Oleh:
Sarinah, S.Pi
NIM. 1906018011
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...........................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................3
1.1. Latar Belakang..........................................................................................3
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4
2.1. Konflik Nelayan........................................................................................4
2.2. Faktor-Faktor Penyebab Konflik Nelayan................................................4
2.3. Solosusi Penyelesaian Konflik Nelayan....................................................4
BAB III STUDI KASUS........................................................................................5
BAB IV PENUTUP................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................7
i
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah. Dialah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa,
pengatur segala urusan dan takdir. Oleh karena itu, sangat beralasan jika puncak
segala pujian tercurah kepada Engkau atas segala nikmat yang diberikan. Dengan
kucuran nikmat-Nyalah makalah ini dapat terselesaikan.
Dengan Maha Pengasih dan Penyayang-Nya Allah Azza Wa Jalla kami bisa
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ KONFLIK NELAYAN”.
Kami menyadari, dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan
kekurangan, yang disebabkan keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan
pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan pembaca
umumnya.
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
1. Apa yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antara nelayan
tradisional dengan nelayan modern di Indonesia ?
2. Bagaimanakah bentuk penyelesaian konflik antara nelayan tradisional dan
nelayan modern tersebut ?
3. Bagaimanakah upaya-upaya Pemerintah Kota mengatasi konflik antara kedua
kelompok nelayan tersebut ?
4
BAB II
PEMBAHASAN
Konflik orientasi yaitu konflik antara nelayan yang berorientasi pasar dengan
nelayan yang masih terikat nilai-nilai tradisional. Nelayan yang berorientasi pasar
biasanya mengabaikan aspek kelestarian untuk mendapatkan hasil tangkapan sebanyak-
5
banyaknya. Dalam praktiknya, nelayan tersebut sering menggunakan alat tangkap yang
merusak sumber daya ikan dan lingkungannya, misalnya bahan peledak dan bahan
beracun. Di sisi lain, sebagian nelayan sangat peduli terhadap kelestarian sumber daya
ikan, sehingga mereka menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.
Keadaan sumber daya di suatu kawasan dipengaruhi oleh enam faktor utama, yaitu:
pranata pengelolaan sumber daya lokal, konteks sosial budaya, kebijakan Negara,
variable teknologi, tingkat tekanan pasar dan tekanan penduduk. Keenam faktor tersebut
mempengaruhi secara langsung terhadap keadaan sumber daya atau yang tidak langsung
dengan diperantarai oleh pranata lokal[7] .
6
wilayah operasi tidak bertambah luas karena teknologi yang dikuasai tidak berkembang.
Ketiga, telah mengalami kondisi tangkap lebih dan populasi ikan mulai menurun.
Keempat, kesalahan pemahaman atas implikasi dan perumusan Undang-Undang
mengenai otonomi daerah yang mengatur kewenangan pengelolaan wilayah perairan
laut.
Tiga faktor pertama sebagian dapat disebabkan oleh krisis ekonomi yang telah
menimbulkan pergeseran sektor ketenagakerjaan dari manufaktur ke perikanan tangkap.
Sementara over kapitalisasi operasi perikanan laut dalam pemanfaatan sumber daya laut
bersama, sudah berkurang potensinya. Sedang faktor keempat berkaitan dengan regulasi
yang mengatur pengelolaan laut sebagai sumber daya bersama.
Dari sisi kepentingan, konflik di wilayah pantai menjadi sangat tinggi terutama
setelah masuknya masyarakat non lokal yang cenderung memanfaatkan sumber daya
pantai secara intensif baik modal maupun teknologi dan kurang memperhatikan
kepentingan kelompok atau sektor/subsektor lain terutama masyarakat lokal. Sering
terjadi masyarakat lokal justru makin tersisihkan karena tidak mampu bersaing.
7
mencerminkan adanya pergeseran paradigma pembangunan kelautan (termasuk
perikanan) dari pola sentralistik ke desentralistik.
Masalah yang mucul dengan adanya pemberian kewenangan wilayah laut kepada
daerah oleh, antara lain:
Tidak sesuai dengan filosofis laut sebagai perekat dan pemersatu sehingga tidak
seharusnya boleh dibagi-bagi;
Secara teknis akan sulit, karena titik-titik koordinat dan garis-garis batas memang
dapat digambarkan pada peta, tetapi pada pelaksanaannya (di laut) tidak mungkin
jelas, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman yang berakhir dengan konflik;
Pengertian yang benar mengenai batas dan berbagai implikasinya tidak mudah
dipahami, baik oleh masyarakat umum maupun oleh pejabat.
Interprestasi UU No. 22 Tahun 1999 masih kurang jelas. Banyak pihak yang
mempertanyakan tentang Wilayah otonomi penangkapan ikan, sementara peraturan
pelaksanaan dari UU tersebut belum ada. Sehingga penguasaan wilayah perairan
ditafsirkan sebagai bentuk pengkavlingan laut. Sedang pada tingkat nelayan telah
menimbulkan konflik horisontal yang amat tajam.
8
Potensi sumber daya ikan yang besar manajemen perikanan yang menganut asas
kehatian-hatian (precautionary approach). Dengan menetapkan JTB (Jumlah Tangkapan
yang Diperbolehkan) yang berasal dari perairan territorial dan perairan wilayah serta
perairan ZEEI. Potensi dan JTB di atas dimungkinkan mengalami perubahan ke arah
yang positif, yakni terjadi kenaikan. Asumsi bahwa potensi SDI di perairan Indonesia
sebesar 6,40 juta ton pertahun dan JTB sebesar 5,12 juta ton pertahun, maka
produktifitas nelayan di Indonesia diperkirakan rata-rata sebesar 1,35 ton/orang/tahun
atau ekivalen 6,63 kg/orang/hari (lama melaut 200 hari dalam 1 tahun)[16]. Rendahnya
produktifitas nelayan tersebut menyebabkan persaingan untuk mendapatkan hasil
tangkapan semakin lama akan semakin ketat, karena rezim pengelolaan sumber daya
ikan bersifat terbuka (open access).
Pada tahun 2001 produksi ikan dari hasil penangkapan di laut mencapai 4,069 juta
ton. Tingkat Pemanfaatan SDI di Indonesia telah mencapai 63,49 % dari potensi lestari
sebesar 6,409 juta ton pertahun atau 79,37 % dari JTB sebesar 5,127 juta juta ton
pertahun. Pemanfaatan tersebut tidak merata untuk setiap Wilayah Pengelolaan
Perikanan, di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi over fishing seperti di Laut
Jawa dan Selat Sunda (171,72 %)[18].
Terjadinya over fishing telah mendorong nelayan yang biasa menangkap ikan di
perairan tersebut melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground)
lain yang masih potensial. Hal ini apabila tidak diantisipasi dapat menjadi faktor
pendorong timbulnya konflik antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal.
9
2.8 Perilaku/Motivasi
Pemberdayaan Nelayan
Relokasi
10
Sebagian besar armada perikanan berada di daerah yang padat penduduknya
dalam hal ini Pantai Utara Jawa Timur. Kondisi ini menyebabkan perairan di
sekitar daerah tersebut mengalami padat tangkap bahkan menunjukkan gejala over
fishing. Dampak dari padanya, di perairan tersebut sering terjadi konflik
antarnelayan karena perebutan daerah penangkapan (fishing ground). Oleh karena
itu perlu dilakukan pemindahan (relokasi) armada dari daerah sekitar perairan
yang sudah padat tangkap atau telah menunjukkan gejala over fishing ke perairan
lain yang masih surplus tingkat pemanfaatan sumber daya ikannya24.
11
nelayan akan memperoleh penghasilan tambahan, sehingga ketergantungan
terhadap hasil tangkapan ikan dapat dikurangi dan keinginan nelayan untuk
menangkap ikan sebanyak-banyaknya juga dapat ditekan.
Disamping itu, upaya ini dapat juga mengurangi jumlah nelayan kerena
beralih profesi ke usaha alternatif yang lebih prospektif. Berkurangnya jumlah
nelayan di daerah-daerah yang padat, seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur
Sumatera juga merupakan solusi untuk menghindari konflik.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut
adalah meningkatkan nilai tambah melalui pembinaan mutu. Dengan
meningkatnya mutu diharapkan harga jual ikan akan mengalami kenaikan dan
pada gilirannya akan merubah orientasi nelayan dari mengejar jumlah tangkapan
ke margin pendapatan[24].
Pemerintah melalui KepMen Pertanian No. 607 Tahun 1975 jo No. 392
Tahun 1999 tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan telah berupaya agar konflik
antarnelayan dapat dihindari. Dalam keputusan tersebut menjelaskan tentang
daerah penangkapan ikan di laut dibagi atas 3 (tiga) Jalur Penangkapan[25].
12
harus ditindak tegas, tentunya aturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan
ini harus jelas terlebih dulu, agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda.
13
BAB III
STUDI KASUS
Konflik Kelas
Salah satu sumber konflik adalah pengoperasian alat tangkap tongep. Tongep
merupakan nama lokal untuk alat tangkap mini trawl. Berawal dari peristiwa
penangkapan kapal nelayan Wates yang diduga oleh bajak laut yang disewa oleh
nelayan Watu Prapat Kecamatan Nguling di sekitar perairan Nguling. Peristiwa ini
menimbulkan kekesalan di hati nelayan Wates. Kejadian serupa juga menimpa nelayan
Jatirejo ketika melaut di perairan Semedusari. Nelayan Semedusari menduga jaring
mereka hilang terbawa jaring tongep, sedangkan nelayan Jatirejo tidak merasa
demikian. Namun perahu, mesin dan alat tagkap Nelayan Jatirejo tetap disandera oleh
nelayan Semedusari. Nelayan Jatirejo yang berhasil melarikan diri kemudian
menceritakan kejadian tersebut kepada nelayan-nelayan lain di TPI. Merasa memiliki
kesamaan nasib dan rasa kekesalan yang sama, akhirnya nelayan Jatirejo dan nelayan
Wates dibantu oleh nelayan Galigung sepakat melakukan penyerangan ke Desa Watu
Prapat dan Desa Semedusari. Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, namun telah
melahap habis perkampungan nelayan yang berada di sekitar perairan. Penyerangan
yang dilakukan pada tanggal 8-9 April 2001 merupakan peristiwa konflik antarnelayan
lokal terbesar yang terjadi di Pasuruan. Untuk mencegah kejadian serupa, akhirnya pada
tanggal 10 April 2001 bertempat di Gedung Serbaguna Kabupaten pasuruan beberapa
tokoh masyarakat, tokoh agama, Bupati Pasuruan, Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Pasuruan, serta nelayan-nelayan yang bermasalah (Wates, Jatirejo,
Semedusari, Nguling dan Galigung) bertemu untuk melakukan kesepakatan/islah
bersama.
Konflik Usaha
Konflik yang terjadi antara nelayan dan non-nelayan ini dipicu oleh kecurangan-
kecurangan yang dilakukan oleh pangamba’ dan agen kepada nelayan payang jurung.
Kecurangan-kecurangan tersebut meliputi (1) Manipulasi penimbangan, seperempat
14
hingga setengah kilogram; (2) Harga ikan yang semula ditentukan oleh perusahaan kini
secara sepihak ditentukan oleh para agen seminggu sebelumnya; (3) Harga jual ikan
yang berbeda, harga jual ikan bagi nelayan yang memiliki hutang
Konflik Cara Produksi/Alat Tangkap
Salah satu sumber konflik yang menyebabkan terjadinya konflik antara nelayan
Lekok dan nelayan Kwanyar Kabupaten Bangkalan, Madura adalah perbedaan alat
tangkap. Nelayan Lekok menggunakan alat tangkap payang jurung yang merupakan
salah satu jenis alat tangkap aktif, sedangkan nelayan madura menggunakan jenis alat
tangkap pasif yaitu jaring rajungan, trammel nets. Konflik payang jurung dengan alat
tangkap pasif terjadi di Perairan Kwanyar Kabupaten Bangkalan. Pengoperasian payang
jurung mengundang protes nelayan Kwanyar karena mereka menduga payang jurung
merupakan alat tangkap terlarang (sejenis trawl yang dikenal dengan nama tongep) dan
telah merusak jaring-jaring mereka. Disisi lain nelayan Lekok membantah tuduhan
tersebut dan mengatakan bahwa hal tersebut digunakan sebagai alasan yang dibuat-buat
untuk menutupi rasa kecemburuan terhadap hasil tangkapan nelayan Lekok yang lebih
banyak dibandingkan hasil tangkapan nelayan setempat. Selanjutnya, aksi protes
nelayan Kwanyar diwujudkan dalam bentuk penyerangan fisik dan penyanderaan
perahu-perahu nelayan Lekok. Pengelolaan konflik yang dilakukan oleh dinas yaitu
dengan mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik, yang dihadiri oleh para tokoh
agama, tokoh masyarakat, bupati, Dinas Perikanan, AIRUD untuk melakukan
kesepakatan/islah.
15
Kelautan Mediator konflik`
2. Polisi perairan Penjaga keamanan wilayah perairan Kecil
3. Kyai Tokoh agama yang biasanya sebagai Besar
mediator dalam pananganan konflik
4. Tokoh Nelayan Wakil nelayan Besar
Penyampai aspirasi nelayan
5. Juragan Pemilik kapal Besar
6. Pangamba’ Pemberi kredit Besar
dan agen Tempat nelayan menjual ikan
7. Camat Institusi pemerintah Kecil
Mediator dan saksi islah konflik
8. Kepala Desa Institusi pemerintah Kecil
Mediator dan saksi islah konflik
Sumber: Diadaptasi dari Laporan Akhir Fakultas Perikanan UNBRAW dan
DISKANLA (2001)
Dari analisa terhadap hasil temuan di lapang, maka ada beberapa hal yang dapat
16
disimpulkan:
2. Pemecahan konflik yang dilakukan oleh pihak pemerintah, dalam hal ini Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pasuruan, adalah melalui mediasi dengan
melibatkan tokoh masyarakat nelayan dan tokoh agama yang mempertemukan pihak-
pihak yang berkonflik. Disamping itu, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Pasuruan juga melakukan penyuluhan dan pembinaan pada nelayan mengenai
peraturan yang berlaku. Namun, untuk kasus konflik usaha penyelesaian konflik
dilakukan secara coercion, dimana pihak yang memiliki kekuatan, dalam hal ini
pemilik modal (agen dan pangamba’) memaksa pihak yang lemah (nelayan).
3. Keterlibatan pihak non-nelayan seperti Dinas Perikanan dan Kelautan, tokoh nelayan,
tokoh agama, juragan dan lain-lain dalam proses penyelesaian konflik dapat
dikatakan sangat dibutuhkan, mengingat pihak-pihak tersebut adalah para pemegang
kebijakan dan memiliki pengeruh penting dalam masyarakat. Dinas Perikanan dan
kelautan memiliki pengaruh yang besar dalam mendamaikan pihak yang bertikai.
Selain itu, Dinas Perikanan juga memiliki peran sebagai pihak yang mempunyai
tugas dalam sosialisasi hukum dan perundangan perikanan serta sebagai mediator
konflik. Demikian halnya dengan polisi perairan, pengaruh yang dimiliki juga besar
dalam menajga agar konflik tidak sampai meluas, meskipun seingkali terlambat
dalam mendeteksi adanya konflik. Camat dan Kepala Desa, meskipun keduanya
memiliki pengaruh yang kecil terhadap pemecahan konflik tetapi peran mereka
17
sebagai mediator konflik sangat diperlukan mengingat keduanya memegang jabatan
administrasi tertinggi di wilayah desa dan kecamatan. Kyai, Tokoh Nelayan, Juragan,
pangamba’ dan agen memiliki pengaruh dan peran yang sangat besar dalam
menyelesaikan konflik. Kyai sebagai tokoh agama yang biasa diminta sebagai
mediator dalam menangani konflik karena mampu meredam emosi dan seringkali
dapat mendamaikan pihak-pihak yang bertikai meskipun untuk sementara waktu.
Tokoh nelayan berperan sebagai wakil kelompok nelayan yang menyampaikan
aspirasi nelayan dalam musyawarah guna mencapai mufakat. Juragan sebagai
pemilik kapal cenderung dapat menyelesaikan konflik ringan seperti ganti rugi kapal
yang disandera. Pangamba’ dan agen sebagai tempat menjual ikan
pascapenangkapan dan pemberi kredit bagi para nelayan, selain dapat meredam
konflik juga dapat sebagai pemicu munculnya konflik.
18
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Konflik Nelayan sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok
berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai
dengan ancaman atau kekerasan. Faktor penyebab utama terjadinya pertentangan adalah
perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, perbedaan budaya
yang berpengaruh pada kepribadian setiap individu, perbedaan kepentingan (dalam
ekonomi, politik, dan lain sebagainya), dan perubahan sosial terhadap nilai dalam
masyarakat. Perbedaan individu dan budaya terjadi karena perbedaan lingkungan yang
membentuk kedua belah pihak yang melahirkan prinsip, nilai, kebiasaan atau tata cara
yang berbeda. Biasanya konflik akan terjadi jika masing-masing pihak tidak dapat
menerima atau menghormati prinsip atau sistem nilai yang dimiliki pihak lain sehingga
muncul keinginan untuk mengubah sistem nilai itu.
DAFTAR PUSTAKA
Fisher S, Jawed L, Steve W, Dekha IA, Richard S, dan Sue Williams . 2001.
19
Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta: The
British Council.
Kinseng RA. 2006. Konflik Kelas di kalangan Kaum Nelayan di Indonesia (Sebuah
Catatan Awal). (Makalah). Disajikan pada Workshop Nasional Riset Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Bogor 2-3 Agustus 2006. Institut Pertanian
Bogor.
Satria A. 2006. Konflik Nelayan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.
Disampaikan pada FKPPS, DKP, Manado, 7-9 Desember 2006.
Sitorus MTF. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Bogor: Kelompok
Dokumentasi Ilmu Sosial, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian Institut Pertanian
20
21