Anda di halaman 1dari 7

MADANI-F013222005

MATA KULIAH PRAGMATIK


S3 ILMU LINGUISTIK UNIVERSITAS HASANUDDIN

METAFORA PRAGMATIK DI INTERNATIONAL ENGLISH TRAINING

A. Pendahuluan
Kata metafora secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta yang
berarti di atas dan pherein yang berarti mengalihkan atau memindahkan. Dalam
bahasa Yunani Modern, kata metafora juga bermakna transfer atau transpor. Dengan
demikian, menurut Classe (2000: 941) metafora adalah pengalihan citra, makna, atau
kualitas sebuah ungkapan kepada suatu ungkapan lain. Pengalihan tersebut dilakukan
dengan cara merujuk suatu konsep kepada suatu konsep lain untuk mengisyaratkan
kesamaan, analogi atau hubungan kedua konsep tersebut.
Dalam kamus linguistiknya Lewandowski (1985: 708) menjelaskan bahwa
metafora adalah pengalihan makna atas dasar kesamaan bentuk, fungsi, dan kegunaan.
Pengalihan makna tersebut merupakan wujud dari perbandingan dua hal secara
implisit. Menurut Gorys Keraf (2010: 19) metafora adalah semacam analogi yang
membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat.
Selanjutnya, Quintillian (1977) dalam Wahab (1990:142) mengatakan bahwa
metafora adalah ungkapan kebahasaan untuk mengatakan sesuatu yang hidup untuk
yang mati, yang mati untuk yang hidup atau yang mati untuk yang mati, yang senada
juga dikatakan oleh Levin (1977) dalam Wahab (1990:142). Dalam Kamus
Linguistik, Kridalaksana (1993) mendefinisikan metafora sebagai pemakaian kata
atau kelompok kata bukan dengan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan
berdasarkan persamaan atau perbandingan. Pada dasarnya, metafora adalah sebuah
kata atau ungkapan yang maknanya bersifat kiasan dan bukan harfiah karena metafora
berfungsi untuk menjelaskan sebuah konsep. Dengan demikian, konsep tersebut
menjadi lebih mudah dimengerti dan efeknya pun menjadi lebih kuat (Budianta, dkk.,
2003: 40).
Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli tersebut sebelumnya, dapat
dipahami bahwa metafora adalah sebuah fenomena kebahasaan yang berlaku dalam
tataran semantik. Metafora terkait dengan relasi antara satu kata dengan kata lain
dalam membentuk sebuah makna. Metafora berarti menembus, maksudnya menembus
makna linguistik. Metafora tergolong bahasa kiasan (majas), seperti perbandingan,
tetapi tidak mempergunakan kata pembanding. Metafora menyatakan sesuatu hal yang

1
MADANI-F013222005
MATA KULIAH PRAGMATIK
S3 ILMU LINGUISTIK UNIVERSITAS HASANUDDIN
sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama. Metafora
dipandang sebagai bentuk bahasa yang khas, dan bisa juga aneh karena relasi kata
dalam metafora melampaui batas relasi bahasa secara literal yang telah disepakati
bersama dalam komunikasi keseharian.
Dari pengertian tersebut, dapat kita pahami bahwa setidaknya ada 2 jenis
metafora yaitu metafora konvensional dan metafora non-konvensional. Metafora
konvensional adalah ungkapan metafora yang dapat langsung dipahami maknanya
tanpa harus berpikir tentang perbandingan kata-kata penyusunnya, dikarenakan
keeksistensian metafora tersebut cenderung tidak lagi disadari oleh penutur dan
terkadang bentuknya mirip. Sementara metafora non-konvensional merupakan
ungkapan yang dibentuk sendiri oleh penulis atau penutur saat dia ingin menjelaskan
sesuatu yang kurang dikenal dengan membandingkannya kepada sesuatu yang
dipahami.
Teori pragmatik metafora ini digagas oleh Lakoff dan Johnson melalui buku
mereka Metaphors We Live By (1980). Prinsip utama dalam teori kongnitif Lakoff
dan Johnson adalah bahwa metafora berlangsung dalam tataran proses berpikir.
Metafora menghubungkan dua ranah konseptual, yang disebut ranah sumber (source
domain) dan ranah sasaran (target domain). Ranah sumber terdiri dari sekumpulan
entitas, atribut atau proses yang terhubung secara harfiah, dan secara semantis
terhubung dan tersimpan dalam pikiran. Ranah sasaran cenderung bersifat lebih
abstrak dan mengikuti struktur yang dimiliki ranah sumber melalui pemetaan
ontologis. Pemetaan inilah yang disebut metafora konseptual. Lambang adalah unsur
dasar pembentuk metafora sedangkan simbol muncul setelah terlibat dalam konteks
sehingga menimbulkan praanggapan yang selanjutnya dapat ditentukan implikaturnya
yang paling memadai.
Metafora dibentuk dari rangkaian kata-kata berupa lambang dan simbol.
Lambang merupakan kata-kata yang mengandung makna leksikal sehingga acuan
maknanya tidak menunjuk pada berbagai macam kemungkinan, bermakna denotatif;
simbol merupakan kata-kata yang bermakna ganda atau konotatif, makna itu harus
ditafsirkan sehingga dapat ditentukan fitur semantisnya lewat kaidah proyeksi
(pembiasan).

2
MADANI-F013222005
MATA KULIAH PRAGMATIK
S3 ILMU LINGUISTIK UNIVERSITAS HASANUDDIN
Lambang dapat berupa kata dasar, kata tugas (penanda pertalian), maupun
kata jadian, sedangkan simbol merupakan kata-kata yang berupa kata-kata kias yang
menandai metafora.
B. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian studi kasus yang dilaksanakan peneliti di
sebuah kegiatan tahunan yang dilaksanakan oleh institusi Cambridge Education
Center. Programnya bernama International English Training (IET) 2023, yaitu
program pelatihan Bahasa Inggris berasrama yang dilakukan oleh lembaga tersebut
setiap tahun di bulan ramadhan di Kampung Inggris, Pare-Kediri. Adapun yang
menjadi peserta dalam program ini sangat variatif mulai dari siswa SD, SMP, SMA,
mahasiswa S1 dan sederajat. Umumnya, para peserta ini merupakan santri dan
santriwati yang memanfaatkan waktu libur ramadhan mereka untuk belajar Bahasa
Inggris.
Adapun data ujaran yang dianalisis dalam artikel ini diambil dari ujaran-ujaran
yang disaksikan dan didengar oleh peneliti dalam kehidupan sehari-hari selama
berkunjung ke program pelatihan tersebut. Semua data yang dianalisis dalam artikel
ini berasal dari ujaran guru, siswa dan pihak yang terlibat dalam program pelatihan
Bahasa Inggris yang berlangsung selama bulan ramadhan 2023 ini. Data ujaran dalam
penelitian ini disampaikan dalam Bahasa Inggris dalam tuturan aslinya karena salah
satu aturan dalam pelatihan ini adalah berusahan menggunakan Bahasa Inggris
kapanpun dan di manapun. Namun untuk kebutuhan analisis data pada penelitian ini,
penulis menerjemahkan tuturan-tuturan tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.
Data ujaran yang ada kemudian dianalisis menggunakan teori metafora
pragmatik yang telah disajikan di bagian awal dari artikel ini. Adapun interpretasi dari
data ujaran yang ada, dilakukan sesuai pemahaman peneliti akan teori metafora
pragmatik dan berbagai konteks saat ujaran itu diucapkan, termasuk konteks bahasa
dan budaya.
C. Analisis Data dan Pembahasan
Pada bagian ini, peneliti akan menyajikan data ujaran yang disertai dengan
narasi konteks saat ujaran itu diucapkan dan interpretasinya masing-masing.
1) Perang-senjata : Ujian-polpen

3
MADANI-F013222005
MATA KULIAH PRAGMATIK
S3 ILMU LINGUISTIK UNIVERSITAS HASANUDDIN
Tuturan berikut terjadi dalam sebuah konteks ketika siswa akan melaksanakan
ujian di kelas dan guru sedang memastikan semua hal sudah kondusif untuk memulai
ujian.
Siswa : (Sambil angkat tangan) “Tunggu, Bu.” (Melihat ke teman-teman
kelasnya lalu sedikit berteriak) “Ada yang punya 2 polpen?”
Guru : “Bagaimana caramu mau perang tidak ada senjatamu.”

Dalam hal ini, siswa meminta waktu kepada guru untuk menunggu sebentar
untuk memulai ujian karena dia tidak memiliki polpen. Dalam kalimatnya, setidaknya
ada 2 hal yang dikatakan guru yang mengandung metafora yaitu kata perang dan
senjata. Kata perang dalam konteks ini digunakan sang guru untuk merepresentasikan
sebuah ujian yang, jika dilihat lebih dalam, memiliki esensi yang sama terkait nilai
perjuangan, usaha, atau tantangan yang harus dilewati oleh seseorang yang
mengalaminya, sama halnya dengan ketika seseorang ikut serta dalam perang.
Selain itu, terdapat penggunaan kata senjata yang digunakan untuk mewakili
makna polpen. Dalam konteks ini, senjata sebagai salah satu alat yang digunakan
dalam peperangan digunakan untuk mewakili polpen sebagai salah satu alat yang
digunakan dalam ujian. Kedua hal ini, senjata dan polpen, memiliki fungsi yang sama
yakni sebagai alat untuk menghadapi perang dan/atau ujian. Hal ini sesuai dengan
yang disampaikan Quintillian (1977) terkait metafora bahwa salah satunya merupakan
ungkapan kebahasaan untuk mengatakan sesuatu yang mati untuk yang mati. Jika
melihat dari apa yang disampaikan Kridalaksana (1993), ini merupakan metafora
yang artinya pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti sebenarnya,
melainkan sebagai lukisan berdasarkan persamaan atau perbandingan, dalam hal ini
perang dengan ujian dan senjata dengan polpen.
Jika dilihat konteks penggunaan metapora yang dilakukan guru dalam situasi
ini, guru menggunakan metafora non-konvensional yang tidak begitu umum
digunakan. Penggunaan metapora dimaksudkan sang guru untuk menghaluskan
teguran kepada siswanya yang tidak membawa polpen untuk menghadapi ujiannya
pada hari itu. Padahal, polpen adalah hal yang sangat esensial untuk menghadapi ujian
tulis hari itu. Sang guru memilih cara yang tidak langsung untuk menyampaikan
tegurannya dan dengan begitu, memberikan kesan lebih halus dan sopan dalam
menegur siswanya. Penggunaan metapora ini juga seharusnya memberikan kesan

4
MADANI-F013222005
MATA KULIAH PRAGMATIK
S3 ILMU LINGUISTIK UNIVERSITAS HASANUDDIN
yang dalam bagi siswanya terkait efek mengikuti ujian tanpa polpen atau menghadapi
perang tanpa senjata yang bisa saja berujung mati konyol atau gagal dalam ujian.

2) Sulo (Bugis) = Obor (Bahasa Indonesia)


Tuturan berikut ini disampaikan oleh ibu pemilik lembaga pelatihan dengan
terlebih dahulu mengumpulkan para peserta di sebuah ruangan dan memberikan
wejangan-wejangan.
Ibu: “Kalian harus menjadi sulo di keluarga dan teman-teman di sekolah atau
kampus masing-masing. Sulo in Buginese. A torch.”

Tuturan ini diucapkan ibu pemilik lembaga kepada para peserta pelatihan
Bahasa Inggris untuk memotivasi mereka bahwa dengan pengetahuan Bahasa Inggris
mereka dari pelatihan tersebut, mereka sebisa mungkin menjadi obor di keluarga dan
sekolah atau kampus mereka masing-masing. Kata obor digunakan untuk mewakili
makna sumber cahaya atau penerang untuk menuntun yang lain. Dalam hal ini sifat
obor sebagai benda mati yang berfungsi untuk menerangi dan memberi arah jalan bagi
yang lain diusahakan dimiliki oleh manusia sebagai makhluk yang sifatnya hidup,
sehingga ada sifat dari hidup ke mati (Quintillian, 1997) dan adanya kesamaan konsep
(Classe, 2000) dan fungsi (Lewandowski, 1985) terkait obor dan manusia, dalam hal
ini para peserta pelatihan Bahasa Inggris.
Jika dilihat konteks penggunaannya, metafora pragmatik yang digunakan ibu
pemilik lembaga pada ujaran tersebut bermaksud memberikan makna yang dalam
terkait nilai kebermanfaatan yang seharusnya dimiliki para peserta setelah nanti
menyelesaikan program pelatihan dan kembali ke sekolah, pondok dan kampus
masing-masing, terutama terkait pembelajaran Bahasa Inggris.

3) Jembatan
Tuturan berikut ini disampaikan oleh ibu pemilik lembaga pelatihan pada
konteks yang sama dengan pembahasan contoh ujaran sebelumnya yaitu dengan
terlebih dahulu mengumpulkan para peserta di sebuah ruangan dan memberikan
wejangan-wejangan.

5
MADANI-F013222005
MATA KULIAH PRAGMATIK
S3 ILMU LINGUISTIK UNIVERSITAS HASANUDDIN
Ibu: “Banyak yang anak pertama kan? Kalian harus menjadi jembatan bagi adik-
adik kalian. Atau yang kakak-kakak, bagi junior-junior kalian di kampus.”
Dalam tuturan tersebut, ibu pemilik lembaga menggunakan kata jembatan.
Metafora jembatan dalam hal ini beliau maksudkan untuk memberikan makna
terhadap sebuah konsep penghubung atau alat yang membantu untuk bisa mencapai
suatu tujuan dari satu titik ke titik yang lain. Fungsi jembatan dalam kehidupan sehar-
hari sangatlah penting untuk mobilitas bukan hanya manusia namun juga barang,
hewan dan banyak hal lainnya. Tanpa jembatan, medan jalan bahkan bisa ditempuh
lebih lama dan lebih sulit dan menantang untuk melewati sebuah jurang ke jurang
sebelah dengan tantangannya tersendiri.
Jika dianalisis makna pragmatik dari penggunaan metafora dalam ujaran
tersebut, ibu pemilik lembaga ingin memberikan gambaran lebih jelas betapa
pentingnya peran para peserta ini sebagai penghubung dan titian bagi yang lain untuk
belajar lebih baik sehingga memiliki kehidupan lebih baik dengan belajar Bahasa
Inggris. Dengan harapan bahwa mereka dapat menginternalisasi nilai peran tersebut
dan mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini sesuai dengan
Budianta, dkk. (2003) yang menyatakan bahwa pada dasarnya, metafora adalah
sebuah kata atau ungkapan yang maknanya bersifat kiasan dan bukan harfiah karena
metafora berfungsi untuk menjelaskan sebuah konsep. Dengan demikian, konsep
tersebut menjadi lebih mudah dimengerti dan efeknya pun menjadi lebih kuat.
Kekuatan konsep yang ingin disampaikan tentu berbeda ketika disampaikan dengan
atau tanpa menggunakan metafora.

D. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
dengan memahami hal-hal penting dalam penggunaan metafora pragmatik, kita dapat
menggunakan metafora secara efektif dan bermanfaat dalam berkomunikasi sehari-
hari, serta menghindari kesalahpahaman atau konflik yang dapat timbul dari
penggunaan metafora yang kurang tepat. Penggunaan metafora setidaknya
dimaksudkan sebagai strategi kesopanan dan memberikan makna lebih dalam dan
berkesan terkait hal apa yang ingin disampaikan.
Dalam konteks linguistik, penggunaan metafora pragmatik tidak hanya
membantu dalam komunikasi sehari-hari, tetapi juga dapat menjadi objek studi yang
menarik bagi para peneliti. Penelitian tentang metafora pragmatik dapat membantu

6
MADANI-F013222005
MATA KULIAH PRAGMATIK
S3 ILMU LINGUISTIK UNIVERSITAS HASANUDDIN
kita memahami bagaimana metafora dapat mempengaruhi tindakan dan pemikiran
orang lain, serta bagaimana penggunaan metafora pragmatik dapat berbeda dalam
konteks sosial dan budaya yang berbeda karena adanya perbedaan referensi yang
berbeda di masing-masing budaya yang berbeda pula sehingga pemahaman budaya
menjadi suatu hal yang penting dalam menginterpretasi metafora pragmatik.

Anda mungkin juga menyukai