Anda di halaman 1dari 5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Ada beberapa kajian mengenai sikap bahasa yang telah diteliti sebelumnya baik dalam kajian skripsi,
thesis, ataupun tulisan article yang diterbitkan diJurnal. Salah satu yang menarik adalah apa yang
diteliti oleh kelompok kami yaitu mengenai Sikap Santri Pada Konteks Mempertahankan Bahasa
Madura di Lingkungan Pesantren . Hasil penelitian menunjukkan bahwa santri pada pondok
pesantren tersebut memiliki sikap positif terhadap Bahasa Madura baik sebagai bahasa daerah
maupun sebagai salah satu mata pelajaran disekolah. Penelitian ini mensarikan bahwa meskipun
bahasa lokal itu dianggap penting – dan berimplikasi pada sikap bahasa yang positif – tetapi jika
status penggunaanya tidak dinyatakan lebih tinggi secara formal – melalui suatu kebijakan bahasa,
misalnya – maka harapan untuk penggunaannya pada ranahranah publik akan sulit untuk diwujudkan.
2.1 Sikap bahasa
Sikap bahasa (language attitude) adalah sikap seseorang terhadap suatu bahasa dan juga terhadap
pengguna bahasa tersebut. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi sikap bahasa (Jendra,
2010:109-111). Dalam beberapa penelitian, terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi sikap
bahasa, yakni:
a) Gengsi dan kekuatan bahasa. Di beberapa negara, keinginan untuk mempelajari bahasa asing,
misalnya bahasa Inggris, merupakan hal yang tidak lazim. Beberapa orang berasumsi bahwa
mempelajari bahasa asing akan menurunkan tingkat nasionalisme orang tersebut. Namun hal ini
tidak selamanya benar. Menurut penelitian terhadap pelajar di Jepang yang mempelajari bahasa
Inggris dan tertarik dengan budaya barat, namun mereka tetap memegang teguh identitas bahasa
dan budaya Jepang.
b) Sejarah Negara. Beberapa masyarakat di negara Timur Tengah tidak ingin mempelajari bahasa
asing, terutama bahasa Inggris karena mereka belajar dari sejarah mereka bahwa orang-orang
Barat adalah colonialist.
c) Sosial dan tradisi. Hal ini biasanya terjadi pada masyarkat yang di dalamnya terdapat situasi
diglosia dimana variasi bahasa tinggi biasanya dianggap lebih baik dibandingkan dengan variasi
rendah.
d) Sistem internal bahasa. Masyarakat biasanya menunjukkan sikap positif dalam mempelajari
sebuah bahasa karena grammar, pengucapan, dan kosakata merupakan hal yang mudah dipelajari.
Namun seringkali masyarakat menganggap sebuah bahasa lebih sulit dibandingkan bahasa yang
lain karena adanya faktor tertentu, misalnya terdapat penanda untuk gender, adanya perbedaan
antara bahasa tinggi dan rendah (diglosia) dan faktor-faktor lainnya.
2.2 Kontak bahasa
Kontak bahasa mengacu pada kondisi dimana ada lebih dari satu bahasa yang saling berinteraksi
dalam satu komunitas bahasa. Kontak bahasa ini akan menimbulkan phenomena yang berjenjang,
mulai dari peminjaman kata, perubahan sistem morphosyntax, bahkan sampai ke tingkatan yang
ekstrem yaitu bergantinya dominansi bahasa (language shift) bahkan sampai ke hilangnya suatu
bahasa (language loss) (Myers-Scoton: 2002). Kontak bahasa bisa terjadi pada kondisi dimana
penutur bahasa mempelajari bahasa lain sebagai bahasa keduanya (L2) setelah menguasai bahasa
ibunya (L1). Kontak bahasa juga bisa terjadi manakala ada dua bahasa yang digunakan dalam satu
komunitas bahasa sehingga seorang anak bisa memperoleh bahasa keduanya pada saat yang
bersamaan dengan pemerolehan bahasa pertamanya.
Pada kedua konteks tersebut bisa terjadi dua kemungkinan yakni terbentuknya masyarakat
bilingualism dimana para penutur bahasanya memiliki kemampuan untuk menggunakan dua bahasa,
dan atau terbentuknya masyarakat diglossic, dimana para penutur bahasanya memiliki dua bahasa dan
mengetahui bahasa mana yang memiliki status yang lebih tinggi (H) dan mana yang memiliki status
yang lebih rendah (L) (Holmes: 2001). Meskipun masing-masing kondisi diatas memiliki probabilitas
terbentuknya bilingualism dan juga diglosik, tetapi pada kondisi kedua – dimana L2 diperoleh hampir
bersamaan dengan L1 – kecenderungan untuk terjadinya diglosik lebih besar.
2.3 Pesantren dan Kajiannya
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan agama yang bersifat tradisional untuk
mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian. Secara
istilah, Husein Nasr dalam Rochem (2011) mendefinisikan pesantren dengan sebutan dunia
tradisional Islam. Maksudnya, pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas
tradisi Islam yang dikembangkan Ulama (Kiai) dari masa ke masa, tidak terbatas periode tertentu
dalam sejarah Islam. Pesantren yang ada di Indonesia dapat dibagi dalam berbagai jenis (Rochem
(2011), yaitu: 1) Pesantren Salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan
kitab-kitab klasik, dan tanpa diberikan pengetahuan umum; 2) Pesantren Khalafi, yaitu pesantren
yang menerapkan system pengajaran klasikal (madrasi), memberikan ilmu pengetahuan umum dan
juga memberikan ketrampilan umum. Selain itu di Indonesia juga terdapat 2 jenis pesantren yang lain,
yaitu Pesantren kilat yang berbentuk seperti training dalam waktu yang relative singkat dan biasanya
dilaksanakan pada waktu libur sekolah, dan Pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih
menekankan pada pendidikan vicasional atau kejujuran, seperti balai pelatihan kerja dimana santrinya
kebanyakan berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja.
2.4 Variasi Bahasa/Ragam Bahasa
Variasi bahasa atau ragam bahasa merupakan bahasa pokok dalam studi sosiolinguistik (Abdul
Chaer, 2010:61). Sebagai sebuah langue sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang
dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena penutur bahasa tersebut meski berada
dalam masyarakat tutur tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa
yang kongret disebut parole, menjadi tidak seragam. Sehingga, bahasa menjadi bervariasi, terjadinya
keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak
homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Variasa
atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai
akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi atau
ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan
masyarakat yang beraneka ragam atau dengan kata lain, variasi bahasa pertama-tama dibedakan
berdasarkan penutur dan penggunanya.
Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2010:62) mengklasifikasikan variasivariasi bahasa
sebagai berikut.
a) a) Variasi dari Segi Penutur Pertama, variasi dari segi penutur adalah idiolek, yaitu variasi
bahasa yang bersifat perseorangan. Hal ini berkenaan dengan suara, pilihan kata, gaya
bahasa, dan susunan kalimat. Kedua, Dialek yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur
yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Ketiga,
Kronolek atau dialek temporal yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial
pada masa tertentu. Keempat, Sosiolek atau Dialek sosial yaitu variasi bahasa yang berkenaan
dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Sehubungan dengan variasi bahasa
berkenaan dengan tingkatan, golongan status, dan kelas sosial biasanya dikemukakan orang
variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot dan ken.
Adajuga yang menyebut dengan bahasa prokem.
b) Variasi dari Segi Pemakaian Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaanya, pemakainya,
atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam atau register (Nababan dalam Abdul
Chaer:2010:68). Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau
tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi ini menyangkut bahasa itu digunakan
untuk apa. Misalnya dalam bidang agama, pendidikan, dan lain sejenisnya.
c) Variasi dari Segi Keformalan Berdasarkan keformalan, (Martin Joos dalam Abdul
Chaer:2010:70) membagi bahasa menjadi lima macam gaya (selanjutnya disebut ragam),
yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha
(konsulatif).
2.5 Alih Kode
Alih kode (code swithing) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Appel
(dalam Chaer, 2010:107) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena
berubahnya situasi. Kemudian, Hymes (dalam Suwito, 1985:69) mengatakan bahwa alih kode adalah
istilah umum untuk menyebut pergantian (peralihan) pemakain dua bahasa atau lebih, beberapa
variasi dari satu bahasa, atau bahkan bebarapa gaya dari satu ragam. Apabila alih kode itu Alih kode
(code swithing) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain.
Appel (dalam Chaer, 2010:107) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian
bahasa karena berubahnya situasi. Kemudian, Hymes (dalam Suwito, 1985:69) mengatakan bahwa
alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian (peralihan) pemakain dua bahasa atau
lebih, beberapa variasi dari satu bahasa, atau bahkan bebarapa gaya dari satu ragam.
Suwito (1985:72-74) menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah sebagai
berikut.
1) Penutur Seorang penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode terhadap lawan
tuturnya karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi situasi tidak resmi atau
situasi santai.
2) Lawan tutur Setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan
tuturnya di dalam masyarakat. Penutur mungkin harus beralih kode untuk mengimbangi. Dalam hal
ini lawan tutur dibedakan menjadi dua golongan, yaitu 1) penutur yang berlatar belakang kebahasaan
yang sama dengan lawan tutur, 2) penutur yang berlatar belakang berlainan dengan penutur.
3) Hadirnya penutur ketiga Dua orang yang berasal dari kelompok etnik yang sama pada umumnya
saling berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya, tetapi apabila hadir penutur ketiga dalam
pembicaraan itu, dan orang itu berbeda latar kebahasaannya, maka dua orang yang pertama beralih
kode ke bahasa yang dikuasai oleh ketiganya.
4) Pokok pembicaraan (Topik) Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam
menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan dibedakan menjadi dua yaitu 1) pokok
pembicaraan yang bersifat formal. Pokok pembicaraan formal biasanya diungkapkan dengan ragam
baku, dengan gaya netral dan serius, 2) pokok pembicaraan yang bersifat informal. Pokok
pembicaraan bersifat informal disampaikan dengan tata bahasa tak baku, gaya sedikit emosional, dan
serba seenaknya.
5) Membangkitkan rasa humor Biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya
bicara. Misalnya penutur mengalihkan kode humor untuk menghilangkan ketegangan, dan
menyegarkan suasana,
6) Untuk sekadar bergengsi Sebagian penutur ada yang beralih kode sekedar untuk bergengsi. Hal itu
terjadi apabila baik faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosiosituasional. Tidak
mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar,
dan cenderung tidak komunikatif.

2.6 Campur Kode

Pembicaraan alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Kedua
peristiwa ini lazim terjadi di masyarakat yang bilingual. Kedua permasalahan ini mempunyai kesamaan
yang besar sehingga terkadang sukar untuk dibedakan. Kesamaan antara alih kode dan campur kode
adalah digunakannya dua bahasa atau lebih. Alih kode setiap bahasa yang digunakan masih memiliki
fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu,
sedangkan di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang terlibat dalam sebuah
tuturan. Kodekode yang terlibat hanya berupa serpihan-serpihan saja tanpa memiliki fungsi atau
keotonomian sebagai sebuah kode. Seorang penutur misalnya dalam berbahasa Indonesia banyak
menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah campur kode. Akibatnya akan
muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa)
atau bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Sunda) (Chaer,
2010:114-115).

Sumber :

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Hamzah,Khusnul.2016 PENGGUNAAN BAHASA JAWA OLEH SANTRI PONDOK PESANTREN ASSALAFY


AL-ASROR KELURAHAN PATEMON GUNUNGPATI SEMARANG (KAJIAN SOSIOLINGUISTIK).Tersedia di:

https://lib.unnes.ac.id/29338/

Wulandari,Dwi.2012. SIKAP BAHASA SANTRI PADA KONTEKS PEMERTAHANAN BAHASA JAWA DALAM
PROSES PENGAJARAN DI PESANTREN. Tersedia di: http://eprints.undip.ac.id/43120/

Anda mungkin juga menyukai