Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

HUKUM PERIKANAN DAN KELAUTAN

KONFLIK NELAYAN TRADISIONAL


ANTARA NELAYAN MODERN

Oleh:

Sarinah, S.Pi
NIM. 1906018011

PROGRAM PASCA SARJANA PERIKANAN DAN KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................3
1.1. Latar Belakang..........................................................................................3
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4
2.1. Konflik Nelayan........................................................................................4
2.2. Faktor-Faktor Penyebab Konflik Nelayan................................................4
2.3. Solosusi Penyelesaian Konflik Nelayan....................................................4
BAB III STUDI KASUS........................................................................................5
BAB IV PENUTUP................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................7

i
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah. Dialah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa,
pengatur segala urusan dan takdir. Oleh karena itu, sangat beralasan jika puncak
segala pujian tercurah kepada Engkau atas segala nikmat yang diberikan. Dengan
kucuran nikmat-Nyalah makalah ini dapat terselesaikan.
Dengan Maha Pengasih dan Penyayang-Nya Allah Azza Wa Jalla kami bisa
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ KONFLIK NELAYAN”.
Kami menyadari, dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan
kekurangan, yang disebabkan keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan
pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan pembaca
umumnya.

Malang, 9 Mei 2017

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan (lebih kurang 17.508 buah pulau besar dan
kecil) yang memiliki wilayah laut seluas 3.544.743,9 km persegi (UNCLOS 1982),
sedangkan wilayah daratan hanya seluas 1.910.931,32 km persegi atau sepertiga
wilayah laut Indonesia (kemendagri, Mel 2010). Dilihat dari data tersebut, seyogyanya
potensi kelautan mempunyai kontribusi besar dalam menyokong penghasilan
masyarakat pantai. Namun, dalam kenyataannya tidak demikian. Penghasilan
masyarakat maupun negara/daerah sebagian besar berasal dari sektorsektor non
perikanan. Rendahnya penghasilan nelayan tradisional sebagai salah satu sub sistem
masyarakat pedesaan pantai, karena teknologi penangkapan ikan laut pada umumnya
masih rendah atau masih menggunakan peralatan tradisional (Soemardjan, 1992).
Akibatnya, nelayan tradisional sedikit sekali memiliki penyangga ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan yang mendesak. Kehidupan mereka dari hari ke hari sangat
fluktuatif karena pendapatan dari hasil menangkap ikan selain rata-rata kecil juga
bersifat tidak pasti, apalagi pada saat musim badai datang. Kadang-kadang hingga
berhari-hari mereka tidak dapat melaut dikarenakan ombak dan angin yang sangat besar
dan kencang, sementara dapur mereka menuntut untuk terus mengepul. Lain halnya
dengan kehidupan nelayan modern, dimana mereka rata-rata merupakan keluarga yang
kaya, atau bisa dikatakan serba berkecukupan. Mereka mempunyai kapal-kapal motor
yang dilengkapi dengan alat tangkap ikan yang lumayan baik, dimana rata-rata dari
mereka menggunakan alat tangkap jaring trawl atau jaring pukat harimau. Dengan
menggunakan kapal bermotor yang lumayan besar, nelayan modern dapat menangkap
ikan hingga ke tengah laut dan bermalam hingga berhari-hari karena kapal mereka
dilengkapi dengan alat pendingin ikan. Dengan peralatan yang cukup eksploitatif, maka
hasil yang diperoleh juga tinggi. Dengan peralatan yang demikian maka hasil yang
ditangkap juga menjadi lebih banyak, lebih-lebih jika konsentrasi tangkapan pada jenis
ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. (Rokhmin,2001)

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, permasalahan penelitian
dirumuskan sebagai berikut :

3
1. Apa yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antara nelayan
tradisional dengan nelayan modern di Indonesia ?
2. Bagaimanakah bentuk penyelesaian konflik antara nelayan tradisional dan
nelayan modern tersebut ?
3. Bagaimanakah upaya-upaya Pemerintah Kota mengatasi konflik antara kedua
kelompok nelayan tersebut ?

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Konflik Nelayan


Soekanto (2002) memberikan definisi konflik sebagai suatu proses sosial
dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan
menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan. Faktor penyebab
utama terjadinya pertentangan adalah perbedaan individu yang meliputi perbedaan
pendirian dan perasaan, perbedaan budaya yang berpengaruh pada kepribadian setiap
individu, perbedaan kepentingan (dalam ekonomi, politik, dan lain sebagainya), dan
perubahan sosial terhadap nilai dalam masyarakat. Perbedaan individu dan budaya
terjadi karena perbedaan lingkungan yang membentuk kedua belah pihak yang
melahirkan prinsip, nilai, kebiasaan atau tata cara yang berbeda. Biasanya konflik akan
terjadi jika masing-masing pihak tidak dapat menerima atau menghormati prinsip atau
sistem nilai yang dimiliki pihak lain sehingga muncul keinginan untuk mengubah sistem
nilai itu.

2.2. Jenis Konflik dan Faktor yang Mempengaruhinya


Secara umum konflik antarnelayan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat)
macam, yaitu : (1) konflik kelas, (2) konflik orientasi, (3) konflik agraria, dan (4)
konflik primordial. Konflik kelas atau disebut juga konflik vertikal, yakni konflik antara
nelayan perikanan industri dengan nelayan perikanan rakyat. Hal ini biasanya dipicu
oleh perbedaan upaya tangkap (effort), yang dicerminkan oleh ukuran kapal dan
penerapan teknologi. Pada perikanan industri, kapal yang digunakan berukuran relatif
besar dan menerapkan teknologi maju. Sedangkan pada perikanan rakyat, kapalnya
lebih kecil dan teknologi yang diterapkan sederhana. Perbedaan ini mengakibatkan
timbulnya kecemburuan sosial, karena hasil tangkapan nelayan perikanan industri lebih
banyak dibanding perikanan rakyat. Disamping itu, nelayan perikanan rakyat merasa
khawatir hasil tangkapannya akan semakin menurun karena sumber daya ikan yang
tersedia ditangkap oleh kapal-kapal berukuran besar.

Konflik orientasi yaitu konflik antara nelayan yang berorientasi pasar dengan
nelayan yang masih terikat nilai-nilai tradisional. Nelayan yang berorientasi pasar
biasanya mengabaikan aspek kelestarian untuk mendapatkan hasil tangkapan sebanyak-

5
banyaknya. Dalam praktiknya, nelayan tersebut sering menggunakan alat tangkap yang
merusak sumber daya ikan dan lingkungannya, misalnya bahan peledak dan bahan
beracun. Di sisi lain, sebagian nelayan sangat peduli terhadap kelestarian sumber daya
ikan, sehingga mereka menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.

Konflik agraria yaitu konflik perebutan penangkapan (fishing ground), biasanya


terjadi antarnelayan yang berbeda domisilinya. Konflik seperti ini yang sekarang sedang
marak, sebagai dampak euforia otonomi daerah. Sedangkan konflik primordial terjadi
sebagai akibat perbedaan identitas atau sosial budaya, misalnya etnik dan daerah asal.
Konflik ini agak kabur sebagai konflik tersendiri, karena seringkali sebagai selubung
dari konflik lainnya yakni konflik kelas, konflik orientasi maupun konflik agraria.

Keadaan sumber daya di suatu kawasan dipengaruhi oleh enam faktor utama, yaitu:
pranata pengelolaan sumber daya lokal, konteks sosial budaya, kebijakan Negara,
variable teknologi, tingkat tekanan pasar dan tekanan penduduk. Keenam faktor tersebut
mempengaruhi secara langsung terhadap keadaan sumber daya atau yang tidak langsung
dengan diperantarai oleh pranata lokal[7] .

Upaya pemerintah yang dilakukan lebih berorientasi pada pertumbuhan daripada


pemerataaan yang mengedepankan partisipasi masyarakat sebagai pelaku utama. Hal ini
terjadi saat pemerintahan Orde Baru. Ciri-ciri pembangunan Orde Baru dapat disimak
dari: (1) pola pembangunan yang sentralistik; (2) Negara sangat dominan terhadap
masyarakat; (3) pembangunan yang diterapkan secara seragam dengan mengabaikan
keanekaragaman atau pluralitas masyarakat dan kebudayaannya; (4) pendekatan yang
bersifat mobilisasi lebih diutamakan daripada partisipasi sosial.

2.4 Penyebab Konflik

Terjadinya konflik di masyarakat nelayan disebabkan salah satunya oleh kondisi


kepemilikan bersama sumber daya perikanan laut. Dalam hal ini keikutsertaan bersifat
bebas dan terbuka[9]. Sementara, Daniel Mohammad Rosyid[10] mengungkapkan ada 4
faktor penting yang menyebabkan terjadinya konflik anatara nelayan. Pertama, jumlah
nelayan dengan beragam alat tangkap serta ukuran kapal telah meningkat. Kedua, luas

6
wilayah operasi tidak bertambah luas karena teknologi yang dikuasai tidak berkembang.
Ketiga, telah mengalami kondisi tangkap lebih dan populasi ikan mulai menurun.
Keempat, kesalahan pemahaman atas implikasi dan perumusan Undang-Undang
mengenai otonomi daerah yang mengatur kewenangan pengelolaan wilayah perairan
laut.

Tiga faktor pertama sebagian dapat disebabkan oleh krisis ekonomi yang telah
menimbulkan pergeseran sektor ketenagakerjaan dari manufaktur ke perikanan tangkap.
Sementara over kapitalisasi operasi perikanan laut dalam pemanfaatan sumber daya laut
bersama, sudah berkurang potensinya. Sedang faktor keempat berkaitan dengan regulasi
yang mengatur pengelolaan laut sebagai sumber daya bersama.

Dari sisi kepentingan, konflik di wilayah pantai menjadi sangat tinggi terutama
setelah masuknya masyarakat non lokal yang cenderung memanfaatkan sumber daya
pantai secara intensif baik modal maupun teknologi dan kurang memperhatikan
kepentingan kelompok atau sektor/subsektor lain terutama masyarakat lokal. Sering
terjadi masyarakat lokal justru makin tersisihkan karena tidak mampu bersaing.

Sementara Ibrahim Ismail mengidentifikasi konflik menjadi 2 permasalahan pokok


yakni eksternal dan internal. Konflik terjadi akibat terusiknya kelangsungan usaha
masyarakat setempat karena beroperasinya kapal-kapal besar dari daerah sehingga
aktivitas keseharian nelayan setempat terganggu. Sedang kasus yang diakibatkan faktor
internal adalah konflik penggunaan alat penangkap ikan. Masalah ini yang sering terjadi
dibanyak daerah, dimana alat tradisional akan terlindas oleh nelayan yang menggunakan
alat yang dimodifikasi dan aktif seperti dogol atau cotok. Konflik tersebut sering kali
melibatkan dua kelompok nelayan yang berbeda teknologi untuk memperebutkan
daerah dan target penangkapan yang sama[.

2.5 Keberadaan UU Otonomi Daerah

UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah mengatur bahwa Pemerintah


Propinsi memiliki kewenangan pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai
ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, sedangkan pemerintah
kota/kabupaten berhak mengelola sepertiganya atau sejauh 4 (empat) mil. Ketentuan itu

7
mencerminkan adanya pergeseran paradigma pembangunan kelautan (termasuk
perikanan) dari pola sentralistik ke desentralistik.

Namun, konflik antarnelayan makin marak setelah lahirnya Undang-Undang No. 22


Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Namun demikian, karena operasionalisasi
desentralisasi pengelolaan wilayah laut belum tergambar secara jelas maka timbul
penafsiran yang berbeda-beda baik di kalangan pemerintah daerah maupun nelayan.
Gejala ini terlihat dari adanya beberapa pemerintah daerah yang mengeluarkan perijinan
di bidang penangkapan ikan yang diluar kewenangannya. Sementara, sebagian kalangan
nelayan menafsirkan otonomi daerah dalam bentuk pengkavlingan laut, yang berarti
suatu komunitas nelayan tertentu berhak atas wilayah laut tertentu dalam batas
kewenangan daerahnya, baik dalam pengertian hak kepemilikan (property rights)
maupun pemanfaatan (economic rights). Fenomena ini menyulut timbulnya konflik
antarnelayan.

Masalah yang mucul dengan adanya pemberian kewenangan wilayah laut kepada
daerah oleh, antara lain:

 Tidak sesuai dengan filosofis laut sebagai perekat dan pemersatu sehingga tidak
seharusnya boleh dibagi-bagi;
 Secara teknis akan sulit, karena titik-titik koordinat dan garis-garis batas memang
dapat digambarkan pada peta, tetapi pada pelaksanaannya (di laut) tidak mungkin
jelas, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman yang berakhir dengan konflik;
 Pengertian yang benar mengenai batas dan berbagai implikasinya tidak mudah
dipahami, baik oleh masyarakat umum maupun oleh pejabat.

Interprestasi UU No. 22 Tahun 1999 masih kurang jelas. Banyak pihak yang
mempertanyakan tentang Wilayah otonomi penangkapan ikan, sementara peraturan
pelaksanaan dari UU tersebut belum ada. Sehingga penguasaan wilayah perairan
ditafsirkan sebagai bentuk pengkavlingan laut. Sedang pada tingkat nelayan telah
menimbulkan konflik horisontal yang amat tajam.

2.6 Potensi Sumber daya Ikan versus Jumlah Nelayan

8
Potensi sumber daya ikan yang besar manajemen perikanan yang menganut asas
kehatian-hatian (precautionary approach). Dengan menetapkan JTB (Jumlah Tangkapan
yang Diperbolehkan) yang berasal dari perairan territorial dan perairan wilayah serta
perairan ZEEI. Potensi dan JTB di atas dimungkinkan mengalami perubahan ke arah
yang positif, yakni terjadi kenaikan. Asumsi bahwa potensi SDI di perairan Indonesia
sebesar 6,40 juta ton pertahun dan JTB sebesar 5,12 juta ton pertahun, maka
produktifitas nelayan di Indonesia diperkirakan rata-rata sebesar 1,35 ton/orang/tahun
atau ekivalen 6,63 kg/orang/hari (lama melaut 200 hari dalam 1 tahun)[16]. Rendahnya
produktifitas nelayan tersebut menyebabkan persaingan untuk mendapatkan hasil
tangkapan semakin lama akan semakin ketat, karena rezim pengelolaan sumber daya
ikan bersifat terbuka (open access).

Kondisi di atas dimungkinkan merupakan salah satu penyebab nelayan di negara


kita rentan terhadap konflik. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah strategis dan
komprehensif untuk mengatasi masalah ini, terutama guna melindungi nelayan
perikanan rakyat yang merupakan bagian terbesar dari seluruh nelayan dan tingkat
kesejahteraannya masih rendah.

2.7 Tangkapan Lebih (Over Fishing)

Pada tahun 2001 produksi ikan dari hasil penangkapan di laut mencapai 4,069 juta
ton. Tingkat Pemanfaatan SDI di Indonesia telah mencapai 63,49 % dari potensi lestari
sebesar 6,409 juta ton pertahun atau 79,37 % dari JTB sebesar 5,127 juta juta ton
pertahun. Pemanfaatan tersebut tidak merata untuk setiap Wilayah Pengelolaan
Perikanan, di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi over fishing seperti di Laut
Jawa dan Selat Sunda (171,72 %)[18].

Terjadinya over fishing telah mendorong nelayan yang biasa menangkap ikan di
perairan tersebut melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground)
lain yang masih potensial. Hal ini apabila tidak diantisipasi dapat menjadi faktor
pendorong timbulnya konflik antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal.

9
2.8 Perilaku/Motivasi

Seperti diketahui bahwa sebagian besar nelayan di Indonesia baik nelayan


perikanan industri maupun nelayan perikanan rakyat masih terlalu mengejar rente
ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya ikan. Hal ini mendorong nelayan untuk
menangkap ikan sebanyak-banyaknya dan mengabaikan aspek-aspek kelestarian,
meskipun di beberapa daerah berlaku kearifan-kearifan lokal (local wisdom),
pengetahuan lokal dan hukum-hukum adat. Dampak dari padanya, prinsip-prinsip
kanibalisme sering terjadi di laut dan konflik antarnelayan tidak dapat dihindari. Untuk
itu ke depan, pembangunan perikanan tangkap harus mampu merubah orientasi nelayan
ke arah yang lebih arif dan bijak dalam memanfaatkan sumber daya ikan, guna menjaga
kelestarian dan menghindari konflik.

2.9 Upaya Mengatasi Konflik

Dengan memperhatikan aspek sosial-budaya dan kepentingan ekonomi masyarakat


nelayan, pemikiran-pemikiran mengatasi konlik perebutan sumber daya perikanan laut
tidak mudah dilaksanakan. Prinsip yang harus dikembangkan untuk menghindari
konflik adalah strategi pemanfataan sumber daya harus mempertimbangkan pendekatan
yang menyeluruh tentang jumlah biaya, keuntungan yang dicapai dari proses
eksploitasi. Strategi harus memperhatikan interaksi positif antara kepentingan ekonomi
dan lingkungan.

 Pemberdayaan Nelayan

Salah satu pemicu timbulnya konflik antarnelayan adalah kondisi sosial


ekonomi dan motivasi/perilaku yang ada pada masyarakat nelayan. Untuk itu,
agar konflik dapat dihindari maka perlu dilakukan upaya-upaya yang mengarah
pada peningkatan kesejahteraan nelayan dan perubahan motivasi/perilaku ke arah
yang lebih positif. Upaya tersebut antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan
pemberdayaan (empowerment). Diharapkan dengan kegiatan pemberdayaan yang
dilakukan secara intensif dan berkesinambungan maka konflik antarnelayan dapat
dihindari.

 Relokasi

10
Sebagian besar armada perikanan berada di daerah yang padat penduduknya
dalam hal ini Pantai Utara Jawa Timur. Kondisi ini menyebabkan perairan di
sekitar daerah tersebut mengalami padat tangkap bahkan menunjukkan gejala over
fishing. Dampak dari padanya, di perairan tersebut sering terjadi konflik
antarnelayan karena perebutan daerah penangkapan (fishing ground). Oleh karena
itu perlu dilakukan pemindahan (relokasi) armada dari daerah sekitar perairan
yang sudah padat tangkap atau telah menunjukkan gejala over fishing ke perairan
lain yang masih surplus tingkat pemanfaatan sumber daya ikannya24.

Dengan adanya kegiatan ini maka diharapkan akan terjadi keseimbangan


tingkat pemanfaatan di masing-masing Wilayah Pengelolaan Perikanan, sehingga
pemanfaatan sumber daya ikan dapat dilakukan secara berkelanjutan dan konflik
yang disebabkan karena perebutan daerah penangkapan dapat dihindari.

 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat

Sumber daya ikan dapat mengalami degradasi bahkan pemusnahan apabila


dieksploitasi secara tidak terkendali, meskipun sumber daya ikan merupakan
sumber daya yang dapat pulih (renewable resources). Fenomena ini menimbulkan
kekhawatiran sebagian nelayan akan hilangnya mata pencaharian mereka,
sehingga memunculkan konflik dengan nelayan yang kurang peduli terhadap
kelestarian.

Penerapan manajemen perikanan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat


adalah keharusan, agar pemanfaatan sumber daya ikan dapat dilakukan secara
terus menerus dari generasi ke generasi. Pelibatan masyarakat secara penuh dalam
pemanfaatan sumber daya ikan (perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan
termasuk rehabilitasi dan konservasi) dimaksudkan agar seluruh stakeholders
merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelestarian sumber daya ikan.

 Pengembangan Usaha Alternatif

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari konflik antarnelayan


adalah pengembangan usaha alternatif, misalnya di bidang budidaya ikan,
pengolahan ikan, perbengkelan dll. Dengan adanya usaha alternatif diharapkan

11
nelayan akan memperoleh penghasilan tambahan, sehingga ketergantungan
terhadap hasil tangkapan ikan dapat dikurangi dan keinginan nelayan untuk
menangkap ikan sebanyak-banyaknya juga dapat ditekan.

Disamping itu, upaya ini dapat juga mengurangi jumlah nelayan kerena
beralih profesi ke usaha alternatif yang lebih prospektif. Berkurangnya jumlah
nelayan di daerah-daerah yang padat, seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur
Sumatera juga merupakan solusi untuk menghindari konflik.

 Peningkatan Nilai Tambah Ikan Hasil Tangkapan

Selama ini, dalam melakukan usaha penangkapan ikan, nelayan pada


umumnya lebih berorentasi pada jumlah (volume) hasil tangkapan, dibanding nilai
(value) hasil tangkapan tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya inefisiensi
(pemborosan) dalam pemanfaatan sumber daya ikan dan dapat menjadi pemicu
timbulnya konflik.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut
adalah meningkatkan nilai tambah melalui pembinaan mutu. Dengan
meningkatnya mutu diharapkan harga jual ikan akan mengalami kenaikan dan
pada gilirannya akan merubah orientasi nelayan dari mengejar jumlah tangkapan
ke margin pendapatan[24].

 Pengawasan dan Penegakan Hukum

Pemerintah melalui KepMen Pertanian No. 607 Tahun 1975 jo No. 392
Tahun 1999 tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan telah berupaya agar konflik
antarnelayan dapat dihindari. Dalam keputusan tersebut menjelaskan tentang
daerah penangkapan ikan di laut dibagi atas 3 (tiga) Jalur Penangkapan[25].

Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap keputusan tersebut


di atas dapat menghindari terjadinya konflik antarnelayan. Penegakkan aturan
hukum yang melarang penggunaan teknologi penangkapan yang merusak
lingkungan, yang juga dapat menyebabkan kecemburuan sosial dan meningkatkan
kesenjangan pendapatan diantara kelompok nelayan. Penegakan hukum harus
dibarengi dengan pengawasan yang ketat, bilamana terjadi pelanggaran peraturan

12
harus ditindak tegas, tentunya aturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan
ini harus jelas terlebih dulu, agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda.

13
BAB III
STUDI KASUS

3.1 Konflik Nelayan Di Jawa Timur Kec. Lekok Kab. Pasuruan

Konflik Kelas

Salah satu sumber konflik adalah pengoperasian alat tangkap tongep. Tongep
merupakan nama lokal untuk alat tangkap mini trawl. Berawal dari peristiwa
penangkapan kapal nelayan Wates yang diduga oleh bajak laut yang disewa oleh
nelayan Watu Prapat Kecamatan Nguling di sekitar perairan Nguling. Peristiwa ini
menimbulkan kekesalan di hati nelayan Wates. Kejadian serupa juga menimpa nelayan
Jatirejo ketika melaut di perairan Semedusari. Nelayan Semedusari menduga jaring
mereka hilang terbawa jaring tongep, sedangkan nelayan Jatirejo tidak merasa
demikian. Namun perahu, mesin dan alat tagkap Nelayan Jatirejo tetap disandera oleh
nelayan Semedusari. Nelayan Jatirejo yang berhasil melarikan diri kemudian
menceritakan kejadian tersebut kepada nelayan-nelayan lain di TPI. Merasa memiliki
kesamaan nasib dan rasa kekesalan yang sama, akhirnya nelayan Jatirejo dan nelayan
Wates dibantu oleh nelayan Galigung sepakat melakukan penyerangan ke Desa Watu
Prapat dan Desa Semedusari. Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, namun telah
melahap habis perkampungan nelayan yang berada di sekitar perairan. Penyerangan
yang dilakukan pada tanggal 8-9 April 2001 merupakan peristiwa konflik antarnelayan
lokal terbesar yang terjadi di Pasuruan. Untuk mencegah kejadian serupa, akhirnya pada
tanggal 10 April 2001 bertempat di Gedung Serbaguna Kabupaten pasuruan beberapa
tokoh masyarakat, tokoh agama, Bupati Pasuruan, Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Pasuruan, serta nelayan-nelayan yang bermasalah (Wates, Jatirejo,
Semedusari, Nguling dan Galigung) bertemu untuk melakukan kesepakatan/islah
bersama.

Konflik Usaha
Konflik yang terjadi antara nelayan dan non-nelayan ini dipicu oleh kecurangan-
kecurangan yang dilakukan oleh pangamba’ dan agen kepada nelayan payang jurung.
Kecurangan-kecurangan tersebut meliputi (1) Manipulasi penimbangan, seperempat

14
hingga setengah kilogram; (2) Harga ikan yang semula ditentukan oleh perusahaan kini
secara sepihak ditentukan oleh para agen seminggu sebelumnya; (3) Harga jual ikan
yang berbeda, harga jual ikan bagi nelayan yang memiliki hutang
Konflik Cara Produksi/Alat Tangkap
Salah satu sumber konflik yang menyebabkan terjadinya konflik antara nelayan
Lekok dan nelayan Kwanyar Kabupaten Bangkalan, Madura adalah perbedaan alat
tangkap. Nelayan Lekok menggunakan alat tangkap payang jurung yang merupakan
salah satu jenis alat tangkap aktif, sedangkan nelayan madura menggunakan jenis alat
tangkap pasif yaitu jaring rajungan, trammel nets. Konflik payang jurung dengan alat
tangkap pasif terjadi di Perairan Kwanyar Kabupaten Bangkalan. Pengoperasian payang
jurung mengundang protes nelayan Kwanyar karena mereka menduga payang jurung
merupakan alat tangkap terlarang (sejenis trawl yang dikenal dengan nama tongep) dan
telah merusak jaring-jaring mereka. Disisi lain nelayan Lekok membantah tuduhan
tersebut dan mengatakan bahwa hal tersebut digunakan sebagai alasan yang dibuat-buat
untuk menutupi rasa kecemburuan terhadap hasil tangkapan nelayan Lekok yang lebih
banyak dibandingkan hasil tangkapan nelayan setempat. Selanjutnya, aksi protes
nelayan Kwanyar diwujudkan dalam bentuk penyerangan fisik dan penyanderaan
perahu-perahu nelayan Lekok. Pengelolaan konflik yang dilakukan oleh dinas yaitu
dengan mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik, yang dihadiri oleh para tokoh
agama, tokoh masyarakat, bupati, Dinas Perikanan, AIRUD untuk melakukan
kesepakatan/islah.

Peran Pihak-pihak Non-Nelayan Dalam Penanganan Konflik


Dalam mengatasi konflik yang terjadi pada kasus konflik nelayan Lekok
kerapkali melibatkan intervensi beberapa pihak yang memiliki otoritas, diantaranya
pihak Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pasuruan, Polisi Perairan pos Lekok,
tokoh masyarakat, organisasi nelayan, kepala desa dan camat. Berikut ini akan
dijelaskan peranan pihak-pihak yang terlibat dan berwenang dalam penyelesaian
konflik.
Tabel 5. Peran dan Pengaruh Stakeholder Dalam Penanganan Konflik

No. Instansi/ status Peran Pengaruh


1. Dinas Mensosialisasikan hukum dan undang-
Perikanan dan undang perikanan Besar

15
Kelautan Mediator konflik`
2. Polisi perairan Penjaga keamanan wilayah perairan Kecil
3. Kyai Tokoh agama yang biasanya sebagai Besar
mediator dalam pananganan konflik
4. Tokoh Nelayan Wakil nelayan Besar
Penyampai aspirasi nelayan
5. Juragan Pemilik kapal Besar
6. Pangamba’ Pemberi kredit Besar
dan agen Tempat nelayan menjual ikan
7. Camat Institusi pemerintah Kecil
Mediator dan saksi islah konflik
8. Kepala Desa Institusi pemerintah Kecil
Mediator dan saksi islah konflik
Sumber: Diadaptasi dari Laporan Akhir Fakultas Perikanan UNBRAW dan
DISKANLA (2001)

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan

Dari analisa terhadap hasil temuan di lapang, maka ada beberapa hal yang dapat

16
disimpulkan:

1. Kelangkaan sumberdaya perikanan di perairan Lekok, menyebabkan nelayan Lekok


harus mencari sumberdaya perikanan di perairan lain sepanjang Selat Madura. onflik
yang terjadi di Lekok adalah konflik kelas, konflik cara produksi/alat tangkap dan
konflik usaha. Konflik kelas adalah konflik yang disebabkan oleh kesenjangan
teknologi penangkapan ikan. Intensitas konflik ini tergolong tinggi seiring dengan
konflik cara produksi/alat tangkap. Umumnya Konflik cara produksi/alat tangkap
adalah konflik yang disebabkan oleh perbedaan alat tangkap, baik sesama tradisional
yang merugikan salah satu pihak yang berkonflik. Sedangkan konflik usaha hanya
terjadi satu kali pada periode ini. Konflik usaha terjadi akibat permainan mekanisme
harga yang dilakukan oleh para pemilik modal kepada nelyan payang jurung.

2. Pemecahan konflik yang dilakukan oleh pihak pemerintah, dalam hal ini Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pasuruan, adalah melalui mediasi dengan
melibatkan tokoh masyarakat nelayan dan tokoh agama yang mempertemukan pihak-
pihak yang berkonflik. Disamping itu, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Pasuruan juga melakukan penyuluhan dan pembinaan pada nelayan mengenai
peraturan yang berlaku. Namun, untuk kasus konflik usaha penyelesaian konflik
dilakukan secara coercion, dimana pihak yang memiliki kekuatan, dalam hal ini
pemilik modal (agen dan pangamba’) memaksa pihak yang lemah (nelayan).
3. Keterlibatan pihak non-nelayan seperti Dinas Perikanan dan Kelautan, tokoh nelayan,
tokoh agama, juragan dan lain-lain dalam proses penyelesaian konflik dapat
dikatakan sangat dibutuhkan, mengingat pihak-pihak tersebut adalah para pemegang
kebijakan dan memiliki pengeruh penting dalam masyarakat. Dinas Perikanan dan
kelautan memiliki pengaruh yang besar dalam mendamaikan pihak yang bertikai.
Selain itu, Dinas Perikanan juga memiliki peran sebagai pihak yang mempunyai
tugas dalam sosialisasi hukum dan perundangan perikanan serta sebagai mediator
konflik. Demikian halnya dengan polisi perairan, pengaruh yang dimiliki juga besar
dalam menajga agar konflik tidak sampai meluas, meskipun seingkali terlambat
dalam mendeteksi adanya konflik. Camat dan Kepala Desa, meskipun keduanya
memiliki pengaruh yang kecil terhadap pemecahan konflik tetapi peran mereka

17
sebagai mediator konflik sangat diperlukan mengingat keduanya memegang jabatan
administrasi tertinggi di wilayah desa dan kecamatan. Kyai, Tokoh Nelayan, Juragan,
pangamba’ dan agen memiliki pengaruh dan peran yang sangat besar dalam
menyelesaikan konflik. Kyai sebagai tokoh agama yang biasa diminta sebagai
mediator dalam menangani konflik karena mampu meredam emosi dan seringkali
dapat mendamaikan pihak-pihak yang bertikai meskipun untuk sementara waktu.
Tokoh nelayan berperan sebagai wakil kelompok nelayan yang menyampaikan
aspirasi nelayan dalam musyawarah guna mencapai mufakat. Juragan sebagai
pemilik kapal cenderung dapat menyelesaikan konflik ringan seperti ganti rugi kapal
yang disandera. Pangamba’ dan agen sebagai tempat menjual ikan
pascapenangkapan dan pemberi kredit bagi para nelayan, selain dapat meredam
konflik juga dapat sebagai pemicu munculnya konflik.

18
BAB IV
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Konflik Nelayan sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok
berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai
dengan ancaman atau kekerasan. Faktor penyebab utama terjadinya pertentangan adalah
perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, perbedaan budaya
yang berpengaruh pada kepribadian setiap individu, perbedaan kepentingan (dalam
ekonomi, politik, dan lain sebagainya), dan perubahan sosial terhadap nilai dalam
masyarakat. Perbedaan individu dan budaya terjadi karena perbedaan lingkungan yang
membentuk kedua belah pihak yang melahirkan prinsip, nilai, kebiasaan atau tata cara
yang berbeda. Biasanya konflik akan terjadi jika masing-masing pihak tidak dapat
menerima atau menghormati prinsip atau sistem nilai yang dimiliki pihak lain sehingga
muncul keinginan untuk mengubah sistem nilai itu.

 DAFTAR PUSTAKA

Fisher S, Jawed L, Steve W, Dekha IA, Richard S, dan Sue Williams . 2001.

19
Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta: The
British Council.
Kinseng RA. 2006. Konflik Kelas di kalangan Kaum Nelayan di Indonesia (Sebuah
Catatan Awal). (Makalah). Disajikan pada Workshop Nasional Riset Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Bogor 2-3 Agustus 2006. Institut Pertanian
Bogor.
Satria A. 2006. Konflik Nelayan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.
Disampaikan pada FKPPS, DKP, Manado, 7-9 Desember 2006.
Sitorus MTF. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Bogor: Kelompok
Dokumentasi Ilmu Sosial, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian Institut Pertanian

20
21

Anda mungkin juga menyukai