LINGKUNGAN INDONESIA
Vol. 2 Issue 1, Juli 2015
REDAKSI DAN MITRA BEBESTARI
Dewan Penasehat
Mas Achmad Santosa, SH. LL.M.
Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si.
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.
Indro Sugianto, SH. M.H.
Sandra Moniaga, SH., LL.M.
Yuyun Ismawati
Dadang Trisasongko, S.H.
Penanggung Jawab
Henri Subagiyo, S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi
Margaretha Quina, S.H., LL.M.
Redaktur Pelaksana
Dayinta Harumanti, S.H.
Sidang Redaksi
Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D. Feby Ivalerina, SH., LL.M.
Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum. Dyah Paramita, S.H., LL.M.
Sukma Violetta, S.H., LL.M. Haryani Turnip, S.H.
Josi Khatarina, S.H., LL.M. Dessy Eko Prayitno, S.H.
Rino Subagyo, S.H. Citra Hartati, S.H., M.H.
Windu Kisworo, S.H., LL.M. Raynaldo G. Sembiring, SH.
Prayekti Murharjanti, SH., M.Si. Astrid Debora, S.H.
Mitra Bebestari
Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.
iii
PENGANTAR REDAKSI
Mengembalikan Kejayaan Maritim Indonesia
Berlandaskan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
I
ndonesia adalah sebuah negara yang terlahir dalam bentuk kepulauan.
Meskipun konsep ini secara de jure baru dikenal sejak diumumkannya
Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957, Indonesia telah menunjukkan
potensinya sebagai negara yang memiliki kekuatan maritim sejak zaman
Kerajaan Majapahit. Peninggalan hukum Ordonantie Belanda tahun 1933 yang
mengatur bahwa batas laut teritorial suatu negara diukur sejauh 3 mil laut dari
garis pangkal telah lama mengusik intergitas Indonesia sebagai negara
kepulauan. Pembatasan tersebut telah membuat adanya ruang kosong yang
diartikan sebagai laut lepas di antara wilayah laut Indonesia yang luas sehingga
banyak kapal asing yang melewati wilayah laut di antara pulau-pulau di
Indonesia. Hal ini yang menimbulkan banyak pemberontakan yang
ditunggangi kepentingan asing pada masa sebelum Deklarasi Juanda.
Pengakuan Negara Kepulauan Republik Indonesia oleh dunia
internasional menempuh proses yang panjang selama 30 tahun. Konsep negara
kepulauan yang dicantumkan di dalam Deklarasi Juanda tidak diterima di
dalam pembahasan Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
kedua pada tahun 1958. Konsep negara kepulauan baru diterima setelah
diplomasi panjang selama tiga tahun persiapan Konferensi Hukum Laut yang
Ketiga di Jamaika. Konsep archipelagic states (negara kepulauan) serta
archipelagic waters (perairan kepulauan) akhirnya dimasukkan ke dalam norma
hukum laut internasional yang tercantum di dalam the Third United Nations
Convention on The Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982).
Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang-Undang Nomor
17 Tahun 1985. Sejak saat itu, Indonesia menjadi negara terdepan yang
mempraktikkan konsep negara kepulauan. Wilayah laut Indonesia diatur
secara formal dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia. Indonesia juga menjadi satu-satunya negara kepulauan di dunia
yang telah mengatur tentang alur laut kepulauan yang diamanatkan oleh
UNCLOS 1982 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002. Penetapan
alur laut kepulauan tersebut menjamin hak negara asing untuk melintasi
wilayah laut kepulauan Indonesia.
Indonesia juga adalah pasar yang besar, terletak di silang dunia, dan
hingga saat ini, memiliki situasi politik yang cukup stabil. Dengan kenyataan
tersebut, Indonesia memiliki nilai-nilai strategis bagi para investor untuk
melakukan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment),
meskipun beberapa hal, utamanya infrastruktur, perlu juga diperhatikan.
Karena, terlepas dari karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan dengan
garis pantai terpanjang kedua di dunia, infrastruktur, industri, dan jasa maritim
Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal. Padahal, ketiga hal tersebut
iv
merupakan komponen operasional utama menuju negara maritim yang kuat
dan katalisator pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Harus diakui bahwa kekuatan sebagai negara maritim telah lama
dinafikan oleh pemerintah. Pendekatan pengambilan kebijakan di masa lalu
tidak banyak mengoptimalkan wilayah laut Indonesia sebagai kekuatan bangsa
baik dari segi ekonomi maupun pertahanan. Akibatnya, banyak sumber daya
alam kelautan yang diambil oleh pihak asing akibat lemahnya mekanisme
pengawasaan dan monitoring wilayah laut Indonesia. Munculnya konflik yang
menegangkan dengan negara tetangga terkait batas laut teritorial seringkali
terjadi, khususnya di Perairan Laut Ambalat. Perhatian untuk pengembangan
pelabuhan-pelabuhan internasional di sekitar wilayah Traffic Separation
Scheme (TSS) Selat Malaka membuat Indonesia kalah bersaing dengan
Pelabuhan Singapura akibat pengaturan kerangka hukum Indonesia yang tidak
menguntungkan para pemilik kapal untuk menyandarkan kapalnya di
pelabuhan di Indonesia. Selain itu, Indonesia belum memiliki mekanisme
perlindungan lingkungan laut yang jelas. Hal ini tercermin dalam
ketidakberdayaan Pemerintah Indonesia untuk menuntut kompensasi atas
kasus tumpahan minyak Montara di Laut Timor pada tahun 2009. Banyak
pekerjaan rumah bagi Pemerintah Indonesia dalam peningkatan kualitas
sumber daya manusia dan pembentukan sistem terkait wilayah lautnya sendiri
yang tidak terselesaikan selama ini.
Perubahan pendekatan geopolitik dalam masa pemerintahan Presiden
Joko Widodo akan kembali menentukan posisi Indonesia di dalam peta politik
dunia sebagai negara maritim yang besar. Selain itu, perlu disadari bahwa
poros maritim dunia yang dicanangkan mengandung banyak aspek yang perlu
diperhatikan. Hal-hal ini mendasari pemilihan tema “Menuju Poros Maritim
Dunia Berkelanjutan” untuk edisi Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia
Volume II Issue 1. Berbagai analisis yang terdapat di dalam tulisan-tulisan yang
dimuat di dalam jurnal ini diharapkan mampu membuka pandangan khalayak
ramai tentang urgensi bagi masyarakat Indonesia untuk saling bekerja sama
dalam meperhatikan isu yang terjadi wilayah laut Indonesia demi mencapai
kemakmuran bangsa.
v
DAFTAR ISI
vi
ANALISIS HUKUM
TERHADAP P ENGATURAN P ENGELOLAAN P ERIKANAN
B ERBASIS M ASYARAKAT DI I NDONESIA
Ahmad Marthin Hadiwinata ∗
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis ketentuan hukum nasional
dalam pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (PPBM). Penulis
menggunakan kerangka analisis Kuemlangan dan Teigene dalam
artikelnya yang berjudul: “An Overview Of Legal Issues And Broad
Legislative Considerations For Community Based Fisheries
Management.” Tidak ada cetak biru dalam menciptakan kerangka
hukum bagi PPBM namun hukum akan menentukan pengaturan
mengenai PPBM. Perlu untuk melakukan penilaian terhadap penerimaan
konstitusi atas PPBM dengan contoh hak kepemilikan bersama serta
bagaimana desentralisasi kewenangan pengelolaan diatur. Penulis
menemukan kemungkinan adanya konflik berdasarkan UU Perikanan,
UU PWP3K dan UU Pemda dalam pengelolaan sumber daya perairan
dan laut. Desa sebagai peluang penciptaan PPBM dapat menerapkan
empat prinsip yaitu jaminan, ekslusivitas, keberlangsungan serta
fleksibilitas. Tetapi terdapat hambatan dengan tidak terintegrasinya
PPBM dalam kerangka hukum perikanan yang lebih luas. Penulis
menyarankan adanya perubahan kebijakan menyeluruh dalam hukum
perikanan yang mengakui pengelolaan oleh masyarakat dalam
perikanan.
Penulis merupakan Deputi Advokasi Hukum dan Kebijakan Hukum di Koalisi Rakyat
∗
untuk Keadilan Perikanan (KIARA), yang berfokus terhadap isu perikanan dengan perspektif
hak asasi manusia, terutama bagi nelayan tradisional dan pembudidaya.
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Abstract
This article aims to analyze the provisions of national law in a
community-based fisheries management (CBFM). The author uses
analytical framework Kuemlangan and Teigenen in an article entitled:
“An Overview Of Legal Issues And Broad Legislative Considerations For
Community Based Fisheries Management.” There is no blueprint in
creating a legal framework but the law will define the arrangements
regarding CBFM. There is a need to conduct an assessment of the
constitutionality of CBFM, for example related to the common property
rights and decentralization of management authority. The author
discovered a possible conflict based on Fisheries Act, Coastal and Small
Island Act and Local Government Act in the management of marine
resources. Villages as opportunities for establishing CBFM can apply four
principles such as: security, exclusivity, permanence and flexibility.
However, there are constraints in the integration of CBFM in the wider
legal framework of fisheries. The author suggests a comprehensive legal
reform in the fishery law to recognize community management with
regard to fisheries.
1. Pendahuluan
1
Bab 7 Bagian 3.1.1. Lihat: Food and Agriculture Organizations (FAO), “Law And
Sustainable Development Since Rio – Legal Issues And Trends In Agriculture And Natural
Resources Management,” FAO Legislative Study 73, (Roma: FAO, 2002). Sumber:
http://www.fao.org/docrep/005/y3872e/y3872e00.HTM, diakses pada 3 Juli 2015. Penulis
menggunakan terjemahan bebas untuk property rights (hak kepemilikan).
2
Ibid. Bagian 3.1.2.
2
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
3
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
International Workshop on Community Participation in Fisheries Management on Lake
Victoria: BMU Development on Lake Victoria, Juli 2004, hal. 78.
8
Blaise Kuemlangan & Henning Teigenem, “An Overview of Legal Issues and Broad
Legislative Considerations for Community-Based Fisheries Management” dalam Robin L.
Welkomme and T. Petr. (ed), Proceedings Of The Second International Symposium On The
Management Of Large Rivers For Fisheries, Volume II, (Bangkok: RAP Publication, 2004).
Sumber http://www.fao.org/docrep/007/ad526e/ad526e0e.htm, hal. 151-162.
9
Kuemlangan (B), “Creating Legal Space For Community-Based Fisheries And
Customary Marine Tenure In The Pacific: Issues And Opportunities,” FAO Fish Code Review.
7 (2004). Referensi lain adalah Adam Soliman yang melakukan analisis terhadap program
Community Quota Entities (CQE) di Kanada dan juga menganalisis hal yang serupa terkait
dasar konstitusional dan hukum yang mendukung pengelolaan perikanan berbasis masyarakat
di Amerika Serikat, India dan Afrika Selatan. Lihat juga: Adam Soliman, Loc Cit.
10
Dalam konteks ini, masyarakat memiliki hak kepemilikan kolektif yang relatif luas
terhadap sumber daya. Penciptaan hak-hak dan pemberian kepada anggota masyarakat sebagai
kepentingan ekonomi yang akan mendorong penjagaan hak-hak tersebut untuk terus dapat
dinikmati. Di sisi lain akan menghasilkan tujuan pengelolaan dari pemanfaatan berkelanjutan
dari sumber daya. Lih: Kuemlangan dan Teigenem, Op Cit., hal. 152.
11
Dalam konteks ini, Kuemlangan dan Teigenem mengakui fakta ketidak efektifan
pendekatan pengelolaan top-down dengan kewenangan pengelolaan pada pemerintah pusat.
Tanggung jawab pengelolaan perikanan kepada pemerintah pusat dilakukan melalui
kewenangan pemerintah pusat dengan pendekatan command and control (CAC). Dalam
pendekatan CAC, pejabat berwenang menetapkan syarat dan ketentuan bagi keterlibatan pelaku
utama dalam kegiatan yang diperbolehkan. Pendekatan ini akan efektif jika pemerintah pusat
memiliki kapasitas yang cukup dan memenuhi syarat untuk melaksanakan tugasnya. Di sisi
lain, pendekatan CAC hanya memberikan sedikit ruang bagi pemangku kepentingan sehingga
menciptakan ketaksepahaman antara pengatur dan yang diatur dan seringkali melemahkan
upaya pengelolaan efektif. Selain itu, terdapat banyak kepentingan dalam pengelolaan sumber
daya perikanan sehingga pendekatan CAC harus memberikan partisipasi yang luas bagi
pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan untuk terlibat dalam perumusan kebijakan
dan proses perumusan keputusan atau terkait aspek teknis. Pendekatan PPBM akan
memberikan ruang konsultasi dari pemangku kepentingan atau bagi pemangku kepentingan
untuk memiliki suatu bentuk perwakilan dalam perumusan keputusan. Kemudian akan
mendorong pemerintah untuk transparan dan akuntabel dan menciptakan pemangku
4
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
kepentingan yang lebih responsif dalam menerapkan pengelolaan dan penghormatan lebih bagi
kepatuhan terhadap pengelolaan. Lih: Kuemlangan dan Teigenem, Loc. Cit., hal 153.
12
Dalam konteks ini, perikanan skala kecil dapat menjadi tulang punggung ekonomi
nasional, berperan penting dalam penghidupan masyarakat miskin atau dengan menyediakan
pangan yang tidak mahal. Di sisi lain, terdapat upaya untuk menjaga keberlangsungan dan
mencegah urbanisasi nelayan ke kota. PPBM dapat memberikan alokasi yang adil dari sumber
daya, menigkatkan kesadaran mengenai rapuhnya sumber daya, dan penerapan prinsip kehati-
hatian dan mendorong pemanfaatan berkelanjutan. Lih: Ibid.
13
Robert S. Pomeroy, Community-Based And Co-Management Institutions For
Sustainable Coastal Fisheries Management In Southeast Asia, Sumber:
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.202.7560&rep=rep1&type=pdf,
diakses pada 3 Juli 2015.
14
Ibid.
15
Adam Soliman, “Achieving Sustainability Through Community Based Fisheries
Management Schemes: Legal and Constitutional Analysis,” Georgetown International
Environmental Law Review Vol. 26 Issue 3 (2014), hal. 273.
16
Dalam terjemahan bebas berarti sebuah bentuk partisipasi dan pengelolaan perikanan
berbasis hak kepemilikan bersama yang memberikan hak perikanan kepada sekelompok
individu (masyarakat) atau melibatkan pembagian kewenangan pengelolaan perikanan dan
penerapan kepada masyarakat lokal. Lih: Keumlangan dan Teigenem, Op Cit., hal. 153.
5
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
17
Kuemlangan dan Teigenem, Op. Cit., hal. 153-154.
18
Rennisca Ray Damanti dan Mareta Nirmalanti (ed.), Kelautan dan Perikanan Dalam
Angka 2014, (Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan,
2014), hal. 143, Sumber: http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/c/90/Kelautan-dan-
Perikanan-Dalam-Angka-Tahun-2014/?category_id=3. diakses pada 7 Juli 2015.
19
Ibid.
20
Jika merujuk kepada diktum keputusan ketiga, estimasi potensi sumber daya ikan
harus ditinjau untuk diperbaharui dalam jangka waktu setahun sekali. Lih: Menteri Kelautan
dan Perikanan, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.45/MEN/2011 tentang
Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Perikanan Negara RI dan Laporan Status
Tingkat Eksploitasi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI.
21
Salah satu kajian yang memaparkan kelemahan penegakan hukum di laut dituliskan
oleh Eka Martiana Wulansari dalam artikelnya yang berjudul “Penegakan Hukum Di Laut
Dengan Sistem Single Agency Multy Tasks.” Artikel tersebut memaparkan lemahnya
pengawasan hukum di laut Indonesia dengan sistem multi agency single task yang dilakukan
oleh tiga belas lembaga penegak hukum di laut (enam lembaga yang mempunyai satgas patroli
di laut dan tujuh lembaga penegak hukum lainya tidak memiliki satuan tugas patroli di laut).
Wulansari kemudian membahas bentuk Single Agency Multy Tasks yang dapat memberikan
efektifitas pengawasan dan penegakan hukum di laut. Lih: Eka Martiana Wulansari, Penegakan
Hukum Di Laut Dengan Sistem Single Agency Multy Tasks, Sumber:
http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/PENEGAKAN%20HUKUM%20DI%20LAUT%2
0DENGAN%20SISTEM%20SINGLE%20AGENCY%20MULTY%20TASKS.pdf, diakses pada 5
Juli 2015.
22
Dari 2,7 juta jiwa orang yang bekerja di sektor perikanan tangkap baik di perairan
laut maupun perairan pedalaman menggunakan kapal dengan ukuran mencapai kurang dari 5
GT mencapai 565.074 dari keseluruhan mencapai 639.708 kapal. Lih: Pusat Data, Statistik dan
Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Loc. Cit., hal. 25.
23
Indonesia, Undang-undang Perikanan, UU No. 31 Tahun 2004, Lembaran Negara
No. 118 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara No. 4433, dalam Pasal 26 ayat (2). Lihat
juga: Indonesia, Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan, UU No. 45 Tahun 2009, Lembaran Negara No. 154 Tahun 2009,
Tambahan Lembaran Negara No. 5073, dalam Pasal 27 ayat (5) dan Pasal 28 ayat (4). Lihat
juga: Hersoug mengutip Varkey et. al. yang menyatakan “As a result, small-scale fishing,
which accounts for a large portion of all fishing activities in Indonesia, remains largely
unreported”. Dalam terjemahan bebas: perikanan skala kecil yang menjadi bagian besar dari
seluruh kegiatan penangkapan ikan di Indonesia menjadi tidak terdata dengan baik. Bjørn
Hersoug, Fishing Rights To The Right People? Management Options In Crowded Small-Scale
6
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Fisheries (2011), hal. 24, Sumber: http://www.marecentre.nl/mast/documents/
MAST10.2_Hersoug.pdf, diakses pada 7 Juni 2015.
24
C. Bailey dan C. Zerner, Community-Based Fisheries Management Institutions in
Indonesia. MAST, 5(1)(1992)1-17. Sumber: http://www.marecentre.nl/mast/documents
/communitybasedfisheriesmanagementinstitutioninIndonesia.pdf, diakses pada 4 Juli 2015, hal.
1.
25
Ibid, hal. 5.
26
Arif Satria dan Yoshiaki Matsuda, Decentralization Of fisheries Management In
Indonesia (2004), sumber: http://ledhyane.lecture.ub.ac.id/files/2013/02/M02_03.pdf, diakses
pada 5 Juli 2015, hal. 438.
27
Ibid.
28
Bailey dan Zerner, Op. Cit., hal. 12.
29
Bailey dan Zerner menyarankan untuk merevisi Hukum Perikanan dengan (1)
adanya pengakuan secara tegas atas konsep hukum adat dan hak ulayat (wilayah); (2) prosedur
hukum untuk pengakuan hak-hak tersebut harus disebutkan dengan jelas; (3) adanya pengakuan
terhadap hak-hak masyarakat lokal untuk mengelola dan mengalokasikan akses atas wilayah
dan sumber daya sebagai dasar hukum bagi masyarakat nelayan untuk mengatur pemanfaatan
sumber daya; dan (4) adanya pengaturan yang memungkinkan nelayan untuk bergabung dalam
suatu badan hukum, mendorong pengembangan sistem pengelolaan perikanan lokal dan badan
ekonomi mandiri lokal. Ibid.
30
Bailey dan Zerner menyarankan untuk revisi UU No. 5 Tahun 1979 dengan (1)
mengakui lembaga pengelola masyarakat yang memberikan kedudukan hukum atas sistem
pengelolaan berbasis masyarakat; (2) lembaga peraturan daerah diwajibkan untuk menerbitkan
pengakuan formal terhadap status sistem kepemilikan bersama masyarakat dan hak
pemanfaatan atas sumber daya pesisir dan laut. Ibid.
7
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
31
Penulis menggunakan terjemahan bebas dari Community Based Fisheries
Management sebagai pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Beberapa penulis Indonesia
seperti Yudi Wahyudin menggunakan istilah Pengelolaan Berbasis Masyarakat.
8
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
32
Kuemlangan dan Teigenem, Op. Cit.
33
Kuemlangan dan Teigenem menyebutkan sejumlah prasyarat seperti: Pemberian
hak-hak apa saja yang diberikan terkait dengan pengelolaan, bagaimana tingkat partisipasi
masyarakat lokal apakah dalam tingkat konsultasi selama proses pengelolaan atau melalui
perwakilan resmi dalam konsultasi, pendampingan atau penusunan keputusan dalam kerangka
pengelolaan ataukah dalam bentuk devolusi kewenangan pengelolaan atau kekuasaan
penerapan atau keduanya. Ibid., hal. 155.
34
Ibid, 156.
35
Kuemlangan dan Teigenem mendefinisikan hak kepemilikan bukanlah sebuah
barang, tetapi hak yang muncul melalui konstruksi kesepakatan sosial. Hak kepemilikan adalah
sekumpulan hak atau kepentingan atas suatu aset yang dapat dibagi di antara berbagai
pemangku hak. Hak-hak ini dapat dipisahkan, dipindahkan, dihapus atau ditambahkan oleh
pemangku hak tersebut. Dengan keunikan bentuk pengelolaan berbasis masyarakat yang
beragam, maka penting untuk memiliki pemahaman bersama mengenai konsepsi hak
kepemilikan yang diatur dalam PPBM. Namun penerapannya akan bergantung pada sistem
hukum dimana diterapkannya. Untuk itu, penting untuk berkolaborasi dengan masyarakat
memberikan definisi, batasan dan aturan dalam pemanfaatan sumber daya yang memberikan
keleluasaan kepada masyarakat untuk memimpin, menentukan dan membatasi aturan
pemanfaatan terhadap sumber daya. Lih: Ibid. Selain itu, Adam Soliman menyatakan bahwa
proses pendahuluan sebelum mempekenalkan dan merancang skema PPBMdengan melakukan
konsultasi dan kolaborasi merupakan bagian penting dalam PPBM. Proses pendahuluan
tersebut sesuai dengan prinsip meta-governance dari keterbukaan, penghormatan dan
kesetaraan. Lih: Soliman, Loc. Cit., hal. 277.
9
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
36
Lih: Kuemlangan dan Teigenem, Loc. Cit., hal. 156. Selain itu, Arif Satria dan
Yoshiaki Matsuda menjelaskan mengenai desentralisasi secara teoritis. Desentralisasi dapat
diartikan sebagai pengalihan kewenangan dan tanggungjawab dalam fungsi publik dari
pemerintah pusat kepada bawahan (subordinate) atau organisasi pemerintah quasi-independen
atau bahkan sektor swasta dan perkumpulan masyarakat. Terdapat tiga tingkatan desentralisasi
administrasi, yaitu dekonsentrasi, delegasi dan devolusi (devolution). Dekonsentrasi adalah
pelimpahan kewenangan pembuatan keputusan dan tanggung jawab pengelolaan kepada
pemerintah daerah. Bentuk ini seringkali di anggap sebagai bentuk terlemah dari desentralisasi
dan biasanya dilaksanakan di di negara dengan bentuk kesatuan. Delegasi adalah pelimpahan
kewenangan dalam perumusan kebijakan dan administrasi dari fungsi-fungsi publik kepada
organisasi semi otonom dimana pemerintah pusat tetap memiliki hak untuk mengambil
kekuasaan kembali. Devolusi adalah pelimpahan kewenangan untuk perumusan keputusan,
keuangan dan pengelolaan semi otonom dari pemerintahan lokal dengan status badan hukum
dan tanpa mengacu kembali ke pemerintah pusat. Lih: Arif Satria dan Yoshiaki Matsuda, Loc.
Cit., hal. 439.
37
Kuemlangan dan Teigenem, Loc. Cit., hal. 157.
38
Penulis menilai undang-undang tersebut merupakan peraturan yang akan terkait
dengan sumber daya perikanan.
39
Tiadanya jaminan dan kepastian hukum bagi PPBM berasal dari rezim hukum yang
tidak memperbolehkan masyarakat lokal untuk menciptakan hak hukum yang dapat ditegakkan
atas sumber daya atau rezim hukum yang tidak memberikan peran yang bermakna dalam
perencanaan dan pengelolaan sumber daya tersebut. Lih: Kuemlangan dan Teigenem, Loc. Cit.,
hal. 158.
40
Pertama, jaminan (security) sebagai kemampuan masyarakat untuk menghadapi
pihak lain atas hak yang di miliki. Jaminan mensyarakatn bahwa hak-hak tak bisa dirampas
atau diubah sepihak dan tidak adil dan hak tersebut dapat di terapkan terhadap pemerintah.
Aspek-aspeknya terdiri dari (1) batasan terhadap sumber daya yang dapat diterapkan hak-
haknya, (2) siapa yang dapat ditetapkan sebagai anggota kelompok masyarakat, serta (3)
10
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
bagaimana hukum mengakui pemegang hak-hak tersebut. Kedua, ekslusivitas sebagai
kemampuan untuk menegakkan dan mengelola hak tanpa intervensi dari pihak asing diluar
komunitas. Prinsip ini mensyaratkan perlindungan hak yang dapat diakses, terjangkau dan adil
serta penyelesaian sengketa dan upaya hukum terhadap keputusan pemerintah. Aspek penting
dari prinsip ini adalah kemampuan untuk menegakkan hak. Harus dijelaskan sejauh mana
kewenangan pemerintah untuk memberikan ekslusifitas dari hak-hak dan kekuasaan bagi
masyarakat lokal. Ketiga, keberlangsungan (permanence) yang terkait dengan rentang waktu
dari hak yang diberikan kepada masyarakat lokal. Jangka waktu harus diberikan dan dinyatakan
secara tegas serta memiliki jangka yang cukup lama agar manfaat partisipasi dapat terwujud.
Keempat, fleksibilitas (flexibility) sebagai kebutuhan dari pengelola berbasis masyarakat atau
sebagai ruang hukum untuk melaksanakan pilihan pengelolaan yang menggambarkan keunikan,
kondisi dan aspirasi dari masyarakat. Aspek prinsip ini meliputi: (1) keleluasaan dalam
menentukan tujuan dan aturan yang akan digunakan dalam mencapai tujuan, (2) sebagai syarat
untuk mengakui kelompok masyarakat terkait dan (3) sebagai syarat untuk menentukan
kelompok pengelolan dan wilayah yurisdiksi. Kelima, keterpaduan PPBM dalam kerangka
hukum pengelolaan perikanan. PPBM harus diatur dalam kerangka manajemen hukum dan
perikanan yang tercermin dalam undang-undang dan keseluruhan proses perumusan keputusan
dengan memastikan peran dari pengelola komunitas dalam keseluruhan kerangka pengelolaan
perikanan oleh negara. Untuk menempatkan PPBM dalam kerangka hukum perikanan terdapat
lima syarat utama: (1) kerangka dan proses perumusan keputusan harus mempertimbangkan
kedudukan dari pengelolan komunitas terkait dengan keseluruhan pembuat kebijakan; (2)
Aturan proses keputusan dalam penetapan keseluruhan usaha perikanan seperti jumlah
tangkapan yang diperlukan secara nasional harus dapat menjawab peran dari pengelola
masyarakat dalam proses keputusannya; (3) adanya delegasi tanggungjawab termasuk kekuasan
pengaturan kepada pengelola komunitas dan struktur dari kewenangan pengelolaan; (4)
kekuasaan untuk menegakkan pengawasan dan penegakan perikanan kepada pengelolan
masyarakat; (5) jika pengelola komunitas akan menggunakan kuasa kehakiman maka harus
dinyatakan secara tegas. Ibid, hal. 159-160.
11
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
pemilikan dalam arti perdata (privat) oleh negara karena tidak akan
dapat mencapai tujuan pengelolaan sumber daya dan tujuan bernegara.41
41
Mahkamah Konstitusi merujuk kepada Putusan Mahkamah Nomor 001, 021,
022/PUU-I/2003 bertanggal 15 Desember 2004, Lih: Mahkamah Konstitusi, Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010. 2011, hal. 156-157, paragraf 3.15.3.
42
Ibid, hal. 156-157, paragraf 3.15.3.
43
Ibid, hal. 161, paragraf 3.15.8.
44
Ibid, hal. 158, paragraf 3.15.4.
12
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
45
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Amandemen ke-IV (2002), Pasal 18 ayat (2)
UUD 1945.
46
Ibid, Pasal 18 ayat (5) UUD 1945.
47
Ibid, Pasal 18 ayat (6) UUD 1945.
48
Ibid, Pasal 18A ayat (1) dan (2) UUD 1945.
13
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
49
Indonesia, Undang-Undang Perikanan, UU No. 31 Tahun 2004, Lembaran Negara
No. 118 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara No. 4433.
50
Ibid, Bab XI Penyerahan Urusan Dan Tugas Pembantuan dalam Pasal 65 ayat (1)
UU Perikanan. Berdasarkan penelusuran penulis hingga tulisan ini diturunkan Peraturan
Pemerintah dimaksud belum pernah diterbitkan.
51
Beberapa peraturan menteri terkait ini yaitu: Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.30/MEN/2009 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Usaha
Tetap Penanaman Modal Di Bidang Kelautan Dan Perikanan Dalam Rangka Pelayanan
Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal dan Permen KP No. PER.08/MEN/2010 tentang Pelimpahan Sebagian Urusan
Pemerintahan (Dekonsentrasi) Bidang Kelautan Dan Perikanan Tahun Anggaran 2010 Kepada
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah.
52
Pasal 7 ayat (1) UU Perikanan dengan sangat luas memberikan kewenangan kepada
menteri untuk menetapkan: (a) rencana pengelolaan perikanan; (b) potensi dan alokasi sumber
daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia; (c) jumlah tangkapan
yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia; (d) potensi
dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia; (e) potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia; (f) jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan; (g)
jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; (h) daerah, jalur, dan
waktu atau musim penangkapan ikan; (i) persyaratan atau standar prosedur operasional
penangkapan ikan; (j) pelabuhan perikanan; (k) sistem pemantauan kapal perikanan; (l) jenis
ikan baru yang akan dibudidayakan; (m) jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta
penangkapan ikan berbasis budi daya; (n) pembudidayaan ikan dan perlindungannya; (o)
pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya; (p) rehabilitasi
dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya; (q) ukuran atau berat minimum jenis
ikan yang boleh ditangkap; (r) kawasan konservasi perairan; (s) wabah dan wilayah wabah
penyakit ikan; (t) jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan
ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia; dan u. jenis ikan yang dilindungi.
53
Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 2 ayat (2) huruf b menyatakan RPP disusun berdasarkan
potensi, distribusi, komposisi jenis, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan, lingkungan, sosial-
ekonomi, isu pengelolaan, tujuan pengelolaan perikanan, dan rencana langkah-langkah
pengelolaan. Lih: Menteri Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan
Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan Di Bidang Penangkapan Ikan,
Permen KP No. PER.29/MEN/2012, Berita Negara No. 46 Tahun 2013.
14
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
54
Ibid, Pasal 1 angka 4.
55
Terdapat lima tahap dalam penyusunan. Lih: Ibid, Pasal 13 ayat (2).
56
Pasal 14 ayat (6) menyatakan bahwa pemangku kepentingan antara lain asosiasi
perikanan, kelompok nelayan, akademisi perikanan, penegak hukum, lembaga swadaya
masyarakat perikanan. Lih: Ibid.
57
Pasal 1 dan Pasal 2 menyatakan bahwa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)
merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan,
konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman,
perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Terdapat 11 (sebelas) wilayah pengelolaan perikanan yaitu: (1) WPPNRI 571 meliputi perairan
Selat Malaka dan Laut Andaman; (2) WPPNRI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah
Barat Sumatera dan Selat Sunda; (3) WPPNRI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah
Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat;
(4) WPPNRI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan; (5)
WPPNRI 712 meliputi perairan Laut Jawa; (6) WPPNRI 713 meliputi perairan Selat Makassar,
Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; (7) WPPNRI 714 meliputi perairan Teluk Tolo dan
Laut Banda; (8) WPPNRI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera,
Laut Seram dan Teluk Berau; (9) WPPNRI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah
Utara Pulau Halmahera; (10) WPPNRI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan
Samudera Pasifik; (11) WPPNRI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut
Timor bagian Timur. Lih: Menteri Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan Dan
Perikanan Tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Permen KP
No. 18/PERMEN-KP/2014, Berita Negara tanpa nomor Tahun 2014.
58
Indonesia, Permen KP No. PER.29/MEN/2012, Loc. Cit. Pasal 6 ayat (2).
15
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
16
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
17
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
18
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
19
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
20
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
pembudidayaan pembudidaya
ikan lintas an ikan.
daerah provinsi
dan/atau yang
menggunakan
tenaga kerja
asing.
Pengawasan Pengawasan sumber Pengawasan
Sumber Daya daya kelautan dan sumber daya
Kelautan dan perikanan di atas 12 kelautan dan
Perikanan mil, strategis perikanan sampai
nasional dan ruang dengan 12 mil.
laut tertentu.
Pengolahan a. Standardisasi Penerbitan izin
dan Pemasaran dan sertifikasi usaha pemasaran
pengolahan dan pengolahan
hasil perikanan. hasil perikanan
lintas Daerah
b. Penerbitan izin
kabupaten/kota
pemasukan
dalam 1 (satu)
hasil perikanan
Daerah provinsi.
konsumsi dan
non-konsumsi
ke dalam
wilayah
Republik
Indonesia.
c. Penerbitan izin
usaha
pemasaran dan
pengolahan
hasil perikanan
lintas daerah
provinsi dan
lintas negara.
Karantina Ikan, Penyelenggaraan
karantina ikan,
Pengendalian
pengendalian mutu
Mutu dan
dan keamanan hasil
Keamanan
perikanan.
Hasil
Perikanan
Pengembangan a.
SDM Penyelengg
Masyarakat araan
Kelautan penyuluhan
perikanan
dan Perikanan
nasional.
b. Akreditasi dan
21
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
sertifikasi
penyuluh
perikanan.
c. Peningkatan
kapasitas SDM
masyarakat
kelautan dan
perikanan.
77
Indonesia, Undang-undang Desa, UU No. 6 Tahun 2014, Lembaran Negara No. 7
Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara No. 5495. Pasal 1 angka 1.
78
Dalam penjelasan, yang dimaksud dengan “hak asal usul dan adat istiadat Desa”
adalah hak yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ibid, Pasal 18.
79
Yang dimaksud dengan “hak asal usul” adalah hak yang merupakan warisan yang
masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan
kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan
hukum adat, tanah kas Desa, serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa. Sementara
yang dimaksud dengan “kewenangan lokal berskala Desa” adalah kewenangan untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan
efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa
masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu, pasar Desa, tempat pemandian umum, saluran
irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan
Desa, embung Desa, dan jalan Desa. Ibid, Pasal 19.
22
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
23
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
85
UU Desa, Loc. Cit., Pasal 6 ayat (2).
86
Terkait dengan peran serta masyarakat dalam pengawasan diatur dalam Pasal 67 jo.
Pasal 70. Terkait dengan pemberdayaan nelayan diatur dalam Pasal 60 ayat (1) jo. Pasal 64.
Ibid.
24
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
6. Kesimpulan
25
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Daftar Pustaka
26
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
27
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
28
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
29
Abstrak
1 Safrina, S.H., M.H., M.EPM mendapatkan gelar sarjana dan master hukum dari
Universitas Syah Kuala, dan Master of Environmental Policy and Management
dari University of Adelaide, South Australia. Sekarang Penulis merupakan Staff
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Nanggroe Aceh
Darussalam, mengajar mata kuliah Hukum Dagang, Hukum Perusahaan, Hukum
Jaminan, Hukum Surat Berharga, dan Hukum Lingkungan.
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Abstract
1. Pendahuluan
31
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
dalam Produk Hukum Otonomi Daerah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), hal.
124.
4 Kim A. Johnston, “Community Engagement: A Relational Perspective”,
dalam Tebbutt, Cregan, and Kate (Editor), (Prosiding dalam Australia and New
Zealand Communication Association Annual Conference, 2007).
32
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
33
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
8Ibid.
9Pasal 70 ayat (1) UUPPLH, Ibid.
10 Pasal 70 ayat (2) UUPPLH, Ibid.
11 Ibid.
12 Indonesia, Undang-Undang tentang Pengelolaan Daerah Pesisir, UU No. 27
Tahun 2007, Lembaran Negara Tahun 2007 No. 84, Tambahan Lembaran Negara
No. 4739; Lihat juga Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
UU No. 1 Tahun 2014, Lembaran Negara Tahun 2014 No. 2, Tambahan Lembaran
Negara No. 5490.
13 Pasal 62 ayat (1) UU Pengelolaan Daerah Pesisir, Ibid.
14 Pasal 62 ayat (2) UU Pengelolaan Daerah Pesisir, Ibid.
34
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
15 Penulis menerjemahkan bebas dari bahasa asli, “Any group that shares a
location, interests or practices, defined by patterns of interaction among individuals,
perception of commonality or common interest and geography.” Sarkissian, et al,
Kitchen Table Sustainability: Practical Recipes for Community Engagement with
Sustainability, (UK: Earthscan, 2009).
16 Ibid.
17 Connor dalam Sarkissian, et al, Kitchen Table Sustainability: Practical
35
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
36
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
which a wide range of people work together to achieve a share goal guided by a
commitment to a common set of values, principles, and criteria.” Warburton, A
Passionate Dialogue: Community and Sustainable Development, 1998, dalam
Warburton, Community and Sustainable Development: Participation in the future, (UK:
Earthscan, 1998).
23 Aslin dan Brown, Towards Whole of Community Engagement: A Practical
37
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
karena sifat dari sumber daya hutan yang memiliki fungsi ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Oleh sebab itu, pengelolaan wilayah hutan
idealnya juga melibatkan masyarakat karena masyarakat yang tinggal di
sekitar hutan masih sangat tergantung pada manfaat hutan untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Situasi tersebut diistilahkan oleh Ostrom
sebagai “common-pool resources.” Dalam perkembangannya, teori modern
dari “common-pool” menyimpulkan bahwa keterlibatan berbagai pihak
(governance system) penting dalam pengelolaan sumber daya alam untuk
menghindari terjadinya eksploitasi sumber daya alam yang berdampak
pada rusaknya sumber alam dan menghilangkan fungsinya sebagai salah
satu komponen ekosistem yang saling terkait dengan komponen lainnya.
38
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
39
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
29 Sulaiman Tripa, “Lembaga Hukum Adat Laot dan Peran yang Terus
Berubah”, dalam Adli, et.al (ed), Kearifan Lokal di Laut Aceh, (Banda Aceh: Syiah
Kuala University Press, 2010), hal. 112, dan Kamaruzzaman, “Panglima Laot di
Aceh Masa Kini: Sebuah Tinjauan Sosial-Antropologi”, dalam Adli, et.al (ed),
Kearifan Lokal di Laut Aceh, (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2010),
hal. 5.
40
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
30 Wilson & Linkie, “The Panglima Laot of Aceh: a case study in large-scale
2001 (Sulaiman Tripa, Model Kebijakan Pengelolaan Perikanan; belajar dari Masyarakat
Lhok Rigaih Kabupaten Aceh Jaya, (Banda Aceh: Pusat Studi Hukom Adat Laot dan
Kebijakan Perikanan Universitas Syiah Kuala, 2012), hal. 13.
33 Ibid, hal. 13-14.
41
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Adli, et.al (ed), Kearifan Lokal di Laut Aceh, (Banda Aceh: Syiah Kuala University
Press, 2010), hal. 23.
35 Sulaiman Tripa, “Eksistensi Hukom Adat Laot Menuju Pengentasan
42
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
43
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
44
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
5. Pembahasan
45
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
46
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Daftar Pustaka
47
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
---------. 2010. Lembaga Hukum Adat Laot dan Peran yang Terus Berubah’, di
dalam Kearifan Lokal di Laut Aceh, edited by Adli, dkk, 95-122. Banda
Aceh: Syiah Kuala University Press.
48
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
49
T INDAKAN A FIRMATIF SEBAGAI B ENTUK K EADILAN PADA
P ENEGAKAN H UKUM L INGKUNGAN H IDUP DI L AUT :
S TUDI K ASUS MV H AI F A DAN N ELAYAN U JUNG K ULON
Rayhan Dudayev1
Abstrak
Upaya penegakan hukum yang tegas merupakan salah satu cara untuk
menjaga kelestarian lingkungan. Instrumen hukum lingkungan dibuat
dan ditegakkan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
Namun pada pelaksanaannya, penegakan hukum lingkungan tidak
senada dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Penegakan hukum
lingkungan seolah hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Dalam
tulisan ini, akan dibahas mengenai penegakan hukum lingkungan di
sektor maritim dalam dua kasus yang berbeda, berkaitan dengan
pelanggaran Undang-Undang Konservasi Nomor 5 Tahun 1990 Tentang
Koservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Perbedaan sebab akibat
dalam kasus yang berbeda tidak membuat hukum memperlakukan
kedua kasus tersebut secara berbeda karena adanya asas kesamaan
(equality before the law) dalam hukum. Tulisan ini akan memaparkan
penegakan hukum, terutama hukum pidana, ditinjau dengan perspektif
pembangunan berkelanjutan pada kasus nelayan dan kasus illegal fishing
yang melibatkan korporasi. Berangkat dari perspektif tersebut, tulisan ini
mencoba menganalisis alasan pentingnya tindakan afirmatif bagi
penegakan hukum di masing-masing kasus.
1Penulis adalah peneliti di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL),
mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Abstract
1. Pendahuluan
Sumber : http://bantenraya.com/banten-raya/pandeglang/8477-demo-minta-peradilan-3-
nelayan -adil diakses pada 7 Juli 2015.
3 “Gelombang Ganas Nelayan Miskin Penangkap 4 Udang Terbebas dari
49
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
“Jadi Tersangka, Empat Warga Adat Semende Banding Agung Dijerat
4
50
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
bobot tertentu. Padahal jika melihat ketentuan yang ada, kapal MV Hai
Fa telah melanggar beberapa peraturan yaitu: Pasal 16 UU ayat (1) UU
Perikanan (larangan ikan hasil tangkapan ke luar wilayah Indonesia),
Pasal 29 ayat (1) UU Perikanan (hanya WNI atau badan hukum Indonesia
yang dapat melakukan usaha perikanan di Indonesia), Pasal 35A ayat (1)
UU Perikanan (nakhoda dan anak buah kapal wajib berkewarganegaraan
Indonesia), Pasal 41 ayat (3) UU Perikanan (kewajiban mendaratkan ikan
tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan
lainnya yang ditunjuk), Pasal 41 ayat (4) UU Perikanan (kewajiban
melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang
ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk) dan Pasal 21 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (“UU No. 5 Tahun 1990”) yang melarang
menangkap ikan hiu martil dan hiu koboi dengan pidana penjara paling
lama 5 tahun dan denda Rp100.000.000,-.
51
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Tamanha, profesor hukum di St. John’s University School of Law, New York
tetang Sosio-legal Positivis yang menyatakan bahwa teori hukum umum tersebut
tidak bisa dibangun dari berbagai asumsi lama tentang relasi antara hukum dan
masyarakat, terutama anggapan hukum sebagai cerminan perilaku masyarakat.
Pada kenyatannya sering kali hukum menjadi tidak efektif karena kehidupan
masyarakat lebih diatur oleh norma-norma lainnya. Lihat: Donny Danardo,
“Mepertimbangkan Brian Z. Tamanaha: Sosio-Legal Positivis, Anti-Esensialisme, dan
Pragmatisme,” dalam Sosiologi Hukum dalam Perubahan (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2009), hal. 314.
15 Sudikno, op.cit., hal. 201.
16 Donny, op.cit., hal. 314.
52
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
terlepas dari nilai benar dan salah atau keadilan secara absolut, maka
hukum adalah pemenuhan kepentingan individu yang setara
diformulasikan sebagai kehendak mayoritas.17 Itu berarti kaidah hukum,
termasuk salah satunya asas equality before the law berlaku bagi siapapun,
tidak terkecuali.
Idealnya, equality before the law dapat berlaku bila setiap orang
memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan keadilan.20
Menurut logika silogisme hukum dengan penalaran deduktif,21
berdasarkan prinsip tersebut, setiap orang yang merambah hutan atau
melakukan kegiatan pemanfaatan di kawasan konservasi dapat dipidana
tanpa memandang kelas sosial dan aksesibilitasnya. Hukum tidak
memikirkan bahwa kemiskinan dan keadaan terpinggirkan timbul
karena dampak laten konstruksi politik dan ekonomi yang sebenarnya
disahkan oleh kebijakan hukum itu sendiri,22 yang menjauhkan orang
miskin dari akses keadilan dan sumber daya.
53
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Freda Adler, Criminology, (New York: McGraw-Hill, 2001), hal.35 .
23
247/Pid.B/2014/PN.Pdl.”
28 Global Positioning System merupakan Alat Pelacak untuk mengetahui
posisi keberadaan.
29Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.
SK3658/Menhut-VII/KUH/2014.
54
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Lihat:
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan 2, (Jakarta: Kanisius, 2007), hal.
152.
33 Jurgen Habermas merupakan salah satu tokoh teori kritis dari Jerman.
55
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Donny, loc.cit., hal. 331. 34
56
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, Lembaran Negara No. 140 Tahun 2009, Tambahan
Lembaran Negara No. 5059.
38 M. Jacobs, The Green Economy: Environment, Sustainable Develepoment and
the Politics of the Future (Pluto Press, 1991), hal. 79-80 dalam buku Sertifikasi
Hakim Lingkungan Hidup (Jakarta: ICEL, 2014), hal. 64.
39 Ibid., hal. 53. Prinsip intra generasi merupakan salah salah satu prinsip
sosial) pada pihak tertentu. Lihat: Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta:
Akademika Presindo, 1993), hal. 139.
57
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Ibid. 44
45 Ibid., hal. 15.
46 Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin
di 10.666 desa pesisir tersebar 300 kabupaten/kota dari total 524 kabupaten/kota
se-Indonesia mencapai 7,87 juta jiwa atau 25,14% dari total penduduk miskin
nasional yang berjumlah 31,02 juta jiwa. Lihat: Abdul Halim, Loc. Cit., hal. 113.
48 Di dalam pasal 18 UU 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
mengindikasikan adanya kewenangan diskresi pada Kepolisian Republik
Indonesia (Polri) yaitu: untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
58
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Mei 2015.
59
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Andri Guna Wibisana, Op.Cit., hal. 3.
54
Ibid., hal. 3. 56
57 Ibid.
58 Ibid.
59 Ibid., hal. 3.
60 Prinsip 7 Deklarasi Rio menyatakan: “States shall cooperate in a spirit of
global partnership to conserve, protect and restore the health and integrity of the Earth's
ecosystems. In view of the different contributions to global environmental degradation,
States have common but differentiated responsibilities. The developed countries
acknowledge the responsibility that they bear in the international pursuit of sustainable
development in view of the pressures their societies place on the global environment and of
the technologies and financial resources they command.” Lih: Deklarasi Rio, Op. Cit.
61 Andri G. Wibisana, Loc. Cit.
60
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Pada kasus MV Hai Fa, jaksa hanya menuntut pidana denda atas
pelanggaran terkait sistem pemantauan kapal, standar prosedur
operasional, dan membawa ikan yang dilarang untuk diperdagangkan,
dimasukan, dan dikeluarkan dari wilayah RI.62 Tuntutan didasarkan
fakta bahwa kapal tersebut tidak memilik Surat Layak Operasional
(SLO), tidak mengaktifkan alat transmitter yang disebut Vessel Monitoring
System (VMS) serta membawa hiu martil dan hiu koboi yang tidak boleh
dibawa keluar dari wilayah RI. Padahal, perbuatan yang bertentangan
dengan aturan perikanan lebih dari apa yang didakwakan. MV Hai Fa
juga tidak memiliki dokumen persetujuan impor barang. Selain itu,
ketentuan yang lebih berat yaitu Pasal 88 UU Perikanan serta pasal-pasal
lain yang disebutkan di bagian pendahuluan tidak masuk dalam
dakwaan jaksa. Terlepas dari tuntutan pidana badan yang perlu
ditujukan pada pengurus korporasi pada perusahaan yang
mengoperasikan kapal MV Hai Fa, satu hal yang mengecewakan dari
tuntutan tersebut yaitu kapal MV Hai Fa tidak dirampas63 berdasarkan
pasal 76A UU Perikanan agar dapat dimanfaatkan masyarakat Indonesia.
Sebagaimana disampaikan Menteri Susi di media massa,64 mesin
pendingin untuk menyimpan ikan dalam kapal MV Hai Fa merupakan
aset yang berharga khususnya bagi nelayan.
2015, http://news.detik.com/read/2015/03/29/093954/2872642/10/kasus-kapal-maling-
ikan-hai-fa-dituntut-ringan-penegak-hukum-harus-lebih-jeli, diakses pada 29 April
2015
64 Wiji Nurhayat, “Menteri Susi Ingin Kapal Terbesar dalam Sejarah
61
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
67 Indonesia, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981,
Lembaran Negara No. 76 Tahun 1981. Tambahan Lembaran Negara No. 3209,
Lih: Pasal 174 KUHP.
68 Indonesia menganut teori conviction de la raison dalam pembuktian
hukum pidana yaitu putusan hakim didasarkan pada keyakinan dan alasan logis.
Lih: M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjuan Kembali, Edisi 2, cet.
3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002).
69 Jika dicermati perbuatan yang dilanggar oleh subyek di dalam kasus
62
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Hukuman itu, tidak hanya dapat ditujukan kepada nakhoda kapal, tetapi
juga pengurus korporasi, termasuk pimpinan perusahaan.
dijatuhkan, yaitu pasal 92 UU 31 2004 dengan sanksi terberat yaitu delapan tahun
dan ditambah sepertiga, menjadi 10 (sepuluh) tahun 8 (delapan) bulan.
72 Di dalam pasal 116 ayat (1) UU 32 Tahun 2009, badan usaha dapat
dijatuhi sanksi pidana. Dalam hal ini pidana penjara dapat dijatuhkan kepada
pemberi perintah atau pemimpin kegiatan, tetapi pidana pokok yang dapat
dijatuhkan kepada korporasi hanyalah denda. Tetapi, di dalam undang-undang
tersebut, korporasi dimungkinkan untuk mendapatkan pidana tambahan berupa
penutupan seluruh korporasi dan pembatasan aktivitas korporasi, sehingga
korporasi seolah mendapatkan pidana penjara atau kurungan sebagaimana
istilah corporate imprisonment. Lih: Raynaldo Sembiring, et.al., Anotasi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, (Jakarta: ICEL, 2014), hal. 274.
73 Sutan Rehmi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta:
63
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
memberi perintah atau bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana. Lih:
Raynaldo Sembiring dkk, Op. Cit., hal. 272.
75 Lihat Kasus Lumpur Lapindo.
76 Andri G. Wibisana, Op. Cit., hal. 6.
77 “Moratorium Ekspor Hiu Martil dan Hiu Koboy,” Maritime Magazine, 7
dampak positif bagi kesehatan padang lamun. Hiu ini merupakan pemangsa
kura-kura, ketika hiu tidak ada, kura-kura tersebut menghabisi seluruh nutrisi
64
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
6. Penutup
terbaik yang membuat habitat ini hancur. Keberadaan hiu membuat kura-kura di
daerah tersebut berpencar untuk makan di berbagai wilayah. “Sharks Role in The
Ocean,” Sumber: http://www.sharksavers.org/en/education/the-value-of-
sharks/sharks-role-in-the-ocean/ 19 April 2015.
80Andri Wibisana, Op. Cit., hal. 4.
81 Soedikno Merto Koesomo, loc.cit., hal. 76.
65
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Daftar Pustaka
Adler, Freda. Criminology. New York: McGraw-Hill, 2001.
66
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Asshiddiqie, Prof.Dr. Jimly dan M. Ali Sa’at. Teori Hans Kelsen. Jakarta:
Konpress, 2012.
Tim Penulis ICEL. Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup. Jakarta: ICEL, 2014.
67
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
68
PENGELOLAAN AIR BALAS:
KERANGKA HUKUM INTERNASIONAL DAN PERBANDINGAN
HUKUM DI INDONESIA
Eliza Dayinta Harumanti1
Abstrak
Abstract
This article attempts to discuss Indonesia’s policy on ballast water exchange with
regard to protection of the marine environment in Indonesia’s water
1
Asisten Peneliti pada Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
1. Pengantar
Sistem air balas adalah sistem yang sangat penting di dalam suatu
kapal. Sistem air balas ini digunakan untuk menyeimbangkan kapal
ketika kapal tidak membawa muatan sesuai dengan kapasitas maksimal
mereka. Hal ini menjadi penting untuk menghadapi cuaca buruk ketika
kapal berlayar di tengah samudera.2 International Maritime Organization
atau Organisasi Maritim International (“IMO”) mengartikan air balas
sebagai “water with its suspended matter taken on board a ship to control trim,
list, draught, stability or stresses of the ship.”3
2
“Ballast Water”, http://www.epa.vic.gov.au/your-
environment/water/ballast-water, diakses pada 20 Mei 2015.
3
“Ballast Water Management Convention,” International Convention for
the Control and Management of Ships’ Ballast Water and Sediments, IMO Doc.
BWM/CONF/36, 13 Februari 2004, art. 1(7).
4
Penghitungan standar ukuran kapal menggunakan banyak satuan ukur.
Satuan ukur yang sering sekali digunakan untuk mengukur kapasitas kapal kargo
adalah Twenty-Foot Equivalent Unit (TEU) atau Forty-Foot Equivalent Unit
(FEU). Sedangkan, berat kapal diukur dengan satuan Gross Tonnage (GT) Lihat:
Michael Bohlman, “ISO’s container standards are nothing but good news”, ISO
Bulletin, September 2001, hal. 12-15. Adapun ukuran kapal yang digunakan di
dalam Ballast Water Convention adalah GT. Lih: “Ballast Water Management
Convention, art.1(7).
5
A. Whitman Miller, et.al, “Geographic Limitations and Regional
Differences in Ships’ Ballast Water Management to Reduce Marine Invasions in
the Contiguous United States”, BioScience vol. 61, 2011, hal. 881.
70
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
6
Simon C. Barry, et. al., “Ballast Water Risk Assessment: Principles,
Processes, and Methods.” ICES Journal of Marine Science 65, (2008), hal. 121.
7
C.H. Ostenfeld, “On the Immigration of Bidulphia sinensis Grev. and its
occurrence in the North Sea during 1903-1907”, Meddelelser fra Kommissionen
fo Havundersogelser, Plankton Vol 1 No. 6, 1908, hal 2.
8
S.G. Bullard, et al., “Abundance and Diversity of Ascidians in the
Southern Gulf of Chiriquí, Pacific Panama”, Aquatic Invasions Vol 6 No. 4,
(2011), hal 381.
9
S. Gollasch, et al., “Life in Ballast Tanks” di dalam Invasive Aquatic
Species of Europe: Distribution, Impacts and Management, ed. E. Leppakoski, et
al., (Dordecht: Kluwer Academic Publishers, 2002), hal. 217-231.
71
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
10
Jenis flora dan fauna invasive ini dikenal dengan terminologi yang
bermacam-macam, seperti alien invaders dan Invasive Alien Species (IAS).
Untuk kepentingan penulisan artikel ini, terminology IAS akan digunakan untuk
menghindari kebingungan di dalam pembahasan.
11
A.M. Ibrahim dan M.A. El-naggar, “Ballast water Review: Impacts,
Treatments, and Management”, Middle-East Journal of Scientific Research Vol
12 No. 17, (2012), hal. 976.
12
C. Bright, Life Out of Bounds: Bioinvasion in a Borderless World ,
Worldwatch Environmental Alert Series (New York, NY: Norton, 1998), hal.
182.
72
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
13
“Sea Ballast and Zebra Mussels (Ballast),
http://www1.american.edu/ted/ballast.htm, diakses 22 Mei 2015; J. Ellen
Marsden, “Zebra Mussel Study on Lake Michigan, Annual Report to Illinois
Department of Conservation”, Illinois Natural History Survey, Center for
Aquatic Ecology, 1992, hal. 1.
14
G.C. Ray dan J. McCormick-Ray, “Coastal Marine Conservation:
Science and Policy”, (UK: Blackwell, 2004), hal. 252.
15
DM King, et.al. “Preview of Global Ballast Water Treatment”, Journal
of Marine Engineering and Technology, Vol 11, (2012), hal. 15.
16
MPA: at the Helm of New Waves, Port View Singapore, 2Q/2014,
https://www.singaporepsa.com/images/PortView/2014%20PortViewQ2/HTML/f
iles/assets/common/downloads/publication.pdf, diakses 22 Mei 2015.
73
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
17
United States Department of State, Bureau of Oceans and
International Environmental and Scientific Affairs, “Limits in the Seas, No.
141, Indonesia: Archipelagic and other Maritime Claims and Boundaries”,
dirilis 15 September 2014, hal. 6.
18
UNCLOS, “United Nations on the Law of the Sea”, 1833 UNTS 3, art.
194.
74
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
19
Daniel Bodansky, “Protecting the Marine Environment from Vessel-
Source Pollution: UNCLOS III and Beyond”, Ecology Law Quarterly Vol. 18
Issue 4, (1991), hal. 724-725.
20
UNCLOS, Op. Cit., art. 192.
21
Ibid., art. 194.
22
Ibid., art. 211
23
Ibid., art. 220.
24
Myron H. Nordquist, et al. (ed), “United Nations Convention on the
Law of the Sea, 1982: A Commentary, (1991), hal. 234.
25
Konvensi ini lebih dikenal dengan nama Marpol (Marine Pollution).
Terminologi Marpol akan digunakan selanjutnya di dalam pembahasan artikel
ini.
26
Marpol 73/78 Convention, “International Convention for the Prevention
of Pollution from Ships”, 1340 UNTS 61, art. 15.
27
Konvensi Marpol diamandemen pada tahun 1997 sedangkan Annex
keenam mulai berlaku pada tahun 2005. [International Convention for the
Prevention of Pollution from Ships (MARPOL), Sumber:
http://www.imo.org/About/Conventions/ListOfConventions/Pages/International-
Convention-for-the-Prevention-of-Pollution-from-Ships-(MARPOL).aspx,
diakses pada 27 Mei 2015.
75
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
28
Marpol 73/78 Convention, art. 1.
29
IMO Assembly Resolution A. 774 (18), Guidelines for Preventing the
Introduction of Unwanted Organism and Pathogens from Ships’ Ballast Water
and Sediment Discharges, 4 November 1993, Sumber:
http://www.sjofartsverket.se/upload/5121/774.pdf, diakses 29 Mei 2015.
30
IMO Resolution A. 868(20), Guidelines for the Control and
Management of Ships’ Ballast Water to Minimise the Transfer of Harmful
Organism and Pathogens, 27 November 1997, Sumber:
76
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
http://globallast.imo.org/wp-content/uploads/2015/01/ Resolution-
A.868_20_english.pdf, diakses 29 Mei 2015.
31
IMO Assembly Resolution A. 774 (18), guideline 4, par. 1; IMO
Resolution A. 868(20), guideline 4 par. 3.
32
IMO Assembly Resolution A. 774 (18), guideline 6, par. 1.
33
IMO Resolution A. 868(20), guideline 4 par. 1.
34
Sarah McGee, “Proposals for Ballast Water Regulations: Biosecurity in
an Insecure World”, Colorado Journal of International Environmental Law and
Policy Vol 141, (2012), hal. 153.
35
Tony George Puthucherril, “Ballast Waters and Aquatic Invasive
Species: A Model for India”, Colorado Journal of International Environmental
Law and Policy Vol 19, (2008), hal. 394.
77
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
36
Hellen Foncesa de Souza Rolim, The International Law on Ballast
Water: Preventing Biopollution, (Leiden, Boston: Martinus Nijhoff Publishers,
2008), hal. 53.
37
Moira McConnell, GloBallast Legislative Review: Final Report
GloBallast Monograph, Series No. 1, (London:IMO, 2002), hal. 32.
38
Selanjutnya akan disebut dengan BWM Convention.
39
BWM Convention, Section B, Regulation B-1.
40
Ibid, Section C, Regulation C-1.
41
Ibid,Section C, Regulation C-2.
78
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
42
Ibid, Section B, Regulation B-4.
43
Ibid.
44
BWM Convention, Section D, Regulation D-1.
45
Ibid,Section D, Regulation D-2.
46
Ibid,Section D, Regulation D-4.-4
47
IMO, “Status of multilateral Conventions and instruments in respect of
which the International maritime organization or its Secretary-General performs
depositary or other functions”, 18 May 2015.
48
“This Convention shall enter into force twelve months after the date on
which not less than thirty States, the combined merchant fleets of which
constitute not less than thirty-five percent of the gross tonnage of the world’s
merchant shipping, have either signed it without reservation as to ratification,
acceptance, or approval, or have deposited the requisite instrument of
ratification, acceptance, approval or accession […]” Lih: BWM Convention, art.
18 par. 1.
79
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
49
Transport Canada, “Discussion Paper: Canadian Implementation of the
Ballast Water Convention”, 26 Oktober 2012, hal. 5.
50
United States Ballast Water Regulations,
http://el.erdc.usace.army.mil/zebra/zmis/zmishelp/united_states_ballast_
water_regulations.htm, diakses 1 Juni 2015.
51
The Great Lakes Seaway Ballast Water Working Group, “2013
Summary of Great Lakes Seaway Ballast Water Working Group February 2014”,
hal. 2.
52
Transport Canada, op. cit.
80
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
53
Canada, Ballast Water Control and Management Regulations, 2006,
SOR/2011-237.
54
Canada, Canada Shipping Act, 2001, S.C. 20001, c. 26.
55
Canada, Ballast Water Control ad Management Regulations, Pasal 4
ayat (1).
56
Transport Canada, loc. cit., hal. 7.
57
Canada, Ballast Water Control and Management Regulations, Pasal 8.
58
Ibid, Pasal 9.
59
Ibid,Pasal 11 ayat (1).
81
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Pada tahun 2013, semua kapal yang masuk ke daerah Great Lakes
dari luar zona ekonomi eksklusif Kanada menempuh pemeriksaan
pengelolaan air balas pada saat kapal tersebut transit. Jumlah kapal yang
diinspeksi mencapai 6803 tank air balas dari 371 kapal. Kapal yang tidak
mengikuti prosedur yang telah diatur Canada Ballast Water Regulation
diharuskan untuk tetap membawa air balas dan residunya karena tidak
diperbolehkan untuk mengganti di daerah Great Lakes, mengolah air
balas di wilayah lain yang aman bagi lingkungan, atau kembali ke laut
untuk melakukan pembuangan dan kembali dengan air balas yang
diambil dari wilayah 200 mil dari garis pantai Kanada. Proses verifikasi
ini membuktikan bahwa tidak air balas yang dibuang di daerah Great
Lakes yang tidak memenuhi prosedur. Di tahun itu, semua kapal yang
masuk ke Great Lakes Seaway tidak dilengkapi dengan sistem
pengelolaan air balas.61 Namun, sistem inspeksi dan verifikasi ini terbukti
efektif karena berhasil mencegah masuknya IAS ke dalam ekosistem
Great Lakes sejak tahun 2006.62
60
Ibid,Pasal 11(2).
61
The Great Lakes Seaway Ballast Water Working Group, loc. Cit.
62
S.A. Bailey, et.al., “Evaluating Efficacy Of An Environmental Policy to
Prevent Biological Invasions”, Environmental Science and Technology Vol. 45,
(2011), 2554-2561.
63
Malaysia, Implementation of Internaitonal Convention for the Control
and Mangement of Ships’ Ballast Water and Sediments, 2004 (BWM
Convention), MSN 28/2011.
64
Jabatan Laut Malaysia, Installation of Ballast Water Treatment System,
MSN 04/2012, angka 2.
82
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
4. Praktik di Indonesia
65
Ibid. angka 1.
66
Installation of Ballast Water management System for the Ships Calling
at Malysian Ports, http://www.ombros-consulting.com/?p=1164, diakses tanggal
1 Juni 2015.
67
DM King, et.al, loc. cit., hal. 6.
68
More Countries Get Behind Ballast Water Convention, Sumber:
http://www.tradewindsnews.com/weekly/347257/More-countries-get-behind-
ballast-water-convention, diakses 1 Juni 2015.
69
Pencemaran Air Ballast Ancam Perairan Batam,
http://kepri.antaranews.com/berita/28809/pencemaran-air-ballast-ancam-
perairan-batam, diakses 1 Juni 2015.
83
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
70
A.W. Miller, et. al, Status and Trends of Ballast Water Mangement in
the United States, Third Biennal Report of the national Ballast Information
Clearinghouse, Submitted to the United States Coast Guard, 2007, hal. 18.
71
Indonesia, PM 29 Tahun 2014, Peraturan Menteri Perhubungan
Republik Indonesia tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim,
Berita Negara Nomor 1115 Tahun 2014, Pasal 1 ayat (2).
72
Ibid, Pasal 10 huruf h.
73
Ibid, Pasal 17(a).
74
Ibid, Pasal 27.
84
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
75
Ibid, Pasal 49.
76
Ketentuan ini sama dengan Regulation D BWM Convention.
77
Indonesia, PM 29 Tahun 2014, loc. cit.,Pasal 50.
85
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
78
Indonesia, PP Nomor 37 Tahun 2002, Peraturan Pemerintah tentang
Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak
Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan, LN
No 71 Tahun 2002, TLN No. 4210.
79
UNCLOS, art.211 (2).
86
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Selain itu, hal yang juga luput untuk diatur di dalam pengaturan
mengenai pencegahan pencemaran lingkungan laut adalah tidak
menyertakan Kementerian Lingkungan Hidup sebagai pihak yang
terlibat dalam sistem koordinasinya. Dengan mengambil contoh
pengaturan di dalam PM 29/2014, hanya Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Kementerian Perhubungan yang
mendapatkan otoritas untuk melaksanakan fungsi pengawasan teknis
terhadap pelaksanaan peraturan. Hal ini sebenarnya sesuai dengan misi
Dirjen Hubla untuk menyelenggarakan perlindungan lingkungan
maritim di perairan nusantara.80 Peran Kementerian Lingkungan Hidup
akan sangat dibutuhkan apabila Indonesia ingin mengatur perlindungan
lingkungan maritime secara komprehensif, termasuk upaya mitigasi
pencemaran akibat pertukaran air balas jika diindikasikan telah terjadi.
6. Kesimpulan
80
Sumber: http://hubla.dephub.go.id/profil/Pages/Visi-Misi.aspx, diakses
pada tanggal 25 Juli 2015.
87
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Daftar Pustaka
88
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Barry, Simon C., et. al., “Ballast Water Risk Assessment: Principles,
Processes, and Methods.” ICES Journal of Marine Science 65, (2008).
89
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Miller, A.W. et. Al. Status and Trends of Ballast Water Management in
the United States, Third Biennal Report of the national Ballast
90
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
Nordquist, Myron H., et al. Ed. United Nations Convention on the Law of
the Sea, 1982: A Commentary. 1991.
Ostenfeld, C.H. “On the Immigration of Bidulphia sinensis Grev. and its
Occurrence in the North Sea during 1903-1907” Meddelelser fra
Kommissionen fo Havundersogelser, Plankton Vol 1 No. 6. (1908).
91
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
http://el.erdc.usace.army.mil/zebra/zmis/zmishelp/united_states_ballast_water_r
egulations.htm, diakses 1 Juni 2015.
http://www.imo.org/About/Conventions/ListOfConventions/Pages/International
-Convention-for-the-Prevention-of-Pollution-from-Ships-(MARPOL).aspx,
diakses 27 Mei 2015.
92
ULASAN
UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2014 TENTANG KELAUTAN
“PENEGAKAN HUKUM DI LAUT: PELUANG DAN TANTANGAN”
Margaretha Quina merupakan Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law
(ICEL), sedangkan Henri Subagiyo merupakan Direktur Eksekutif ICEL.
1 Penjelasan Umum, UU Kelautan. Lih: Undang-Undang Kelautan, UU No. 32
Tahun 2014, Lembaran Negara No. 294 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara No.
5603.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015
Setidaknya ada dua isu besar yang selama ini muncul terkait dengan
kelautan. Pertama, tentang pengelolaan laut mulai dari kebijakan
perencanaan hingga pemanfaatan sumber daya laut. Kedua, tentang
pengawasan dan penegakan hukum di laut. Kedua isu tersebut patut kita
cermati dan sudah selayaknya harus mampu dijawab, baik secara normatif
dalam ketentuan UU dan aturan pelaksananya maupun pada tataran
empiris pelaksanaannya. Fokus tulisan ini adalah pada isu kedua, yaitu
terkait dengan penegakan hukum. Tanpa bermaksud mengesampingkan
isu pengelolaan, penegakan hukum merupakan pilar terakhir dalam
menjaga kedaulatan dan memastikan agar sumber daya laut dapat dikelola
secara berkelanjutan untuk tujuan pembangunan nasional. Meskipun
demikian, kita perlu garis bawahi bahwa penegakan hukum tidak dapat
berjalan dengan efektif jika masih banyak kelemahan pada aspek
pengelolaan.
94
ULASAN UNDANG-UNDANG
95
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015
diakses di http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt548e81c137787/presiden-
jokowi-resmi-bentuk-badan-keamanan-laut pada 15 Agustus 2015.
5 Lihat: Usadi, Op. Cit.
6 Lih: Pasal 62 UU Kelautan, Op. Cit.
7 Id.
8 Loc. Cit.
96
ULASAN UNDANG-UNDANG
Bagi Bakamla, hal ini dapat berarti tumpang tindih atas tugas dan
kewenangan lembaga yang dulunya berada di bawah koordinasi
Bakorkamla; atau kebalikannya – adanya ruang penegakan hukum yang
justru tidak terjamah oleh semua instansi penegak hukum karena
kurangnya pemahaman akan pola interaksi dan koordinasi fungsi antar
lembaga.
Hal lainnya yang perlu kita cermati bahwa di laut ada banyak aspek
dan kegiatan yang menentukan pula banyaknya potensi pelanggaran.
Kondisi ini tentu harus dipertimbangkan dalam mencermati kapasitas
kelembagaan Bakamla. Sayangnya, tugas dan fungsi yang cukup besar bagi
Bakamla ternyata tidak diimbangi oleh kewenangan yang diberikan oleh
UU kepadanya. Untuk menjalankan tugas dan fungsi tersebut, baik UU
Kelautan maupun Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang
Badan Keamanan Laut hanya memberikan tiga kewenangan, yaitu: (1)
melakukan pengejaran seketika; (2) memberhentikan, memeriksa,
menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang
berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut; dan (3)
mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah
perairan Indonesia dan
97
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015
Hal kedua yang perlu Bakamla perhatikan terkait dengan tugas dan
fungsi Bakamla disuarakan dalam kaitannya dengan tugas dan fungsi
Lembaga Penjagaan Laut dan Pantai (“Sea and Coast Guard”)9 yang
dimandatkan dalam UU Pelayaran. Hingga kini, Sea and Coast Guard masih
belum terbentuk, bahkan PP yang dimandatkan oleh UU Pelayaran untuk
mengatur mengenai lembaga ini belum juga tuntas. Padahal, UU Pelayaran
memandatkan fungsi penegakan dan pengaturan peraturan perundang-
undangan di laut dan pantai kepada Sea and Coast Guard.10 Jika
disandingkan, kedua lembaga ini memiliki tugas dan fungsi yang sulit
dibedakan dalam hal penegakan hukum. Salah satu tugas koordinasi Sea
and Coast Guard bahkan dirumuskan persis dengan fungsi Bakamla, yaitu
and Coast Guard) adalah lembaga yang melaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan
peraturan perundang-undangan di laut dan pantai yang dibentuk dan bertanggung
jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional ilaksanakan oleh Menteri.
10 Pasal 267 UU Pelayaran.
98
ULASAN UNDANG-UNDANG
11 Lihat: Pasal 277 ayat (2) huruf (c) UU Pelayaran dengan 26 huruf (c) UU
Kelautan.
12 Pasal 277 ayat (2) huruf (a) dan (b) UU Pelayaran.
13 Id., huruf (b) dan (e)
14 Lihat: Pasal 47 UU Kelautan, Op. Cit.
99
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015
ruang laut memang diatur oleh UU ini, termasuk persyaratan izin lokasi
yang dibebankan kepada pemanfaat ruang laut.
Hal lain yang patut diwaspadai adalah pengenaan pasal pidana ini
terhadap kaum marjinal dan individu-individu dengan modal sosial yang
lemah. Belajar dari pemidanaan di sektor lingkungan hidup lain, seperti
perambahan hutan atau perlindungan satwa langka, penegakan hukum
pidana kerap tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Spirit pemidanaan yang
mendambakan penegakan hukum yang efektif dengan diskresi yang
mempertimbangkan fakor efektivitas, efek jera, dan besaran kasus harus
dipertahankan dan mampu menyasar aktor-aktor strategis. Perlu diingat
bahwa pidana merupakan ultimum remedium, dan jika upaya lain telah
terbukti tidak efektif seharusnyalah pidana dijatuhkan. Di lain pihak, orang
perorangan yang miskin, termarjinalkan, atau terhimpit pilihan terbatas
seharusnya diutamakan untuk dibina, bukan dijerat dengan pasal pidana
tanpa satupun upaya pembinaan.
100
ULASAN UNDANG-UNDANG
suku cadang, peralatan kapal dan/atau perawatan kapal. Lih: Pasal 27 ayat (1) UU
Kelautan
17 Jasa maritime a.l. dapat berupa pendidikan dan pelatihan, pengangkatan benda
berharga atas muatan kapal tenggelam, pengerukan dan pembersihan alur pelayaran,
reklamasi, pencarian dan pertolongan, remediasi lingkungan, jasa konstruksi dan/atau
angkutan sungai, danau, penyeberangan dan antarpulau. Lih: Pasal 27 ayat (2) UU
Kelautan.
101
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015
102
ULASAN UNDANG-UNDANG
103
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015
104
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
PEDOMAN PENULISAN
J
urnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) adalah media enam bulanan
yang diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
sebagai upaya mempublikasikan ide dan gagasan mengenai hukum
lingkungan dan regulasi mengenai sumber daya alam. Jurnal Hukum
Lingkungan Indonesia ditujukan bagi pakar dan para akademisi, praktisi,
penyelenggara Negara, kalangan LSM serta pemerhati dan penggiat hukum
lingkungan dan permasalahan tata kelola sumber daya alam.
Beberapa topik* yang dapat menjadi acuan dalam menyempitkan tema tersebut
adalah: (1) perlindungan terhadap spesies terancam punah (endangered species),
termasuk perburuan dan perdagangan internasional baik legal maupun illegal;
(2) hak masyarakat adat dan hak asasi manusia dalam konservasi; (3)
pengelolaan kawasan konservasi keanekagaraman hayati, termasuk
pengamanan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; (4) perdebatan hukum
dalam preservasi versus konservasi lingkungan (nilai guna dan non-guna); (5)
akses dan pembagian keuntungan sumber daya genetik; (6) perlindungan
sumber daya genetik; dan (7) penegakan hukum (administrasi, pidana atau
perdata).
Untuk setiap topik, diharapkan ulasan dapat menjawab satu atau lebih
pertanyaan kunci berikut:
xi
P EDOMAN P ENULISAN
Prosedur Pengiriman**
Pemilihan Tulisan
Pemilihan tulisan akhir melalui Sidang Redaksi yang terdiri dari para peneliti
ICEL dan Mitra Bebestari. Tulisan yang dimuat akan diberikan honorarium
yang layak, sementara tulisan yang tidak dimuat akan diberikan notifikasi pada
tanggal 30 November 2015 dan merupakan hak penulis sepenuhnya. Sidang
Redaksi dapat meminta penulis untuk melakukan perbaikan substansi maupun
teknis terhadap tulisannya.
Persyaratan Formil
xii
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
satu alinea. Abstrak mengandung ringkasan dari latar belakang, tujuan,
metodologi, hasil dan kesimpulan;
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai
dengan EYD dengan kalimat yang efektif;
3. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4 dengan
margin kiri 4 cm; kanan, atas, dan bawah 3 cm. Tulisan menggunakan
huruf Times New Roman (TNR) 12 pt, spasi satu setengah tanpa spasi
antar paragraph, dengan panjang naskah 4000 – 5000 kata.;
4. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah
dengan keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir
naskah setelah daftar pustaka;
5. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan
ilmiah/seminar/lokakarya namun belum pernah diterbitkan dalam
bentuk prosiding, perlu disertai keterangan mengenai pertemuan
tersebut sebagai catatan kaki;
6. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf
kapital. Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf
miring;
7. Semua kutipan harus mencantumkan referensi, dengan catatan kaki
atau catatan akhir dengan format Chicago style sebagaimana dijelaskan
dalam poin 7 dan 8, dan daftar pustaka pada bagian akhir naskah.
8. Tabel dan/atau gambar juga harus mencantumkan sumber. Untuk
memudahkan koreksi naskah, diharapkan penulisan catatan kaki
(footnote) mengikuti ketentuan:
a. Phillipe Sands, Principles of Environmental Law, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2007), hlm. 342 – 344;
b. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan
ke-8, Edisi ke-5, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1991), hlm. 201 – 208;
c. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De
Structuur der Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidharta,
(Bandung: PT Alumni, 2003), hlm. 7;
d. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”, Sinar
Harapan, 15 Januari 2014;
e. Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di
Indonesia”, http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2
Januari 2005.
Sedangkan untuk penulisan Daftar Pustaka sebagai berikut:
a. Sands, Phillipe. 2007. Principles of Environmental Law.
Cambridge: Cambridge University Press.
xiii
P EDOMAN P ENULISAN
xiv
Indonesian Center for Environment Law
Jl. Dempo II No.21, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120
Phone: (021) 7262740, 7233390
Fax: (021) 7269331
www.icel.corid | jurnal@icel.or.id