Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

KONFLIK DIKAWASAN PESISIR DAN LAUT

DI SUSUN OLEH

 Baharuddin
 Firli Wijayanti
 Fitria Syahrani
 Moh. Shesar
 Nurafnita Masyhura
 Nursalwasari
 Nurul Zhakila Madani (KETUA)
 Reisti Handayani
 Rezaldi Irwansyah
 Trisnawati Patta

KEMENTRIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

BADAN RISET DAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN

POLITEKNIK KELAUTAN DAN PERIKANAN BONE

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah melipahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah Hukum Peraturan
Perundang-undangan Kelautan “Konflik Dikawasan Pesisir Dan Laut”

Proses penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh

karena itu pada kesempatan ini kami menyampaikan terimah kasih sebanyak-banyaknya

kepada pihak yang telah terlibat dalam penyusunan makalah ini. Semoga bantuan, kebaikan

dan dukungan yang telah diberikan kepada penyusun selama penyelesaian makalah ini dapat

balasan yang tiada terkira dari tuhan yang maha esa.

Makalah ini telah kami usahakan untuk di susun secara sistematis dan tertata dengan

yang mana isi makalah di jelaskan secara lebih rinci dengan menggunakan kalimat yang

sederhana. Kami menyadari bahwa ini masih banyak kekurangan dan sangat jauh dari kata

sempurna. Akhir kata, penyusun berharap semoga dengan adanya makalah ini dapat memberi

pengetahuan yang luas mengenai mata kuliah Hukum Perundangan-undangan Kelautan.

Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan

dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami menyucapkan terimah kasih pada:

1. Bapak Muhammad Roin Najih,S.St.Pi.,M.Si selaku dosen pada mata kuliah

Hukum Perundang-undangan Kelautan.

2. Serta teman kelompok yang membantu saya dalam Menyusun makalah ini

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga saran

dan kritik diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Watampone, 18 November 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................

DAFTAR ISI....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................

1.1 Latar Belakang........................................................................................

1.2 Rumusan masalah..................................................................................

1.3 Tujuan penulisan.....................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................

2.1 Definisi Pesisir.......................

2.2 Karakteristik Wilayah Pesisir.................................

2.3 Batas Wilayah Pesisir...............................

2.4 Sumberdaya Pesisir………………………..

2.5 Model Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Interaksinya……………………..

2.6 Karakteristik Sosial Masyarakat Pesisir………………….

2.7 Pengertian dan Penggolonngan Nelayan…………………

BAB III Konflik dan Anatomi Konflik ..................................................................

3.1 Definisi Konflik.............................................................................................

3.2 Teori-Teori Konflik......................................................................................................

3.3 Sumber-Sumber Konflik……………………………………………………………..

3.4 Wujud dan Jenis Konflik……………………………………………….


3.6 Anatomi Konflik Nelayan………………………………………………

BAB IV RESOLUSI KONFLIK

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan…………………………………………………………….

5.2 Saran……………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kawasan pesisir adalah wilayah daratan dan wilayah laut yang bertemu di garis pantai di
mana wilayah daratan mencakup daerah yang tergenang atau tidak tergenang air yang
dipengaruhi oleh proses‐proses laut seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi air laut.
Sedangkan wilayah laut mencakup perairan yang dipengaruhi oleh proses ‐proses alami
daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar ke laut serta perairan yang dipengaruhi oleh
kegiatan manusia di darat. Pengelolaan kawasan pesisir melibatkan pengelolaan pemanfaatan
perairan dan daratan pesisir secara menerus dan dan sumberdayanya dalam area yang
ditetapkan. Batasannya biasanya ditentukan secara politis oleh legislasi atau pemerintah.

Selama ini, perairan pulau‐pulau kecil yang memiliki potensi perikanan yang tinggi ini
cenderung menjadi tempat praktek penangkapan yang tidak ramah lingkungan, seperti
pengeboman, pembiusan dan penggunaan racun, baik oleh nelayan asing maupun oleh
nelayan lokal. Akibatnya, pengelolaan pesisir pulau‐pulau kecil cenderung eksploitatif, tidak
efisien dan tidak‐sustainable. Banyak faktor ‐faktor yang menyebabkan ketidakefektifan
pengelolaan sumberdaya pesisir pulau‐pulau kecil ini, antara lain ambiguitas pemilikan dan
penguasaan sumberdaya, ketidakpastian hukum, serta konflik pengelolaan.

Semua permasalahan lingkungan adalah masalah hak pemilikan, dan hampir semua konflik
mengenai pengambilan sumberdaya pesisir muncul sebagai akibat kesulitan dalam
menjelaskan rezim pemilikan (property regimes). Terdapat empat tipe rezim pemilikan 1)
Open access property sebagai milik semua orang, 2) Common property sebagai milik
sekelompok orang yang memiliki peraturan atau persetujuan yang tidak tertulis seperti
hukum adat, 3) State property sebagai milik negara, dan 4) Private property sebagai milik
perorangan atau swasta (company).

Perbedaan tipe hak pemilikan tersebut menentukan kerangka kerja pengelolaan pesisir dan
aturan bagaimana pengelolaan tersebut berlangsung. Perbedaan aturan yang sering berbeda
satu sama lain inilah yang kerap memicu konflik dalam pengelolaan pesisir.

Konflik sosial muncul (exist) ketika dua orang atau kelompok atau lebih menunjukkan bahwa
mereka memiliki kepercayaan yang berbeda. Konflik adalah suatu proses yang dimulai
tatkala suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif kepadanya atau
tatkala suatu pihak merasa kepentingannya itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak
lain. Konflik juga diartikan sebagai benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang
disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumber daya.

Dalam pengertian tersebut, wujud konflik mencakup rentang yang amat luas: mulai
dari ketidaksetujuan yang samar‐samar, sampai dengan tindakan kekerasan. Pendek
kata setiap perbedaan itu merupakan potensi konflik, yang jika tidak ditangani secara
baik, potensi konflik itu bisa berubah menjadi konflik terbuka.

1.2    Rumusan Masalah
·         Apa yang dimaksud dengan Pesisir?
·         Apa tujuan dari pengetahuan karakteristik pesisir ?
·         Apa saja manfaat dari wilayah pesisir?
·         Apa saja jenis konflik pada wilayah pesisir dan laut ?
1.3 Tujuan Penulisan
·         Mengetahui dan memahami tentang pesisir.
·         Mengetahui dan memahami tujuan dari pengetahuan tentang wilayah pesisir.
·         Mengetahui dan menelaah manfaat dari wilayah pesisir.
·         Mengenal dan menelaah jenis konflik pada wilayah pesisir dan laut.

BAB II
PEMBAHASAN

KAWASAN PESISIR DAN KARAKTERISTIKNYA

2.1. Definisi Pesisir

Definisi kawasan pesisir adalah wilayah daratan dan wilayah laut yang bertemu di garis
pantai di mana wilayah daratan mencakup daerah yang tergenang atau tidak tergenang air
yang dipengaruhi oleh proses‐proses laut seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi air laut.
Sedangkan wilayah laut mencakup perairan yang dipengaruhi oleh proses ‐proses alami
daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar ke laut serta perairan yang dipengaruhi oleh
kegiatan manusia di darat (Bengen, 2001).

Menurut Sugiharto (dalam Dahuri et.al., 2001), definisi pesisir yang digunakan di Indonesia
adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian
daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat ‐sifat laut seperti
pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir
mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses ‐proses alami yang terjadi di darat,
seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di
darat, seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

2.2. Karakteristik Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir memiliki karakteristik yang unik baik dilihat dari aspek bio ‐geofisik maupun
aspek sosial, ekonomi dan budaya. Dahuri (2000) menyatakan setidaknya ada enam
karakteristik pesisir: 1) Terdapat keterkaitan ekologis baik antar ekosistem di dalam kawasan
pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas; 2) Dalam suatu
kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa ‐jasa
lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan; 3) Dalam suatu
kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki
keterampilan atau keahlian dan kesenangan bekerja yang berbeda. Hal ini mengakibatkan
pemanfaatan berbagai sumberdaya yang ada; 4) Baik secara ekologis maupun ekonomis,
pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur adalah sangat rentan terhadap
perubahan internal maupun eksternal yang menjurus kepada kegagalan usaha; 5) Kawasan
pesisir merupakan kawasan milik bersama (common property resources) yang dapat
dimanfaatkan oleh semua orang (open access). Setiap pengguna sumberdaya berkeinginan
untuk memaksimalkan keuntungan sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran, over‐
eksploitasi sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang; dan 6) Selain karakteristik di
atas, kawasan pesisir merupakan kawasan yang secara hayati sangat produktif dan subur.
Pada kawasan pesisir juga dilakukan berbagai aktivitas manusia sehingga terjadinya interaksi
antara manusia dengan sumberdaya pesisir dan laut.
Depkimpraswil (2003) menyebutkan bahwa dengan karakteristik sebagaimana tersebut di
atas, maka wilayah pesisir menghadapi berbagai isu dan permasalahan terkait dengan
penataan ruang antara lain: 1) Potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dan tumpang
tindih antar sektor dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah
pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi beragamnya sumberdaya pesisir yang ada
serta karakteristik wilayah pesisir yang “open acces” sehingga mendorong wilayah pesisir
telah menjadi salah satu lokasi utama bagi kegiatan ‐kegiatan beberapa sektor pembangunan
(multi‐use). Dalam hal ini, konflik kepentingan tidak hanya terjadi antar “users”, yakni
sektoral dalam pemerintahan dan juga masyarakat setempat dan pihak swasta, namun juga
antar penggunaan antara lain: (a) perikanan budidaya maupun tangkapan, (b) pariwisata
bahari dan pantai, (c) industri maritim seperti perkapalan, (d), pertambangan, seperti minyak,
gas, timah dan galian lainnya, (e) perhubungan laut dan alur pelayaran, dan (f) kegiatan
konservasi laut dan pesisir seperti hutan bakau (mangrove), terumbu karang dan biota laut
lainnya; 2) Potensi konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan dan
pemanfaatan wilayah pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi tidak berhimpitnya
pembagian kewenangan yang terbagi menurut administrasi pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota dengan kepentingan wilayah pesisir tersebut yang seringkali lintas wilayah
otonom; 3) Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir yang bermata ‐pencaharian di
sektor‐sektor non‐perkotaan; 4) Timbul berbagai dampak pembangunan yang tidak hanya
bersumber dari dalam wilayah pesisir, tetapi juga dari wilayah laut dan pedalaman. Hal ini
merupakan konsekuensi dari fungsi wilayah pesisir sebagai “interface” antara ekosistem darat
dan laut, wilayah pesisir (coastal areas) memiliki keterkaitan antara daratan dan laut; 5)
Pemanfaatan potensi sumber daya kemaritiman yang tidak optimal, dimana sektor kelautan
dan perikanan merupakan prime mover pengembangan wilayah; 6) Lemahnya kerangka
hukum pengaturan pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir serta perangkat hukum untuk
penegakannya menyebabkan masih banyaknya pemanfaatan sumberdaya yang tidak
terkendali; dan 7) Kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai akibat fenomena pemanasan
global memberikan dampak yang serius terhadap wilayah pesisir yang perlu diantisipasi
penanganannya.

2.3. Batas Wilayah Pesisir

Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua
macam dua macam batas (bounderies), yaitu: batas yang sejajar dengan pantai (longshore)
dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross ‐shore). Untuk keperluan pengelolaan,
penetapan batas‐batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah,
misalnya batas wilayah pesisir antara Sungai Berantas dan Sungai Bengawan Solo, atau batas
wilayah pesisir Kabupaten Kupang adalah antara Tanjung Nasikonis dan Pulau Sabu, dan
batas wilayah pesisir DKI Jakarta adalah antara Sungai Dadap di sebelah barat dan Tanjung
Karawang di sebelah timur (Dahuri et.al., 2001).

2.4. Sumberdaya Pesisir

Dahuri et.al. (2001) menyatakan bahwa sumberdaya alam di kawasan pesisir dan lautan
secara garis besar terdiri dari: (1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), (2)
sumberdaya tak dapat pulih (non‐renewable resources), dan (3) jasa ‐jasa lingkungan
(environmental sevices).

Sumberdaya dapat pulih, antara lain: sumberdaya ikan, plankton, benthos, moluska,
krustasea, mamalia laut, rumput laut atau seaweeds, lamun atau seagrass, mangrove, dan
terumbu karang. Sedangkan, sumberdaya tak dapat pulih, antara lain: minyak bumi dan gas,
bijih besi, pasir, timah, bauksit, dan mineral serta bahan tambang lainnya.

Sumberdaya ikan di kawasan pesisir dan lautan terkenal sangat tinggi, hal ini karena
didukung oleh ekosistem yang kompleks dan sangat beragam seperti ekosistem terumbu
karang, ekosistem hutan mangrove, ekosistem padang lamun. Sumber daya perikanan laut di
Indonesia terdiri dari sumberdaya perikanan plagis besar, pelagis kecil, demersal, udang, ikan
karang dan cumi‐cumi.

Potensi jasa‐jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan, seperti pariwisata
bahari dan perhubungan laut, merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi bagi
peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Kawasan pesisir
dan lautan juga digunakan untuk sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan dan
penampung limbah.

2.5. Model Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Interaksinya

Model pemanfaatan sumberdaya pesisir bisa sangat beragam. Mulai dari permukiman,
penangkapan ikan, pariwisata bahkan sampai kepada kepentingan keamanan dan pertahanan
seperti instalasi militer, pangkalan militer dan media komunikasi. Mulai dari lokasi produksi
barang sampai kepada pembuangan sampah.

Kay dan Alder (1999) juga mengelompokkan pemanfaatan sumberdaya pesisir ke dalam
empat kategori utama: (1) ekploitasi sumberdaya (perikanan, kehutanan [mangrove], minyak
dan gas, dan pertambangan lainnya), (2) infrastruktur (transportasi, pangkalan, pelabuhan dan
perlindungan garis pantai [penahan ombak]), (3) pariwisata dan rekreasi, dan (4) konservasi
dan perlindungan keanekaragaman hayati.
2.6. Karakteristik Sosial Masyarakat Pesisir

Menurut Redfield (dalam Koentjaraningrat, 1990) ada empat tipe komunitas/masyarakat,


yaitu city (kota), town (kota kecil), peasant village (desa petani), dan tribal village (desa
terisolasi). Setiap komunitas tersebut memiliki karakteristik kebudayaan yang berbeda satu
sama lain. Proses transformasi dari desa terisolasi ke kota, menurut Koentjaraningrat (dalam
Satria, 2002) ditandai dengan: (1) kendurnya ikatan adat istiadat, (2) sekularisasi, dan (3)
individualisasi.

Merujuk pada klasifikasi Redfield, masyarakat pesisir itu sendiri berada pada setiap tipe
komunitas. Namun, kebanyakan masyarakat pesisir di Indonesia merupakan representasi tipe
desa petani dan desa terisolasi.

Untuk lebih memperjelas karakteristik masyarakat pesisir sebagai representasi komunitas


desa pantai dan desa terisolasi, Satria (2002) menguraikannya dari berbagai aspek: (1) sistem
pengetahuan, (2) sistem kepercayaan, (3) peran wanita, (4) struktur sosial, dan (5) posisi
sosial nelayan.

1. Sistem Pengetahuan

Pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya didapat dari warisan orang tua atau
pendahulu mereka berdasarkan pengalaman empiris. Kuatnya pengetahuan lokal tersebut
yang selanjutnya menjadi salah satu faktor penyebab kelangsungan hidup mereka selaku
nelayan. Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) tersebut merupakan kekayaan intelektual
masyarakat nelayan yang hingga kini masih dipertahankan.

Misalnya nelayan suku laut memiliki pengetahuan tradisional yang cukup tinggi terhadap
lingkungannya. Nelayan suku laut mengenal konsep Perbani, yaitu suatu kondisi air laut pada
saat surut atau pasang tanggung ketika air laut berwarna merah dan tenang. Saat itu diyakini
sebagai kondisi banyak ikan. Pada saat air dalam dengan ciri ‐ciri warna hijau kemerah ‐
merahan, nelayan percaya ikan besar banyak berkeliaran. Sebaliknya, jika kondisi air banyak
mengandung ulat air atau ekor‐ekor menurut bahasa khas nelayan suku laut, hal itu diyakini
sebagai kondisi laut yang tidak ada ikannya.

2. Sistem Kepercayaan

Secara teologis, nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki
kekuatan magis sehingga perlu perlakuan‐perlakuan khusus dalam melakukan aktivitas
penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Tradisi tersebut,
antara lain, masih terlihat pada tradisi sowan ke suhu atau dukun ‐dukun dalam rangka
mendapatkan kelamatan saat melaut dan memperoleh hasil tangkapan baik. Misalnya, hampir
semua nelayan nakhoda yang berasal dari Wnokerto, Pekalongan melakukan itu. Mereka
melakukannya karena dalam setiap misi penangkapan ikan, nakhodalah yang yang paling
bertanggungjawab terhadap keselamatan awak maupun hasil tangkapan.

Demikian juga halnya dengan kegiatan sedekah laut dan pembersihan atau pencucian kapal
merupakan bagian dari kepercayaan dimaksud. Sistem kepercayaan tersebut hingga kini
masih mencirikan kebudayaan nelayan. Meski demikian, seiring perkembangan teologis
akibat meningkatnya tingkat pendidikan atau intensitas pendalaman terhadap nilai ‐nilai
agama, upacara‐upacara itu bagi sebagian kelompok nelayan hanyalah sebuah ritualisme.
Maksudnya, suatu tradisi yang terus dipertahankan meskipun telah kehilangan makna
sesungguhnya. Jadi, tradisi tersebut dilangsungkan hanya sebagai salah satu instrumen
stabilitas sosial dalam komunitas nelayan.

3. Peran Wanita

Aktivitas ekonomi wanita merupakan gejala yang sudah umum bagi kalangan masyarakat
strata bawah, tidak terkecuali wanita yang berstatus sebagai isteri nelayan. Umumnya, selain
banyak bergelut dalam urusan domestik rumah tangga, isteri nelayan tetap menjalankan
fungsi‐fungsi ekonomi dalam kegiatan penangkapan di perairan dangkal (seperti beach
seine), pengolahan ikan, maupun kegiatan jasa dan perdagangan. Pollnac (dalam Satria,
2002) menyatakan bahwa terdapat pembagian kerja keluarga nelayan adalah nelayan pria
menangkap ikan dan anggota keluarga wanita menjual hasil ikan hasil tangkapan tersebut.

Peran wanita merupakan faktor penting dalam menstabilkan ekonomi di beberapa masyarakat
penangkap ikan karena pria mungkin hanya menangkap ikan kadang ‐kadang, sementara
wanita bekerja sepanjang tahun. Bahkan isteri nelayan tersebut dominan juga dalam
mengatur pengeluaran rumah tangga sehari ‐hari sehingga sudah sepatutnya peranan isteri ‐
isteri nelayan tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam setiap program pemberdayaan.

Memang isteri nelayan pada umumnya hanya menjalankan fungsi domestik dan ekonomi dan
tidak sampai pada sosial politik. Namun, jika dicermati, sebenarnya isteri nelayan kreatif juga
dalam menghasilkan pranata sosial yang penting bagi stabilitas sosial komunitas nelayan. Hal
ini dapat dilihat pada banyaknya acara pengajian, arisan, serta simpan pinjam yang berperan
besar dalam membantu mengatasi penghasilan nelayan yang tidak pasti (Kusnadi dalam
Satria 2002).

4. Posisi Sosial Nelayan

Posisi sosial nelayan dalam kebanyakan masyarakat pada status yang relatif rendah.
Rendahnya posisi nelayan secara kultural digambarkan Firth (dalam Satria, 2002) yang
menggolongkan nelayan sebagai peasant yang memiliki karateristik, “disrespect, implying
not merely a low economic level and small ‐scale semi ‐subsistence production, but also a low
cultural, even intelectual position”.
2.7. Pengertian dan Penggolongan Nelayan

Ditjen Perikanan (dalam Satria, 2002) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara
aktif melakukan pekerjaan penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Adapun orang
yang melakukan pekerjaan seperti membuat jaring atau ke alat ‐alat perlengkapan ke dalam
perahu/kapal tidak dikategorikan sebagai nelayan. Sementara itu, ahli mesin dan juru masak
yang bekerja diatas kapal penangkap disebut nelayan meskipun mereka tidak secara langsung
melakukan penangkapan ikan. Sama dengan penangkapan ikan pada kegiatan
pembudidayaan, orang yang disebut petani ikan adalah orang yang melakukan pekerjaan
pemeliharaan ikan sebagai anggota rumah tangga maupun buruh/tenaga kerja.

Selanjutnya, Ditjen Perikanan (dalam Satria, 2002) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan


waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan, yaitu:

1. Nelayan/petani ikan penuh adalah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk
melakukan pekerjaan operasi penangkapan/ pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman
air.

2. Nelayan/petani ikan sambilan utama adalah orang yang sebagian besar waktu kerjanya
digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/ pemeliharaan ikan/binatang air
lainnya/tanaman air.

3. Nelayan/petani ikan sambilan tambahan adalah orang yang sebagaian kecil waktu kerjanya
digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/ pemeliharaan ikan/binatang air
lainnya/tanaman air.

Dari status penguasaan kapital, menurut Satria (2002) nelayan dapat kita bagi menjadi
nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang
memiliki sarana penangkapan, seperti kapal/perahu, jaring, dan alat tangkap lainnya.
Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam
kegiatan penangkapan ikan di laut, atau sering kita sebut sebagai anak buah kapal (ABK).

Pollnac (dalam Satria, 2002) pernah membedakan nelayan ke dalam dua kelompok; nelayan
besar (large scale fisherman) dan nelayan kecil (small scale fisherman). Pembedaan ini
berdasarkan respon untuk mengantisipasi tingginya risiko dan ketidakpastian. Melihat bahwa
pengelompokkan Pollnac kurang memadai untuk konteks negara berkembang seperti
Indonesia, Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi empat tingkatan yang dilihat
kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan
produksi.
Pertama, peasant fisher atau nelayan tradisonal yang biasanya lebih berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence) dan bukan diinvestasikan kembali untuk
pengembangan skala usaha. Umumnya mereka menggunakan alat tangkap tradisional dayung
atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja
utama.

Kedua, dengan berkembangnya motorisasi perikanan, nelayan pun berubah dari peasant
fisher menjadi post‐peasant fisher yang dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan
ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor. Penguasaan sarana perahu motor
itu semakin membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang
lebih jauh dan memperoleh surplus dari hasil tangkapan itu karena mempunyai daya tangkap
lebih besar. Umumnya, nelayan jenis ini masih beroperasi di wilayah pesisir. Pada jenis ini,
nelayan sudah berorientasi pasar. Sementara itu, tenaga kerja atau ABK ‐nya sudah meluas
dan tidak bergantung pada anggota keluarga saja.

Ketiga adalah commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan
keuntungan. Skala usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya tenaga kerja
dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang digunakanpun lebih
modern dan membutuhkan kealhlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat
tangkapnya. Contohnya nelayan purse seine di Pekalongan.

Keempat adalah industrial fisher yang pengertiannya dapat mengacu pada Pollnac, yaitu: a)
diorganisasi dengan cara‐cara yang mirip dengan perusahaan agroindustri di negara ‐negara
maju; b) secara relatif lebih padat modal; c) memberikan pendapatan yang lebih tinggi
daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak perahu; dan d)
menghasilkan ikan untuk kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.

Nelayan skala besar dicirikan dengan majunya kapasitas teknologi penangkapan maupun
jumlah armadanya. Mereka lebih berorientasi pda keuntungan (profit oriented) dan
melibatkan buruh nelayan sebagai ABK dengan organisasi kerja yang kompleks.
BAB III

KONFLIK DAN ANATOMI KONFLIK

3.1. Definisi Konflik

Kriesberg (1998) menyatakan bahwa konflik sosial muncul (exist) ketika dua orang atau
kelompok atau lebih menunjukkan bahwa mereka memiliki kepercayaan yang berbeda.
Menurut Soerjono dalam Darwin (2005), konflik adalah suatu proses terjadinya pertentangan,
kekuasaan, kedudukan, dan seterusnya, di mana salah satu pihak berusaha menghancurkan
pihak lain. Robbin dalam Darwin (2005), memberikan definisi konflik secara lebih luas, yaitu
konflik dikatakan sebagai suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak
lain yang memberikan pengaruh negatif kepadanya atau tatkala suatu pihak merasa
kepentingannya itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lain. Dalam pengertian
tersebut, wujud konflik mencakup rentang yang amat luas: mulai dari ketidaksetujuan yang
samar‐samar, sampai dengan tindakan kekerasan. Pendek kata setiap perbedaan itu
merupakan potensi konflik, yang jika tidak ditangani secara baik, potensi konflik itu bisa
berubah menjadi konflik terbuka.

Konflik juga diartikan sebagai benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang
disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya. Konflik
seringkali mengandung konotasi negatif, yang cenderung diartikan sebagai lawan kata dari
pengetian kerjasama, harmoni, dan perdamaian, sehingga konflik acapkali diasosiasikan
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (Maskanah dan Fuad, 2000).

Konflik timbul saat beberapa pihak percaya aspirasi mereka tidak dapat diraih bersama, atau
merasa adanya perbedaan dalam tata nilai, kebutuhan atau kepentingan mereka. Pihak ‐pihak
tersebut dengan sengaja menggunakan kekuasaan mereka dalam usaha saling menyingkirkan,
menetralkan atau mengubah untuk melindungi atau meningkatkan kepentingan mereka dalam
interaksi ini (Mark Anstey dalam Mochran, 2003).

3.2. Teori‐ Teori Konflik

3.2.1. Teori Karl Marx

Magnis‐Suseno dalam Darwin (2005), konsep pemikiran Karl Marx tentang konflik
merupakan pembuka jalan menuju suatu perubahan sosial. Konsep pemikiran Karl
Marx mengenai konflik dan perubahan sosial salah satunya adalah mengenai konsep
kelas sosial (social class). Kelas sosial dalam tatanan masyarakat ditentukan oleh
posisi seseorang dalam proses produksi, dimana dikenal dua tingkat kelas sosial yaitu
kelas atas sebagai pemilik alat‐alat produksi/majikan dan kelas bawah sebagai pelaku
produksi/buruh/kaum proletar. Pelaku‐pelaku utama perubahan sosial bukan individu‐
individu tertentu melainkan kelas‐kelas sosial sehingga kelas‐kelas sosial inilah yang
merupakan aktor sejarah. Dalam hubungan kekuasaan, kelas atas lebih berkuasa dari
kelas bawah, karena mereka memiliki kekuasaan untuk meniadakan kesempatan
buruh bekerja. Kesempatan ini digunakan untuk menindas buruh untuk bekerja
seluruhnya untuk mereka, sehingga buruh dianggap sebagai kaum tertindas dan
majikan sebagai kaum penindas.

Pertentangan antara kelas buruh dan kelas majikan lebih disebabkan karena
kepentingan dua kelas itu secara obyektif berlawanan satu sama yang lain. Majikan
berkepentingan untuk mengusahakan laba sebanyak‐banyaknya dengan menekan
biaya tenaga kerja buruh, sebaliknya buruh berkepentingan untuk mendapat upah
sebanyak‐banyaknya. Perbedaan kepentingan tersebut menurutnya tidak dapat
diselesaikan dengan cara musyawarah atau perubahan sikap tetapi melalui perubahan
struktur kekuasaannya. Kelas atas tidak mungkin merelakan peranannya maka sebuah
perubahan sistem sosial hanya dapat diakhiri dengan jalan kekerasan melalui revolusi.
Kondisi ini akan mengancam posisi kelas atas sehingga mereka cenderung bersikap
konservastif, sedangkan kelas bawah akan bersifat progresif dan revolusioner,
sehingga kelas atas berusaha mempertahankan status quo untuk menentang segala
perubahan dalam struktur kekuasaan.

Salim dalam Darwin (2005) dalam konsepsi Karl Marx, perubahan sosial ada pada
kondisi historis yang melekat perilaku manusia secara luas. Tepatnya, sejarah
kehidupan material manusia, karena pada hakekatnya perubahan sosial dapat
diterangkan dengan hubungan sosial yang berasal dari pemilikan modal dan material.
Perilaku seseorang dalam membentuk sejarah dipengaruhi oleh kondisi materi yang
dimiliki atau motif materi menyebabkan perilaku seseorang dalam suatu periode
sejarah. Konsep ini lebih dikenal dengan sebutan Historical Materialism. Menurut
Awang dalam Darwin (2005), analisis Marx lebih kepada eksplorasi konflik material
dari kekuatan‐kekuatan ekonomi yang berasal dari kelompok pemegang modal
(majikan) dan kelompok pekerja. Marx meyakini bahwa perbedaan kelas ditentukan
oleh sistem ekonomi.

3.2.2. Teori Max Weber

Pemikiran Max Weber (dalam Darwin, 2005), yang dapat berpengaruh pada teori
perubahan sosial adalah bentuk rasionalisme yang dimiliki. Terutama dalam
kehidupan masyarakat barat yang bersifat operational‐teknis perilakunya terus‐
menerus diperbaiki. Menurutnya bentuk rasional meliputi mean (alat) yang menjadi
sasaran utama dan ends yang meliputi aspek kultural, sehingga pola pikir rasional ada
pada perangkat alat yang dimiliki dan kebudayaan yang mendukung kehidupannya.
Dalam sepanjang sejarah kehidupan Purposive Rationality yaitu suatu bentuk rasional
yang paling tinggi dengan unsur pertimbangan pilihan yang rational sehubungan
dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipilihnya bisa menggerakkan banyak
perubahan sosial, mengubah perilaku kehidupan orang‐perorang secara kontekstual.
Unsur rational yang paling banyak diikuti oleh masyarakat adalah unsur materi atau
ekonomi. Bagi Weber dalam masyarakat terdapat pengelompokan‐pengelompokan
berdasarkan kepentingan tertentu yaitu:

• Class (pengelompokan berdasarkan ekonomi)

• Status (pengelompokan berdasarkan kondisi dan kepentingan sosial)

• Party (pengelompokan berdasarkan kepentingan kekuasaan politik)

Menurut Weber (dalam Darwin, 2005), stratifikasi masyarakat menurut status


berbeda dari stratifikasi menurut ekonomi, meskipun posisi kelas ekonomi dan
kedudukan status saling berhubungan erat, namun tidak selamanya demikian.
Kadang‐kadang ukuran uang tidak dapat menentukan status kelas atau prestise yang
tinggi dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan politik kekuasaan Weber
menganggap dimensi ini bisa tumpang tindah dengan salah satu atau keduanya dalam
banyak situasi, namun secara analitik berbeda dan bisa berdiri sendiri. Menurut
Weber kekuasaan adalah kemampuan untuk mengatasi perlawanan dari orang lain
dalam mencapai tujuan‐tujuan seseorang khususnya dalam mempengaruhi perilaku
mereka. Orang mungkin berjuang untuk memperoleh kekuasaan saja atau kekuasaan
sebagai alat untuk meningkatkan posisi ekonomi atau statusnya.

Menurut Awang dalam Darwin (2005), Weber beranggapan bahwa politik itu sebagai
sarana perjuangan untuk bersama‐sama melaksanakan politik atau perjuangan untuk
mempengaruhi cara‐cara distribusi kekuasaan, baik antar negara maupun antara
kelompok‐kelompok di dalam suatu negara. Oleh karena itu Weber menekankan
kepada pelaksanaan kekuasaan dan bagaimana memperoleh legitimasinya.

3.2.3. Teori Emille Durkhem

Untuk mengatasi dampak perubahan sosial yang sangat cepat, Emile Durkhem (dalam
Darwin, 2005) menawarkan suatu kajian sosiologi perubahan sosial yang merupakan
hasil rekayasa dan perubahan sosial yang stabil dengan tetap berlandaskan kepada
status quo, yaitu melalui pendekatan sistem. Pendekatan ini adalah untuk
menanggulangi segala sesuatu sebelum terjadi menjadi lebih parah.

Dalam pendekatan ini masyarakat dianalogikan sebagai living organism (konsep


biologi pada kehidupan sosial), dimana mahkluk hidup memiliki organisme yang
hidup dalam tatanan sistem, masing‐masing organ memiliki fungsi sendiri‐sendiri
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Jika satu organ tidak berfungsi
akan mempengaruhi fungsi organ yang lain. Begitu juga dalam proses perubahan
sosial, suatu bentuk perubahan apapun akan menimbulkan perubahan yang lain.
Dalam pendekatan sistem ini tidak mengisyaratkan adanya perubahan dari dalam
karena perubahan dianggap selalu datang dari luar, sehingga dikenal adanya systemic
approach yang meliputi:

a. Balanced and Equilibrium, yaitu suatu keadaan dimana diutamakan


terjadinya keseimbangan kekuatan sehingga tidak terjadi perubahan sosial yang
mengarah pada penghancuran sistem yang ada.

b. External factor, yaitu faktor‐faktor di luar sistem yang diproyeksikan selalu


menjadi faktor penyebab utama proses perubahan sosial.

c. Consensus, yaitu suatu proses pencapaian kesepakatan sosial dari orang‐


orang atau lembaga yang terlibat dalam konflik sosial.

Berbeda dengan analisa Karl Mark mengenai pertentangan antar kelas, dalam konsep
kelas menurut Durkhem berfungsi untuk saling melengkapi, karena pada hakekatnya
dalam masyarakat tidak pernah terjadi pertentangan (keharmonisan), semua masalah
dapat diselesaikan dengan peningkatan solidaritas antar kelompok.

3.2.4. Teori Ralf Dahrendorf

Doyle dalam Darwin (2005) berpendapat bahwa teori Dahrendorf bertolak dari teori
Karl Marx, tetapi Marx mendasarkan teorinya mengenai pembentukan kelas pada
pemilikan alat produksi, sedangkan Dahrendorf berpendapat bahwa kontrol atas alat
produksi merupakan faktor yang penting, dan kontrol bukan berasal dari kepemilikan
tetapi dari kedudukan posisi otoritasnya.

Pendekatan Dahrendorf berlandas pada asumsi bahwa semua sistem sosial itu
“dikoordinasi secara imperatif” dengan hubungan otoritas. Selain itu Dahrendorf
menunjukkan adanya perkembangan‐perkembangan yang tidak diramalkan Marx
meliputi heterogenitas tenaga kerja yang semakin tinggi; bertambahnya persamaan
dalam bidang politik dan meningkatnya arti hak‐hak politik; meningkatnya
kemakmuran materiil untuk sebagian besar masyarakat, berdirinya mekanisme
institusional untuk merembukkan isu‐isu konflik kelas.

Dalam dinamika konflik Dahrendorf setuju dengan pandangan Marx dimana jika
terjadi isu tertentu ada kecenderungan untuk menjadi dua kelompok yang utama yang
tidak dapat dielakkan lagi untuk berkonflik dimana masing‐masing kelompok itu
berada pada sisi yang saling bertentangan. Sadar atas posisi kelasnya maka orang
akan membentuk kelompok konflik kelas untuk berusaha mengubah struktur otoritas
itu. Keradikalan perubahan struktural berhubungan dengan intensitas dan kekerasan
konflik. Satu hal yang penting dalam hal ini adalah bahwa pengakuan yang eksplisit
akan isu‐isu konflik dan menegakkan mekanisme untuk mengaturnya.

3.2.5. Teori Lewis Coser

Menurut Doyle dalam Darwin (2005), tujuan Coser yang utama adalah
memperlihatkan fungsi positif dari konflik dalam meningkatkan integrasi sosial.
Menurutnya konflik antar kelompok meningkatkan solidaritas internal dalam
kelompok‐kelompok yang berkonflik tersebut. Konflik juga merupakan suatu
rangsangan utama untuk suatu perubahan sosial. Poloma dalam Darwin (2005), Coser
melihat adanya suatu katup pengaman (Safety‐ Valve), yaitu mekanisme yang khusus
dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. “Katup‐
katup penyelamat” membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan
seluruh struktur. Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan keluar yang
meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan diantara pihak‐pihak yang
bertentangan akan semakin tajam.

3.3. Sumber‐sumber Konflik

Menurut Mochran (2003), konflik cenderung muncul dalam situasi dimana:

a. Sumberdaya langka

Jika sebuah komunitas atau bangsa tidak memiliki sumberdaya alam yang dapat
menjamin standar kehidupan yang layak untuk semua orang, maka konflik akan
cenderung terjadi akibat kompetisi antar kelompok atau individu untuk memperoleh
sumberdaya alam yang langka. Selain itu, konflik juga akan cenderung terjadi ketika
beberapa kelompok merasa dirinya dieksploitasi oleh kelompok lainnya dan
mendapat kesempatan yang berbeda. Konflik akan sumberdaya alam dapat diperparah
bila terdapat perbedaan salam pembagian sumberdaya dimaksud.

b. Kebutuhan (identitas) manusia terancam

Kebutuhan akan identitas berhubungan dengan bagaimana mereka secara individu


mengidentifikasikan diri mereka dalam hubungannya dengan agama, bahasa, budaya
dan kebangsaan mereka. Identitas individu seringkali dihubungkan dengan kelompok‐
kelompok, dan individu memiliki kecenderungan untuk melihat struktur‐struktur
kelompok, kepercayaan dan tingkah laku sebagai bagian kepanjangan identitas diri
mereka. Dengan demikian, apa saja yang mengancam identitas sebuah kelompok juga
mengancam identitas mereka. Konflik berdasarkan kebutuhan identitas umumnya
berakar sangat dalam dan tidak dapat ditawar‐tawar.

c. Adanya ketidakseimbangan struktural

Konflik sering terjadi ketika sumberdaya diatur dan diidistribusikan dengan tidak
sama. Ini terjadi saat kelompok yang dominan menggunakan kekuasaannya untuk
menyerobot masuk menempati posisi yang tidak seharusnya ditempati dan
menggunakan posisi ini untuk mengamankan distribusi sumberdaya yang tidak
seimbang tersebut.

d. Informasi yang tidak akurat

Banyak konflik yang terjadi dalam situasi‐situasi dimana kelompok‐kelompok yang


terlibat tidak memiliki akses yang memadai untuk mendapatkan informasi yang
mereka butuhkan utnuk membuat keputusan. Pihak‐pihak yang bertikai sering
menganggap informasi sebagai kekuatan dan tidak memiliki keinginan untuk
membagi informasi tersebut dengan lawannya.

e. Tujuan yang bersaing

Sangat wajar bahwa koflik muncul saat pihak‐pihak yang bertikai merasa mereka
memiliki tujuan yang bersaing yang mereka percaya tidak sesuai satu sama lain.

f. Hubungan antar sesama yang buruk

Faktor lain yang dapat meningkatkan ketegangan antara pihak‐pihak yang bertikai
adalah kemungkinan dendam pribadi antara para pemimpin. Jika ini terjadi, para
pemimpin cenderung tidak akan mengakui kebencian mereka terhadap lawannya dan
menyalahkan konflik karena sebab lain.

Sementara itu menurut Bromley (1997), semua permasalahan lingkungan adalah


masalah hak pemilikan, dan hampir semua konflik mengenai pengambilan
sumberdaya pesisir muncul sebagai akibat kesulitan dalam menjelaskan rezim
pemilikan (property regimes). Terdapat empat tipe rezim pemilikan menurut Bromley
dan Cernea (dalam Putra dan Idris, 2001), yaitu: 1) Open access property sebagai
milik semua orang, 2) Common property sebagai milik sekelompok orang yang
memiliki peraturan atau persetujuan yang tidak tertulis seperti hukum adat, 3) State
property sebagai milik negara, dan 4) Private property sebagai milik perorangan atau
swasta (company). Perbedaan tipe hak pemilikan tersebut menentukan kerangka kerja
pengelolaan pesisir dan aturan bagaimana pengelolaan tersebut berlangsung.
Perbedaan aturan yang sering berbeda satu sama lain inilah yang kerap memicu
konflik dalam pengelolaan pesisir.

Dorcey (dalam Mitchell et.al, 2000) juga menyebutkan beberapa penyebab dasar
konflik. Pertama, perbedaan pengetahuan atau pemahaman dapat mengarah pada
timbulnya konflik. Berbagai kelompok mungkin menggunakan model, perkiraan dan
informasi yang berbeda. Perbedaan fakta dan interpretasi dua kelompok terhadap
suatu keadaan akan dapat menimbulkan konflik tentang apakah telah mucul
persoalan, dan/atau penyelesaian persoalan manakah yang paling tepat.

Kedua, konflik dimungkinkan muncul karena perbedaan nilai. Dalam hal ini,
mungkin ada kesepakatan tentang bentuk suatu persoalan serta cara penyelesaiannya,
akan tetapi terjadi perbedaan yang pokok pada titik akhir yang dituju. Misalnya pada
kasus sumber daya air, satu kelompok mungkin mungkin meyakini bahwa
sumberdaya air dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin sejauh hal tersebut dapat
mendukung kegiatan ekonomi, baik industri ataupun pertanian. Kelompok lain
mungkin meyakini bahwa sejumlah air tertentu harus tetap dialokasikan untuk
kepentingan lain, terutama untuk menjamin kehidupan ikan dan berbagai kehidupan
air lainnya, atau untuk menjaga kesuburan lahan yang tergantung pada air tanah pada
musim kering.

Ketiga, perbedaan kepentingan dapat menimbulkan konflik meskipun berbagai


kelompok menerima fakta dan interpretasi yang sama, serta mempunyai kesamaan
nilai. Tetapi konflik dapat saja muncul akibat adanya perbedaan kepentingan. Dengan
kata lain, konflik muncul bukan karena perbedaan pengetahuan (misalnya disepakati
bahwa sumber air telah atau belum habis) atau karena perbedaan nilai (misalnya
bahwa pertumbuhan ekonomi penting untuk peningkatan lapangan kerja, akan tetapi
karena perbedaan tentang siapa yang diuntungkan atau siapa yang dirugikan).

Keempat, konflik dapat muncul karena adanya persoalan pribadi atau karena latar
belakang sejarah. Dalam suatu kasus misalnya, satu kelompok mungkin telah sekian
lama memendam kemarahan karena kelompok lain pernah menghalangi atau
menghambat kepentingan mereka. Sebagai akibatnya, mungkin pada suatu saat
kelompok yang pernah dirugikan tersebut akan membalas dendam atau berusaha
mendapatkan kembali peluang yang dulu pernah diserobot oleh kelompok lain.

Konflik tidaklah selalu berkonotasi kurang baik. Konflik, dalam banyak hal, dapat
membantu dalam mengidentifikasi permasalahan apabila suatu proses atau prosedur
mengalami jalan buntu. Konflik juga dapat merupakan rambu–rambu bagi para
penganalisa atau manajer untuk senantiasa menyadari akan adanya perbedaan, baik
pandangan maupun nilai‐nilai (Dorcey dalam Mitchell et.al., 2000).

3.4. Wujud dan Jenis Konflik

Konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), dan terbuka (manifest). Konflik
tertutup dicirikan dengan adanya tekanan‐tekanan yang tidak tampak, tidak
sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke permukaan. Konflik terbuka
(manifest) adalah perselisihan dimana pihak‐pihak yang berselisih teridentifikasikan.
Konflik terbuka merupakan konflik di mana pihak‐pihak berselisih terlibat secara
aktif dalam perselisihan yang terjadi. Menurut level permasalahannya, terdapat dua
jenis konflik yakni konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal adalah
konflik yang terjadi apabila pihak yang dilawan oleh salah satu pihak berada pada
level yang berbeda, sedangkan konflik horizontal adalah konflik yang terjadi antara
sesama anggota masyarakat (Maskanah dan Fuad, 2000).

Dalam hal pemanfaatan sumberdaya pesisir, Husein dalam Darwin (2005)


mengkategorikan konflik kepentingan multi pengguna ruang di pesisir dan pulau‐
pulau kecil ke dalam tiga pendekatan konflik: 1). Konflik fungsional; konflik ini pada
dasarnya mempertentangkan antara kepentingan ekonomi dan ekologi. 2). Konflik
pengelolaan yaitu konflik yang diakibatkan ketidakjelasan batas kewenangan
pengelolaan ruang/lahan pesisir dan pulau‐pulau kecil. 3). Konflik invidu, yaitu
konflik yang ditimbulkan akibat dari paradigma berfikir yang menganggap bahwa
sumberdaya pesisir dan pulau‐pulau kecil adalah sebagai barang bebas yang dapat
dikelola dan dimanfaatkan oleh siapa saja.
Menurut Cicin‐sain dan Knecht (1998), konflik yang sering terjadi di wilayah pesisir
dan berkaitan dengan sumberdayanya dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:
(1) konflik di antara pengguna yang mengenai pemanfaatan daerah pesisir dan laut
tertentu, dan (2) konflik di antara lembaga pemerintah yang melaksanakan program
yang berkaitan dengan pesisir dan laut.

Miles (dalam Cicin‐sain dan Knecht, 1998) menambahkan bahwa konflik antar
pengguna mencakup: (1) kompetisi terhadap ruang dan sumberdaya pesisir dan laut,
(2) dampak negatif dari suatu kegiatan pemanfaatan terhadap kegiatan yang lain, dan
(3) dampak negatif terhadap ekosistem.

Sementara konflik antar lembaga menurut Miles, sering kali disebabkan oleh
ketidakjelasan mandat hukum dan misi yang berbeda, perbedaan kapasitas, perbedaan
pendukung atau konstituensi, serta kurangnya komunikasi dan informasi (Cicin‐sain
dan Knetch, 1998).

3.5. Tahapan Konflik

Mochran (2003) membagi tahapan perkembangan konflik menjadi:

Tahap 1: Konflik Laten

Konflik laten terjadi pada satu kondisi yang memiliki potensi untuk menghasilkan
konflik, tetapi belum disadari oleh pihak‐pihak yang terlibat. Konflik laten dapat
muncul ketika suatu kelompok memutuskan untuk mengejar suatu tujuan tertentu,
tanpa menyadari tujuan ini bertentangan dengan tujuan kelompok yang lainnya.
Konflik laten dapat juga terjadi saat kebutuhan masyarakat diabaikan, tetapi mereka
belum menyadari atau belum meminta perhatian tentang masalah kebutuhan ini.

Tahap 2: Konflik Mulai Muncul

Konflik akan memasuki tahap kedua saat kelompok‐kelompok merasa mereka


memiliki tujuan yang tidak sesuai atau saat salah satu dari kelompok memutuskan
bahwa kondisi ini tidak adil dan mereka tidak ingin lagi mendukung status quo.
Dibeberapa masyarakat yang tertindas, mereka menerima aturan dari kelompok‐
kelompok yang dominan untuk waktu yang lama. Begitu mereka sadar tentang
eksploitasi diri mereka, mereka mulai menyadari kebutuhan akan perubahan. Konflik
terlihat muncul saat salah satu kelompok mulai mengungkapkan kebutuhan akan
perubahan, sementara pihak lainnya menetapkan bahwa setiap perubahan akan
ditolak.
Tahap 3: Konflik tanpa Kekerasan

Konflik masuk tahap ketiga saat salah satu pihak mulai menggunakan kekuasaannya
guna membawa perubahan, sedangkan yang lain siap menahannya. Pada tahap ini
sering terjadi ancaman‐ancaman dan usaha‐usaha pihak‐pihak yang bertikai untuk
meyakinkan yang lain agar menyerah. Mereka juga berusaha meyakinkan pihak luar
bahwa tujuan mereka adil, dengan harapan tekanan dari luar dapat memaksa untuk
melepaskan posisinya.

Tahap 4: Konflik dengan Kekerasan

Dalam banyak kasus konflik tidak pernah memasuki tahap terakhir, yaitu konflik
dengan kekerasan. Hal ini dapat meningkatkan pertimbangan taruhan yang ada dan
membuat tugas untuk mencari pemecahan menjadi jauh labih sulit. Meningginya
emosi, hilangnya nyawa dan kerusakan harta benda membuka lingkup baru yang
dapat berpengaruh besar pada pihak‐pihak yang bertikai untuk mencari penyelesaian
yang dapat memuaskan mereka.

3.6. Anatomi Konflik Nelayan

Secara anatomis, konflik dalam masyarakat pesisir, khususnya nelayan, dapat


dikatagorikan ke dalam berbagai macam bentuk berdasarkan faktor‐faktor
penyebabnya. Berdasarkan studi di lima provinsi, Satria et.al (dalam Satria, 2002)
mengidentifikasikan, paling tidak, ada empat macam konflik:

1) Konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi antar kelas sosial nelayan dalam
memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground). Nelayan tradisional
merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan akibat perbedaan
tingkat penguasaan kapital. Hal ini dapat ditemukan di berbegai daerah dalam bentuk
konflik antara nelayan trawl dan nelayan tradisonal. Konflik tersebut terjadi akibat
pengoperasian kapal trawl di perairan pesisir yang sebenarnya wilayah penangkapan
nelayn tradisonal.

2) Konflik orientasi, yaitu konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki
perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya. Misalnya, antara nelayan yang
memiliki orientasi jangka panjang dan nelayan yang hanya berorientasi jangka
pendek. Cara‐cara pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan ditunjukkan
nelayan orientasi jangka panjang dalam wujud kepeduliannya terhadap lingkungan.
Sementara itu, nelayan yang hanya berorientasi jangka pendek seringkali melakukan
kegiatan pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan, misalnya dengan
menggunakan bom atau potassium cyanide. Konflik ini umumnya merupakan konflik
horizontal yang tidak didasarkan pada kelas.

3) Konflik agraria, yaitu konflik yang terjadi akibat perebutan fishing ground.
Konflik ini terjadi pada nelayan antar kelas maupun nelayan dalam kelas sosial yang
sama. Bahkan, konflik dapat terjadi juga antar nelayan dengan pihak bukan nelayan
seperti perusahaan penambangan pasir di Riau Kepulauan.

4) Konflik primordial, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas, etnik,
asal daerah, atau lainnya.Konflik ini seringkali disebut sebagai akibat diterapkannya
otonomi daerah. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, konflik identitas tersebut tidak
bersifat murni, melainkan tercampur dengan konflik kelas yang sebenarnya sudah
sering terjadi jauh sebelum diterapkannya otonomi daerah.
BAB IV

RESOLUSI KONFLIK

Menurut Mitchell et.al. (2003), ketika konflik/sengketa muncul berkaitan dengan berbedanya
kepentingan tentang alokasi sumberdaya dan lingkungan, paling tidak empat pendekatan
dapat dipakai untuk penyelesaiannya: (1) politis, dilakukan oleh politisi dan pengambil
keputusan yang melihat berbagai nilai dan kepentingan yang berbeda, kemudian mengambil
keputusan berdasarkan nilai dan kepentingan tersebut, (2) administrasi, dilakukan melalui
organisasi pengelolaan sumberdaya yang secara resmi dibentuk dan memberikan kesempatan
pada para birokrat untuk mengambil keputusan tentang satu sengketa, (3) hukum, dilakukan
melalui pendekatan alternatif penyelesaian pengaduan dan pengadilan, apabila pihak yang
bersengketa sudah begitu sulit untuk berdamai, bahkan sulit untuk mengadakan dialog satu
dengan yang lainnya, dan (4) alternatif penyelesaian masalah.

Mitchel et.al. (2003) menambahkan bahwa pendekatan alternatif penyelesaian konflik (APK)
muncul sebagai jawaban atas ketidakpuasan terhadap pendekatan hukum, juga sebagai
jawaban atas tumbuhnya kesadaran akan pentingnya partisipasi masyarakat lokal dalam
pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. APK juga dikembangkan untuk menghindari
model pihak pemenang dan pihak yang kalah, yang dihasilkan oleh pendekatan hukum.

Ada empat jenis APK, yaitu: (1) konsultasi publik, gagasan dasarnya adalah untuk saling
membagi informasi, meyakinkan bahwa berbagai pandangan dikemukakan, membuka proses
manajemen sehingga dapat berlangsung efisien dan adil, kesemuanya untuk meyakinkan
bahwa semua pihak mendapatkan kepuasan yang sama, (2) negosisasi, dilakukan ketika dua
atau lebih kelompok bertemu secara sukarela dalam upaya untuk mencari isu ‐isu yang
menyebabkan konflik diantara mereka, untuk kemudian meraih kesepakatan yang saling
diterima oleh semua pihak secara konsensus, (3) mediasi, mempunyai karakteristik (bentuk
khusus) dari negosiasi, ditambah dengan keterlibatan pihak ketiga yang netral (sebagai
mediator), dan (4) arbitrasi, berbeda dengan mediasi, pihak ketiga yang terlibat dan bertindak
sebagai arbitrator mempunyai keweanangan untuk mengambil keputusan, yang mengikat
maupun tidak mengikat.

Identifikasi permasalahan penting dilakukan sebelum merumuskan atau melakukan langkah‐


langkah penyelesaian. Fisher (dalam Satria, 2002) menjabarkan beberapa cara penyelesaian
menurut teori penyebab konflik:

1. Teori Hubungan Masyarakat

Dalam masyarakat yang heterogen, seringkali kegagalan dalam interaksi sosial karena
arogansi masing‐masing kelompok. Arogansi kelompok tersebut melahirkan polarisasi
berkepanjangan. Bahkan, tidak jarang pula diikuti dengan ketidakpercayaan dan permusuhan
antar kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Contoh konflik ini adalah perkelahian
antara warga dari dua wilayah yang berbeda.

Pada umumnya, kegagalan interaksi sosial terjadi karena kurangnya komunikasi dan saling
pengertian antar kelompok serta lemahnya toleransi antar kelompok. Akibatnya langkah‐
langkah penyelesaian konflik harus mengarah pada upaya ‐upaya terwujudnya komunikasi
yang kondusif serta meningkatkan saling pengertian dan toleransi antar kelompok. Upaya
penyadaran pun perlu dilakukan terhadap masing ‐masing kelompok agar kedua belah pihak
dapat saling memahami dan menerima keragaman yang ada didalamnya.

2. Teori Negosiasi Prinsip

Perbedaan kepentingan dan ketidakselarasan di antara dua pihak seringkali menimbulkan


konflik. Konflik jenis ini semakin rumit dengan adanya perbedaan pandangan di antara kedua
belah pihak berkenaan konflik itu sendiri. Hal ini terjadi karena salah satu atau kedua belah
pihak tidak dapat memisahkan perasaan pribadi dari berbagai masalah dan isu. Akhirnya,
seringkali permasalahan menjadi semakin berkembang karena ikut sertanya permasalahan
atau perasaan pribadi dalam konflik tersebut.

Hal utama yang menjadi kunci dalam menyelesaikan konflik menurut teori negosiasi prinsip
ini adalah obyektivitas kedua belah pihak dalam memandang permasalahan sehingga tidak
mencampuradukkan permasalahan pribadi kedalam isu dan permasalahan yang berkembang.
Oleh karena itu, upaya penyelesaian yang dapat dilakukan adalah melalui mediator yang
mencoba membantu kedua belah pihak dalam memilah ‐milah antara perasaan pribadi dari
permasalahan dan isu. Selain itu mediator berperan juga dalam memberikan fasilitas bagi
proses negosiasi di antara kedua belah pihak yang berkonflik dan mengarahkan keduanya
pada upaya pencapaian kesepakatan yang saling menguntungkan.

3. Teori Kebutuhan Manusia

Manusia dalam hidupnya memiliki tingkat kebutuhan hidup mulai dari kebutuhan dasar
(primer), kebutuhan sekunder hingga kebutuhan tersier (luxury). Secara garis besar,
kebutuhan dasar manusia dapat dikelompokkan menjadi kebutuhan fisik (makan, minum,
pakaia dan tempat tinggal), kebutuhan mental (beragama atau memiliki kepercayaan), dan
kebutuhan sosial (kebutuhan berkumpul, menyatakan pendapat dan menyandang identitas
tertentu). Kebutuhan dasar manusia itu harus terpenuhi karena menyangkut hajat hidup
manusia.

Isu‐isu pokok menyangkut kebutuhan manusia yang sering muncul dan menjadi pemicu
konflik adalah isu keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi. Konflik menurut
kebutuhan manusia akan terjadi jika kebutuhan mendasar setiap manusia dihambat atau
dibatasi seseorang atau suatu kelompok. Biasanya hambatan yang dirasakan akan
menimbulkan perlawanan dari kelompok yang terdiskriminasi untuk memperjuangkan hak‐
hak mereka.

Konflik ini akan selesai jika masing‐masing pihak yang berkonflik telah terpenuhi kebutuhan
dasarnya sehingga upaya penyelesaian yang perlu dilakukan adalah membantu pihak ‐pihak
yang berkonflik dalam mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Jika
semua kebutuhan dasar yang dipermasalahkan tidak dapat terpenuhi, pilihan ‐pilihan untuk
memenuhi kebutuhan itu pun dapat dibuat.

4. Teori Identitas

Dalam sejarah kehidupan manusia, seringkali terjadi upaya penghancuran suatu kelompok
masyarakat karena kekuasaan ataupun karena dendam sejarah karena penderitaan masa lalu.
Tindakan suatu kelompok dalam hal ini menjadi ancaman dan ketakutan bagi kelompok lain.
Dalam kondisi seimbang, kelompok‐kelompok yang bertikai akan selalu melancarkan
serangan‐serangan untuk mengalahkan lawannya.

Konflik identitas mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit, bahkan seringkali menelan
korban nyawa. Upaya rekonsiliasi yang sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik ini
sehingga diharapkan kedua belah pihak yang bertikai dapat mengurangi tindakan
kekerasannya. Proses rekonsiliasi akan tercapai jika kedua belah pihak mau bertemu dan
berdialog mengenai permasalahan yang dihadapi. Dalam dialog tersebut perlu
diidentifikasikan ancaman dan ketakutan yang dirasakan untuk membangun empati kedua
belah pihak. Sasaran yang hendak dicapai dalam upaya penyelesaian konflik ini adalah
pengakuan kebutuhan identitas pokok masing‐masing pihak yang bertikai.

5. Teori Kesalahpahaman Budaya

Keragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, selain sebagai pemersatu bangsa,
berpotensi juga menimbulkan konflik. Konflik dapat muncul jika terjadi kesalahpahaman
antar budaya disebabkan kurangnya pengetahuan tentang budaya lain. Selain itu, konflik
semacam ini muncul juga karena purwa rupa (stereotype) negatif yang dibentuk satu pihak
terhadap pihak lain yang mengurangi rasa saling menghormati di antara mereka.

Konflik ini sangat mudah berkembang karena menggugah fanatisme kedaerahan/etnis


masing‐masing individu. Konflik jenis ini sering terjadi di Indonesia, konflik entar etnis,
yang berujung pada tindakan anarkis dan saling menyakiti. Berbeda dengan teori hubungan
masyarakat, teori kesalahpahaman antar budaya menjelaskan upaya penyelesaian yang
dilakukan hendaknya diarahkan pada upaya menambah pengetahuan pihak ‐pihak yang
berpotensi konflik tentang budaya pihak lain. Selain itu, perlu dilakukan upaya untuk
mengurangi purwa rupa negatif pihak lain dengan mengefektifkan komunikasi antar budaya.

6. Teori Transformasi Konflik


Asumsi yang digunakan dalam teori transformasi konflik adalah konflik muncul akibat
ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah ‐masalah sosial, budaya, dan
ekonomi. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan ini seringkali terbangun dalam struktur sosial
suatu masyarakat sehingga subordinasi ini dirasakan sebagai tekanan yang terus menerus.
Hambatan struktural ini sangat sulit ditembus. Sasaran yang ingin dicapai untuk
menyelesaikan konflik ini menurut teori transformasi konflik adalah mengubah struktur yang
tidak setara dan tidak adil dalam sistem sosial, budaya maupun ekonomi itu.

Di samping itu, perlu juga menjalin hubungan dan sikap jangka panjang diantara pihak ‐pihak
yang berpotensi bertikai. Dewasa ini, upaya‐upaya untuk mengurangi ketidaksetaraan dan
ketidakadilan dalam masyarakat sangat marak dilakukan melalui program ‐program
pemberdayaan. Isu‐isu yang perlu dipromosikan dalam menyelesaikan konflik ini adalah isu
keadilan, perdamaian, rekonsiliasi, dan pengakuan yang dapat dilakukan melalui
pengembangan sistem sosial masyarakat.
BAB V

PENUTUP

KESIMPULAN

Pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang kini mulai bergeser dari SDA darat kearah

pemanfaatan SDA pesisir dan laut. Hal ini didasarkan pada alasan masih besarnya potensi

yang belum dieksploitasi dan telah terjadi degradasi lahan, hutan, dan air serta

kerusakan lingkungan yang mengancam kelestariannya akibat eksploitasi selama ini.

Kerusakan lingkungan hidup, khususnya wilayah pesisir dan laut ditengarai akibat

adanya kegagalan dasar dari komponen perangkat dan pelaku pengelolaan. Beberapa

kerusakan lingkungan di wilayah ini seperti pencemaran, rusaknya terumbu karang,

hilangnya sumber makanan ikan karena pencemaran, abrasi pantai, pendangkalan, alih

fungsi lahan, dan lain-lain.

Permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir pantai pada umumnya meliputi

terjadinya perubahan fungsi lahan, intrusi air laut, abrasi dan akresi pantai, kerusakan

dan berkurangnya luasan mangrove dan terumbu karang.

SARAN

Konflik dikawasan pesisir dan laut tidak akan terjadi apa bila proses pengelolaan
lingkungan pesisir dan laut dilakukan dengan lebih
memandang situasi dan kondisi lokal agar pendekatan pengelolaannya dapat

disesuaikan dengan kondisi lokal daerah yang akan dikelola. Karena setiap masyarakat

memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang dianut dan merupakan kearifan masyarakat

dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.


DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D.G., 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lautan. Pusat
Kajian Sumberdaya Peisisr dan Lautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Bromley, D.W. 1997. Environmental Problems in Southeast Asia: Property Regimes as


Cause and Solution. International Development Research Center, Ottawa, Canada.

Cicin‐sain, B dan Knecht, R.W. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concept
and Practice. Island Press, Washington, D.C.

Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat.


Kerjasama LIPI dengan Ditjen P3K DKP, Jakarta.

Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P. dan Sitepu, M.J. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Darwin, M. 2005. Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Pulau-pulau Kecil di Kecamatan


Siantan dan Palmatak Kabupaten Natuna. Tesis. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
(tidak diterbitkan).

Departemen Kimpraswil. 2003. Tinjauan Aspek Penataan Ruang Dalam Pengelolaan


Wilayah Laut dan Pesisir. Seminar Umum Dies Natalis ITS ke ‐43 di Surabaya, 8 Oktober
2003.

Kay, R. dan Alder, J. 1999. Coastal Planning and Management. Routledge, New York.

Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan dan Mentalitas. Gramedia, Jakarta.

Kriesberg, L. 1998. Constuctive Conflict: from Escalation to Resolution. Rowman &


Littlefield publisher Inc. Maryland.

Masakanah, S. dan F. H. Fuad. 2000 . Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan


Sumberdaya Hutan. Pustaka Latin Bogor.

Mitchell, B., Setiawan, B. dan Rahmi, D.W. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Mochran, D.B. 2003. Analisis Konflik dan Resolusi Konflik. Dalam Modul Pelatihan
ICZPM.

Satria, A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta.

Putra, S. dan I. Idris. 2001. Conflicts of Coastal Managementin North Sulawesi. Makalah
pada The 7th PRSCO Summer Institute/The 4th IRSA International Conference. Bali, 2002.

Anda mungkin juga menyukai