Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Tiada kehidupan tanpa sebuah bahasa” dan “Tiadasebuah cinta tanpa adanya

filsafat”

Bahasa dan filsafat berjalan berpapasan mengikuti arus sesuai dengan

peralihan dari siang ke petang, dari hari kemarin ke hari esok. Sesorang akan

mampu berfilsafat jika bahasa itu ada, begitu juga dengan adanya bahasa,

seseorang itu akan berbahasa sesuai dengan hasil penalaran, proses kerja otak

dan menghasilkan pengetahuan yang diolah melalui filsafat. Jadi, bahasa dan

filsafat merupakan dua sejoli yang tidak terpisahkan. Mereka bagaikan dua

sisi mata uang yang senantiasa bersatu..

Minat seseorang terhapad kajian bahasa bukanlah hal yang baru sepanjang

sejarah filsafat. Semenjak munculnya Retorika Corax dan Cicero pada zaman

Yunani dan Romawi abad 4 – 2 SM hingga saat ini (Post Modern), bahasa

merupakan salah satu tema kajian filsafat yang sangat menarik.

Hadirnya istilah filsafat bahasa dalam ruang dunia filsafat dapat dikatan

sebagai suatu hal yang baru. Istilah muncul bersamaan dengan kecendrungan

filsafat abad ke-20 yang bersifat logosentris. Oleh karena itu, sangat wajar

apabila ditemukan kesulitan untuk mendapatkan pengertian yang pasati

mengenai apa sebetulnya yang dimaksud dengan filsafat bahasa.

Verhaar telah menunjukkan dua jalan yang terkandung dalam istilah filsafat

bahasa, yaitu : 1) filsafat mengenai bahasa; dan 2) filsafat berdasarkan


bahasa. Di dalam pembahasan makalah ini, akan dibahasa lebih detail tentang

hakikat filsafat bahasa. Dan adapun garis-gari besar yang dibahas yaitu :

spekulasi asal-usul bahasa, defenisi bahasa dan filsafat itu sendiri, esensi

bahasa ditinjau dari segi filsafat, hubungan bahasa dengan filsafat,

kelemahan-kelamahan bahasa, fungsi filsafat terahadap bahasa, dan peranan

filsafat bahasa dalam pengembangan bahasaMengingat sangat luasnya

cakupan filsafat bahasa, maka penulis hanya membatasi masalah-masalah

yang akan dibahas dalam makalah ini berkait dengan hal-hal berikut:

1. Pernyataan

2. Resep

3. Prinsip dan aturan

4. Slogam

5. Devinisi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pernyataan (Statements)

Karakteristik sebuah pernyataan (statement)I, yaitu: (1). Merujuk pada

sebuah uajaran atau speech acts, bukannya thought acts, (2). Berkaitan dengan

urusan factual, (3). Ada klaim ihwal sesuatu-tidak lagi diajukan atau proposed-

Yang meman demikian adanya. Pernyataan bukanlah sembarang dorongan kata,

tetapi ada aturan yang lazim diikuti, yaitu terdiri atas tiga jenis kata, yaitu kata

yang merujuk pada suatu entitas, kata yang merujuk pada fitur-fitur entitas itu dan

kata yang menunjukkan bagaimana kata-kata dalam kalimat berkaitan dengan

kalimat lainnya. Tidak harus eksplisit dipergunakan namun setidaknya

memberikan pemahaman bahwa satu konsep menjelaskan konsep yang lain dalam

sebuah konteks.

Dalam hal ini layak juga kita membahas judgements atau penilaian, karena

penilaian sering juga merujuk pada peryataan. Jadi bukan hanya memberikan

pernyataan tapi juga penilaian. Karena itu muncullah istilah value judgment atau

value statement. Valuae judgment adalah juga speech acts, yang dideskripsi (said,

stated, uttered). Sementara penilaian tidak memerlukan kata-kata, statement

memerlukan pikiran, agar pernyataan tidak sekedar verbalisasi.

B. Resep (Prescriptions)

Seperti halnya dokter memberi resep medis, pendidik pun memberi resep

pedagogis. Berbeda dengan pernyataan. Resep secara eksplisit mengatakan

kepada seseorang bahwa sesuatu memang harus dilakukan. Seperti halnya


pernyataaan, resep itu dikatakan (spoken, uttered). Seperti halnya resep, dalam

pendidikan digunakan pula sejenis itu seperti rekomendasi, instruksi, dan

eksortasi (exhortation). Persoalannya apakah yang memberikannya itu memiliki

kearifan dan kompetensi untuk itu. Dibandingkan dengan pernyataan sekalipun

yang bersifat evaluatif dan praktis- resep lebih dekat kepada aksi. Pernyataan dan

proposisi menawarkan konteks yang lebih luas, sedangkan resep memberikan arah

tindakan. Pernyataan lebih berdasarkan pengetahuan ihwal fakta-fakta, sedangkan

resep lebih berdasarkan pengetahuan praktis yang diperoleh lewat pengalaman

yang telah teruji emperis. Pernyataan terjadi dalam konteks yang tidak

memerlukan tindakan segera dan pada konteks untuk mempertimbangkan

berbagai isu, sedangkan resep terjadi pada konteks untuk melakukan tindakan

sebagai konsekuensi dari implikasi praktis. Implikasinya adalah bahwa seringkali

diperlukan berbagai pernyataan tentang pendidikan sebelum dibuat sebuah resep

mujarab!

C. Prinsip dan Aturan (Principles and Rules)

Prinsip dan aturan, kedua istilah ini sering membingungkan karena

sering dipergunakan secara leluasa. Menurut Webster’s New Dictionary of

Synonyms, prinsip “applies to a generalization that provides a basis for reasoning

or a guide for conduct or procedure.” (1984: 638). Prinsip merujuk pada proposisi

atau pernyataan yang umum. Perbedaan antara prinsip dan aturan tidak hitam-

putih, namun pada umumnya prinsip lebih umum daripada aturan, dan aturan

seringkali diberlakukan secara external (dari luar). Misalnya begitu masuk

pegawai negeri, kita diwajibkan menaati berbagai aturan. Dan aturan-aturan itu
dipersiapkan berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Seperti halnya resep, aturan pun

secara eksplisit mengatur seseorang untuk melakukan sesuatu (action) ; tidak

secara tegas benar atau salah. Prinsip dan aturan mesti dipelajari sebagai bagian

integral dari program pendidikan. Keduanya memiliki dampak psikologis dalam

pelaksanaan berbagai kegiatan pendidikan.

D. Slogan (Slogans)

Slogan memberikan dampak psikologis bagi para pemangku peran

(stokeholder) pendidikan, teristimewa lagi dalam bidang politik (pendidikan).

Slogan mempengaruhi emosi, aksi, pikiran dan semuanya. Slogan dapat bersifat

indikatif seperti “Mendidik masyarakat dan memasyarakatkan pendidikan”, atau

bersifat impiratif seperti “pokoknya ajari mereka menulis”. Karena diniati untuk

terus diingat dan untuk menggerakkan emosi, dan membuahkan tindakan nyata,

slogan lazimnya menggunakan bahasa praktisi, bukan bahasa akademik, atau

filosofis. Janganlah menganggap enteng slogan. Sebuah prinsip, aturan dan rasep

pendidikan bisa bermula dari penelitian ketat yang mahal biayanya, kemudian

untuk sosialisasinya dirumuskan sebuah slogan. Dengan begitu ada dua sisi untuk

melihat sebuah slogan yaitu tujuan literal dan tujuan praktikalnya. Jangan sampai

terjadi perbedaan antara kedua sisi ini.

E. Difinisi (Definitions)

Salah satu definisi filsafat berikut : « is typically concerned with problems

that cannot be settled by straightforward and immediate observation. « Dalam

contoh ini definisi menghubungkan kata dan ekspresi (filsafat) dengan konsep

atau fenomena tersebut. Definisi bisa berfokus pada aspek linguistic, aspek
substansi, atau keduanya. Dalam dua pendidikan, jarang sekali para ahli memberi

definisi dengan focus pada aspek linguistik. Definisi mesti memiliki fungsi teoritis

dan fungsi praktis, tidak sekedar deskripsi. Tujuan definisi pendidikan adalah agar

konsep itu sejalan dengan seperangkat teori dan praktik pendidikan. Definisi

penting untuk memudahkan komunikasi dan diskusi ihwal pendidikan. Dan

penguasaan definisi itu sendiri merupakan indikator tingkat pemahaman ihwal

pendidikan.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sangat jelas sekali pada pembahasan kali ini bahwa penekanan pengguanaan
istilah yang tepat sangat dianjurkan bagi para praktisi pendidikan. Dalam hal ini
adalah penggunaan yang serampangan terhadap kata – kata. Pembahasan ini
membahas tentang bagaimana suatu pernyataan terangkai dari kata – kata yang
mempunyai entitas dan bagaimana pernyataan berhubungan dengan pernyataan
lainnya. Meskipun pembahasan tentang pernyataan bersifat evaluative dan praktis,
resep menitik beratkan ke arah praktis. Ini dibedakan dari pernyataan yang
cakupannya lebih luas sedangkan resep memberikan arah tindakan. Adapun
tindakan harus memiliki panduan berfikir dan bertindak yang disebut prinsip.
Dalam pembahasan ini, dibedakan pula antara prinsip dan aturan. Seperti halnya
resep, aturan secara gamblang mengatur seseorang untuk melakukan sesuatu. Pada
pembahasan kali ini, dibahas juga bahasa – bahasa yang sering digunakan oleh
para praktisi bukan para akademisi, berkenan dengan masalah indikasi atau
bersifat imperative dari kata dan kalimat disebut slogan seperti “Pergi!” atau
“Belajarlah agar kau pintar.” Karena hal tersebut diniati agar terus diingat dan
menggerakkan emosi, dan membuahkan tindakan nyata. Oleh karena pembahasan
ini berkenan dengan bagaimana para praktisi pendidikian berkomunikasi dan
berdiskusi ihwal pendidikan, maka penting juga diketahui bahwa aspek linguistic,
aspek substansi atau keduanya harus diperhatikan. Itulah pentingnya pembahasan
definisi untuk diketahui agar pembahasan ihwal pendidikan dapat jelas dan mudah
membicarakannya atau dengan kata lain, agar perbahasan ihwal perdidikan tidak
absur dikarenakan oleh penggunaan kata – kata serampangan oleh para praktisi
pendidikan.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar (2014). Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Hidayat, Asep Ahmad. (2006). Filsafat Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Devitt, Michaell & Kim Sterelny. (1987). Language & Reality: An Introduction to
the Philosophy of language. MIT

Beck, Clive. (1974). Education Philosophy and Theory: An Introduction. Boston:


Little, Brown and Company.

Dewey, John. 1958. Democracy and Education: An Interduction to the


Philosophy of Education. New York: The Marcmillan Company.

Anda mungkin juga menyukai