Anda di halaman 1dari 11

D

I
S
U
S
U
N
Oleh :
Kelompok 6:
(SASTRA, TRADISI DAN SENI)
NAMA MAHASISWA : Cindy Irene Githa Sihombing 2193510017
Herlina Agustina Sijabat 2193510004
Resnanda Putri 2193210016

KELAS : SASTRA INDONESIA B 2019


DOSEN PENGAMPU : ITA KHAIRANI, S.Pd., M.Hum.

MATA KULIAH : ANTROPOLOGI SASTRA

PROGRAM STUDI S1 SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI - UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
SEPTEMBER 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, adapun penulisan makalah ini
dimaksudkan untuk memenuhi tugas Antropologi Sastra pada Program Studi Sastra Indonesia.
Kami selaku penulis sadar bahwa tersusunnya makalah ini tidak lepas dari adanya
petunjuk, arahan serta bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu izinkan kami untuk
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ita Khairani selaku dosen pengampuh mata kuliah dan
rekan-rekan mahasiswa yang selalu bersemangat membantu dan memberi dukungan penuh pada
pembuatan makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penyusun tentu menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu
segala kritik dan saran sangat penyusun nantikan untuk perbaikan tugas-tugas
berikutnya.Apabila terdapat kesalahan kata yang menyinggung pihak manapun, penyusun
memohon maaf sebesar-besarnya, sekian dan terima kasih.

Medan, Oktober,2021

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan titik bila kita mengkaji sastra maka kita
akan dapat menggali berbagai kebudayaan yang ada titik di Indonesia banyak sekali
kebudayaan yang mungkin belum sempat digali, ini berarti bahwa masyarakat masih
belum menaruh perhatiannya kepada kebudayaan negerinya sendiri. Kesadaran akan
berbagai kebudayaan yang dimiliki perlu dipupuk pada setiap generasi agar kebudayaan
tersebut jangan sampai punah.
Hubungan antara kebudayaan dan masyarakat sangat erat karena kebudayaan itu sendiri
adalah cara suatu kumpulan manusia atau masyarakat mengadakan sistem nilai yaitu
berupa aturan aturan yang menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi
nilainya, lebih dikehendaki dari yang lain (Semi, 1984:54). Kebudayaan tentulah tidak
akan terlepas dari sastra, begitu juga sebaliknya, sastra akan maju bila ditunjang oleh
kebudayaan yang kuat dan mengakar di kalangan masyarakat kita, kebudayaan saling
mendukung.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka rumusan masalah yang akan dibahas
dalam materi ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Sastra, Tradisi dan Seni?
2. Apa yang dimaksud dengan Sastra, Tradisi, dan Seni?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisa makalah ini diantaranya:
1. Untuk mengetahui apa itu Sastra, Tradisi dan Seni
2. Untuk mengetahui maksud dari Sastra, Tradisi dan Seni
D. Manfaat Penulisan
Berangkat dari tujuan penulisan, maka manfaat makalah ini diantaranya:
1. Makalah tentang Sastra, Tradisi dan Seni mata kuliah antropologi sastra .dapat menjadi
sumber referensi bagi mahasiswa dalam memahami Sastra, Tradisi dan Seni.
2. Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan para
mahasiswa/i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................................2
BAB I..........................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................................3
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................................................3
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................................................3
D. Manfaat Penulisan.........................................................................................................................3
Berangkat dari tujuan penulisan, maka manfaat makalah ini diantaranya:...............................................3
BAB II........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
A. Sastra, Tradisi, dan Seni...............................................................................................................5
B. Sastra, Tradisi, dan Seni...............................................................................................................6
BAB III.......................................................................................................................................................9
PENUTUP..................................................................................................................................................9
A. Kesimpulan........................................................................................................................................9
B. Saran...................................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................10
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sastra, Tradisi, dan Seni


Sastra dan tradisi adalah dua hal yang saling mengisi. Sastra lokal seperti Batak dan Jawa tentu kaya tradisi.
Sastra merupakan dokumen estetis tradisi. Dengan demikian, karya-karya sastra dapat menawarkan
pengamat luar untuk mempelajari semua klaim epistemologis budaya, adat istiadat, dan sastra.

Rodgers (1993) akan memeriksa beberapa kutipan dari buku Siregar Baumi tentang mitos dan atau cerita
rakyat serta budaya. Dia akan memberikan perhatian khusus dengan cara mendokumentasikan dan
melestarikan seluruh budayanya. Yang sangat penting adalah upaya Siregar Baumi ini dalam menulis
kebudayaannya telah menuntunnya untuk membayangkan tradisi Angkola. Dia
menggunakan konsep budaya dalam arti antik dari etnis. Ini adalah budaya seperti yang digambarkan
sebagai suatu entitas bahasa, sastra, seni, musik, hukum, dan agama.

Kata Strinati (2003:11), seni rakyat itu lahir dari bawah, dari kelas bawah. Ini merupakan ekspresi spontan
dari rakyat kebanyakan, dibentuk mereka sendiri, tanpa melibatkan budaya tinggi. Seni rakyat yang
terangkum dalam sastra merupakan citra budaya. Antropologi sastra berupaya menemukan citra budaya itu
sebagai refleksi identitas seni rakyat. Seni rakyat banyak mempergunakan karya sastra sebagai ekspresi.
Citra budaya sebagai fenomena sistematis terdiri atas implikasi perbandingan menarik.

Seperti halnya banyak budaya etnis Indonesia, Angkola tetap memiliki banyak genre pidato ritual seperti
pidato politik tradisional. Masyarakat pedesaan dan kota migran telah memasuki era keaksaraan cetak pada
saat mereka membuat media massa. Mereka menggunakan bahasa Indonesia di radio, televisi, dan kaset
yang diproduksi secara massal.

Angkola Batak tidak dapat dipahami untuk penutur Indonesia karena banyak menggunakan dialek Batak.
Kaset yang diperjualbelikan itu digunakan untuk menghibur, disiarkan di radio dalam bentuk drama
(Rodgers, 1986). Bahkan, pada kegiatan itu juga digunakan lagu-lagu populer yang sebagian didasarkan
pada lagu-lagu desa, sebagian pada musik gereja, dan sebagian pada bentuk musik internasional seperti rock
and roll Amerika. Dengan demikian, koleksi cerita rakyat Batak dari tahun 1930-an menyajikan tari-tarian
dan nyanyian mistis lisan sebagai sastra lisan. Sebagian dari proses yang sama itu dicetak agar mudah
dipahami antaretnis serta memuat wacana politik. Dalam contoh lain, tarian ritual Angkola
dan pidato memuat cerita rakyat etnis berwarna-warni.

Secara antropologis, masyarakat Batak memiliki marga patrilineal (marga), aliansi pernikahan asimetris dari


jenis Kachin, dan pernikahan dengan putri saudara ibu lebih disukai. Pada akhir zaman Belanda, masyarakat
Batak bagian selatan diorganisasi menjadi chiefdom yang berpusat di sekitar rumah Yang Mulia. Ada tingkat
tinggi stratifikasi kelas sosial di kota-kota pasar yang lebih besar dengan bangsawan, rakyat jelata, dan
keturunan budak. Penulis Angkola mulai mempublikasikan panduan adat abad dua puluhan dengan judul
seperti Haronduk Parmanoan dan Adat Batak. Beberapa ikhtisar yang ditawarkan buku-buku narasi
praktik ritual adat yang lainnya menawarkan glosarium istilah pidato yang sulit yang lain ditangani dengan
domain misterius seperti astrologi Batak lama, kalender, dan menggunakan ilmu nujumnya. Beberapa
pemandu seperti Haronduk Parmaoan berpendapat bahwa untuk modifikasi praktik adat klasik, perlu
keahlian. Sejalan dengan itu dia akan merujuk kepada judul Sutan Tinggi. Mengingat campur tangan
penulis etnografi yang begitu kuat, karangan etnografi itu tidak bisa diabaikan dari unsur fiksi. Dilihat dari
cara penulisan, beberapa karangan etnografi tak ubahnya seperti sebuah cerita pendek atau novel yang penuh
dengan bahasa simbol, perumpamaan, dan kata-kata kiasan. Karangan etnografi tampil dengan gaya bertutur
yang lazim digunakan oleh para sastrawan.
B. Sastra, Tradisi, dan Seni
Sastra dan tradisi adalah dua hal yang saling mengisih. Sastra lokal seperti Batak dan Jawa tentu kaya
tradisi. Sastra merupakan dokumen estetis tradisi. Dengan demikian, karya-karya sastra dapat menawarkan
pengamat luar untuk mempelajari semua klaim epistemologis budaya, adat istiadat, dan sastra.Rodgers
(1993) akan memeriksa beberapa kutipan dari buku Siregar Baumi tentang mitos dan atau cerita rakyat
serta budaya. Dia akan memberikan perhatian khusus dengan cara mendokumentasikan dan melestarikan
seluruh budayanya. Yang sangat penting adalah upaya Siregar Baumi ini dalam menulis kebudayaannya
telah menuntunnya untuk membayangkan tradisi Angkola. Dia menggunakan konsep budaya dalam arti
antik dari etnis. Ini adalah budaya seperti yang digambarkan sebagai suatu entitas bahasa, sastra, seni,
musik, hukum, dan agama.

Kata Strinati (2003:11), seni rakyat itu lahir dari bawah, dari kelas bawah. Ini merupakan
ekspresi spontan dari rakyat kebanyakan, dibentuk mereka sendiri, tanpa melibatkan budaya tinggi.
Seni rakyat yang terangkum dalam sastra merupakan citra budaya. Antropologi sastra berupaya
menemukan citra budaya itu sebagai refleksi identitas seni rakyat. Seni rakyat banyak
mempergunakan karya sastra sebagai ekspresi. Citra budaya sebagai fenomena sistematis terdiri atas
implikasi perbandingan menarik.

Seperti halnya banyak budaya etnis Indonesia, Angkola tetap memiliki banyak genre pidato
ritual seperti pidato politik tradisional. Masyarakat pedesaan dan kota migran telah memasuki era
keaksaraan cetak pada saat mereka membuat media massa. Mereka menggunakan bahasa Indonesia di
radio, televisi, dan kaset yang diproduksi secara massal. Angkola Batak tidak dapat dipahami untuk
penutur Indonesia karena banyak menggunakan dialek Batak. Kaset yang diperjualbelikan itu
digunakan untuk menghibur, disiarkan di radio dalam bentuk drama (Rodgers,

1986). Bahkan, pada kegiatan itu juga digunakan lagu-lagu populer yang sebagian didasarkan
pada lagu-lagu desa, sebagian pada musik gereja, dan sebagian pada bentuk musik internasional seperti
rock and roll Amerika.

Dengan demikian, koleksi cerita rakyat Batak dari tahun 1930- an menyajikan tari-tarian dan
nyanyian mistis lisan sebagai sastra lisan. Sebagian dari proses yang sama itu dicetak agar mudah
dipahami antaretnis serta memuat wacana politik. Dalam contoh lain, tarian ritual Angkola dan pidato
memuat cerita rakyat etnis berwarna-warni. Selain itu, masing-masing komunikasi utama Angkola
masih dipraktikkan di desa dan upacara pasar kota. Karya mereka pada prinsip, genre, media massanya
agak berbeda dari masyarakatnya. Sebagai bentuk-bentuk komunikasi interaksi,

mereka juga bekerja untuk saling memengaruhi satu sama lain yang mencitrakan kehidupan manusia.
Jadi, misalnya, visi nyanyian bukanlah citra sepenuhnya mistis masyarakat manusia.

Pandangan narator dari tari-tarian adalah cara nenek moyang yang digunakan untuk melihat dunia
sebelum mereka menemukan pencerahan. Singkatnya, Angkola menghayati dunia mistis melalui media
cetak sebagai bukti masyarakat pembaca berbudaya. Mitos juga memuat tradisi yang berguna untuk
mengukir konsepsi masyarakat etnis minoritas dalam ruang politik bangsa Indonesia. Naskah Batak
klasik menawarkan pada pembaca tentang peraturan yang baik. Hal itu tercantum dalam panduan adat
dalam bentuk pendek yang diterbitkan surat kabar Angkola dalam dua puluhan dan tiga puluhan.

Setelah invasi Jepang tahun 1942 dan jatuhnya pemerintahan koloni Belanda, rumah-rumah yang
mulia di Angkola juga rusak. Adat dan publikasi terkena imbasnya. Sampai sekarang pria seperti
Siregar Baumi menemukan dirinya karena dunia penerbitan kompetitif adat Batak banyak
penggemarnya. Kebanyakan laki-laki di usia empat puluhan, lima puluhan, dan enam puluhan
menjadi pejabat, wartawan surat kabar, dan bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Thoug sangat melek, penulis sebagian besar tidak menyadari sejarah panjang iklan, buku publikasi
di Sumatra Utara. Tidak ada yang dia tahu dari koleksi luas sebelum perang adat Angkola yang
termuat dalam buku Perpustakaan Nasional di Jakarta dan di Belanda. Secara umum, penulis tetap
memperhatikan budaya kuno, bukan sarjana ilmiah. Sebagian besar penulis yang dicapai cenderung
berasal dari keluarga bangsawan. Siregar Baumi ia berasal dari keturunan mulia dari Desa Marancar.

Generasi pertama Angkola Mandailing dan penulis (orang- orang seperti Willem Iskandar,
Radja Goenoeng, dan Sutan Martua Raja) merupakan penulis primer untuk anak-anak. Antara 1910
dan 1920, wilayah tersebut telah berkembang menjadi salah satu pusat kebudayaan Sumatra untuk
penerbitan surat kabar, penerbitan buku, dan menulis buku, novel yang sebagian didasarkan pada
model Belanda dan sebagian pada fiksi Indonesia Tionghoa. Karya itu diterbitkan di Sibolga dan
Medan pada tahun dua puluhan dan tiga puluhan. Beberapa di antaranya ditulis dalam bahasa Angkola,
sementara yang lainnya dalam bahasa Indonesia.

Adat desa asli Angkola sering diatur bertentangan dengan agama (atau, seperti dicatat, agama
terorganisasi). Menurut Benyamin (Strinati, 2003:92–93), karya seni, termasuk sastra sering ditempatkan
dalam praktik keagamaan. Sastra sering dipadukan dengan adat. Oleh karena mampu merefleksikan
seni dan ritual, sastra sering dikaitkan dengan praktik keagamaan. Yang dimaksud adat ialah ritus
upacara perjalanan, pengaturan pernikahan yang ideal melibatkan aliansi antara istri-pemberi rumah
dan istri mereka-receiver, dan pernyataan tentang pemerintah desa yang orang katakan didasarkan pada
tradisi aliansi pernikahan. Secara antropologis, masyarakat Batak memiliki marga patrilineal (marga),
aliansi pernikahan asimetris dari jenis Kachin, dan pernikahan dengan putri saudara ibu lebih
disukai. Pada akhir zaman Belanda, masyarakat Batak bagian selatan diorganisasi menjadi chiefdom
yang berpusat di sekitar rumah Yang Mulia. Ada tingkat tinggi stratifikasi kelas sosial di kota-kota
pasar yang lebih besar dengan bangsawan, rakyat jelata, dan keturunan budak.
Penulis Angkola mulai mempublikasikan panduan adat abad dua puluhan dengan judul seperti
Haronduk Parmanoan dan Adat Batak. Beberapa ikhtisar yang ditawarkan buku-buku narasi praktik ritual
adat yang lainnya menawarkan glosarium istilah pidato yang sulit yang lain ditangani dengan domain
misterius seperti astrologi Batak lama, kalender, dan menggunakan ilmu nujumnya. Beberapa pemandu
seperti Haronduk Parmaoan berpendapat bahwa untuk modifikasi praktik adat klasik, perlu keahlian.
Sejalan dengan itu dia akan merujuk kepada judul Sutan Tinggi. Mengingat campur tangan penulis
etnografi yang begitu kuat, karangan etnografi itu tidak bisa diabaikan dari unsur fiksi. Dilihat dari cara
penulisan, beberapa karangan etnografi tak ubahnya seperti sebuah cerita pendek atau novel yang
penuh dengan bahasa simbol, perumpamaan, dan kata-kata kiasan. Karangan etnografi tampil dengan
gaya bertutur yang lazim digunakan oleh para sastrawan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sastra adalah ungkapan ekspresi manusia berupa karya tulisan atau lisan berdasarkan
pemikiran, pendapat, pengalaman, hingga ke perasaan dalam bentuk yang imajinatif, cerminan
kenyataan atau data asli yang dibalut dalam kemasan estetis melalui media bahasa.

Tradisi atau kebiasaan (Latin: traditio, "diteruskan") adalah sebuah bentuk perbuatan yang
dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama. Hal ini juga menunjukkan bahwa orang tersebut
menyukai perbuatan itu. Kebiasaan yang diulang-ulang ini dilakukan secara terus menerus karena
dinilai bermanfaat bagi sekelompok orang, sehingga sekelompok orang tersebut melestarikannya.

Seni adalah keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya,
keindahannya, fungsinya, bentuknya, makna dari bentuknya, dan sebagainya), seperti tari, lukisan,
ukiran. Seni meliputi banyak kegiatan manusia dalam menciptakan karya visual, audio, atau
pertunjukan yang mengungkapkan imajinasi, gagasan, atau keprigelan teknik pembuatnya, untuk
dihargai keindahannya atau kekuatan emosinya.

Sastra dan tradisi adalah dua hal yang saling mengisih. Sastra lokal seperti Batak dan Jawa
tentu kaya tradisi. Sastra merupakan dokumen estetis tradisi. Dengan demikian, karya-karya sastra
dapat menawarkan pengamat luar untuk mempelajari semua klaim epistemologis budaya, adat
istiadat, dan sastra.Rodgers (1993) akan memeriksa beberapa kutipan dari buku Siregar Baumi
tentang mitos dan atau cerita rakyat serta budaya.

B. Saran
Saran yang dapat penyusun paparkan dalam makalah ini adalah agar para mahasiswa dapat
memahami bagaimana satuan bahasa dalam berita agar dapat menciptakan informasi-informmasi
yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

Angrosino, Michael V. 1993. “Dub Poetry and West Indian Identity” dalam Benson, Paul (Ed.). 1993.
Anthrophology and Literature. Urbana dan Chicago: University of Illinois Press.
Clifford, James. 1988. The Predicament of Culture: TwentiethCentury Ethnography, Literature, and Art.
Cambridge: Harvard University Press.
Eagleton, Terry. 2002. Marxisme dan Kritik Sastra. Terjemahan Roza Muliati. Yogyakarta: Sumbu.
Grindhal, Bruce T dan William H. Shepard. 1993. “Redneck Girl: Experience to Performance” dalam
Benson, Paul (Ed.) 1993. Anthrophology and Literature. Urbana dan Chicago: University of Illinois Press.

Anda mungkin juga menyukai