang diperintahkan sang
Direktur, yakni Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani
dulu!. Dengan demikian tuturan di atas dapat dipakai sebagai salah satu
bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip kerja sama tidak selalu harus
dipenuhi dan dipatuhi dalam pertuturan sesungguhnya.

Maksim Cara
Bicaralah dengan jelas, dan khususnya:

1) Hindari kekaburan
2) Hindari ketaksaan
3) Berbicaralah singkat
4) Berbicaralah secara teratur

Maksim cara ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur


secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Orang bertutur dengan tidak
mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar Prinsip Kerja
Sama Grice karena tidak mematuhi maksim cara. Berkenaan dengan itu,
berikut beberapa contoh tuturan.

Kakak : Ayo, cepat dibuka!

Adik : Sebentar dulu, masih dingin.

Cuplikan tuturan di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah.


Karena berkadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya
menjadi sangat tinggi. Tuturan si Kakak yang berbunyi Ayo, cepat
dibuka! sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang
sebenarnya diminta oleh si mitra tutur. Kata dibuka dalam tuturan di atas
mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan yang tinggi. Oleh
karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur. Demikian pula tuturan
yang disampaikan si Adik, yakni Sebentar dulu, masih dingin
mengandung kadar ketaksaan cukup tinggi . kata dingin pada tuturan itu
dapat mendatangkan banyak kemungkinan presepsi penafsiran karena di
dalam tuturan itu tidak jelas apa sebenarnya yang dingin itu. Tuturan
demikian dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak
mematuhi maksimcara dakam Prinsip Kerja Sama Grice.

Implikatur-implikatur yang dihasilkan dengan cara sekedar


mematuhi maksim-maksim terhadap maksim-maksim tersebut dalam
ujaran yang dipakai oleh Loise Cummings sebagai berikut:
(Dia membersihkan debu pada rak-rak itu dam membersihkan
dinding-dindingnya dengan air.)
(Para siswa telah lulus semua ujian mereka.)
Kepatuhan terhadap maksim cara dalam contoh yang pertama di atas
menghasilkan implikatur bahwa dia membersihkan debu pada rak-rak itu
dan kemudian mulai membersihkan dinding-dindingnya dengan air
penutur sedang bersikap teratur dalam menyajikan peristiwa-peristiwa
dalam suatu rangkaian terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Dalam contoh
kedua, dengan mematuhi maksim kualitas, penutur menghasilkan
implikatur standar bahwa dia yakin para siswa telah lulus semua ujian
penutur sedang mengatakan apa yang dia yakini benar.
Terlepas dari lagak mengadakan atau mengeksplotasi maksim-
maksim dan kepatuhan sederhana terhadap maksim, sebuah maksim bisa
dilanggar dengan sengaja atau berbenturan dengan maksim
selanjutnya. Para penutur yang tidak sengaja melanggar sebuah maksim
tidak melakukannya dengan maksud untuk mengomunikasikan tataran
makna tambahan. Meskipun mungkin mereka berniat melanggar sebuah
maksim, namun mereka tidak berusaha untuk membuat niatnya diketahui
oleh pendengar dan, dalam melakukanhal ini, mereka berusaha mencapai
suatu efek komunikasi tertentu. Memang, dalam hal berbohong
pelanggaran tak sengaja terhadap maksim kualitas penutur harus
berusaha keras tidak mengungkapkan maksud mereka untuk melanggar
maksim kepada pendengarnya. Kadang-kadang masalahnya adalah
bahwa agar penutur dapat mematuhi satu maksim, dia harus melanggar
maksim kedua. Dalam hal ini mari kita perhatian pertukaran percakapan
berikut:
A. Apakah tukah pos belum datang?
B. Aku dengar anjing menggonggong beberapa menit yang lalu.
Jawaban B bisa dianggap melanggar maksim kuantitas karena
tidak memberikan informasi yang di perlukan oleh A. Namun demikian,
agar B bisa memberikan informasi kepada A akan mengharuskan B untuk
mengemukakan sesuatu yang bukti-buktinya yang memadai tidak dia
miliki. Halini merupakan pelanggaran terhadap maksim kualitas. Dalam
perbenturan semacam ini, maksim kualitas menang atas maksim
kuantitas. B memilih menghasilkan ujaran yang memiliki kandungan
informasi yang minimal, tapi merupakan isi informasi yang memberikan
landasan pertama jawaban yang masuk akal terhadap pertanyaan A
tentang suatu ujaran yang lengkap namun pada hakekatnya tidak dijamin
keakuratannya
Berbagai macam implikatur yang dikemukakan Grice dapat
dibedakan atas dasar sifat-sifat berikut: daya batal (cancelability), daya
kemustahilan (defeasibility), daya pisah (detachability), daya hitung
(calculability), dan konvensionalitas.

2.3 Teori Relevansi


Dalam pendekatan teori relevansi pada komunikasi, seluruh
kerangka maksim Grice sepenuhnya digantikan oleh prinsip relevansi.
Prinsip ini, menurut Sperber dan Wilson, mencapai penyederhanaan yang
diperlukan terhadap kerangka Grice, meskipun sekaligus tidak kehilangan
kekuatan kerangka tersebut dalam memberikan penjelasan.

Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson


merupakan kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip
kerja sama Grice. Menurut Sperber dan Wilson, maksim yang terpenting
dalam teori Grice adalah maksim relevansi, dan percakapan dapat terus
berjalan meski hanya melalui maksim ini. Dalam teori relevansi dipelajari
bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami oleh penerimanya.
Sperber dan Wilson menyebutkan bahwa bahasa dalam penggunaannya
(language in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang disebutnya
indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima
pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan
dengan apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser)
dalam konteks komunikasi tertentu. Contoh:

Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini.

Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan meninggalkan
ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali meninggalkan ruangan,
misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini berada dalam spesifikasi
tertentu yang disepakati oleh addresser dan addressee dalam konteks komunikasi.7

Ciri-ciri relevansi Sperber dan Wilson yang patut dicacat adalah


daya terapannya tidak hanya pada komunikasi, tetapi juga pada bidang
kognisi pada umumnya. Tujuan universal dalam kognisi adalah untuk
memperoleh informasi yang relevan, dan semakin relevan informasinya
maka akan semakin baik jadinya. Prinsip relevansi Sperber dan Wilson
pertama-tama merupakan prinsip kognitif dan prinsip komunikasi hanya di
peroleh melalui ketergantungan komunikasi pada kognisi. Ciri kedua
relevansi Sperber dan Wilson yakni perwujudan karekteristik ekonomisnya
adalah konsekuensi langsung asal usul kognitif prinsip ini. Ciri ketiga
prinsip relevansi Sperber dan Wilson adalah kapasitanya baik dalam
membentuk ujaran-ujaran yang disumbangkan oleh penutur terhadap
komunikasi maupun dalam mempengaruhi bagaimana pendengar ujaran-
ujaran tersebut molai memprosesnya.8

Contoh yang ditulis Renkema di bawah ini memberikan gambaran


yang cukup jelas.

A: Well, there is a shuttle service sixty euros one-way, when do you


want to go?

(Ada layanan antar-jemput 60 sekali jalan, kapan Anda ingin


pergi?)

B: At the weekend.

(Pada akhir pekan)

A: What weekend?

7 http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik.html

8 Louise Cummings, 2007, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal 24-26
(Akhir pekan kapan?)

B: Next weekend. How does it works? You just turn up for the shuttle
service?

(Akhir pekan berikutnya. Bagaimana cara kerjanya? Anda hanya


datang untuk layanan antar-jemput?)

A: That might be cheaper. Then that's fifty.

(Itu mungkin lebih murah. Bisa jadi lima puluh.)

Dalam percakapan di atas, pemahaman penerima pesan terhadap apa


yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan terjadi melalui beberapa
tahapan. Dalam percakapan tersebut, B mengira A mengerti bahwa at the
weekend berarti next weekend, padahal A harus memastikan dengan jelas
setiap pemesanan pembelian tiket. Begitu juga A, ia mengandaikan B
dapat mengerti bahwa that migh be cheaper dapat berarti If you purchase
a ticket now, you have booked seat which costs 60 euros. If you buy ticket
when you turn up, it costs 50 euros. Dalam hal ini, ujaran at the weekend,
dalam pengertian degree of relevance, merupakan ujaran yang
relevansinya rendah dan membutuhkan processing effort yang lebih
besar, sedangkan that might be cheaper merupakan ujaran yang
relevansinya lebih baik; karena semakin tinggi contextual effect maka
semakin rendah ia membutuhkan processing effort.

2.4 Kesantunan (Politeness)


Sudah lazim apabila kita memperlakukan kesopanan atau
kesantunan sebagai konsep yang tegas, seperti gagasan tingkah laku
social yang sopan, atau etiket, terhadap dalam budaya. Juga
dimungkinkan menentukan sejumlah prinsip-prinsip umum yang berbeda
untuk menjadi sopandalam interaksi social dalam suatu budaya khusus.
Sebagian dari prinsip-prinsip umum itu termasuk sifat bijaksana, pemurah,
rendah hati, dan sipatik terhadap oranglain. Partisipan dalam suatu
interaksi umumnya sadar bahwa norma-norma dan prinsip-prinsip yang
demikian ada dalam masyarakat luas.
Sebagai istilah teknis, wajah meruapakn wujud pribadi
seseorang dalam masyarakat.wajah mengacu kepada makna social
emosional itu sendiri yang setiap orang memiliki dan mengharapkan
orang lain untuk mengetahui. Menurut Goffman, yang dikutip oleh
Jaszczolt, "face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang
telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan,
harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image).
Menurut Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema, setiap partisipan
memiliki dua kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan
untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu).
Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan yang kedua
disebut negative face.9
Kesopanan dalam suatu interaksi interaksi dapat didefinisikan
sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang
wajah orang lain. Dalam pengertian ini, kesopanan dapat disempurnakan
dalam situasi kejauhan dan kedekatan sosial. Dengan menunjukkan
kesadaran untuk wajah orang lain ketika orang itu tampak jauh secara
sosial sering didekripsikan dalam kaitannya dengan keakraban,
persahabatan, atau kesetikawanan. Tipe pertama mungkin ditemikan
dalam pertanyaan siswa kepada grunya, dan tipe kedua ditemikan dalam
pertanyaan siswa kepada individu yang sama, seperti contoh berikut:
a. Maaf Pak Budi, dapatkah saya bicara dengan bapak sebentar?
b. Hey, Andi, ada waktu sebentar?
Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech. Pakar ini membahas
teori kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal. Dalam hal ini,
Leech menyebutkan enam maksim kesantunan, yaitu:
1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
(a) Kurangi kerugian orang lain.
(b)Tambahi keuntungan orang lain.

9 http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik.html
Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim
kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di
dalambertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia
akan dapat menghindarkan sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang
kurang santun terhadap si mitra tutur. Demikian pula perasaan sakit hati
sebagai akibat dari perlakuan yang tidak menguntungkan pihak lain akan
dapat diminimalkan apabila maksim kebijaksanaan ini dipegang teguh dan
dilaksanakan dalam kegiatan bertutur.
Menurut maksim ini , kesantunan dalam bertutur dapat
dilakukan apabila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik.
Sebagai pemerjelas atas pelaksanaan maksim kebijaksanaan ini dalam
komunikasi yang sesungguhnya dapat dilihat pada contoh tuturan berikut
ini.
Tuan rumah: Silahkan makan dulu, nak.
Tadi kami semua sudah mendahuluinya.
Tamu : Wah, saya jadi tidak enak, Bu
Dituturkan oleh seorang Ibu kepada seorang anak muda yang
sedang bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus
menginap karena hujan yang lebat dan tidak kunjung reda.

Di dalam tuturan di atas tampak dengan sangat jelas bahwa apa


yang dituturkan si Tuan Rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi
sang Tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu dapat di temukan dalam
keluarga-keluarga pada masyarakat tutur desa.

2) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim),


(a) Kurangi keuntungan diri sendiri.
(b)Tambahi pengorbanan diri sendiri.

Dengan maksim kedermawaan atau maksim kemurahan hati,


para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormatu orang lain.
Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat
mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan
keuntungan bagi pihak lain.tuturan pada contoh berikut dapat
menjelaskan pernyataan di atas.
Yudi : Mari saya belikan nasi! Saya mau ke warung samping.
Nanang : Tidak usah, Yud. Nanti saja saya makan, saya masih
kenyang.
Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak yang
mempunyai hubungan erat dalam persahabatan.

Dari tuturan yang disampaikan Yudi di atas, dapat dilihat dengan


jelasbahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan
cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal ini dilakukan dengan
cara menawarkan bantuan untuk membelikan nasi Nanang.

3) Maksim Penghargaan
(a) Kurangi cacian pada orang lain.
(b)Tambah pujian pada orang lain.

Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan


dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha
memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini,
diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, salng
mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain. Peserta tutur yang
sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan
dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian, karena
tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang. Untuk
memperjelas hal itu, tuturan pada contoh berikut dapat dipertimbangkan.
Dosen A : Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas
Bahasa Arab.
Dosen B : Oya, tadi aku memdengar Bahasa Arbmu jelas sekali
dari sini.
Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang
dosen dalam ruangan kerja dosen.

Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya


dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan
disertai dengan pujian dan penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu dosen B berperilaku
santun terhadap dosen A. Hal itu berbeda dengan contoh percakapan
pada tuturan berikut.
Santi : Maaf, aku pinjam pekerjaan rumahnya.
Aku tidak bisa mengerjakan tugas itu sendiri.
Nani : Tolol Ini, cepet kembalikan!
Dituturkan oleh mahasiswa kepada temannya ketika mereka baru
saja sampai di kampus.

4) Maksim Kesederhanaan
(a) Kurangi pujian pada diri sendiri.
(b)Tambah cacian pada diri sendiri.

Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati,


peserta tutur di harapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara
mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan
sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu
memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Contoh tuturan berikut dapat
mempertimbangkan pernyataan di atas.

Sekretaris A : Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu ya, ya!
Sekretaris B : Ya, Mbak. Tapi, saya jelek lho.
Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih
junior pada saat berada di kantor kerjanya.

5) Maksim Permufakatan,
(a) Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
(b)Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.

Di dalam maksim pemufakatan ini, ditekankan bahwa para


peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di
dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kecocokan atau kemufakatan
antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-
masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Di dalam
kegiatan bertutur orang tidak boleh memenggal atau bahkan membantah
secara langsung apa yang dituturkan oleh pihak lain. Hal demikian
tampak jelas, terutama apabila umur, jabatan, dan status sosial penutur
berbeda dengan si mitra tutur.
Guru A : Ruangannya gelap ya, Bu!
Guru B : Heem! Saklarnya mana, ya?

6) Maksim Simpati (Sympathy Maxim)


(a) Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
(b)Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.

Di dalam maksim simpati, diharapkan agar para peserta tutur


dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak
lainnya. Sikap antipasti terhadap salah seorang peserta tutur akan
dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipasti
terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain,
akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam
masyarakat. Kesimpatian terhadap pihak lain serin ditunjukkan dengan
senyuman, anggukan, gandengan tangan, dan sebagainya. Contoh
tuturan berikut bisa dijadikan pertimbangan untuk memperjelas
pernyataan ini.
Ani : Tut, nenekku meninggal.
Tuti : Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Ikut berduka cita ya.
Daftar Pustaka

Louise Cummings, 2007, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar
J.D Parera, 2004, Teori Semantik Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga
Yudi Cahyono Bambang, 1995, Kristal-Kristal Ilmu Bahasa, Surabaya:
Airlangga University Press
J.W.M. Verhaar, 2001, Asas-Asas Linguistik Umum, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Prees
George Yule, 2006, Pragmatik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kunjana Rahardi, 2002, Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa
Indonesia, Jakarta: Erlangga
Geoffrey Leech, 1993, Prinsip-Prinsip Pragmatik, Jakarta: UI-Prees
Louise Cummings, 2010, Pragmatik Klinis Kajian Tentang Penggunaan dan
Gangguan Bahasa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Harimurti Kridalaksana, 2008, Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Abdul Chaer, 2007, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta
http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik

Anda mungkin juga menyukai