Anda di halaman 1dari 10

Membandingkan

Majas Metafora (Bhs. Indonesia) dengan Metapher (Bhs. Jerman)


Muhamad Rizal Akbar
KBBI online : membandingkan /membandingkan/ v dua benda (hal dsb) untuk mengetahui persamaan atau
selisihnya;

Pertanyaan

yang

perbedaan/persamaan

muncul

Majas

dalam

Metafora

pembicaraan

(Indonesia)

ini

dengan

ialah:

Apakah

Metapher

ada

(Jerman)?

Bagaimanakah perbedaan itu? Terdapat pada sisi manakah perbedaan & persamaan
tersebut?
Pertama-tamaKarena metafora merupakan sebuah topik kajian utama berbagai
disiplin ilmu, terutama linguistik, teori kesusastraan, filsafat, dan psikologi, konsep-konsep
tentang metafora, termasuk definisinya, sangat beragam (Picken: 1988: 108). Hingga saat
ini, terdapat paling tidak empat teori metafora yang mengungkapkan metafora dengan
berbagai sudut pandang. Berikut ini adalah uraian singkat tentang keempat teori tersebut.
Teori
a. Teori Perbandingan
Teori perbandingan, merupakan teori kuno atau tradisional untuk menganalisis
metafora, digagas oleh Aristoteles pada abad keempat masehi.

Menurut Aristoteles,

metafora merupakan sarana berpikir yang sangat efektif untuk memahami suatu konsep
abstrak, yang dilakukan dengan cara memperluas makna konsep tersebut dengan cara
membandingkannya dengan suatu konsep lain yang sudah dipahami. Melalui perbandingan
itu terjadi pemindahan makna dari konsep yang sudah dipahami kepada konsep abstrak.
Sebagai contoh, dalam metafora Guru adalah matahari bangsa, fungsi matahari sebagai
pemberi terang dan kehangatan dipindahkan kepada guru. Pemindahan ini membuat
guru menjadi pemberi terang dan

kehangatan kepada bangsa. Oleh Aristoteles,

ungkapan-ungkapan linguistik yang dihasilkan dari metafora sebagai sarana berpikir itu
disebut sebagai stilistika.
Menurut Ortony (1993: 3), bagi Aristoteles, fungsi utama metafora adalah sebagai
stilistika atau ornamen retoris, khususnya majas. Danesi (2004: 118) menambahkan bahwa
majas tersebut digunakan untu memperindah ungkapan-ungkapan dalam puisi. Dengan
kata lain, Aristoteles lebih mementingkan metafora sebagai ekspresi linguistik, bukan
sebagai konsep berpikir yang menghasilkan ekspresi tersebut.
Teori perbandingan ini didukung oleh Larson (1998: 271-271) yang menekankan
bahwa, seperti simile, metafora merupakan ungkapan figuratif yang didasarkan pada
perbandingan. Dia menjelaskan bahwa metafora dan simile merupakan bentuk-bentuk

gramatikal yang mewakili dua proposisi dalam struktur semantik. Sebuah proposisi terdiri
sebuah topik dan penjelasan mengenai topik itu.
b. Teori Interaksi
Pemunculan konsep metafora yang berbeda dengan konsep Aristoteles diawali oleh
Richards dalam bukunya In The Philosophy of Rhetoric (1936). Perbedaan itu terlihat paling
tidak dalam dua poin. Pertama, Richards (1936: 90) menyatakan bahwa metafora sesuatu
yang istimewa dan hanya digunakan oleh orang-orang berbakat sebagai ornamen retoris.
Dengan kata lain, dia menolak pandangan bahwa metafora digunakan secara khusus hanya
dalam karya sastra.
Kedua, Richards (1936: 93-96) menekankan bahwa metafora merupakan proses
kognitif yang dilakukan untuk memahami suatu gagasan yang asing (vehicle) melalui
interaksi gagasan tersebut dengan gagasan lain yang maknanya secara harfiah sudah lebih
dikenal (tenor), bukan melalui pemindahan makna. Gagasan baru yang dihasilkan melalui
interaksi vehicle dan tenor disebut ground. Dalam metafora Guru adalah matahari bangsa,
Guru merupakan vehicle dan matahari merupakan tenor. Fitur umum yang terdapat
diantara keduanya, seperti hangat dan menerangi, disebut ground. Dalam Guru adalah
matahari bangsa, misalnya, tidak terjadi pemindahan makna dari matahari kepada guru.
Kedua kata itu tetap pada makna harfiah masing-masing. Namun sebagian wilayah makna
kedua kata itu, seperti makna mendidik dan mengajar berinteraksi dengan makna
menerangi dan menghangatkan, dan menghasilkan gagasan melalui pendidikan dan
pengajaran yang dilakukannya, guru menerangi dan memberi kehangatan pada bangsa.
Itulah sebabnya Richard menekankan bahwa dalam metafora tidak terjadi substitusi makna
melainkan interaksi makna.
Berdasarkan gagasan Richards, Black mengembangkan teori interaksi dengan
menekankan bahwa metafora pada hakikatnya merupakan instrumen kognitif yang tidak
dapat berlangsung tanpa adanya interaksi antar elemen-elemen pembentuknya, yang terdiri
dari aspek konteks, situasi, pembicara/pendengar, penulis/pembaca, dan tema pertuturan.
Esensi aspek-aspek kontekstual ini dapat dilihat dalam contoh-contoh berikut.
(1) Ali adalah anak kecil.
(2) Toto mahir berakting.
Kalimat (1) di atas merupakan metafora jika dilihat dari konteksnya bahwa Ali
berumur 40 tahun. Dalam konteks ini, Ali dianalogikan sebagai anak kecil karena memiliki
sifat kekanak-kanakan. Akan tetapi, kalimat itu bukan sebuah metafora jika diketahui Ali
masih berumur lima tahun. Kalimat (2) merupakan metafora jika diketahui Toto bukan

seorang pemain film (aktor) namun pandai bersandiwara bagaikan seorang aktor.
Sebaliknya, kalimat

itu bukan metafora jika Toto benar-benar seorang aktor. Melalui

penjelasan dan contoh-contoh tersebut, terlihat bahwa dalam teori interaksi Black kriteria
pokok yang menentukan apakah sebuah tuturan merupakan metafora atau hanya sekedar
pernyataan harfiah adalah konteks dan situasinya.
Selain dari perbedaan teori perbandingan dan teori interaksi--Teori Aristoteles,
Richards dan Black sama-sama menekankan fungsi metafora sebagai bahasa figuratif.
c. Teori Pragmatik
Teori pragmatik merupakan penolakan terhadap konsep adanya perubahan makna
pada topik karena adanya pemindahan makna dari citra, atau karena adanya interaksi
vehicle dengan tenor. Dengan kata lain, teori pragmatik membantah konsep teori
perbandingan dan teori interaksi. Dalam tulisannya "What Metaphors Mean" (1978), Donald
Davidson mempertanyakan asumsi standar tentang keberadaan makna metaforis yang
berbeda dengan makna harfiah. Menurut Davidson, metafora pada hakikatnya tidak berbeda
dengan ungkapan linguistik lainnya. Metafora mengungkapkan makna kata-kata sesuai
dengan makna harfiahnya, tidak lebih dari itu. Bagi Davidson, persoalan metafora
merupakan ranah pragmatik, bukan semantik. Metafora tidak membentuk makna-makna
yang berbeda karena metafora tidak berkreasi; metafora merupakan kata-kata yang makna
harfiahnya digunakan untuk membentuk pemahaman. Dengan kata lain, makna sebuah
metafora ditentukan oleh makna harfiah kata-kata maupun kalimat yang membentuknya,
dan bagaimana makna tersebut digunakan. Jadi, metafora tidak memiliki makna khusus.
Metafora adalah penggunaan ungkapan harfiah untuk menyarankan, mengakrabkan, atau
mengarahkan penutur kepada makna yang mungkin diabaikannya.
Sama dengan Davidson, Searle (1981: 76-103) juga menolak konsep perubahan
makna pada topik karena adanya pemindahan makna dari citra, atau karena adanya
interaksi vehicle dengan tenor. Menurut Searle, di dalam metafora sama sekali tidak ada
perubahan makna. Searle mengakui bahwa makna ungkapan metaforis berbeda dengan
makna harfiah kata-kata atau kalimat penyusunnya. Namun hal itu tidak disebabkan oleh
perubahan makna elemen-elemen leksikal, melainkan karena penutur bermaksud
mengungkapkan makna yang lain melalui kata-kata atau kalimat tersebut. Hal ini, secara
sederhana, diungkapkan dengan rumusan bahwa penutur mengatakan S adalah P,
padahal yang dimaksudkannya adalah S adalah R.Sehubungan dengan itu, Searle
mengusulkan bahwa untuk menjelaskan metafora perlu dibedakan antara makna harfiah
kata-kata atau kalimat dengan makna yang disampaikan penutur (makna metaforis yang
ingin diungkapkan melalui makna harfiah kata-kata atau kalimat yang digunakan).

Sumbangan utama teori pragmatik terhadap konsep metafora adalah pemahaman


bahwa proses pembentukan makna metaforis tidak hanya ditentukan oleh pemindahan
makna dari citra ke topik atau oleh interaksi antara kedua ranah tersebut. Makna metaforis
itu juga dibentuk oleh hubungan internal elemen-elemen kontekstual tuturan tersebut,
termasuk makna yang disampaikan penutur.
d. Teori Kognitif / Konseptual
Wilayah kajian metafora yang dulu cenderung mengacu pada ungkapan figuratif
mulai berubah sejak Lakoff dan Johnson menerbitkan Metaphors We Live By pada tahun
1980. Dalam buku ini mereka menegaskan bahwa metafora tidak hanya digunakan dalam
karya sastra tetapi dalam kehidupan sehari-hari. Menurut mereka, metaphors are pervasive
in our ordinary everyday way of thinking, speaking, and acting. Pendapat ini merupakan
penolakan mereka terhadap pendapat umum dalam linguistik konvensional bahwa
ungkapan metaforis merupakan alternatif bagi pertuturan harfiah. Danesi (2004: 120),
menjelaskan bahwa secara khusus mereka menentang asumsi Grice bahwa seseorang
akan mencoba mendahulukan interpretasi harfiah jika dia mendengar sebuah kalimat. Jika
konteks kalimat tersebut tidak memungkinkan baginya untuk memperoleh pemahaman,
barulah dia mencoba interpretasi metaforis. Menurut Lakoff dan Johnson, asumsi ini
terkesan benar hanya karena pengguna bahasa tidak menyadari bahwa banyak ungkapanungkapan yang biasa mereka gunakan sebenarnya didasarkan pada struktur metaforis.
Sebagai contoh, kalimat yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari, seperti:
Pendapatmu tidak dapat dipertahankan, Aku berhasil menghancurkan argumentasinya
dan Dia selalu menang dalam perdebatan, sebenarnya merupakan variasi metafora
linguistik yang dibentuk berdasarkan metafora konseptual ARGUMEN MERUPAKAN
PERANG, seperti terlihat dari uraian yang diadopsi dari penjelasan Lakoff dan Johnson
berikut.
metafora konseptual:

ARGUMEN MERUPAKAN PERANG

metafora linguistik

a) Pendapatmu tidak dapat dipertahankan.


b) Aku berhasil mementahkan argumentasinya.
c) Dia selalu menang dalam perdebatan.

Selain itu, berbagai kalimat sering diinterpretasikan secara metaforis tanpa


memperhatikan makna sebenarnya. Sebagai contoh, kalimat Pembunuhnya adalah
binatang cenderung diinterpretasikan secara metaforis. Biasanya, setelah dijelaskan bahwa
kata binatang dalam kalimat itu adalah hewan sesungguhnya (singa, beruang, dan
sebagainya), barulah pendengar menginterpretasikannya secara harfiah.

Menurut Ortony (1993: 208-209), prinsip utama dalam teori kongnitif Lakoff dan
Johnson adalah bahwa metafora berlangsung dalam tataran proses berpikir. Metafora
menghubungkan dua ranah konseptual, yang disebut ranah sumber (source domain) dan
ranah sasaran (target domain). Ranah sumber terdiri dari sekumpulan entitas, atribut atau
proses yang terhubung secara harfiah, dan secara semantis terhubung dan tersimpan
dalam pikiran. Hal-hal itu diungkapkan dalam pertuturan melalui seperangkat kata atau
ungkapan yang dianggap terhimpun dalam kelompok-kelompok yang serupa dengan
kumpulan tersebutyang sering disebut oleh linguis sebagai kelompok leksikal (lexical
sets) atau bidang-bidang leksikal (lexical fields). Ranah sasaran cenderung bersifat lebih
abstrak dan mengikuti struktur yang dimiliki ranah sumber melalui pemetaan ontologis.
Pemetaan inilah yang disebut metafora konseptual. Oleh karena itu, entitas, atribut, dan
proses dalam ranah sasaran diyakini berhubungan satu sama lain seperti pola yang
dipetakan dari hubungan antara entitas, atribut, dan proses dalam ranah sumber. Pada
tataran bahasa, seluruh. entitas, atribut, dan proses dalam ranah sasaran dileksikalkan
melalui kata-kata dan ungkapan dari ranah sumber. Kata-kata atau ungkapan inilah yang
disebut dengan metafora linguistik.
Senada dengan penjelasan Ortony tentang teori Lakoff dan Johnson di atas,
Kovecses (2010: 4) juga menyatakan bahwa metafora konseptual berada pada tataran
proses berpikir, yang digunakan untuk memahami suatu ranah konseptual dengan cara
mengaitkannya dengan suatu ranah konseptual lain. Pendapat ini dirumuskan (dengan
hurup kapital) sebagai berikut: RANAH KONSEPTUAL A ADALAH RANAH KONSEPTUAL
B. Sedangkan metafora linguistik adalah berbagai ungkapan linguistik yang dihasilkan dari
sebuah metafora konseptual. Berdasarkan rumusan ini, sebagai contoh, untuk konsep
DUNIA dapat dibentuk metafora konseptual DUNIA ADALAH PANGGUNG SANDIWARA.
Dalam konteks ini pemahaman tentang sandiwara digunakan untuk memahami kehidupan.
Dari metafora konseptual DUNIA ADALAH PANGGUNG SANDIWARA dapat dibentuk
berbagai metafora linguistik, seperti: Pertolongan yang diberikannya hanyalah sandiwara;
Para anggota parlemen itu hanyalah badut-badut politik; Kehidupan pernikahannya tak
lebih dari sinetron belaka; dan sebagainya.
Bagi pendukung teori kongnitif, pikiran dianggap lebih penting dari bahasa. Teori
kongnitif tidak dimaksudkan untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan bahasa yang
digunakan, yang dianggap hanya sebagai manifestasi permukaan dari fenomena yang jauh
lebih penting. Meskipun demikian, pola-pola ungkapan bahasa merupakan data yang
digunakan sebagai bukti utama untuk menyajikan teori ini. Data-data linguistik tersebut
biasanya dihasilkan secara intuitif, baik oleh peneliti maupun informan. Namun selama
beberapa tahun terakhir beberapa peneliti mulai menganalisis data linguistik yang diperoleh
secara alami.

Apakah Majas Metafora termasuk dalam salah satu dari 4 teori yang ada, begitu juga
sebaliknya dengan Metapher? Berbedakah?
Majas Metafora Seperti yang kita ketahui metafora dalam bahasa indonesia
merupakan salah satu dari jenis majas yang ada. Gorys Keraf dalam bukunya Diksi dan
Gaya Bahasa mengelompokkan metafora dalam majas perbandingan. Tidak hanya sampai
disitu, banyak artikel diinternet juga menglompokkan seperti itu. Entah itu copy paste atau
tidak, bukan dalam bahasan ini.-- Majas ialah bahasa kiasan yang dipergunakan untuk
menimbulkan kesan imajinatif atau menciptakan efek-efek tertentu bagi pembaca atau
pendengarnya.
Metafora biasa dianggap sebagai gaya bahasa yang terutama memiliki unsur
dekoratif semata, yakni untuk menghias bahasa (Siregar, 2003). Oleh karena itu ruang
lingkup metafora perbandingan hanya dalam pembahasan gejala bahasa.
Menurut Tarigan (1983: 141),Metafora adalah sejenis majas perbandingan yang
paling singkat, padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua ide: yang satu adalah suatu
kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi objek; dan yang satu lagi merupakan
pembanding terhadap kenyataan tadi; dan kita membandingkan yang belakang ini menjadi
yang terlebih dahulu. Poerwadarminta (1976:648) mengatakan, Metafora adalah
pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang
berdasarkan persamaan atau perbandingan.
Menurut Gorys Keraf dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya Bahasa (1984),
metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi
dalam bentuk yang singkat : bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan
sebagainya. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak menggunakan kata seperti,
bagaikan, bak, dan bagai. Serupa dengan pengertian yang diberikan oleh Laksana (2006),
yakni bahwa metafora merupakan perbandingan berdasarkan persamaan yang tidak
merujuk pada makna harfiahnya.
Berdasarkan definisi-definisi metafora oleh ahli bahasa indonesia dalam bukunya
masing-masing, ini mirip dengan definisi Aristoteles tentang metafora. Selain itu juga majas
metafora diketahui dikelompokkan dalam majas perbandingan, tidak jauh dengan teori
Aristoteles yaitu teori perbandingan. Dan dirasa sementara ini dapat dikatakan bahwa Majas
Metafora merupakan juga atau induk teorinya ialah teori perbandingan. Tapi tidak sampai
disini saja.
Metapher Berdasarkan kamus Duden Das Bedeutungwrterbuch (2002), metafora
didefinisikan sebagai ungkapan bahasa yang digunakan dalam ungkapan bahasa lain yang
berbentuk penggambaran. Contohnya, der Himmel weint (langit menangis) merupakan

metafora dari es regnet (hujan). Titik air mata yang dikeluarkan pada saat menangis
digunakan untuk menggambarkan hujan.
Dalam kamus linguistik karya Lewandowski (1985) dijelaskan bahwa metafora
adalah pengalihan makna atas dasar kesamaan bentuk, fungsi, dan kegunaan. Pengalihan
makna merupakan wujud dari perbandingan dua hal secara implisit.
Di dalam buku Metapher, Allegorie, Symbol (1982) Gerhard Kurz mendefinisikan
metafora merupakan sebuah bentuk pengalihan nomina yang diperlukan untuk mengisi
kedudukan leksikal lainnya. Kurz membagi teori metafora menjadi dua jenis, yaitu teori
substitusi (juga disebut teori perbandingan) dan teori interaksi.
Dilihat dari proses pembentukannya, Kurz membagi metafora menjadi tiga jenis,
yaitu metafora kreatif, metafora konvensional, dan metafora leksikal. Memang tidak dapat
dipungkiri, Gerhard Kurz juga merupakan ahli bahasa (semantik) di Jerman. Hal ini juga di
sepakati oleh Christian Lehmann, dalam situsnya (www.christianlehmann.eu), Professor
Universit Erfurt Jerman ini juga membagi metafora menjadi tiga jenis sama seperti Kurz,
kreative, konventionelle, lexikalisierte.
Berdasarkan penjelasan diatas, terlihat bahwa teori Gerhard Kurz memiliki pengaruh
yang cukup. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Kurz menganut teori interaksi, dalam teori
ini Richard (pengagas teori interaksi) menekankan bahwa metafora merupakan proses
kognitif... Tidak sedikit juga yang mengatakan teori Kognitif/Konseptual Lakoff & Johnson
merupakan penerus atau penyempurnaan dari teori interaksi Richard & Black. Apakah
sampai sini dapat dikatakan bahwa Metapher dalam Bahasa Jerman memegang teori
Interaksi ataupun Kognitif? Sementara dapat, tapi meragukan.
Penolakan terhadap pertanyaan sebelumnya
Tulisan Jurnalis Lengendaris kita Goenawan Mohamad pada Sabtu 14 Juni 1986
yang berjudul Tentang Kiasan dan Ketakutan secara tidak langsung membuktikan bahwa
metafora tidak hanya ada pada karya sastra seperti puisi, epik, ataupun drama. Hal ini
berbanding terbalik dengan pemahaman teori Perbandingan bahwa metafora hanya ada
dalam karya sastra puisi, ataupun drama.
Dalam buku Teori Semantik tahun 2004, J.D. Parera menyepakati pendapat John
R. Searle tentang metafora, jelas Searle (1986) dalam bukunya memberikan kritik terhadap
teori perbandingan dan teori interaksi. Dengan kata lain tidak memegang teori perbandingan
seperti yang telah dibicarakan sebelumnya.
Penelitian Bahren Umar Siregar (2003) merupakan salah satu analisis metafora
dengan semantik kognitif. Ia menelitit pola-pola metafora metafora dan sistem yang
mengatur metafora untuk memetakan perubahan kemasyarakatan yang terlacak melalui

ungkapan metaforis. Data yang digunakan bersumber dari media pers cetak setelah
Reformasi 1998.
Saat ini banyak jurnal-jurnal ataupun penelitian-penelitian tentang Semantik
khususnya metafora di Jerman ataupun di Eropa yang menggunakan teori terdahulu atau
hanya terpaku pada satu teori. Contohnya seperti junal berjudul Zur Funktion der Doping
-Metapher in der deutschen Alltagssprache, atau The place of metaphor in a devolved
cognitive linguistics. Dalam jurnal ini teori yang digunakan ialah teori Kognitif/Konseptual,
sebagai teori yang paling baru yang ada saat ini. Banyak juga skripsi-skripsi mahasiswa
Indonesia yang membahas metafora menggunakan teori Kognitif.
Kembali lagi kepertanyaan, apakah masih dapat menyatakan majas metafora
bahasa Indonesia memegang satu teori yakni teori perbandingan atau Metapher bahasa
Jerman menggunakaan teori yang berbeda? Tentu saja tidak. Zaman terus berkembang,
teoripun begitu. Referensi untuk teori juga mudah didapat. Apakah Majas Metafora atau
Metapher masing-masing menggunakan teori yang berbeda? Metafora adalah Metapher.
Dalam teori tentu saja sama, teori secara universal atau secara umum, sesuai dengan teori
yang berkembang saat ini, tidak ada yang berbeda. Walaupun memang masih ada
semantikus yang tetap mempertahankan teori-teori terdahulu atau memegang satu teori dan
menganggap teori lainnya kurang tepat. Dan tidak dapat dipungkiri disetiap pembahasan
tentang metafora yang ada saat ini tidak lengkap rasanya jika tidak mengikutsertakan
buku karya George Lakoff & Mark Johnson berjudul Metaphors We Live By.
Metafora dan Kebudayaan
Metafora merupakan satu bentuk pernyataan berbahasa yang digunakan sejak
zaman dulu. Manusia menggunakan bentuk metafora memungkinkan pemahaman lebih
praktis terhadap konsep yang ingin disampaikan, mengingat bentuk metafora merujuk halhal yang ada di sekita kita atau hal-hal yang kita alami sehari-hari. Oleh karena itu. Masalah
budaya pun menjadi hal yang perlu diperhitungkan, karena budaya yang diusung oleh satu
masyarakat tidak bisa digeneralisasikan untuk masyarakat lain dan juga karena aspek
budaya sangat mewarnai bentuk metafora tersebut.
Seperti yang diungkapkan Siregar (2003) dalam kutipan berikut;
Metafora konseptual bahasa Inggris seperti time is money melambangkan
kebudayaan yang meletakkan waktu sebagai sesuatu yang sangat berharga senilai
uang. Konsep ini menjadi nilai budaya apabila diwujudkan dalam kehidupan
masyarakat bahasanya. Bahasa Indonesia memang mempunyai padanan metafora

konseptual yang sama, yaitu waktu adalah uang tetapi dalam praktiknya masyarakat
bahasa Indonesia pada umumnya tidak menganut nilai yang dilambangkan oleh
metafora ini. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa metafora ini merupakan
metafora yang dipinjam dari bahasa Inggris, bukan asli dari bahasa Indonesia.
Apalagi, metafora ini cenderung bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam
peribahasa biar lambat asal selamat dan sistem nilai yang mendasari konsep waktu
dalam masyarakat Indonesia. Sistem nilai waktu yang tergambar dalam bahasa
Indonesia bersifat sirkular sementara dalam bahasa Inggris bersifat linear.
Sama halnya dengan metafora yang muncul di masyarakat Indonesia dengan
metafora yang ada dalam masyarakat Jerman. Untuk mempermudah pemahaman, lihat
beberapa contoh berikut.
Contoh 1 :
Juan Mata adalah kancil dalam pertandingan ini. (bahasa Indonesia)
Konteks kalimat tersebut yakni ada dalam pertandingan sepak bola, dan Juan Mata
baru saja mencetak gol. Dalam harfiahnya kancil adalah salah satu jenis hewan.
Tapi dalam arti metaforanya ialah Juan Mata adalah permain yang cerdik dalam
pertandingan ini karena dia berhasil mengecoh pemain belakang lawan dan
membobol gawang lawan.
Di dalam masyarakat Indonesia kancil digambarkan sebagai hewan yang cerdik.
Namun, tidak demikian halnya di Jerman, di dalam masyarakat Jerman rubah lah
yang diambil sebagai rujukan dari hewan yang cerdik. Maka dalam bahasa Jerman
terlulis : Juan Mata ist ein Fuchs / Schlaufuchs in diesem Spiel.
Dan ini merupakan salah satu contoh metafora yang ada di masyarakat Indonesia
yang berbeda dengan budaya masyarakat yang ada di Jerman.
Contoh 2 :
Insofern sehe ich schwarz fur allzu viel Schutzenhilfe. (bahasa Jerman)
sehe ich schwarz merupakan bentuk yang berasal dari schwarzsehen. Dalam kamus
Duden schwarzsehen

adalah die Zukunftsaussichten negativ, pessimistisch

einschtzen,... (pesimis, memandang masa depan dengan negatif,...). Berdasarkan


konteks, makna metafora dari kalimat tersebut ialah ia pesimis akan suntikan dana.
Bila mendengar kata schwarz atau hitam, maka yang ada dibenak kita ialah hal yang
kelam gelap. Dan metafora ini ada di masyarakat Jerman, tidak halnya demikian di

budaya masyarakat Indonesia. Karena yang kita ketahui dalam bahasa indonesia
pemisis tidak sama dengan hitam.
Dan ini merupakan salah satu contoh metafora yang terdapat di masyarakat Jerman,
namun tidak halnya demikian pada masyarakat Indonesia.
Contoh 3:
John ist ein Schwein.
Konteksnya yakni ketika seseorang sedang membahas tentang kebiasaan makan
John.Schwein dalam bahasa Indonesia adalah babi. Di Jerman babi merupakan
hewan yang rakus dalam hal makan. Sama halnya di Indonesia pun demikian.
Dengan kata lain Schwein atau babi hampir diseluruh belahan dunia digambarkan
sebagai hewan yang rakus. Dalam ini berarti makna metaforanya ialah John adalah
orang yang rakus makan. Dan jika dalam bahasa Indonesia maka akan tetap John
adalah babi.
Hal ini merupakan contoh yang tidak berbeda. Karena dalam pandangan semua
masyarakat, dalam hal ini Jerman maupun Indonesia, sama.
Oleh karena itu,-- mengenai metafora dan kebudayaandapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan bahasa metafora yang berkembang di masyarakat Indonesia dengan
metafora yang terdapat di masyarakat Jerman karena kedua hal ini memiliki budaya masingmasing.
Kvecses (2005) mendefinisikan kebudayaan sebagai seperangkat pengertian yang
dimiliki bersama-sama oleh sekelompok masyarakat. Pengertian yang dimiliki oleh
masyarakat ini mencakup pengertian tentang gejala ataupun peristiwa yang berwujud fisik
dan abstrak. Pengertian terhadap hal yang abstrak inilah yang bersifat metaforis. Pengertian
ini menjadi metaforis apabila fokusnya meliputi wujud waktu, ruang, proses mental, emosi,
nilai moral, pranata sosial dan politik.

Anda mungkin juga menyukai