Anda di halaman 1dari 116

JURNAL HUKUM

LINGKUNGAN INDONESIA
Vol. 2 Issue 1, Juli 2015
REDAKSI DAN MITRA BEBESTARI

Dewan Penasehat
Mas Achmad Santosa, SH. LL.M.
Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si.
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.
Indro Sugianto, SH. M.H.
Sandra Moniaga, SH., LL.M.
Yuyun Ismawati
Dadang Trisasongko, S.H.

Penanggung Jawab
Henri Subagiyo, S.H., M.H.

Pemimpin Redaksi
Margaretha Quina, S.H., LL.M.

Redaktur Pelaksana
Dayinta Harumanti, S.H.

Sidang Redaksi
Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D. Feby Ivalerina, SH., LL.M.
Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum. Dyah Paramita, S.H., LL.M.
Sukma Violetta, S.H., LL.M. Haryani Turnip, S.H.
Josi Khatarina, S.H., LL.M. Dessy Eko Prayitno, S.H.
Rino Subagyo, S.H. Citra Hartati, S.H., M.H.
Windu Kisworo, S.H., LL.M. Raynaldo G. Sembiring, SH.
Prayekti Murharjanti, SH., M.Si. Astrid Debora, S.H.

Mitra Bebestari
Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.

Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya


kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan
dalam penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.

iii
 
PENGANTAR REDAKSI
Mengembalikan Kejayaan Maritim Indonesia
Berlandaskan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

I
ndonesia adalah sebuah negara yang terlahir dalam bentuk kepulauan.
Meskipun konsep ini secara de jure baru dikenal sejak diumumkannya
Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957, Indonesia telah menunjukkan
potensinya sebagai negara yang memiliki kekuatan maritim sejak zaman
Kerajaan Majapahit. Peninggalan hukum Ordonantie Belanda tahun 1933 yang
mengatur bahwa batas laut teritorial suatu negara diukur sejauh 3 mil laut dari
garis pangkal telah lama mengusik intergitas Indonesia sebagai negara
kepulauan. Pembatasan tersebut telah membuat adanya ruang kosong yang
diartikan sebagai laut lepas di antara wilayah laut Indonesia yang luas sehingga
banyak kapal asing yang melewati wilayah laut di antara pulau-pulau di
Indonesia. Hal ini yang menimbulkan banyak pemberontakan yang
ditunggangi kepentingan asing pada masa sebelum Deklarasi Juanda.
Pengakuan Negara Kepulauan Republik Indonesia oleh dunia
internasional menempuh proses yang panjang selama 30 tahun. Konsep negara
kepulauan yang dicantumkan di dalam Deklarasi Juanda tidak diterima di
dalam pembahasan Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
kedua pada tahun 1958. Konsep negara kepulauan baru diterima setelah
diplomasi panjang selama tiga tahun persiapan Konferensi Hukum Laut yang
Ketiga di Jamaika. Konsep archipelagic states (negara kepulauan) serta
archipelagic waters (perairan kepulauan) akhirnya dimasukkan ke dalam norma
hukum laut internasional yang tercantum di dalam the Third United Nations
Convention on The Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982).
Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang-Undang Nomor
17 Tahun 1985. Sejak saat itu, Indonesia menjadi negara terdepan yang
mempraktikkan konsep negara kepulauan. Wilayah laut Indonesia diatur
secara formal dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia. Indonesia juga menjadi satu-satunya negara kepulauan di dunia
yang telah mengatur tentang alur laut kepulauan yang diamanatkan oleh
UNCLOS 1982 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002. Penetapan
alur laut kepulauan tersebut menjamin hak negara asing untuk melintasi
wilayah laut kepulauan Indonesia.
Indonesia juga adalah pasar yang besar, terletak di silang dunia, dan
hingga saat ini, memiliki situasi politik yang cukup stabil. Dengan kenyataan
tersebut, Indonesia memiliki nilai-nilai strategis bagi para investor untuk
melakukan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment),
meskipun beberapa hal, utamanya infrastruktur, perlu juga diperhatikan.
Karena, terlepas dari karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan dengan
garis pantai terpanjang kedua di dunia, infrastruktur, industri, dan jasa maritim
Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal. Padahal, ketiga hal tersebut

iv  
 
merupakan komponen operasional utama menuju negara maritim yang kuat
dan katalisator pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Harus diakui bahwa kekuatan sebagai negara maritim telah lama
dinafikan oleh pemerintah. Pendekatan pengambilan kebijakan di masa lalu
tidak banyak mengoptimalkan wilayah laut Indonesia sebagai kekuatan bangsa
baik dari segi ekonomi maupun pertahanan. Akibatnya, banyak sumber daya
alam kelautan yang diambil oleh pihak asing akibat lemahnya mekanisme
pengawasaan dan monitoring wilayah laut Indonesia. Munculnya konflik yang
menegangkan dengan negara tetangga terkait batas laut teritorial seringkali
terjadi, khususnya di Perairan Laut Ambalat. Perhatian untuk pengembangan
pelabuhan-pelabuhan internasional di sekitar wilayah Traffic Separation
Scheme (TSS) Selat Malaka membuat Indonesia kalah bersaing dengan
Pelabuhan Singapura akibat pengaturan kerangka hukum Indonesia yang tidak
menguntungkan para pemilik kapal untuk menyandarkan kapalnya di
pelabuhan di Indonesia. Selain itu, Indonesia belum memiliki mekanisme
perlindungan lingkungan laut yang jelas. Hal ini tercermin dalam
ketidakberdayaan Pemerintah Indonesia untuk menuntut kompensasi atas
kasus tumpahan minyak Montara di Laut Timor pada tahun 2009. Banyak
pekerjaan rumah bagi Pemerintah Indonesia dalam peningkatan kualitas
sumber daya manusia dan pembentukan sistem terkait wilayah lautnya sendiri
yang tidak terselesaikan selama ini.
Perubahan pendekatan geopolitik dalam masa pemerintahan Presiden
Joko Widodo akan kembali menentukan posisi Indonesia di dalam peta politik
dunia sebagai negara maritim yang besar. Selain itu, perlu disadari bahwa
poros maritim dunia yang dicanangkan mengandung banyak aspek yang perlu
diperhatikan. Hal-hal ini mendasari pemilihan tema “Menuju Poros Maritim
Dunia Berkelanjutan” untuk edisi Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia
Volume II Issue 1. Berbagai analisis yang terdapat di dalam tulisan-tulisan yang
dimuat di dalam jurnal ini diharapkan mampu membuka pandangan khalayak
ramai tentang urgensi bagi masyarakat Indonesia untuk saling bekerja sama
dalam meperhatikan isu yang terjadi wilayah laut Indonesia demi mencapai
kemakmuran bangsa.

Jakarta, Juli 2015,


Redaksi

v  
 
DAFTAR ISI

Redaksi & Mitra Bebestari .......................................................................................... iii


Pengantar Redaksi ....................................................................................................... iv
Daftar Isi........................................................................................................................ vi
Artikel Ilmiah
1. Analisis Hukum Terhadap Pengaturan Pengelolaan Perikanan Berbasis
Masyarakat Di Indonesia
Ahmad Marthin Hadiwinata, S.H., M.H. ................................................... 1
2. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Di Aceh
Safrina, S.H, M.H, M.EPM .......................................................................... 30
3. Tindakan Afirmatif sebagai Bentuk Keadilan pada Penegakan Hukum
Lingkungan Hidup di Laut : Studi Kasus MV Hai Fa dan Nelayan
Ujung Kulon
Rayhan Dudayev .......................................................................................... 48
4. Pengelolaan Air Balas: Kerangka Hukum Internasional dan
Perbandingan Hukum di Indonesia
Eliza Dayinta Harumanti, S.H. ................................................................... 68
Ulasan Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan “Penegakan
Hukum di Laut: Peluang dan Tantangan”
Margaretha Quina & Henri Subagiyo .................................................................... 93
Penutup Redaksi ......................................................................................................... vii
Pedoman Penulisan Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia ................................ viii

vi
ANALISIS HUKUM
TERHADAP P ENGATURAN P ENGELOLAAN P ERIKANAN
B ERBASIS M ASYARAKAT DI I NDONESIA
Ahmad Marthin Hadiwinata ∗

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis ketentuan hukum nasional
dalam pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (PPBM). Penulis
menggunakan kerangka analisis Kuemlangan dan Teigene dalam
artikelnya yang berjudul: “An Overview Of Legal Issues And Broad
Legislative Considerations For Community Based Fisheries
Management.” Tidak ada cetak biru dalam menciptakan kerangka
hukum bagi PPBM namun hukum akan menentukan pengaturan
mengenai PPBM. Perlu untuk melakukan penilaian terhadap penerimaan
konstitusi atas PPBM dengan contoh hak kepemilikan bersama serta
bagaimana desentralisasi kewenangan pengelolaan diatur. Penulis
menemukan kemungkinan adanya konflik berdasarkan UU Perikanan,
UU PWP3K dan UU Pemda dalam pengelolaan sumber daya perairan
dan laut. Desa sebagai peluang penciptaan PPBM dapat menerapkan
empat prinsip yaitu jaminan, ekslusivitas, keberlangsungan serta
fleksibilitas. Tetapi terdapat hambatan dengan tidak terintegrasinya
PPBM dalam kerangka hukum perikanan yang lebih luas. Penulis
menyarankan adanya perubahan kebijakan menyeluruh dalam hukum
perikanan yang mengakui pengelolaan oleh masyarakat dalam
perikanan.

Kata kunci: Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat, Hukum Perikanan,


Desentralisasi, Hak Milik Bersama.

                                                                                                                       
Penulis merupakan Deputi Advokasi Hukum dan Kebijakan Hukum di Koalisi Rakyat

untuk Keadilan Perikanan (KIARA), yang berfokus terhadap isu perikanan dengan perspektif
hak asasi manusia, terutama bagi nelayan tradisional dan pembudidaya.
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Abstract
This article aims to analyze the provisions of national law in a
community-based fisheries management (CBFM). The author uses
analytical framework Kuemlangan and Teigenen in an article entitled:
“An Overview Of Legal Issues And Broad Legislative Considerations For
Community Based Fisheries Management.” There is no blueprint in
creating a legal framework but the law will define the arrangements
regarding CBFM. There is a need to conduct an assessment of the
constitutionality of CBFM, for example related to the common property
rights and decentralization of management authority. The author
discovered a possible conflict based on Fisheries Act, Coastal and Small
Island Act and Local Government Act in the management of marine
resources. Villages as opportunities for establishing CBFM can apply four
principles such as: security, exclusivity, permanence and flexibility.
However, there are constraints in the integration of CBFM in the wider
legal framework of fisheries. The author suggests a comprehensive legal
reform in the fishery law to recognize community management with
regard to fisheries.

Keywords: Community Based Fisheries Management, Fisheries Law,


Decentralized, Common Property

1. Pendahuluan

Menipisnya sumber daya persediaan ikan di dunia diyakini


disebabkan oleh rezim akses terbuka yang menganggap bahwa
persediaan ikan tidak terbatas dan dapat pulih dengan sendirinya.1
Rezim akses terbuka bergerak ke bentuk pengelolaan yang membatasi
akses terhadap sumber daya ikan, antara lain dengan menggunakan
pendekatan berbasis hak yang menciptakan rezim hak-hak kepemilikan
(property rights) atas sumber daya.2 Salah satu bentuk rezim hak
kepemilikan adalah kepemilikan bersama (common / collective property),

                                                                                                                       
1
Bab 7 Bagian 3.1.1. Lihat: Food and Agriculture Organizations (FAO), “Law And
Sustainable Development Since Rio – Legal Issues And Trends In Agriculture And Natural
Resources Management,” FAO Legislative Study 73, (Roma: FAO, 2002). Sumber:
http://www.fao.org/docrep/005/y3872e/y3872e00.HTM, diakses pada 3 Juli 2015. Penulis
menggunakan terjemahan bebas untuk property rights (hak kepemilikan).
2
Ibid. Bagian 3.1.2.

2
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

dimana masyarakat lokal memegang hak ekslusif untuk menangkap ikan


di suatu area tertentu.3

Seringkali bentuk kepemilikan bersama dalam perikanan


disamakan dengan situasi akses terbuka yang ditulis oleh Hardin dalam
artikelnya yang berjudul tragedy of commons.4 Capistrano dengan
mengutip pendapat Lynch mengklarifikasi bahwa Hardin tidak merujuk
kepada tragedy of the commons melainkan tragedy of open access yang
bertolak belakang dengan pengelolaan dan pemilikan sumber daya oleh
suatu kelompok tertentu.5 Bentuk pengelolaan sumber daya alam dengan
akses terbuka tidak membatasi setiap orang untuk mengakses dan
mengeksploitasi suatu sumber daya.6

Dalam rezim kepemilikan bersama, pengelolaan perikanan


dilakukan dengan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat sebagai
pemilik sumber daya. Penulis menyadari bahwa konsep dan tema
mengenai pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (PPBM) memiliki
bentuk yang beragam dengan banyak artikel memberikan pengertian
dengan ide yang beragam.7 Namun hanya beberapa artikel yang
                                                                                                                       
3
Ibid. Bagian 3.1.2. bentuk rezim kepemilikan terhadap sumber daya perikanan dapat
berupa (1) rezim kepemilikan negara (state property); (2) rezim kepemilikan swasta (private
property); dan (3) rezim kepemilikan bersama (common (collective) property). Beberapa
penulis lain berpendapat open acces sendiri adalah rezim kepemilikan dimana tidak terdapat
hak kepemilikan tertentu atas sumber daya ikan. Lihat juga: Anthony Charles, “Rights-Based
Fisheries Management: The Role of Use Rights in Managing Access and Harvesting” dalam
Kevern L. Cochrane dan Serge M. Garcia (ed), A Fishery Manager’s Guidebook, Edisi Kedua,
(Singapura: FAO dan Wiley-Blackwell, 2009), hal. 253.
4
Robert Charles G. Capistrano, Reclaiming The Ancestral Waters Of Indigenous
Peoples In The Philippines: The Tagbanua Experience With fishing Rights And Indigenous
Rights, (Nova Scotia, Saint Mary’s University, 2009). Lihat juga: Takdir Rahmadi, Hukum
Lingkungan di Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers, 2011), hal. 8.
5
Ibid, hal 8.
6
Ostrom mengutip Ciriacy-Wantrup and Bishop (1975) yang dengan jelas memberikan
perbedaan rezim kepemilikan open acces dimana tidak ada seorang pun memiliki hak hukum
untuk mengecualikan setiap orang dalam memanfaatkan suatu sumber daya. Sementara dalam
common property, anggota kelompok memiliki suatu kejelasan. Kelompok tersebut memiliki
hak hukum untuk mengecualikan anggota diluar kelompok tersebut dari pemanfaatan suatu
sumber daya. Lihat: Elinor Ostrom, “Private and Common Property Rights,” Sumber:
http://encyclo.findlaw.com/2000book.pdf, diakses 5 Juni 2015, hal. 339-340.
7
Neil L. Andrew dan Louisa Evans menjelaskan istilah 'co-management' dan
'community-based management' dimaknai dengan banyak arti yang berbeda-beda oleh banyak
penulis dan berkembang dalam ide-ide yang kompleks. Lihta: Neil L. Andrew dan Louisa
Evans, “Approaches and Frameworks for Management and Research in Small-scale Fisheries”
dalam Robert S. Pomeroy dan Neil L. Andrew, Small-scale Fisheries Management Frameworks
and Approaches for the Developing World, (UK: CAB International, 2011), hal. 20. Perikanan
berbasis masyarakat dengan penyerahan fungsi pengelolaan sumber daya dengan sebelumnya
berada di pemerintah pusat disebut dengan nama yang beragam mulai ‘collaborative
management’ atau ‘co-management’; desentralisasi pengelolaan, community based
management. Lih: J. Purvis dan F. Sobo, “Information Aspects Of Community Participation In
Fisheries” dalam S. Heck, C. T. Kirema-Mukasa, B. Nyandat and J. P. Owino, Report on: The

3
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

menganalisis kerangka hukum mengenai PPBM. Salah satunya adalah


artikel berjudul “An Overview Of Legal Issues And Broad Legislative
Considerations For Community Based Fisheries Management” yang ditulis
oleh Kuemlangan dan Teigenem.8 Artikel tersebut telah digunakan
sebagai kerangka analisis hukum dari PPBM dan tenurial perairan adat
laut (customary marine tenure) di kepulauan pasifik, tepatnya di
Kepulauan Cook, Fiji, Palau, Papuan Nugini, Kepulauan Solomon dan
Vanuatu.9

Kuemlangan dan Teigenem memaparkan tiga manfaat dalam


PPBM. Pertama, masyarakat menikmati hak secara kolektif untuk
memanfaatkan dan mengakses sumber daya, yang akan mendorong
keinginan untuk menjaga dan melindungi hak-hak tersebut.10 PPBM
akan meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan perikanan dan
devolusi dari fungsi-fungsi pengelolaan perikanan.11 Kedua, PPBM akan

                                                                                                                                                                                                                                                                           
International Workshop on Community Participation in Fisheries Management on Lake
Victoria: BMU Development on Lake Victoria, Juli 2004, hal. 78.
8
Blaise Kuemlangan & Henning Teigenem, “An Overview of Legal Issues and Broad
Legislative Considerations for Community-Based Fisheries Management” dalam Robin L.
Welkomme and T. Petr. (ed), Proceedings Of The Second International Symposium On The
Management Of Large Rivers For Fisheries, Volume II, (Bangkok: RAP Publication, 2004).
Sumber http://www.fao.org/docrep/007/ad526e/ad526e0e.htm, hal. 151-162.
9
Kuemlangan (B), “Creating Legal Space For Community-Based Fisheries And
Customary Marine Tenure In The Pacific: Issues And Opportunities,” FAO Fish Code Review.
7 (2004). Referensi lain adalah Adam Soliman yang melakukan analisis terhadap program
Community Quota Entities (CQE) di Kanada dan juga menganalisis hal yang serupa terkait
dasar konstitusional dan hukum yang mendukung pengelolaan perikanan berbasis masyarakat
di Amerika Serikat, India dan Afrika Selatan. Lihat juga: Adam Soliman, Loc Cit.
10
Dalam konteks ini, masyarakat memiliki hak kepemilikan kolektif yang relatif luas
terhadap sumber daya. Penciptaan hak-hak dan pemberian kepada anggota masyarakat sebagai
kepentingan ekonomi yang akan mendorong penjagaan hak-hak tersebut untuk terus dapat
dinikmati. Di sisi lain akan menghasilkan tujuan pengelolaan dari pemanfaatan berkelanjutan
dari sumber daya. Lih: Kuemlangan dan Teigenem, Op Cit., hal. 152.
11
Dalam konteks ini, Kuemlangan dan Teigenem mengakui fakta ketidak efektifan
pendekatan pengelolaan top-down dengan kewenangan pengelolaan pada pemerintah pusat.
Tanggung jawab pengelolaan perikanan kepada pemerintah pusat dilakukan melalui
kewenangan pemerintah pusat dengan pendekatan command and control (CAC). Dalam
pendekatan CAC, pejabat berwenang menetapkan syarat dan ketentuan bagi keterlibatan pelaku
utama dalam kegiatan yang diperbolehkan. Pendekatan ini akan efektif jika pemerintah pusat
memiliki kapasitas yang cukup dan memenuhi syarat untuk melaksanakan tugasnya. Di sisi
lain, pendekatan CAC hanya memberikan sedikit ruang bagi pemangku kepentingan sehingga
menciptakan ketaksepahaman antara pengatur dan yang diatur dan seringkali melemahkan
upaya pengelolaan efektif. Selain itu, terdapat banyak kepentingan dalam pengelolaan sumber
daya perikanan sehingga pendekatan CAC harus memberikan partisipasi yang luas bagi
pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan untuk terlibat dalam perumusan kebijakan
dan proses perumusan keputusan atau terkait aspek teknis. Pendekatan PPBM akan
memberikan ruang konsultasi dari pemangku kepentingan atau bagi pemangku kepentingan
untuk memiliki suatu bentuk perwakilan dalam perumusan keputusan. Kemudian akan
mendorong pemerintah untuk transparan dan akuntabel dan menciptakan pemangku

4
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

memberikan pengakuan terhadap perikanan skala kecil.12 Ketiga, PPBM


dapat menyediakan berbagai sumber pengetahuan adat dan lokal untuk
melengkapi informasi ilmiah, pemantauan persediaan ikan, serta
meningkatkan penerapan pengelolaan secara keseluruhan.13 Hal ini
dilatari bahwa pendekatan ilmiah dengan penghitungan maximum
sustainable yield (“MSY”) dari jenis ikan kunci memiliki keterbatasan
penerapan terhadap perikanan di negara berkembang.14
Pengetahuantradisional yang dimiliki oleh pelaku perikanan skala kecil
akan mendukung pembangunan berkelanjutan dalam sektor perikanan
sehingga perlu untuk dilindungi.15

Kuemlangan dan Teigenem mendefinisikan PPBM sebagai “a form


of participatory and common property rights-based management which vests
fishing rights in a group of individuals (communities) or involves the sharing of
fisheries management and enforcement powers with local communities.”16
Dalam pengertian tersebut, PPBM melibatkan badan kolektif masyarakat
nelayan sebagai kelompok yang terlibat secara langsung dalam kegiatan
perikanan. Dimana masyarakat nelayan memiliki suatu fungsi kontrol,
pemantauan dan pengawasan dalam kegiatan perikanan mendapatkan
hak diferensial melalui partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan
barang milik publik. Pemerintah berperan dalam fungsi lain, misalnya
untuk menilai aspek biologis manajemen perikanan dan keseluruhan
peraturan yang mengikat. Sementara, masyarakat lokal akan
bertanggung jawab atas tugas yang dapat dilakukan, misalnya mengukur

                                                                                                                                                                                                                                                                           
kepentingan yang lebih responsif dalam menerapkan pengelolaan dan penghormatan lebih bagi
kepatuhan terhadap pengelolaan. Lih: Kuemlangan dan Teigenem, Loc. Cit., hal 153.
12
Dalam konteks ini, perikanan skala kecil dapat menjadi tulang punggung ekonomi
nasional, berperan penting dalam penghidupan masyarakat miskin atau dengan menyediakan
pangan yang tidak mahal. Di sisi lain, terdapat upaya untuk menjaga keberlangsungan dan
mencegah urbanisasi nelayan ke kota. PPBM dapat memberikan alokasi yang adil dari sumber
daya, menigkatkan kesadaran mengenai rapuhnya sumber daya, dan penerapan prinsip kehati-
hatian dan mendorong pemanfaatan berkelanjutan. Lih: Ibid.
13
Robert S. Pomeroy, Community-Based And Co-Management Institutions For
Sustainable Coastal Fisheries Management In Southeast Asia, Sumber:
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.202.7560&rep=rep1&type=pdf,
diakses pada 3 Juli 2015.
14
Ibid.
15
Adam Soliman, “Achieving Sustainability Through Community Based Fisheries
Management Schemes: Legal and Constitutional Analysis,” Georgetown International
Environmental Law Review Vol. 26 Issue 3 (2014), hal. 273.
16
Dalam terjemahan bebas berarti sebuah bentuk partisipasi dan pengelolaan perikanan
berbasis hak kepemilikan bersama yang memberikan hak perikanan kepada sekelompok
individu (masyarakat) atau melibatkan pembagian kewenangan pengelolaan perikanan dan
penerapan kepada masyarakat lokal. Lih: Keumlangan dan Teigenem, Op Cit., hal. 153.

5
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

apakah ada usaha penangkapan berlebih, aturan lokal untuk menangkap


ikan, monitoring dan tingkat kepatuhan.17

Indonesia sebagai negara kepulauan terdiri dari 13.466 pulau yang


memiliki garis pantai hingga mencapai 99.093 kilometer.18 Luas wilayah
Indonesia mencapai 7,81 juta km2 dengan luas laut mencapai 2/3 wilayah
daratan dengan 12.827 desa pesisir.19 Di sisi lain, sumber daya perikanan
telah banyak mengalami tingkat over eksploitasi.20 Salah satu
penyebabnya adalah lemahnya penegakan hukum terhadap sumber daya
laut.21 Lebih dari 90% masyarakat yang melakukan kegiatan perikanan
adalah nelayan tradisional dan skala kecil dengan ukuran kapal dibawah
5 GT.22 Nelayan tradisional dan skala kecil tidak terdata dengan baik
karena tidak diwajibkan memenuhi ketentuan perizinan.23

                                                                                                                       
17
Kuemlangan dan Teigenem, Op. Cit., hal. 153-154.
18
Rennisca Ray Damanti dan Mareta Nirmalanti (ed.), Kelautan dan Perikanan Dalam
Angka 2014, (Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan,
2014), hal. 143, Sumber: http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/c/90/Kelautan-dan-
Perikanan-Dalam-Angka-Tahun-2014/?category_id=3. diakses pada 7 Juli 2015.
19
Ibid.
20
Jika merujuk kepada diktum keputusan ketiga, estimasi potensi sumber daya ikan
harus ditinjau untuk diperbaharui dalam jangka waktu setahun sekali. Lih: Menteri Kelautan
dan Perikanan, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.45/MEN/2011 tentang
Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Perikanan Negara RI dan Laporan Status
Tingkat Eksploitasi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI.
21
Salah satu kajian yang memaparkan kelemahan penegakan hukum di laut dituliskan
oleh Eka Martiana Wulansari dalam artikelnya yang berjudul “Penegakan Hukum Di Laut
Dengan Sistem Single Agency Multy Tasks.” Artikel tersebut memaparkan lemahnya
pengawasan hukum di laut Indonesia dengan sistem multi agency single task yang dilakukan
oleh tiga belas lembaga penegak hukum di laut (enam lembaga yang mempunyai satgas patroli
di laut dan tujuh lembaga penegak hukum lainya tidak memiliki satuan tugas patroli di laut).
Wulansari kemudian membahas bentuk Single Agency Multy Tasks yang dapat memberikan
efektifitas pengawasan dan penegakan hukum di laut. Lih: Eka Martiana Wulansari, Penegakan
Hukum Di Laut Dengan Sistem Single Agency Multy Tasks, Sumber:
http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/PENEGAKAN%20HUKUM%20DI%20LAUT%2
0DENGAN%20SISTEM%20SINGLE%20AGENCY%20MULTY%20TASKS.pdf, diakses pada 5
Juli 2015.
22
Dari 2,7 juta jiwa orang yang bekerja di sektor perikanan tangkap baik di perairan
laut maupun perairan pedalaman menggunakan kapal dengan ukuran mencapai kurang dari 5
GT mencapai 565.074 dari keseluruhan mencapai 639.708 kapal. Lih: Pusat Data, Statistik dan
Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Loc. Cit., hal. 25.
23
Indonesia, Undang-undang Perikanan, UU No. 31 Tahun 2004, Lembaran Negara
No. 118 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara No. 4433, dalam Pasal 26 ayat (2). Lihat
juga: Indonesia, Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan, UU No. 45 Tahun 2009, Lembaran Negara No. 154 Tahun 2009,
Tambahan Lembaran Negara No. 5073, dalam Pasal 27 ayat (5) dan Pasal 28 ayat (4). Lihat
juga: Hersoug mengutip Varkey et. al. yang menyatakan “As a result, small-scale fishing,
which accounts for a large portion of all fishing activities in Indonesia, remains largely
unreported”. Dalam terjemahan bebas: perikanan skala kecil yang menjadi bagian besar dari
seluruh kegiatan penangkapan ikan di Indonesia menjadi tidak terdata dengan baik. Bjørn
Hersoug, Fishing Rights To The Right People? Management Options In Crowded Small-Scale

6
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Masyarakat Indonesia telah mempraktikkan PPBM yang telah


terbukti efektif dalam mengelola sumber daya perikanan secara
berkelanjutan serta secara adil mengalokasikan sumber daya kepada
masyarakat lokal.24 Praktik PPBM tidak terbatas pada wilayah perairan
laut tetapi mencakup perairan pedalaman.25 PPBM dilaksanakan
berdasarkan wilayah yang ditentukan secara jelas oleh lembaga
masyarakat.26 Pengawasan akses terhadap sumber daya dilakukan
sendiri oleh nelayan setempat dan aturan ditegakkan oleh otoritas
lembaga setempat secara moral dan politik.27 Bailey dan Zerner
mengidentifikasi dua hambatan hukum dalam PPBM di Indonesia.28 UU
No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan tidak menyebutkan dan mengakui
hukum adat dan hak ulayat laut (hak teritorial masyarakat).29 Selain itu,
UU No. 79 Tahun 1985 tentang Pemerintahan Desa tidak mengakui
kelembagaan tingkat masyarakat dan peran kepemimpinan selain
struktur pemerintahan formal serta tidak mengakui kewenangan hukum
selain dari pejabat yang ditunjuk pemerintah.30

Berbagai kebijakan hukum telah diundangkan termasuk revisi


terhadap berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan perikanan
berbasis masyarakat. UUD 1945 sebagai hukum dasar Indonesia telah
mengalami empat kali amandemen, terakhir pada tahun 2002. MPR telah
menerbitkan Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria

                                                                                                                                                                                                                                                                           
Fisheries (2011), hal. 24, Sumber: http://www.marecentre.nl/mast/documents/
MAST10.2_Hersoug.pdf, diakses pada 7 Juni 2015.
24
C. Bailey dan C. Zerner, Community-Based Fisheries Management Institutions in
Indonesia. MAST, 5(1)(1992)1-17. Sumber: http://www.marecentre.nl/mast/documents
/communitybasedfisheriesmanagementinstitutioninIndonesia.pdf, diakses pada 4 Juli 2015, hal.
1.
25
Ibid, hal. 5.
26
Arif Satria dan Yoshiaki Matsuda, Decentralization Of fisheries Management In
Indonesia (2004), sumber: http://ledhyane.lecture.ub.ac.id/files/2013/02/M02_03.pdf, diakses
pada 5 Juli 2015, hal. 438.
27
Ibid.
28
Bailey dan Zerner, Op. Cit., hal. 12.
29
Bailey dan Zerner menyarankan untuk merevisi Hukum Perikanan dengan (1)
adanya pengakuan secara tegas atas konsep hukum adat dan hak ulayat (wilayah); (2) prosedur
hukum untuk pengakuan hak-hak tersebut harus disebutkan dengan jelas; (3) adanya pengakuan
terhadap hak-hak masyarakat lokal untuk mengelola dan mengalokasikan akses atas wilayah
dan sumber daya sebagai dasar hukum bagi masyarakat nelayan untuk mengatur pemanfaatan
sumber daya; dan (4) adanya pengaturan yang memungkinkan nelayan untuk bergabung dalam
suatu badan hukum, mendorong pengembangan sistem pengelolaan perikanan lokal dan badan
ekonomi mandiri lokal. Ibid.
30
Bailey dan Zerner menyarankan untuk revisi UU No. 5 Tahun 1979 dengan (1)
mengakui lembaga pengelola masyarakat yang memberikan kedudukan hukum atas sistem
pengelolaan berbasis masyarakat; (2) lembaga peraturan daerah diwajibkan untuk menerbitkan
pengakuan formal terhadap status sistem kepemilikan bersama masyarakat dan hak
pemanfaatan atas sumber daya pesisir dan laut. Ibid.

7
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. UU No. 5 Tahun 1979 tentang


Pemerintahan Desa telah dicabut oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang telah diubah terakhir dengan UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian terbit UU No. 6
tahun 2014 tentang Desa yang mengatur lembaga desa. UU No. 9 Tahun
1985 tentang Perikanan telah dicabut dan digantikan oleh UU No. 31
Tahun 2004 tentang Perikanan yang kemudian diperbaharui UU No. 45
Tahun 2009. Selain itu telah terbit UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (“UU PWP3K”) yang
kemudian direvisi dalam UU No. 1 Tahun 2014. Terakhir telah disahkan
UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Tabel 1. Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Kegiatan
Sumber Daya Perikanan
No. Peraturan Perundang-undangan Pokok Pengaturan

1. UUD 1945 Khususnya dalam Pasal 33

2. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Mengatur kerangka hukum umum


Perubahan Atas UU No. 31 Tahun mengenai kegiatan perikanan
2004 tentang Perikanan

3. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Mengatur kerangka hukum


Perubahan Atas UU No. 27 Tahun mengenai pengelolaan wilayah
2007 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

4. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Mengatur desentralisasi


Pemerintahan Daerah pemerintahan daerah yang secara
khusus dalam lampiran huruf Y
mengatur kegiatan perikanan.

5. UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa Mengatur mengenai kelembagaan


desa dan desa adat

6. UU No. 32 Tahun 2014 tentang Mengatur pengelolaan sumber


Kelautan daya kelautan secara umum

Artikel ini akan menganalisis kerangka hukum terhadap PPBM di


Indonesia dengan dua pokok permasalahan.31 Pertama, bagaimana
konstitusionalitas pengaturan pengelolaan perikanan berbasis
masyarakat dalam hukum nasional Indonesia. Dalam hal ini, penulis
menganalisis bagaimana penerimaan UUD 1945 terhadap PPBM di

                                                                                                                       
31
Penulis menggunakan terjemahan bebas dari Community Based Fisheries
Management sebagai pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Beberapa penulis Indonesia
seperti Yudi Wahyudin menggunakan istilah Pengelolaan Berbasis Masyarakat.

8
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Indonesia dengan menggunakan artikel Kuemlangan dan Teigenem


sebagai pisau analisis.32 Kedua, penulis menganalisis peluang pengaturan
PPBM di Indonesia dengan terbatas pada peraturan perundangan tingkat
nasional.

2. Pedoman Analisis Kuemlangan dan Teigene

Tidak ada cetak biru pengaturan PPBM dalam kerangka hukum.


Kuemlangan dan Teigenem menilai konstitusi beserta hukum turunan
suatu negara akan menentukan apakah skema PPBM dapat diterapkan
dengan mengkhususkan dua prasyarat terkait dengan hak kepemilikan
bersama dan desentralisasi kewenangan pengelolaan.33

Hak kepemilikan dalam PPBM diartikan sebagai hak kepemilikan


bersama atau penguasaan terhadap sekumpulan hak atau kekuasaan atas
barang atau sumber daya yang dikelola bersama.34 Pertanyaan kuncinya
adalah bagaimana konstitusi mengatur mengenai hak kepemilikan atas
sumber daya dan sebagai barang milik bersama (common property) dalam
skema PPBM.35 Dalam hal ini, penulis akan membahas Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 beserta tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945.

                                                                                                                       
32
Kuemlangan dan Teigenem, Op. Cit.
33
Kuemlangan dan Teigenem menyebutkan sejumlah prasyarat seperti: Pemberian
hak-hak apa saja yang diberikan terkait dengan pengelolaan, bagaimana tingkat partisipasi
masyarakat lokal apakah dalam tingkat konsultasi selama proses pengelolaan atau melalui
perwakilan resmi dalam konsultasi, pendampingan atau penusunan keputusan dalam kerangka
pengelolaan ataukah dalam bentuk devolusi kewenangan pengelolaan atau kekuasaan
penerapan atau keduanya. Ibid., hal. 155.
34
Ibid, 156.
35
Kuemlangan dan Teigenem mendefinisikan hak kepemilikan bukanlah sebuah
barang, tetapi hak yang muncul melalui konstruksi kesepakatan sosial. Hak kepemilikan adalah
sekumpulan hak atau kepentingan atas suatu aset yang dapat dibagi di antara berbagai
pemangku hak. Hak-hak ini dapat dipisahkan, dipindahkan, dihapus atau ditambahkan oleh
pemangku hak tersebut. Dengan keunikan bentuk pengelolaan berbasis masyarakat yang
beragam, maka penting untuk memiliki pemahaman bersama mengenai konsepsi hak
kepemilikan yang diatur dalam PPBM. Namun penerapannya akan bergantung pada sistem
hukum dimana diterapkannya. Untuk itu, penting untuk berkolaborasi dengan masyarakat
memberikan definisi, batasan dan aturan dalam pemanfaatan sumber daya yang memberikan
keleluasaan kepada masyarakat untuk memimpin, menentukan dan membatasi aturan
pemanfaatan terhadap sumber daya. Lih: Ibid. Selain itu, Adam Soliman menyatakan bahwa
proses pendahuluan sebelum mempekenalkan dan merancang skema PPBMdengan melakukan
konsultasi dan kolaborasi merupakan bagian penting dalam PPBM. Proses pendahuluan
tersebut sesuai dengan prinsip meta-governance dari keterbukaan, penghormatan dan
kesetaraan. Lih: Soliman, Loc. Cit., hal. 277.

9
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Terkait dengan desentralisasi, konstitusi suatu negara akan


menentukan desentralisasi atau delegasi kewenangan pengelolaan
sumber daya serta sejauh mana pemerintah daerah memiliki kekuasaan
untuk membuat dan menegakkan hukum turunan dan peraturan lokal.36
Dalam konteks ini, penulis akan menganalisis Pasal 18 ayat (2), ayat (5),
ayat (6) dan Pasal 18A ayat (1) dan (2) UUD 1945. Peraturan turunan
mengenai desentralisasi kewenangan akan menentukan kewenangan
penegakan atau pengelolaan sumber daya kepada pemerintahan daerah,
masyarakat lokal atau pemangku kepentingan serta menentukan
pembentukan organisasi, kewenangan, fungsi dan administrasi
pemerintah daerah atas pengelolaan sumber daya alam.37 Dalam konteks
ini, penulis akan menganalisis UU Perikanan, UU PWP3K dan UU
Pemerintahan Daerah serta UU Desa.38

Kuemlangan dan Teigenem melanjutkan analisis terhadap jaminan


dan kepastian hukum bagi PPBM dalam perundang-undangan nasional
yang diperlukan agar PPBM dapat berjalan.39 Terdapat lima prinsip dasar
yang harus terdapat dalam perundang-undangan nasional agar PPBM
dapat berjalan yaitu jaminan (security), ekslusivitas (exclusivity),
keberlangsungan (permanence), fleksibilitas (flexibility) dan keterpaduan.40

                                                                                                                       
36
Lih: Kuemlangan dan Teigenem, Loc. Cit., hal. 156. Selain itu, Arif Satria dan
Yoshiaki Matsuda menjelaskan mengenai desentralisasi secara teoritis. Desentralisasi dapat
diartikan sebagai pengalihan kewenangan dan tanggungjawab dalam fungsi publik dari
pemerintah pusat kepada bawahan (subordinate) atau organisasi pemerintah quasi-independen
atau bahkan sektor swasta dan perkumpulan masyarakat. Terdapat tiga tingkatan desentralisasi
administrasi, yaitu dekonsentrasi, delegasi dan devolusi (devolution). Dekonsentrasi adalah
pelimpahan kewenangan pembuatan keputusan dan tanggung jawab pengelolaan kepada
pemerintah daerah. Bentuk ini seringkali di anggap sebagai bentuk terlemah dari desentralisasi
dan biasanya dilaksanakan di di negara dengan bentuk kesatuan. Delegasi adalah pelimpahan
kewenangan dalam perumusan kebijakan dan administrasi dari fungsi-fungsi publik kepada
organisasi semi otonom dimana pemerintah pusat tetap memiliki hak untuk mengambil
kekuasaan kembali. Devolusi adalah pelimpahan kewenangan untuk perumusan keputusan,
keuangan dan pengelolaan semi otonom dari pemerintahan lokal dengan status badan hukum
dan tanpa mengacu kembali ke pemerintah pusat. Lih: Arif Satria dan Yoshiaki Matsuda, Loc.
Cit., hal. 439.
37
Kuemlangan dan Teigenem, Loc. Cit., hal. 157.
38
Penulis menilai undang-undang tersebut merupakan peraturan yang akan terkait
dengan sumber daya perikanan.
39
Tiadanya jaminan dan kepastian hukum bagi PPBM berasal dari rezim hukum yang
tidak memperbolehkan masyarakat lokal untuk menciptakan hak hukum yang dapat ditegakkan
atas sumber daya atau rezim hukum yang tidak memberikan peran yang bermakna dalam
perencanaan dan pengelolaan sumber daya tersebut. Lih: Kuemlangan dan Teigenem, Loc. Cit.,
hal. 158.
40
Pertama, jaminan (security) sebagai kemampuan masyarakat untuk menghadapi
pihak lain atas hak yang di miliki. Jaminan mensyarakatn bahwa hak-hak tak bisa dirampas
atau diubah sepihak dan tidak adil dan hak tersebut dapat di terapkan terhadap pemerintah.
Aspek-aspeknya terdiri dari (1) batasan terhadap sumber daya yang dapat diterapkan hak-
haknya, (2) siapa yang dapat ditetapkan sebagai anggota kelompok masyarakat, serta (3)

10
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Penulis akan membahas bagaimana jaminan kepastian dan keberlakuan


hukum bagi PPBM dalam peraturan perundang-undangan nasional
berdasarkan lima prinsip yang telah disebutkan sebelumnya.

3. PPBM Dalam Konstitusi Hukum

Dalam konteks Indonesia, pengaturan mengenai sumber daya


alam secara khusus diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal 33
ayat (3) yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat” terbagi dalam dua frasa utama.
Pertama, “sumber daya alam dikuasai oleh negara” sebagai hak
menguasai negara dan kedua “dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.”

Menurut Mahkamah Konstitusi, makna “dikuasai oleh negara”


harus diartikan secara luas. Tidak dapat hanya diartikan sebagai

                                                                                                                                                                                                                                                                           
bagaimana hukum mengakui pemegang hak-hak tersebut. Kedua, ekslusivitas sebagai
kemampuan untuk menegakkan dan mengelola hak tanpa intervensi dari pihak asing diluar
komunitas. Prinsip ini mensyaratkan perlindungan hak yang dapat diakses, terjangkau dan adil
serta penyelesaian sengketa dan upaya hukum terhadap keputusan pemerintah. Aspek penting
dari prinsip ini adalah kemampuan untuk menegakkan hak. Harus dijelaskan sejauh mana
kewenangan pemerintah untuk memberikan ekslusifitas dari hak-hak dan kekuasaan bagi
masyarakat lokal. Ketiga, keberlangsungan (permanence) yang terkait dengan rentang waktu
dari hak yang diberikan kepada masyarakat lokal. Jangka waktu harus diberikan dan dinyatakan
secara tegas serta memiliki jangka yang cukup lama agar manfaat partisipasi dapat terwujud.
Keempat, fleksibilitas (flexibility) sebagai kebutuhan dari pengelola berbasis masyarakat atau
sebagai ruang hukum untuk melaksanakan pilihan pengelolaan yang menggambarkan keunikan,
kondisi dan aspirasi dari masyarakat. Aspek prinsip ini meliputi: (1) keleluasaan dalam
menentukan tujuan dan aturan yang akan digunakan dalam mencapai tujuan, (2) sebagai syarat
untuk mengakui kelompok masyarakat terkait dan (3) sebagai syarat untuk menentukan
kelompok pengelolan dan wilayah yurisdiksi. Kelima, keterpaduan PPBM dalam kerangka
hukum pengelolaan perikanan. PPBM harus diatur dalam kerangka manajemen hukum dan
perikanan yang tercermin dalam undang-undang dan keseluruhan proses perumusan keputusan
dengan memastikan peran dari pengelola komunitas dalam keseluruhan kerangka pengelolaan
perikanan oleh negara. Untuk menempatkan PPBM dalam kerangka hukum perikanan terdapat
lima syarat utama: (1) kerangka dan proses perumusan keputusan harus mempertimbangkan
kedudukan dari pengelolan komunitas terkait dengan keseluruhan pembuat kebijakan; (2)
Aturan proses keputusan dalam penetapan keseluruhan usaha perikanan seperti jumlah
tangkapan yang diperlukan secara nasional harus dapat menjawab peran dari pengelola
masyarakat dalam proses keputusannya; (3) adanya delegasi tanggungjawab termasuk kekuasan
pengaturan kepada pengelola komunitas dan struktur dari kewenangan pengelolaan; (4)
kekuasaan untuk menegakkan pengawasan dan penegakan perikanan kepada pengelolan
masyarakat; (5) jika pengelola komunitas akan menggunakan kuasa kehakiman maka harus
dinyatakan secara tegas. Ibid, hal. 159-160.

11
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

pemilikan dalam arti perdata (privat) oleh negara karena tidak akan
dapat mencapai tujuan pengelolaan sumber daya dan tujuan bernegara.41

Pemaknaan luas dari frasa tersebut bersumber dan berasal dari


konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas sumber daya alam, termasuk
kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber
kekayaan. Secara kolektif, dikonstruksikan oleh UUD 1945, rakyat
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan lima hal yaitu:
(1) kebijakan (beleid); (2) melakukan pengaturan (regelendaad) yang
dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan
pemerintah dan regulasi oleh pemerintah (eksekutif); (3) melakukan
pengurusan (bestuursdaad) yang dilakukan pemerintah dengan
kewenangannya untuk menerbitkan dan mencabut fasilitas perijinan,
lisensi, dan konsesi; (4) melakukan pengelolaan (beheersdaad) yang
dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan/atau melalui
keterlibatan langsung badan usaha milik negara, termasuk di dalamnya
badan usaha milik daerah atau badan hukum milik negara/daerah
sebagai instrumen kelembagaan di mana pemerintah mendayagunakan
kekuasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu; dan (5) melakukan
pengawasan (toezichthoudensdaad) yang dilakukan oleh negara c.q.
pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar
pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber daya alam.42

Hak menguasai tersebut dibatasi dengan ukuran konstitusional


frase kedua yaitu “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang ditafsirkan
dengan mempergunakan empat tolok ukur yaitu: (1) kemanfaatan
sumber daya alam bagi rakyat; (2) tingkat pemerataan manfaat sumber
daya alam bagi rakyat; (3) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan
manfaat sumber daya alam; serta (4) penghormatan terhadap hak rakyat
secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.43 Di
samping itu, penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak-hak yang
telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki
masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak
konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh
konstitusi.44

                                                                                                                       
41
Mahkamah Konstitusi merujuk kepada Putusan Mahkamah Nomor 001, 021,
022/PUU-I/2003 bertanggal 15 Desember 2004, Lih: Mahkamah Konstitusi, Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010. 2011, hal. 156-157, paragraf 3.15.3.
42
Ibid, hal. 156-157, paragraf 3.15.3.
43
Ibid, hal. 161, paragraf 3.15.8.
44
Ibid, hal. 158, paragraf 3.15.4.

12
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Tafsir Mahkamah Konstitusi atas Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,


menegaskan adanya hak masyarakat atas pengelolaan sumber daya alam
yang dimiliki secara kolektif melalui kedaulatan rakyat. Konsepsi
kedaulatan rakyat Indonesia atas sumber daya alam mengandung hak
kepemilikan publik secara kolektif atas sumber daya alam. Pemaknaan
atas frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dimaknai dengan
tolok ukur tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber
daya alam dan penghormatan atas hak rakyat secara turun temurun
dalam memanfaatkan sumber daya alam sejalan dengan konsep hak
kepemilikan bersama. Konsep hak kepemilikan dalam PPBM mendorong
adanya partisipasi dalam menentukan bentuk pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam serta pengakuan terhadap hak rakyat
yang telah secara turun-temurun berupa kepemilikan secara bersama
atas sumber daya perikanan.

Terkait dengan desentralisasi pengelolaaan, UUD 1945 telah


mengakui adanya otonomi daerah untuk mengatur sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan.45 Otonomi
pemerintah daerah dibatasi oleh undang-undang yang menentukan apa
saja yang menjadi urusan pemerintah pusat.46 Selanjutnya, pemerintah
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan
lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.47 Hubungan
kewenangan dan hubungan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.48
Undang-undang yang akan terkait dengan PPBM telah disebutkan di
atas, yaitu UU Perikanan, UU PWP3K, UU Pemerintahan Daerah dan UU
Desa.

4. Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat


dalam Peraturan Perundang-undangan

Salah satu alasan diundangkannya UU No. 31 Tahun 2004 tentang


Perikanan adalah untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang
memperhatikan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat

                                                                                                                       
45
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Amandemen ke-IV (2002), Pasal 18 ayat (2)
UUD 1945.
46
Ibid, Pasal 18 ayat (5) UUD 1945.
47
Ibid, Pasal 18 ayat (6) UUD 1945.
48
Ibid, Pasal 18A ayat (1) dan (2) UUD 1945.

13
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

dengan pemerintah daerah.49 Namun, dalam batang tubuh


pengaturannya, UU No. 31 Tahun 2004 tidak menjelaskan bentuk
desentralisasi kewenangan pengelolaan perikanan secara tegas. UU
Perikanan memandatkan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur
penyerahan sebagian urusan perikanan dari pemerintah kepada
pemerintah daerah dan penarikannya kembali yang hingga kini belum
diterbitkan.50 Hubungan dekonsentrasi antara pemerintah pusat dengan
pemerintahan daerah dalam UU Perikanan telah dilakukan melalui
berbagai Peraturan Menteri.51 UU Perikanan menegaskan kewenangan
menteri dalam menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan.52

Salah satu kewenangan Menteri adalah menetapkan rencana


pengelolaan perikanan (“RPP”) yang memuat status perikanan dan
rencana strategis pengelolaan perikanan di bidang penangkapan ikan.53
RPP merupakan kesepakatan antara Pemerintah dan para pemangku

                                                                                                                       
49
Indonesia, Undang-Undang Perikanan, UU No. 31 Tahun 2004, Lembaran Negara
No. 118 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara No. 4433.
50
Ibid, Bab XI Penyerahan Urusan Dan Tugas Pembantuan dalam Pasal 65 ayat (1)
UU Perikanan. Berdasarkan penelusuran penulis hingga tulisan ini diturunkan Peraturan
Pemerintah dimaksud belum pernah diterbitkan.
51
Beberapa peraturan menteri terkait ini yaitu: Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.30/MEN/2009 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Usaha
Tetap Penanaman Modal Di Bidang Kelautan Dan Perikanan Dalam Rangka Pelayanan
Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal dan Permen KP No. PER.08/MEN/2010 tentang Pelimpahan Sebagian Urusan
Pemerintahan (Dekonsentrasi) Bidang Kelautan Dan Perikanan Tahun Anggaran 2010 Kepada
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah.
52
Pasal 7 ayat (1) UU Perikanan dengan sangat luas memberikan kewenangan kepada
menteri untuk menetapkan: (a) rencana pengelolaan perikanan; (b) potensi dan alokasi sumber
daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia; (c) jumlah tangkapan
yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia; (d) potensi
dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia; (e) potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia; (f) jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan; (g)
jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; (h) daerah, jalur, dan
waktu atau musim penangkapan ikan; (i) persyaratan atau standar prosedur operasional
penangkapan ikan; (j) pelabuhan perikanan; (k) sistem pemantauan kapal perikanan; (l) jenis
ikan baru yang akan dibudidayakan; (m) jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta
penangkapan ikan berbasis budi daya; (n) pembudidayaan ikan dan perlindungannya; (o)
pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya; (p) rehabilitasi
dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya; (q) ukuran atau berat minimum jenis
ikan yang boleh ditangkap; (r) kawasan konservasi perairan; (s) wabah dan wilayah wabah
penyakit ikan; (t) jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan
ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia; dan u. jenis ikan yang dilindungi.
53
Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 2 ayat (2) huruf b menyatakan RPP disusun berdasarkan
potensi, distribusi, komposisi jenis, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan, lingkungan, sosial-
ekonomi, isu pengelolaan, tujuan pengelolaan perikanan, dan rencana langkah-langkah
pengelolaan. Lih: Menteri Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan
Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan Di Bidang Penangkapan Ikan,
Permen KP No. PER.29/MEN/2012, Berita Negara No. 46 Tahun 2013.

14
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

kepentingan sebagai arah dan pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan


sumber daya ikan di bidang penangkapan ikan.54 Penyusunan RPP
dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian,
hukum adat dan/atau kearifan lokal, serta peran serta masyarakat.55
Konsultasi publik RPP akan melibatkan pemerintah daerah dan
pemangku kepentingan yang dinilai terkena dampak langsung dari
pengelolaan perikanan.56 RPP disusun di tiap Wilayah Pengelolaan
Perikanan (“WPP”) yang pembagian wilayah tersebut dilakukan secara
lintas batas administrasi tidak berdasarkan pembagian administrasi
wilayah provinsi dan kabupaten/kota.57

RPP merupakan ruang yang terbuka bagi pemerintah untuk


mengatur perikanan berbasis masyarakat dimana dalam UU Perikanan
tidak menyebutkan secara tegas mengenai PPBM. RPP sebagai rencana
strategis pengelolaan perikanan disusun dengan mempertimbangkan
pengetahuan tradisional melalui hukum adat dan kearifan lokal, serta
peran serta masyarakat.58 Dengan dasar tersebut maka RPP merupakan
peluang bagi pemerintah dalam menerapkan pengelolaan perikanan
berbasis masyarakat. Namun perlu membentuk kerangka skema khusus
bagi masyarakat baik nelayan skala kecil serta masyarakat adat untuk
dapat terlibat dalam perumusan bentuk pengelolaan serta
menyampaikan usulan PPBM.

                                                                                                                       
54
Ibid, Pasal 1 angka 4.
55
Terdapat lima tahap dalam penyusunan. Lih: Ibid, Pasal 13 ayat (2).
56
Pasal 14 ayat (6) menyatakan bahwa pemangku kepentingan antara lain asosiasi
perikanan, kelompok nelayan, akademisi perikanan, penegak hukum, lembaga swadaya
masyarakat perikanan. Lih: Ibid.
57
Pasal 1 dan Pasal 2 menyatakan bahwa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)
merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan,
konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman,
perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Terdapat 11 (sebelas) wilayah pengelolaan perikanan yaitu: (1) WPPNRI 571 meliputi perairan
Selat Malaka dan Laut Andaman; (2) WPPNRI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah
Barat Sumatera dan Selat Sunda; (3) WPPNRI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah
Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat;
(4) WPPNRI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan; (5)
WPPNRI 712 meliputi perairan Laut Jawa; (6) WPPNRI 713 meliputi perairan Selat Makassar,
Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; (7) WPPNRI 714 meliputi perairan Teluk Tolo dan
Laut Banda; (8) WPPNRI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera,
Laut Seram dan Teluk Berau; (9) WPPNRI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah
Utara Pulau Halmahera; (10) WPPNRI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan
Samudera Pasifik; (11) WPPNRI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut
Timor bagian Timur. Lih: Menteri Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan Dan
Perikanan Tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Permen KP
No. 18/PERMEN-KP/2014, Berita Negara tanpa nomor Tahun 2014.
58
Indonesia, Permen KP No. PER.29/MEN/2012, Loc. Cit. Pasal 6 ayat (2).

15
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Terkait kewilayahan, UU PWP3K merupakan hukum yang secara


khusus mengatur tata ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.59
Berdasarkan UU PWP3K, ruang lingkup wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut,
mencakup ke arah darat wilayah administrasi kecamatan dan ke arah
laut sejauh dua belas mil laut diukur dari garis pantai.60 UU PWP3K
mewajibkan kepada pemerintah daerah untuk menyusun perencanaan
PWP3K.61 Secara khusus pemerintah daerah kabupaten/kota
dimandatkan untuk menyusun Rencana Zonasi rinci yang mengatur
alokasi ruang dalam Rencana Kawasan Pemanfaatan Umum, rencana
Kawasan Konservasi, rencana Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan
rencana alur dalam Zona Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.62

Skema pemanfaatan sumber daya pesisir dilakukan melalui


perizinan. Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari
sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil
secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi yang menjadi dasar
pemberian izin pengelolaan.63 Secara limitatif terhadap usaha yang
meliputi produksi garam, biofarmakologi laut, bioteknologi laut,
pemanfaatan air laut selain energi, wisata bahari, pemasangan pipa dan
kabel bawah laut, dan/atau pengangkatan benda muatan kapal
tenggelam wajib memiliki izin pengelolaan.64

UU PWP3K memandatkan Pemerintah mengakui, menghormati,


dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan
kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah
dimanfaatkan secara turun-temurun.65 Namun, pengecualian kewajiban
memiliki izin lokasi dan izin pengelolaan dalam pemanfaatan ruang dan
                                                                                                                       
59
Pasal 6 ayat (5) yang berbunyi: “Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur
dengan undang-undang tersendiri.” Lih: Indonesia, Undang-undang Penataan Ruang, UU No.
26 Tahun 2007, Lembaran Negara No. 68 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara No. 4725.
60
Pasal 2 UU PWP3K. Lih: Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 27 Tahun 2007, Lembaran Negara No. 84 Tahun 2007,
Tambahan Lembaran Negara No. 4739.
61
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terdiri dari: (a)
Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP3K); (b) Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K); (c) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K); (d) Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil (RAPWP3K). Lih: Ibid, Pasal 7 ayat (3).
62
Pasal 7 ayat (5) UU PWP3K, Ibid.
63
Pasal 16 UU PWP3K. Lih: Indonesia, Undang-Undang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU
No. 1 Tahun 2014, Lembaran Negara No. 2 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara No.
5490.
64
Ibid, Pasal 19 ayat (1).
65
Ibid, Pasal 61 UU PWP3K.

16
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

sumber daya perairan pesisir hanya diberikan kepada masyarakat


hukum adat.66 Subyek masyarakat lain yang akan memanfaatkan sumber
daya dan wilayah pesisir tetap diwajibkan untuk memiliki izin lokasi
termasuk oleh nelayan tradisional dengan kearifan lokal yang dimiliki.67
Ketentuan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat memerlukan
persyaratan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
akan menunggu pengesahan undang-undang yang mengatur masyarakat
hukum adat.68

Ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


(“UU Pemda”) mengatur desentralisasi pengelolaan perikanan.69 Dalam
UU Pemda, urusan kelautan dan perikanan termasuk ke dalam kategori
urusan pemerintahan pilihan.70 Penyelenggaraan urusan pemerintahan
bidang kelautan dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi.71
Terkait dengan hubungan dengan pemerintahan kabupaten/kota adalah
dalam bagi hasil dari penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang
kelautan yang penentuannya didasarkan hasil kelautan yang berada
dalam batas wilayah empat mil diukur dari garis pantai ke arah laut
lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.72

UU Pemda menegaskan kewenangan daerah provinsi di laut dan


daerah provinsi yang berciri kepulauan untuk mengelola sumber daya
alam di laut yang ada di wilayahnya.73 Kewenangan kepada daerah
                                                                                                                       
66
Ibid, Pasal 21 ayat (1) jo. Pasal 22 ayat (1).
67
Terdapat ketentuan pidana bagi setiap orang yang memanfaatkan ruang dari sebagian
Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil yang tidak memiliki Izin Lokasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Lih: Ibid,
Pasal 75.
68
Ibid, Pasal 22 ayat (2).
69
Indonesia, Undang-undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014,
Lembaran Negara No. 244 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara No. 5587.
70
Lih: Pasal 12 ayat (3) huruf a UU Pemerintahan Daerah. Selain itu, Pasal 9 membagi
urusan pemerintahan ke dalam tiga kategori yaitu: Pertama, Urusan Pemerintahan Absolut,
adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal
nasional; dan f. agama (Pasal 10 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah). Kedua, Urusan
Pemerintahan Konkuren, adalah urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan
Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota yang terbagi 3 kategori yaitu: (1) Urusan
Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar; (2) Urusan Pemerintahan Wajib
yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar; dan (3) Urusan Pemerintahan Pilihan (Pasal 11
ayat (1) UU Pemerintahan Daerah). Terakhir, Urusan Pemerintahan Umum sebagai urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Lih: Ibid.
Pasal 12 ayat (3) huruf a, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1).
71
Ibid, Pasal 14 ayat (1).
72
Ibid, Pasal 14 Ayat (5) dan ayat (6).
73
Ibid, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1). Sebelumnya dalam Pasal 18 ayat (1)
UU No. 32 Tahun 2004 tidak tegas menunjuk kepada daerah provinsi, tetapi dengan luas

17
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

provinsi di laut dan daerah provinsi yang berciri kepulauan tersebut


meliputi lima aspek: (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan
pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; (2) pengaturan
administratif; (3) pengaturan tata ruang; (4) ikut serta dalam memelihara
keamanan di laut; dan (5) ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan
negara.74 Kewenangan provinsi dibatasi paling jauh 12 (dua belas) mil
laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan.75 Daerah provinsi yang berciri kepulauan mendapatkan
mandat tugas dari pemerintah pusat untuk melaksanakan kewenangan
pemerintah pusat di bidang kelautan berdasarkan asas tugas
pembantuan.76

Pembagian kewenangan pengelolaan sumber daya di laut di UU


Pemda dijelaskan dalam lampiran bagian huruf Y. Secara tegas,
desentralisasi pengelolaan sumber daya di laut selain migas
dilaksanakan oleh daerah provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota.
Dalam sub urusan Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, Perikanan
Tangkap, Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan membagi
kewenangan pengelolaan sumber daya diluar minyak dan gas antara
pemerintah pusat dan daerah provinsi dengan berdasar jarak 12 mil laut
(lihat tabel 2). Pemerintah provinsi berwenang untuk melakukan
pengaturan sumber daya diluar migas sepanjang 0 hingga 12 mil.
Pemerintah pusat berwenang dalam pengaturan terhadap sumber daya
diatas 12 mil laut.

Pengaturan desentralisasi dalam UU Pemda akan menimbulkan


konflik dengan pengaturan WPP berdasarkan UU Perikanan dan
perencanaan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan UU
PWP3K. Konflik pengaturan dapat terjadi antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Konflik dapat
muncul terkait kewenangan pengelolaan sumber daya antara masing-
masing badan pemerintahan. Untuk itu, penting pemerintah pusat
memastikan kewenangan pengelolaan.

Di sisi lain, keterbatasan akses dari wilayah pesisir dan pulau-


pulau kecil ke pusat-pusat pemerintahan akan kembali menimbulkan
ketidakefektifan pengelolaan perikanan yang cenderung berada di
wilayah yang tidak mudah diakses.
                                                                                                                                                                                                                                                                           
memberi kewenangan kepada daerah yang memiliki wilayah laut untuk mengelola sumber daya
di wilayah laut.
74
Ibid, Pasal 27 ayat (2).
75
Ibid, Pasal 27 ayat (3).
76
Ibid, Pasal 28 ayat (2).

18
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Tabel 2 Pembagian Urusan Bidang Kelautan Dan Perikanan

Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah


Kabupaten/Kota
Kelautan, a. Pengelolaan a. Pengelolaan
Pesisir, dan ruang laut di ruang laut
Pulau-Pulau atas 12 mil dan sampai
Kecil strategis dengan 12
nasional. mil di luar
minyak dan
b. Penerbitan izin
gas bumi.
pemanfaatan
ruang laut b. Penerbitan
nasional. izin dan
pemanfaatan
c. Penerbitan izin
ruang laut di
pemanfaatan
bawah 12 mil
jenis dan genetik
di luar
(plasma nutfah)
minyak dan
ikan
gas bumi.
antarnegara.
c.
d. Penetapan jenis
Pemberd
ikan yang
ayaan
dilindungi dan
masyarakat
diatur
pesisir dan
perdaganganny
pulau-pulau
a secara
kecil.
internasional.
e. Penetapan
kawasan
konservasi.
f. Database pesisir
dan pulau-pulau
kecil.
Perikanan a. Pengelolaan a. Pengelolaan a.
Tangkap penangkapan penangkapa Pemberd
ikan di wilayah n ikan di ayaan
laut di atas wilayah laut nelayan kecil
12 (dua belas) sampai dalam Daerah
mil. dengan 12 kabupaten/k
mil. ota.
b. Estimasi stok
ikan nasional b. Penerbitan b. Pengelolaan
dan jumlah izin usaha dan
tangkapan ikan perikanan penyelenggar
yang tangkap aan Tempat
diperbolehkan untuk kapal Pelelangan
(JTB). perikanan Ikan (TPI).
berukuran di
c. Penerbitan izin
atas 5 GT
usaha perikanan

19
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

tangkap untuk: sampai


(a) kapal dengan 30
perikanan GT.
berukuran di
c. Penetapan
atas 30 GT; dan
lokasi
(b) di bawah 30
pembanguna
GT yang
n serta
menggunakan
pengelolaan
modal asing
pelabuhan
dan/atau
perikanan
tenaga kerja
provinsi.
asing.
d. Penerbitan
d. Penetapan
izin
lokasi
pengadaan
pembangunan
kapal
dan pengelolaan
penangkap
pelabuhan
ikan dan
perikanan
kapal
nasional dan
pengangkut
internasional.
ikan dengan
e. Penerbitan izin ukuran di
pengadaan atas 5 GT
kapal sampai
penangkap ikan dengan 30
dan kapal GT.
pengangkut
e. Pendaftaran
ikan dengan
kapal
ukuran di atas
perikanan di
30 GT.
atas 5 GT
f. Pendaftaran sampai
kapal perikanan dengan 30
di atas 30 GT. GT.
Perikanan a. Sertifikasi dan Penerbitan IUP di a. Penerbitan
Budidaya izin edar obat bidang IUP di bidang
dan pakan ikan. pembudidayaan pembudidaya
ikan yang an ikan yang
b. Penerbitan izin
usahanya lintas usahanya
pemasukan ikan
daerah dalam 1
dari luar negeri
kabupaten/kota (satu) daerah
dan
dalam 1 (satu) kabupaten/k
pengeluaran
daerah provinsi. ota.
ikan hidup dari
wilayah b.
Republik Pemberd
Indonesia. ayaan
usahakecil
c. Penerbitan Izin
pembudidaya
Usaha
an ikan.
Perikanan (IUP)
di bidang c. Pengelolaan

20
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

pembudidayaan pembudidaya
ikan lintas an ikan.
daerah provinsi
dan/atau yang
menggunakan
tenaga kerja
asing.
Pengawasan Pengawasan sumber Pengawasan
Sumber Daya daya kelautan dan sumber daya
Kelautan dan perikanan di atas 12 kelautan dan
Perikanan mil, strategis perikanan sampai
nasional dan ruang dengan 12 mil.
laut tertentu.
Pengolahan a. Standardisasi Penerbitan izin
dan Pemasaran dan sertifikasi usaha pemasaran
pengolahan dan pengolahan
hasil perikanan. hasil perikanan
lintas Daerah
b. Penerbitan izin
kabupaten/kota
pemasukan
dalam 1 (satu)
hasil perikanan
Daerah provinsi.
konsumsi dan
non-konsumsi
ke dalam
wilayah
Republik
Indonesia.
c. Penerbitan izin
usaha
pemasaran dan
pengolahan
hasil perikanan
lintas daerah
provinsi dan
lintas negara.
Karantina Ikan, Penyelenggaraan
karantina ikan,
Pengendalian
pengendalian mutu
Mutu dan
dan keamanan hasil
Keamanan
perikanan.
Hasil
Perikanan
Pengembangan a.
SDM Penyelengg
Masyarakat araan
Kelautan penyuluhan
perikanan
dan Perikanan
nasional.
b. Akreditasi dan

21
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

sertifikasi
penyuluh
perikanan.
c. Peningkatan
kapasitas SDM
masyarakat
kelautan dan
perikanan.

Sumber: UU No. 23 Tahun 2015 Lampiran UU Pemerintahan Daerah


Huruf Y
Selanjutnya terkait dengan desa, UU Desa mendefinisikan desa
dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.77 Desa berwenang
menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan,
melakukan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa.78
Kewenangan desa meliputi kewenangan berdasarkan hak asal usul,
kewenangan lokal berskala desa, kewenangan yang ditugaskan oleh
pemerintah (pusat), pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah
kabupaten/kota dan kewenangan lain berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.79 Dengan kewenangan yang luas tersebut, desa
dapat berperan sebagai otoritas dalam menciptakan dan menjalankan
kerangka PPBM.

                                                                                                                       
77
Indonesia, Undang-undang Desa, UU No. 6 Tahun 2014, Lembaran Negara No. 7
Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara No. 5495. Pasal 1 angka 1.
78
Dalam penjelasan, yang dimaksud dengan “hak asal usul dan adat istiadat Desa”
adalah hak yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ibid, Pasal 18.
79
Yang dimaksud dengan “hak asal usul” adalah hak yang merupakan warisan yang
masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan
kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan
hukum adat, tanah kas Desa, serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa. Sementara
yang dimaksud dengan “kewenangan lokal berskala Desa” adalah kewenangan untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan
efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa
masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu, pasar Desa, tempat pemandian umum, saluran
irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan
Desa, embung Desa, dan jalan Desa. Ibid, Pasal 19.

22
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

UU Desa mengatur aset desa sebagai barang milik desa.80 Aset


desa disebutkan secara non-limitatif; dapat berupa tanah kas desa, tanah
ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa,
pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air
milik desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik desa.81 Dalam
pengaturannya, aset desa tidak terbatas sehingga dapat termasuk
wilayah dan sumber daya perairan sebagai wilayah milik desa yang
dikelola bersama dengan berdasarkan atas peraturan yang diterbitkan
oleh pemerintahan desa.

Pemerintahan desa melalui kepala desa memiliki kewenangan


menetapkan Peraturan Desa sebagai suatu peraturan perundang-
undangan setelah dibahas dan disepakati bersama Badan
Permusyawaratan Desa (“BPD”).82 Substansi pengaturan dalam
Peraturan Desa tidak terbatas pada suatu objek tertentu. Khusus
mengenai rancangan peraturan desa tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa
harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan
menjadi Peraturan Desa.83 Dalam hierarki peraturan perundang-
undangan, peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa atau yang
setingkat merupakan bagian dari tata urutan peraturan perundang-
undangan. Peraturan Desa diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.84

5. Peluang Pengaturan dan Penerapan Lima Prinsip PPBM

Desa dengan kewenangan mengatur dan mengurus urusan


pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat merupakan
peluang bagi masyarakat untuk menciptakan pengelolaan berbasis
masyarakat. Aset desa sebagai barang milik desa dapat menjadi kerangka
                                                                                                                       
80
Aset Desa dapat berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah. Ibid, Pasal 1
angka 11.
81
Ibid, Pasal 76 ayat (1).
82
Ibid, Pasal 1 angka 7.
83
Ibid, Pasal 69 ayat (4) UU Desa.
84
Pasal 8. Lih: Indonesia, Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, Lembaran Negara No. 82 Tahun 2012,
Tambahan Lembaran Negara No. 5234.

23
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

hak kepemilikan bersama dari masyarakat desa atas sumber daya


perikanan. Kewenangan desa untuk menetapkan peraturan desa secara
luas, termasuk tata ruang, merupakan peluang dalam menetukan aturan
dan hak-hak pemanfaatan sumber daya. Sangat jelas, desa merupakan
peluang dan ruang untuk menciptakan PPBM. Namun, dalam
pelaksanaannya dapat disertai dengan hambatan.

Prinsip jaminan dapat diterapkan dengan menentukan peraturan


yang mengatur pemanfaatan atas sumber daya perikanan. Peraturan
Desa dapat menetapkan pihak-pihak beserta dengan pembatasannya
yang dapat memanfaatkan sumber daya serta pengaturan tata ruang
perairan sebagai aset desa yang senada dengan prinsip ekslusivitas.
Prinsip keberlangsungan dapat diterapkan dengan memastikan jangka
waktu bagi setiap pemanfaat perikanan. Kewenangan desa dalam
mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangga desa merupakan
penerapan prinsip fleksibilitas. Desa memiliki tantangan terkait dengan
keterpaduan dalam kerangka hukum perikanan yang lebih luas.

Dalam hal prinsip integrasi PPBM dalam Manajemen Perikanan,


diperlukan perhatian lebih mengingat minimnya pengaturan masyarakat
dalam pengelolaan perikanan. Dalam pengelolaan perikanan terdapat
mandat untuk mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal
serta memperhatikan peran serta masyarakat.85 Namun, tidak ada
ketentuan lebih lanjut terkait dengan hukum adat dan/atau kearifan
lokal dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan perikanan.
Walaupun terdapat ketentuan pelibatan masyarakat dalam pengawasan
serta pemberdayaan nelayan, namun UU Perikanan memandatkan
pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah yang hingga kini
belum terbit.86 Hal ini ini merupakan tantangan dan hambatan dalam
mengintegrasikan PPBM dalam kerangka hukum perikanan nasional.

Untuk itu, pemerintah perlu melakukan perubahan kebijakan


menyeluruh yang khusus terkait dengan hukum perikanan dengan
mengakui pengelolaan oleh masyarakat dalam perikanan, baik melalui
kerangka hukum adat, kearifan lokal maupun sebagai peningkatan peran
serta masyarakat dalam pengelolaan perikanan.

                                                                                                                       
85
UU Desa, Loc. Cit., Pasal 6 ayat (2).
86
Terkait dengan peran serta masyarakat dalam pengawasan diatur dalam Pasal 67 jo.
Pasal 70. Terkait dengan pemberdayaan nelayan diatur dalam Pasal 60 ayat (1) jo. Pasal 64.
Ibid.

24
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

6. Kesimpulan

Tafsir atas konstitusi bahwa hak menguasai negara bersumber dan


berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat, termasuk kepemilikan publik
atas sumber daya, merupakan gambaran penerimaan gagasan
kepemilikan bersama dalam PPBM. Tafsir ini dilengkapi tolok ukur
sebesar-besar kemakmuran rakyat, dengan tingkat partisipasi rakyat
dalam menentukan manfaat sumber daya alam dan penghormatan atas
hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya
alam, yang juga sejalan dengan konsep dalam hak kepemilikan bersama
yang dikandung PPBM. Terkait konteks hak kepemilikan bersama, UUD
1945 tidak membatasi dan tidak bertentangan dengan PPBM sehingga
skema PPBM dapat diterima secara hukum.

Terkait desentralisasi pengelolaan, UUD 1945 telah mengakui


otonomi daerah untuk mengatur urusan pemerintahan yang dibatasi
undang-undang khusus mengatur pengelolaan sumber daya alam.
Undang-undang khusus terkait yaitu UU Perikanan, UU PWP3K, UU
Pemerintahan Daerah dan UU Desa. UU Perikanan tidak mengatur
secara khusus bagaimana desentralisasi kewenangan, namun UU Pemda
mengatur lebih lanjut dengan membagi kewenangan berdasarkan
wilayah antara pemerintah pusat dan provinsi. Di sisi lain, UU PWP3K
mengatur mandat perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dari
kabupaten/kota, provinsi, hingga pemerintah pusat. UU Desa
memberikan kewenangan kepada desa untuk mengatur urusan desa
termasuk aset desa sebagai sumber daya milik bersama yang merupakan
devolusi pengelolaan. Konflik pengelolaan dapat tercipta antara UU
Perikanan melalui WPP, UU PWP3K dalam perencanaan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pembagian urusan
pengelolaan antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam UU
Pemda.

Desa sendiri merupakan peluang bagi penciptaan PPBM dimana


telah terpenuhinya empat prinsip yaitu jaminan, ekslusivitas,
keberlangsungan serta fleksibilitas. Namun karena kosongnya
pengaturan masyarakat dalam pengelolaan perikanan perlu ada
perhatian khusus terkait dengan integrasi PPBM dalam kerangka
pengelolaan perikanan.

Sebagai saran, pemerintah perlu melakukan perubahan kebijakan


menyeluruh dalam hukum perikanan yang mengakui pengelolaan oleh

25
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

masyarakat dalam perikanan. Kerangka hukum untuk mengakui


pengelolaan perikanan berbasis masyarakat harus diturunkan dalam
suatu kerangka kebijakan yang memberikan ruang khusus bagi
masyarakat dalam pengelolaan perikanan.

Daftar Pustaka

Andrew, Neil L. dan Evans, Louisa. “Approaches and Frameworks for


Management and Research in Small-scale Fisheries” di dalam
Small-scale Fisheries Management Frameworks and Approaches for the
Developing World, diedit oleh Robert S. Pomeroy dan Neil L.
Andrew. United Kingdom: CAB International, 2011.

Bailey, C. dan C. Zerner. “Community-Based Fisheries Management


Institutions in Indonesia.” MAST 5, No. 1 (1992): 1-17. Sumber:
http://www.marecentre.nl/mast/documents/communitybasedfisheriesman
agementinstitutioninIndonesia.pdf.

Capistrano, Robert Charles G. Reclaiming The Ancestral Waters Of


Indigenous Peoples In The Philippines: The Tagbanua Experience
With fishing Rights And Indigenous Rights. Nova Scotia: Saint
Mary’s University, 2009.

Charles, Anthony. “Rights-Based Fisheries Management: The Role of Use


Rights in Managing Access and Harvesting” di dalam A fishery
Manager’s Guidebook, Edisi Kedua, diedit oleh Kevern L.
Cochrane dan Serge M. Garcia. Singapura: FAO dan Wiley-
Blackwell, 2009.

Food and Agriculture Organization. Law And Sustainable Development


Since Rio – Legal Issues And Trends In Agriculture And Natural
Resources Management. FAO Legislative Study 73 (2002). Sumber:
http://www.fao.org/docrep/005/y3872e/y3872e00.HTM.

Hersoug, Bjørn. “Fishing Rights To The Right People? Management


Options In Crowded Small-Scale Fisheries”. 2011. Sumber:
http://www.marecentre.nl/mast/documents/MAST10.2_Hersoug.pdf,
diakses pada 7 Juni 2015.

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945, Amandemen Keempat. 2002.

Indonesia. Undang-undang Pemerintahan Daerah. UU No. 23 Tahun 2014.


LN No. 244 Tahun 2014. TLN No. 5587.

Indonesia. Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau


Kecil. UU No. 27 Tahun 2007. LN No. 84 Tahun 2007. TLN 4739

26
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Indonesia. Undang-undang Penataan Ruang. UU No. 26 Tahun 2007. LN


No. 68 Tahun 2007. TLN 4725.

Indonesia. Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang No. 27 Tahun


2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU
No. 1 Tahun 2014. LN No. 2 Tahun 2014. TLN 5490.

Indonesia. Undang-undang Desa. UU No. 6 Tahun 2014. LN No. 7 Tahun


2014. TLN No. 5495

Indonesia. Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan. UU No. 12 Tahun 2011. LN No. 82 Tahun 2012. TLN No.
5234.

Indonesia. Undang-undang Perikanan. UU No. 31 Tahun 2004. LN No. 118


Tahun 2004. TLN No. 4433.

Indonesia. Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31


Tahun 2004 Tentang Perikanan. UU No. 45 Tahun 2009. LN. No. 154
Tahun 2009. TLN No. 5073.

Kuemlangan, B. & Teigenem, H. “An Overview of Legal Issues and Broad


Legislative Considerations for Community-Based Fisheries
Management” di dalam Proceedings Of The Second International
Symposium On The Management Of Large Rivers For Fisheries,
Volume II, diedit oleh Robin L. Welkomme and T. Petr. Bangkok:
RAP Publication, 2004.

Kuemlangan, B. “Creating Legal Space For Community-Based Fisheries


And Customary Marine Tenure In The Pacific: Issues And
Opportunities.” Fish Code Review. No. 7 (2004).

Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-


VIII/2010 atas uji materiil UU No. 27 Tahun 2007. 2011.

Menteri Kelautan dan Perikanan. Keputusan Menteri Kelautan dan


Perikanan tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah
Perikanan Negara RI dan Laporan Status Tingkat Eksploitasi
Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.
Kep.45/MEN/2011.

Menteri Kelautan dan Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan


tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Usaha Tetap Penanaman
Modal Di Bidang Kelautan Dan Perikanan Dalam Rangka Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal Kepada Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. PER. 30/MEN/2009.

27
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Menteri Kelautan dan Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan


tentang Pelimpahan Sebagian Urusan Pemerintahan (Dekonsentrasi)
Bidang Kelautan Dan Perikanan Tahun Anggaran 2010 Kepada
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. PER.08/MEN/2010.

Menteri Kelautan dan Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan Dan


Perikanan Tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.
18/PERMEN-KP/2014.

Menteri Kelautan dan Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan Dan


Perikanan Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan
Perikanan Di Bidang Penangkapan Ikan. Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan No. PER.29/MEN/2012. Berita Negara No. 46
Tahun 2013.

Mustafa, M. G. dan A.S. Halls. Impact of the Community-Based Fisheries


Management on sustainable use of inland fisheries in Bangladesh.
Sumber: http://pubs.iclarm.net/resource_centre/WF_778.pdf.

Ostrom, Elinor. “Private and Common Property Rights” Sumber:


http://encyclo.findlaw.com/2000book.pdf, diakses 5 Juni 2015.

Pomeroy, R. S. Ed. Proceedings of the Workshop on Community


Management and Common Property of Coastal Fisheries and
Upland Resources in Asia and the Pacific: Concepts, Methods and
Experiences. Manila: ICLARM (tanpa tahun).

_____. Community-Based And Co-Management Institutions For


Sustainable Coastal Fisheries Management In Southeast Asia.
Sumber: http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.202
.7560&rep=rep1&type=pdf., diakses pada 3 Juli 2015.

Purvis, J. dan Sobo, F. “Information Aspects Of Community Participation


In Fisheries. Dalam: S. Heck, C. T. Kirema-Mukasa, B. Nyandat and
J. P. Owino” dalam The International Workshop on Community
Participation in Fisheries Management on Lake Victoria: BMU
Development on Lake Victoria, Juli 2004.

Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan.


Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2014. Rennisca Ray Damanti
dan Mareta Nirmalanti (Ed.). Jakarta: Pusat Data, Statistik dan
Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014. Sumber:
http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/c/90/Kelautan-dan-Perikanan-
Dalam-Angka-Tahun-2014/?category_id=3. diakses pada 7 Juli 2015

28
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers,


2011.

Satria, Arif dan Matsuda, Yoshiaki. Decentralization of Fsheries


Management In Indonesia. 2004. Sumber:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0308597X03001362,
diakses pada 5 Juli 2015.

Soliman, Adam. “Achieving Sustainability Through Community Based


Fisheries Management Schemes: Legal and Constitutional
Analysis.” Georgetown International Environmental Law Review,
Volume 26, Issue 3 (2014).

Wulansari, Eka Martiana. Penegakan Hukum di Laut Dengan Sistem


Single Agency Multy Tasks. Sumber: http://rechtsvinding.bphn.go.id/
jurnal_online/PENEGAKAN%20HUKUM%20DI%20LAUT%20DEN
GAN%20SISTEM%20SINGLE%20AGENCY%20MULTY%20TASKS
.pdf, diakses pada 5 Juli 2015.

29
 

P ARTISIPASI M ASYARAKAT D ALAM


P ENGELOLAAN W ILAYAH P ESISIR D I A CEH
Safrina1

Abstrak

Partisipasi masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan


hidup telah menjadi agenda negara-negara di dunia terutama
setelah menjadi salah satu prinsip dalam Deklarasi Rio 1992.
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mencantumkan
prinsip partisipatif sebagai salah satu asas dalam penyusunan
setiap kebijakan terkait lingkungan hidup. Tulisan ini bertujuan
untuk memaparkan pelaksanaan Program Pengelolaan Wilayah
Laut Berbasis masyarakat pada Masyarakat Ujong Pancu,
Kabupaten Aceh Besar dan memahami bagaimana peran institusi
adat laot (Panglima Laot) dalam pengelolaan lingkungan pesisir.
Perlindungan dan pengelolaan wilayah pesisir di Aceh dilakukan
dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu melalui
pembentukan aturan hukum yang mendukung dan penguatan
kapasitas institusi masyarakat, institusi adat dan hukum adat yang
dipercaya dapat menjadi wadah yang efektif untuk melibatkan
masyarakat dalam proses pembangunan. Melalui program
tersebut masyarakat terlibat secara langsung dalam penentuan
kawasan konservasi laut dan juga ikut menentukan langkah-

1 Safrina, S.H., M.H., M.EPM mendapatkan gelar sarjana dan master hukum dari
Universitas Syah Kuala, dan Master of Environmental Policy and Management
dari University of Adelaide, South Australia. Sekarang Penulis merupakan Staff
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Nanggroe Aceh
Darussalam, mengajar mata kuliah Hukum Dagang, Hukum Perusahaan, Hukum
Jaminan, Hukum Surat Berharga, dan Hukum Lingkungan.
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

langkah yang terbaik untuk melindungi kawasan pesisir tempat


mereka menetap. Lebih lanjut, melalui pengelolaan wilayah pesisir
berbasis masyarakat dapat meminimalkan dampak negatif dari
pembangunan dan memungkinkan masyarakat untuk
memperoleh informasi yang berimbang dan obyektif sehingga
dapat memberikan kontribusi untuk pemecahan masalah-masalah
lingkungan.

Kata Kunci: Partisipasi masyarakat, perlindungan dan pengelolaan lingkungan


hidup

Abstract

Community participation in protection and management of the environment has


been on the agenda of countries in the world, especially after incorporated as a
principle in the Rio Declaration of 1992. Indonesia, through Law No. 32 of 2009
on the Environmental Protection and Management included participatory
principle in policy-making related to the environment. This study aims to
examine the implementation of community participation in coastal management
and to analyze the role of adat institution (Panglima Laot) in managing the
coastal environment in Aceh. Protection and management of coastal areas in
Aceh is conducted under two approaches, namely the establishment of the
regulations that support the implementation process and strengthening the
capacity of public institutions; and traditional institutions and customary laws
that are believed can be an effective way to engage community in the
development process. Through a program of community-based coastal
management, community directly involved in determining the marine
conservation areas and also determine the best steps to protect their region.
Moreover, the program can also minimize the negative impacts of development
and enable public to obtain a balanced and objective information that can
contribute to solve the problems in their environment.

Key words: community participation, protection and management of the


environment

1. Pendahuluan

Provinsi Aceh terletak di ujung barat Pulau Sumatera, Indonesia,


yang dibatasi oleh Selat Malaka di sebelah timur dan Samudera Hindia di
sebelah barat. Wilayah perairan Aceh merupakan salah satu yang

31
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

terbesar di Indonesia dan didominasi oleh ekosistem terumbu karang


yang berperan sangat signifikan terhadap keberlangsungan habitat laut
dan masyarakat pesisir. Terumbu karang berfungsi sebagai pelindung
pantai dari abrasi dan menjadi tempat habitat laut memperoleh
makanan, sehingga fungsinya perlu dilestarikan. Di lain pihak, tekanan
antropogenik (aktivitas manusia) diduga berkontribusi terhadap
rusaknya ekosistem wilayah pesisir. Makin banyak terumbu karang yang
penting bagi keberlanjutan kehidupan ekosistem pantai yang rusak
karena maraknya penggunaan alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan, seperti potasium, bom, dan pukat harimau (trawl).
Berdasarkan survey pendataan terumbu karang tahun 2008 hingga tahun
2010, tercatat dari 91 lokasi yang disurvey, hanya 14 lokasi yang terumbu
karangnya masih dalam kondisi baik.2 Selain disebabkan oleh aktivitas
manusia, kerusakan terumbu karang di wilayah Aceh juga disebabkan
oleh faktor alam seperti tsunami, naiknya suhu permukaan laut dan
pemutihan terumbu karang yang salah satunya disebabkan oleh
perubahan iklim akibat pemanasan global.

Partisipasi masyarakat, selain menunjukkan negara mengakui


pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, juga
berupaya untuk meningkatkan kualitas kebijakan pemerintah terkait
lingkungan hidup3 sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh
masyarakat. Di samping itu, keterlibatan masyarakat juga dianggap
penting karena masyarakat merupakan pihak yang paling rentan
terhadap dampak yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan sehingga
bagi masyarakat konsep ini dianggap sebagai wujud dari partisipasi
dalam proses pembangunan. Partisipasi juga merupakan upaya untuk
meminimalkan dampak negatif pembangunan, khususnya pembangunan
yang berhubungan secara langsung dengan masyarakat dan lingkungan
tempat mereka menetap.4 Lebih lanjut, keterlibatan masyarakat dalam
pembangunan dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi dampak

2 Aceh Ocean Coral, Formasi Terumbu Karang Aceh,


http://acehoceancoral.org/artikel/formasi-terumbu-karang-aceh, diakses pada tanggal
28 Februari 2014.
3 Muhammad Akib, Politik Hukum Lingkungan: Dinamika dan Refleksinya

dalam Produk Hukum Otonomi Daerah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), hal.
124.
4 Kim A. Johnston, “Community Engagement: A Relational Perspective”,

dalam Tebbutt, Cregan, and Kate (Editor), (Prosiding dalam Australia and New
Zealand Communication Association Annual Conference, 2007).

32
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

sosial dari pembangunan dan dapat meningkatkan kualitas kebijakan


dan program terkait lingkungan.5

Prinsip pembangunan partisipatif pertama kali diperkenalkan


dalam Deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan yang
menyebutkan tentang pentingnya mengedepankan partisipasi
masyarakat dalam penyelesaian masalah-masalah lingkungan.
Selengkapnya Prinsip 10 Deklarasi Rio menyatakan,
“Environmental issues are best handled with the participation of
all concerned citizens, at the relevant level. At the national level,
each individual shal have appropriate access to information
concerning the environment that is held by public authorities,
including information on hazardous materials and activities in
their communities, and the opportunity to participate in decision-
making processes. States shall facilitate and encourage public
awareness and participation by making information widely
available. Effective access to juducial and administrative
proceedings, including redress and remedy, shall be provided.”

Kebijakan dan program pemerintah terutama yang terkait dengan


isu lingkungan, akan lebih efektif diterapkan jika melibatkan banyak
pihak termasuk masyarakat. Hal ini disebabkan sifat dari lingkungan
yang membentuk suatu ekosistem yang terkait antara satu dengan yang
lain. Selanjutnya, negara bertanggung jawab untuk membuat dan
menyediakan prosedur dan mekanisme yang memungkinkan
masyarakat terlibat dalam pembangunan dan menjadi bagian dari proses
pembangunan.

Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup (“UUPPLH”)6
mengakui penerapan prinsip pembangunan partisipatif sebagai salah
satu asas dalam pengelolaan lingkungan dalam Pasal 2 huruf k.7 Dalam
penjelasan Pasal 2 huruf k disebutkan bahwa “setiap anggota masyarakat
didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan
pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik

5 Reed, “Stakeholder Participation for Environmental Management: A

Literature Review,” Biological Conservation, Vol. 141 (2008), hal. 2426.


6 Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (“UUPPLH”), No. 32 Tahun 2009, Lembaran Negara Tahun
2009 No.140, Tambahan Lembaran Negara No. 5059.
7 Pasal 2 huruf k UUPPLH, Ibid.

33
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

secara langsung maupun tidak langsung.”8 Selanjutnya Pasal 70 ayat (1)


mengatur bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama
dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.9 Adapun bentuk peran masyarakat
tersebut dijelaskan dalam ayat (2) yaitu: (a) pengawasan sosial, (b)
pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan, dan/atau, (c)
penyampaian informasi dan/ atau laporan.10 Dalam penjelasan Pasal 70
disebutkan bahwa pemberian saran, pendapat dan usul diantaranya
dalam penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).11

Dalam kaitannya dengan masyarakat pesisir, Undang-Undang


Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah Pesisir (UU
Pengelolaan Daerah Pesisir)12 mengakui hak, kewajiban dan peran serta
masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir. Pasal 62 ayat (1)
mengatur bahwa “masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk
berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.”13
Selanjutnya ayat (2) mengatur bahwa “ketentuan mengenai peran serta
masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir akan diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Menteri.”14 Sampai tulisan ini ditulis, belum ada
peraturan menteri yang mengatur peran masyarakat dalam pengelolaan
wilayah pesisir, sehingga belum ada acuan yang jelas bagaimana bentuk
peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Di tengah ketiadaan peraturan pelaksana terkait peran serta


masyarakat dalam perlindungan wilayah pesisir, Pemerintah Aceh
melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat
yang merupakan kerjasama antara Dinas Kelautan dan Perikanan
(“DKP”) Provinsi Aceh dan Flora Fauna Indonesia (FFI), yang salah
satunya terdapat di Desa Ujong Pancu, Kabupaten Aceh Besar.

8Ibid.
9Pasal 70 ayat (1) UUPPLH, Ibid.
10 Pasal 70 ayat (2) UUPPLH, Ibid.
11 Ibid.
12 Indonesia, Undang-Undang tentang Pengelolaan Daerah Pesisir, UU No. 27

Tahun 2007, Lembaran Negara Tahun 2007 No. 84, Tambahan Lembaran Negara
No. 4739; Lihat juga Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
UU No. 1 Tahun 2014, Lembaran Negara Tahun 2014 No. 2, Tambahan Lembaran
Negara No. 5490.
13 Pasal 62 ayat (1) UU Pengelolaan Daerah Pesisir, Ibid.
14 Pasal 62 ayat (2) UU Pengelolaan Daerah Pesisir, Ibid.

34
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Berdasarkan hal tersebut, artikel ini bertujuan untuk memaparkan


pelaksanaan Program Pengelolaan Wilayah Laut Berbasis Masyarakat
pada masyarakat Ujong Pancu dan memahami bagaimana peran institusi
adat laot (Panglima Laot) dalam pengelolaan lingkungan pesisir.

2. Masyarakat dan Keterlibatan Masyarakat


dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Meningkatnya pemahaman tentang pentingnya keterlibatan


masyarakat dalam pembangunan telah memunculkan diskusi tentang
pengertian masyarakat dan keterlibatan masyarakat. Masyarakat berasal
dari kata latin communis, yang berarti “umum, publik, dan yang dibagi
dengan banyak pihak.” Menurut Sarkissian, memberikan adalah
“kelompok yang berbagi wilayah, kepentingan atau kegiatan yang
ditandai oleh pola interaksi antar individu, persepsi terhadap kesamaan
atau kepentingan bersama dan geografi.”15 Menurut pengertian ini,
masyarakat diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki ikatan
asal usul leluhur dan geografis yang sama, dan umumnya juga dikaitkan
dengan hukum (termasuk hukum adat) yang menjadi norma yang
mengikat masyarakat tersebut, contohnya masyarakat perkotaan,
masyarakat pedesaan, masyarakat Indonesia, atau bisa dipahami bahwa
pengertian ini melihat masyarakat dalam komunitas yang kecil sampai
masyarakat dunia, yang semuanya berinteraksi berdasarkan kesamaan
kepentingan dan wilayah.

Pengertian lain dikemukan oleh Connor, yang mendefinisikan


masyarakat sebagai “people living in a place, who develop a sense of identity
and a common culture, and who create interdependence in a social system.”16
Menurut pengertian ini masyarakat dipandang sebagai sekelompok
orang-orang yang memiliki kesamaan ide dan aktifitas bersama yang
berkumpul untuk mencapai tujuan yang sama.17 Dalam kaitannya
dengan pengelolaan lingkungan, masyarakat yang dimaksud termasuk

15 Penulis menerjemahkan bebas dari bahasa asli, “Any group that shares a
location, interests or practices, defined by patterns of interaction among individuals,
perception of commonality or common interest and geography.” Sarkissian, et al,
Kitchen Table Sustainability: Practical Recipes for Community Engagement with
Sustainability, (UK: Earthscan, 2009).
16 Ibid.
17 Connor dalam Sarkissian, et al, Kitchen Table Sustainability: Practical

Recipes For Community Engagement With Sustainability, (UK: Earthscan, 2009).

35
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

diantaranya Lembaga Swadaya Masyarakat (“LSM”) nasional atau


internasional yang peduli dengan isu-isu lingkungan.

UUPPLH tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan


masyarakat, akan tetapi memberikan definisi masyarakat hukum adat
yaitu “kelompok masyarakat yang secara turun termurun bermukim di
wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,
adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik sosial, dan
hukum.”18 Pengertian masyarakat dapat ditemukan dalam UU
Pengelolaan Daerah Pesisir, yang membagi masyarakat ke dalam
masyarakat adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional, yang
definisinya adalah sebagai berikut:

“Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat pesisir yang


secara turun temurun bermukim di wilayah geografis
tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,
adanya hubungan yang kuat dengan sumber daya pesisir
dan pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai yang
menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum.”19

“Masyarakat lokal didefinisikan sebagai kelompok


masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari
berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-
nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya
bergantung pada sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
tertentu.”20

“Masyarakat tradisional adalah masyarakat perikanan


tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam
melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan
lainnya yang sah didaerah-daerah tertentu yang berada
dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum
laut internasional.”21

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa UU


Pengelolaan Daerah Pesisir mendefinisikan masyarakat sebagai: (1)
sekelompok orang yang berkumpul dalam satu wilayah karena adanya
kesamaan adat istiadat dan nilai-nilai yang dipercaya sebagai norma

18 Pasal 1 angka 31 UUPPLH, Op. Cit.


19 Pasal 1 angka 33 UU Pengelolaan Daerah Pesisir, Op. Cit.
20 Pasal 1 angka 34 UU Pengelolaan Daerah Pesisir, Ibid.
21 Pasal 1 angka 35 UU Pengelolaan Daerah Pesisir, Ibid.

36
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

dimana kelompok tersebut menggantungkan hidupnya dari hasil laut; (2)


sekelompok orang yang tinggal diwilayah pesisir tetapi tidak
menggantungkan hidupnya pada hasil laut. Yang menarik adalah
adanya pemisahaan antara masyarakat adat dan masyarakat tradisional,
yang jika dipahami memiliki arti yang sama yaitu kesamaan wilayah
akan tetapi ada penambahan pengakuan terhadap hukum laut
internasional pada kelompok masyarakat tradisional. Walaupun terdapat
perbedaan dalam mendefinisikan masyarakat, dan tidak ada pengertian
yang universal menyangkut konsep tersebut,22 akan tetapi dalam
kaitannya dengan peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan,
partisipasi kedua tipe masyarakat menjadi penting dan saling
mendukung.

Sementara itu, keterlibatan masyarakat dianggap sebagai “proses


keterlibatan dimana sekelompok orang bekerja bersama untuk mencapai
tujuan yang sama dengan komitmen untuk sejumlah nilai, prinsip, dan
kriteria.”23 Partisipasi masyarakat diharapkan dapat dilakukan secara
aktif dengan mekanisme keterlibatan yang diatur oleh pemerintah.
Selanjutnya, diperlukan peranan pengambil kebijakan untuk
menyediakan aturan hukum bagi keterlibatan masyarakat tersebut.

Partisipasi masyarakat dianggap sebagai salah satu langkah


demokratis dalam menciptakan kebijakan yang lebih efektif, responsif,
dan informatif, dan juga dapat mengembangkan aspek psikologi dan
pendidikan dalam pembangunan masyarakat dan individu.24 Konsep
keterlibatan masyarakat telah berkembang dalam berbagai pendekatan.
Salah satu yang mengundang perhatian adalah keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan hutan (community-based forest management) yang
diperkenalkan oleh Elinor Ostrom.25 Ostrom menyatakan bahwa
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan dianggap penting

22 Terjemahan bebas Penulis dari “engagement processes and practices in

which a wide range of people work together to achieve a share goal guided by a
commitment to a common set of values, principles, and criteria.” Warburton, A
Passionate Dialogue: Community and Sustainable Development, 1998, dalam
Warburton, Community and Sustainable Development: Participation in the future, (UK:
Earthscan, 1998).
23 Aslin dan Brown, Towards Whole of Community Engagement: A Practical

Toolkit, (South Australia: Murray Darling Basin Commission, 2004) hal. 3.


24 Dakin, “Challenging Old Models of Knowledge and learning: New

Perspective for Participation in Environmental Management and Planning,”


Environments, Vol.31, No.1, (2003), hal. 94.
25 Ostrom, “Self-Governance and Forest Resources”, (Occasional Paper No.

20, Centre for International Forestry Research, Bogor, Indonesia, 1999).

37
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

karena sifat dari sumber daya hutan yang memiliki fungsi ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Oleh sebab itu, pengelolaan wilayah hutan
idealnya juga melibatkan masyarakat karena masyarakat yang tinggal di
sekitar hutan masih sangat tergantung pada manfaat hutan untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Situasi tersebut diistilahkan oleh Ostrom
sebagai “common-pool resources.” Dalam perkembangannya, teori modern
dari “common-pool” menyimpulkan bahwa keterlibatan berbagai pihak
(governance system) penting dalam pengelolaan sumber daya alam untuk
menghindari terjadinya eksploitasi sumber daya alam yang berdampak
pada rusaknya sumber alam dan menghilangkan fungsinya sebagai salah
satu komponen ekosistem yang saling terkait dengan komponen lainnya.

Pengelolaan daerah pesisir juga mempunyai tantangan yang sama,


karena ekosistem laut memiliki manfaat ekonomi bagi masyarakat pesisir
di samping fungsinya sebagai pelindung kelestarian wilayah tersebut.
Salah satu program yang dikembangkan dalam upaya pengelolaan
wilayah peisir adalah penetapan kawasan perlindungan wilayah laut
(Marine Protected Area, selanjutnya disebut “MPA”) dengan melibatkan
masyarakat sebagai aktor utama.26 Terdapat 2 (dua) faktor yang
mendasari pelaksanaan MPA, yaitu konservasi (conservation) dan
solidaritas (solidarity). Konservasi dimaksudkan sebagai tindakan
perlindungan kehidupan laut demi menjaga ekosistem laut dengan
mempertahankan cara-cara yang ramah lingkungan dan juga melindungi
kepentingan ekonomi masyarakat yang berkepentingan. Sedangkan
solidaritas dimaksudkan sebagai kemauan untuk mewujudkan kebijakan
konservasi melalui sebuah mekanisme yang institusional yang
melibatkan banyak pihak (stakeholders), dimana proses tersebut dilakukan
dengan memperhatikan faktor-faktor sosial, budaya dan ekonomi.27

Manajemen bersama (co-management) merupakan model kebijakan


yang memberikan peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi
dalam proses pembangunan, termasuk dalam program dan kebijakan
terkait pengelolaan lingkungan. Model kebijakan ini juga merupakan
pendekatan yang potensial untuk mempromosikan konsep manajemen
partisipatif dan kolaboratif dengan menekankan pada berbagai tingkat

26 Oracion, Miller, dan Christie, “Marine Protected Areas For Whom?

Fisheries, Tourism, And Solidarity In Philippine Community”, Ocean and Coastal


Management, Vol. 48, (2005), hal. 394, dan Tullungan, Kussoy, dan Crawford,
“Community Based Coastal Resources Management In Indonesia: North Sulawesi
Early Stage Experiences”, (Makalah disampaikan dalam Convention of Integrated
Coastal Management Practitioners in the Philippines, 1998), hal. 2.
27 Oracion, Miller, dan Christie, op.cit., hal. 394-395.

38
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

keterlibatan untuk mencapai tujuan yaitu perlindungan keanekaragaman


hayati dan pengakuan terhadap eksistensi budaya masyarakat lokal.
Selain itu, manajemen bersama juga dapat mencerminkan kekuatan
hubungan antara para pihak.28

3. Pengaturan tentang Partisipasi Masyarakat


dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir di Provinsi Aceh

Di Provinsi Aceh, peran masyarakat dalam pengelolaan dan


perlindungan lingkungan diatur dalam beberapa Qanun, diantaranya
Qanun Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan (“Qanun Pengelolaan Sumber Daya Kelautan
dan Perikanan”) dan Qanun Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (“Qanun Pengelolaan Lingkungan Hidup”).

Peran masyarakat diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Qanun Pengelolaan


Lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa “Masyarakat memiliki
kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam pengelolaan
lingkungan hidup.” Selanjutnya, ayat (2) mengatur bahwa keterlibatan
tersebut diantaranya dapat dilakukan dalam bentuk: (a) pengelolaan jasa
lingkungan; (b) pengurangan risiko bencana; (c) pengawasan sosial; (d)
pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; (e)
penyampaian informasi atau laporan; dan/atau (f) partisipasi aktif
masyarakat dalam penyelamatan lingkungan hidup. Lebih lanjut, ayat 3
mengatur bahwa peran masyarakat bertujuan untuk, antara lain: (a)
meningkatkan kepedulian dalam pengelolaan lingkungan hidup; (b)
meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan; (c)
menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; (d)
menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk
melakukan pengawasan sosial; (e) mengembangkan dan menjaga budaya
dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup;
dan (f) meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan jasa
lingkungan. Walaupun qanun mengakui partisipasi aktif masyarakat
dalam pengelolaan lingkungan hidup, namun prinsip partisipatif sendiri

28 Nursey-Bray, Rist, “Co-management and protected area management:

Achieving effective management of a contested site, lessons from the Great


Barrier Reef World Heritage Area(GBRWHA)”, Marine Policy, Vol. 33, (2009), hal.
118-127, dan Hill, “Towards Equity In Indigenous Co-Management Of Protected
Areas: Cultural Planning By Miriuwung-Gajerrong People In The Kimberley,
Western Australia”, Geographical Research, Vol. 49(10), (2011), hal. 72-85.

39
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

tidak disebutkan sebagai salah satu prinsip yang menjadi landasan


pengaturan pengelolaan lingkungan berdasarkan qanun tersebut.

Sedangkan dalam Qanun Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan


Perikanan, tidak ada pasal yang khusus mengatur tentang peran
masyarakat. Pasal 19 ayat (1) memandatkan “penyelenggaraan
konservasi sumber daya kelautan dan perikanan melibatkan pula
partisipasi aktif masyarakat nelayan dan pihak terkait lainnya.” Tidak
ada penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana wujud dari partisipasi
masyarakat tersebut dan apakah akan diatur tersendiri dalam peraturan
pelaksanaan. Qanun tersebut juga mengakui keberadaan lembaga adat
dalam pengelolaan sumber daya perikanan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 11 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Dalam pengelolaan
sumber daya perikanan, Pemerintah Provinsi mengakui keberadaan
Panglima Laot dan hukum adat laot yang telah ada dan eksis dalam
kehidupan masyarakat nelayan. Pengakuan ini memperkuat keberadaan
institusi adat dan hukum adat di tengah pro dan kontra terkait
keberadaan dan perannya yang terus berubah dan berkembang seiring
dengan perubahan masyarakat.”29

Lembaga adat Panglima Laot mendapat pengakuan secara hukum


melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
(“UUPA”), Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat
(“Qanun Lembaga Adat”), dan Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang
Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat (“Qanun Pembinaan
Kehidupan Adat”).

Pasal 1 angka 23 Qanun Lembaga Adat mendefinisikan Panglima


Laot sebagai orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat dalam
bidang pesisir dan kelautan. Pengertian ini sangat umum, sehingga
menimbulkan penafsiran bahwa Panglima Laot memiliki kekuasaan dan
ortoritas yang sangat luas. Di samping sebagai wahana partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan,
Panglima Laot juga berfungsi sebagai lembaga pembinaan masyarakat
dan penyelesaian masalah-masalah sosial yang terkait dengan hukum
adat laut serta sebagai pelaksana hukum adat laut. Studi Wilson dan

29 Sulaiman Tripa, “Lembaga Hukum Adat Laot dan Peran yang Terus

Berubah”, dalam Adli, et.al (ed), Kearifan Lokal di Laut Aceh, (Banda Aceh: Syiah
Kuala University Press, 2010), hal. 112, dan Kamaruzzaman, “Panglima Laot di
Aceh Masa Kini: Sebuah Tinjauan Sosial-Antropologi”, dalam Adli, et.al (ed),
Kearifan Lokal di Laut Aceh, (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2010),
hal. 5.

40
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Linkie menyimpulkan lembaga adat Panglima Laout terbukti dapat


menciptakan lingkungan yang memungkinkan terwujudnya partisipasi
masyarakat.30 Oleh karena itu, dalam upaya merealisasikan penerapan
prinsip partisipatif dalam pengelolaan sumber daya laut, penting untuk
menjalin kerja sama dengan lembaga adat Panglima Laot.

Sementara itu, hukum adat adalah seperangkap ketentuan tidak


tertulis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh, yang
memiliki sanksi apabila dilanggar.31 Sedangkan hukum adat laot adalah
“hukum adat yang diberlakukan oleh masyarakat nelayan untuk
menjaga ketertiban dalam penangkapan ikan dan kehidupan masyarakat
nelayan di pantai.”32 Hukum adat laot memuat hak dan kewajiban yang
muncul dalam kaitannya dengan kepemilikan wilayah laut. Namun
demikian eksistensinya sangat beragam antara satu wilayah dengan
wilayah lainnya karena sangat tergantung pada hukum yang hidup
dalam masyarakat sebagai wujud dari kesepakatan sehingga hukum adat
itu harus ditemukan.33

Walaupun pengertian hukum adat laot masih sangat umum akan


tetapi bisa dipahami bahawa hukum adat laot adalah hukum yang
hidup, berkembang dan dijalankan oleh masyarakat pesisir. Masyarakat
tersebut memiliki karakteristik khas yang berbeda antara satu wilayah
dengan wilayah lainnya. Salah satu contoh hukum adat laot yang telah
dijalankan oleh masyarakat secara turun temurun bisa ditemukan pada
masyarakat Ujong Pancu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh
Besar. Adapun hukum adat laot tersebut dituangkan dalam bentuk
beberapa poin aturan dan larangan yang diantaranya: (1) larangan
memancing di hari Jum’at dan hari besar (Hari Raya Idul Fitri dan Hari
Raya Idul Adha, Festival Laut, hari peringatan tsunami 26 Desember, dan
hari kemerdekaan 17 Agustus), hari-hari yang tidak hanya dianggap
sebagai hari libur bagi nelayan dan kesempatan untuk memperbaiki
kapal, tetapi juga dipercaya dapat memberi kesempatan bagi habitat laut
untuk berkembang biak; (2) larangan membuang sampah dan sampah

30 Wilson & Linkie, “The Panglima Laot of Aceh: a case study in large-scale

community-based marine management after the 2004 India Ocean tsunami”,


Oryx, 46,(2012), hal. 495-500.
31 Pasal 1 Angka 28 Qanun Lembaga Adat, Op. Cit.
32 Rumusan dalam Musyawarah Panglima Laot se-Aceh, pada 6-7 Juni

2001 (Sulaiman Tripa, Model Kebijakan Pengelolaan Perikanan; belajar dari Masyarakat
Lhok Rigaih Kabupaten Aceh Jaya, (Banda Aceh: Pusat Studi Hukom Adat Laot dan
Kebijakan Perikanan Universitas Syiah Kuala, 2012), hal. 13.
33 Ibid, hal. 13-14.

41
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

yang berupa ikan ke laut yang dikhawatirkan akan mempengaruhi


kualitas terumbu karang; dan (3) larangan menggunakan alat tangkap
yang tidak ramah lingkungan.34 Adanya larangan melaut pada hari
perayaan tsunami pada 26 Desember, dimana sebelum aturan tersebut
sebelum peristiwa tsunami 26 Desember 2004 belum ada, menandakan
bahwa hukum adat itu juga berkembang dan mengikuti perkembangan
masyarakat sehingga eksistensinya juga perlu terus dievaluasi dan
dikritisi.

Pelanggaran terhadap ketentuan hukum adat laot memiliki


konsekuensi dan Panglima Laot berperan dalam memastikan
keberlangsungan dan kelestarian hukum adat laot. Keberadaan hukum
adat laot juga di samping menekankan pada aspek ekologi juga pada
aspek ekonomi. Dengan kata lain, adanya keseimbangan antara
kepentingan ekonomi dan kepentingan pelestarian ekosistem laut, dan
juga keseimbangan antara hubungan vertikal (hubungan dengan Tuhan
sebagai pencipta alam semesta) dan hubungan horizontal (sesama
manusia).35 Konsep tersebut menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya
hukum adat laot telah menerapkan pengelolaan sumber daya laut yang
berkelanjutan (sustainability) sehingga diharapkan kolaborasi antara
kearifan lokal dan kebijakan pemerintah yang mengedepankan
kepentingan masyarakat, berpotensi mewujudkan pengelolaan kawasan
pesisir yang berkelanjutan.

4. Implementasi Program Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat


di Provinsi Aceh

Pemerintah Aceh menginisiasi pelaksanaan Program Pengelolaan


Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat (locally-managed marine areas) yang
bertujuan untuk memperkuat peran masyarakat pesisir dalam
pengelolaan dan perlindungan sumber daya laut secara berkeadilan dan
berkelanjutan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah. Pada tahun 2008,
DKP Provinsi Aceh, sebagai leading sector pengelolaan dan perlindungan
wilayah pesisir, membentuk Satuan Tugas Kelautan dan Perikanan
(selanjutnya disebut “satuan tugas”) yang bertujuan untuk

34 Adli, “Model Hukum Adat Laot Menuju Keberlanjutan Lingkungan”, dalam

Adli, et.al (ed), Kearifan Lokal di Laut Aceh, (Banda Aceh: Syiah Kuala University
Press, 2010), hal. 23.
35 Sulaiman Tripa, “Eksistensi Hukom Adat Laot Menuju Pengentasan

Kemiskinan”, (makalah dipresentasikan dalam Forum Rembug Nasional


Mahasiswa Pascasarjana, Universitas Gajah Mada , Yogyakarta, 2009).

42
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

mengembangkan jaringan kerja pengelolaan wilayah laut secara


komprehensif dengan berdasarkan pada perlindungan keanekaragaman
hayati dan mengakomodir keterlibatan dan aspirasi masyarakat.
Sedangkan secara khusus, satuan tugas bertujuan untuk mengidentifikasi
wilayah prioritas bagi konservasi keanekaragaman hayati laut (melalui
systematic conservation planning) dan pelibatan masyarakat pesisir (melalui
participatory planning) untuk menjalankan program tersebut.
Pada tahapan pelaksanaan, pihak dari DKP Provinsi mengadakan
serangkaian lokakarya (workshop) dengan DKP dari 8 (delapan)
Kabupaten/Kota yang menjadi prioritas area konservasi. Kegiatan ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang program pengelolaan
wilayah pesisir berbasis masyarakat dan pemahaman terkait metode
analisa perencanaan secara sistematik (systematic planning analysis).36
Metode ini merupakan metode yang digunakan untuk menentukan
daerah-daerah yang menjadi target konservasi. Penting adanya
pemahaman yang komprehensif bagi petugas lapangan, yang merupakan
pihak yang paling bertanggung jawab dalam pelaksanaan program,
untuk menyebarluaskan pemahaman mengenai pentingnya program dan
bagaimana melaksanakan program tersebut dalam masyarakat.

Tahapan selajutnya adalah mengadakan konsultasi publik pada


tingkat kabupaten/kota dan desa dengan beberapa stakeholder terkait,
diantaranya: masyarakat pesisir yang tinggal di kawasan yang menjadi
target konservasi (diwakili oleh kepala desa dan/atau pimpinan adat),
perwakilan kelompok nelayan termasuk Panglima Laot, perwakilan dari
Dinas Kelautan dan Perikanan tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota,
Pemerintah Kabupaten/Kota, dan stakeholder lainnya seperti kelompok
perempuan dan pimpinan keagamaan.37 Konsultasi bertujuan untuk
mendapatkan dukungan dari masyarakat dan menjadi langkah awal
pelibatan masyarakat dalam perencanaan program.

Pasal 29 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir menetapkan bahwa pola


pengelolaan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(“KKP3K”) dilakukan dengan sistem zonasi, yaitu: (1) zona inti,
merupakan bagian dari KKP3K yang dilindungi, yang ditujukan untuk
perlindungan habitat dan populasi sumber daya P3K serta
pemanfaatannya hanya terbatas untuk penelitian; (2) zona pemanfaatan

36 Syakur et. al, “Ensuring local stakeholder support for marine

conservation: establishing a locally-managed marine area network in Aceh,”


Oryx, 46, (2012), hal. 519.
37 Ibid, hal. 519.

43
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

terbatas, merupakan bagian dari zona konservasi P3K yang


pemanfaatannya hanya boleh dilakukan untuk budidaya pesisir,
ekowisata, dan perikanan tradisional; dan/atau (3) zona lain sesuai
dengan peruntukkan kawasan.

Berdasarkan aturan tersebut, DKP Provinsi Aceh membagi


Kawasan Konservasi Pesisir (“KKP”), yang salah satunya berada di
kawasan Ujong Pancu, Aceh Besar ke dalam beberapa zona. Pertama,
zona inti / zona pelindung (Lhok Talindong), zona ini dibenarkan untuk
memancing selama kegiatan tidak merusak terumbu karang. Di zona ini,
setiap orang dilarang melakukan pemboman dan pembiusan,
menggunakan jaring pukat dan membuang jangkar, dan melakukan
budidaya dan sejenisnya. Kedua, zona penyangga / perikanan
berkelanjutan (Lhok Peulindong), zona ini berjarak 100 meter dari zona
inti. Dalam zona ini, terdapat larangan pemboman dan pembiusan,
penggunaan berbagai jenis jaring yang dapat merusak terumbu karang,
serta penggunaan kompresor dan lampu merkuri. Ketiga, zona
pemanfaatan (Lhok Teumanfaat) yang dimaksudkan untuk pukat darat
tradisional (traditional trawl) dan pancing tradisional, serta daerah
ekosistem bakau dan budidaya air tawar. Dalam zona ini juga terdapat
larangan penggunaan bom dan obat bius, penembakan ikan di malam
hari, dan penangkapan ikan di daerah pukat tanpa pengawasan.

Masyarakat juga berhasil menyepakati beberapa agenda,


diantaranya kesepakat bahwa desain wilayah laut berbasis masyarakat
harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi, sosial, ekologi,
keterwakilan habitat, dan luas wilayah. Konsultasi dan diskusi berakhir
sampai akhirnya menghasilkan suatu peta untuk masing-masing wilayah
dan aturan pengelolaan yang berhasil disepakati oleh semua pihak yang
berkepentingan.

Di samping itu, program ini juga menyadari besarnya peran


institusi adat Panglima Laot, yang mempunyai pengaruh yang sangat
besar pada masyarakat pesisir di Aceh. Hal ini diperkuat dengan
pengakuan keberadaan lembaga adat yang diatur dalam UU Pengelolaan
Wilayah Pesisir, yang pada Pasal 28 ayat (3) huruf c mengatur bahwa
kawasan konservasi mempunyai ciri khas sebagai satu kesatuan
ekosistem diselenggarakan untuk melindungi wilayah yang diatur oleh
adat termasuk panglima laot. Keikutsertaan institusi adat ini dengan
hukum adat laotnya memberi pengaruh yang besar terhadap partisipasi
masyarakat yang akhirnya diharapkan dapat menyukseskan pelaksanaan
program. Selain itu, tahapan konsultasi yang intensif ini juga terbukti

44
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

menjadi media untuk menyelesaikan sengketa, terutama terkait sengketa


perbatasan dan tumpang tindih perbatasan. Kegiatan ini difasilitasi oleh
Panglima Laot.38

5. Pembahasan

Perlindungan dan pengelolaan wilayah pesisir di Aceh dilakukan


dengan dua pendekatan, yaitu pembentukan aturan hukum dan
penguatan kapasitas institusi masyarakat, institusi adat dan hukum adat
yang dipercaya dapat menjadi wadah yang efektif dalam keterlibatan
masyarakat dalam proses pembangunan. Aceh memiliki potensi sistem
pemerintahan dalam pengelolaan lingkungan, termasuk pengelolaan
wilayah pesisir.

Keterlibatan masyarakat (community participation) dalam proses


pembangunan dianggap penting dalam upaya untuk menghasilkan
kebijakan yang efektif dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat
sebagai pihak penerima manfaat pembangunan. Konsep ini juga
dipercaya dapat meminimalkan dampak negatif dari pembangunan.
Selain itu, partisipasi masyarakat juga memberi kesempatan kepada
masyarakat untuk memperoleh informasi yang berimbang dan obyektif,
yang berkontribusi untuk pemecahan masalah dan meminimalkan
konflik dalam pembangunan khususnya pembangunan masyarakat di
wilayah pesisir.

Pengelolaan wilayah pesisir akan lebih efektif dilakukan dengan


keterlibatan semua pihak yang berkepentingan. Hal ini disebabkan sifat
dari wilayah pesisir yang tidak hanya memiliki fungsi ekologis tetapi
juga fungsi sosial-ekonomi sehingga efektivitas manajemen perlindungan
wilayah pesisir membutuhkan keterlibatan banyak pihak (governance
system) dengan pendekatan yang multi-disiplin. Hal ini telah dicoba
diwujudkan dalam program pengelolaan wilayah laut berbasis
masyarakat di Aceh. Komunikasi intensif dengan pihak-pihak
berkepentingan menjadi media yang diharapkan efektif mewadahi
partisipasi masyarakat. Keterlibatan lembaga adat Panglima Laot, dan
adat laot dapat semakin memperkuat peran masyarakat dalam proses
pembangunan daerah pesisir. Kolaborasi antara stakeholders terkait

38 Wawancara, Syakur, Staff DKP Aceh (Pelaksana Program


pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis masyarakat 2010), 29 Oktober 2014.

45
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

membentuk suatu sistem tata kelola yang saling mendukung proses


kebijakan yang mewakili banyak kepentingan.

Program pengelolaan pesisir berbasis masyarakat


mengembangkan pengelolaan bersama antara pemerintah
kabupaten/kota dan masyarakat. Program ini menempatkan masyarakat
sebagai aktor utama dalam pelaksanaan program, dengan dukungan
pemerintah kabupaten/kota. Pengembangan konsep ini dapat menjadi
salah satu jawaban dalam upaya menerapkan tata kelola pemerintahan
yang baik, yang tidak hanya menggambarkan demokrasi dalam
pengambilan keputusan tetapi juga menggambarkan sistem jaringan
antara pemerintah dan masyarakat. Sistem jaringan yang diharapkan
menjadi proses penting untuk mengatasi kompleksitas dan tantangan
yang dihadapi dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan
untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Program co-management pengelolaan wilayah pesisir disamping


memunculkan paradigma baru dalam pengelolaan wilayah pesisir juga
menjadi media pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dan
hukum adat. Lebih lanjut juga dapat menjadi salah satu media
penyelesaian konflik sosial dalam masyarakat, misalnya konflik terkait
tumpang tindih perbatasan wilayah laut antara satu kabupaten/kota
dengan yang lainnya.39

6. Kesimpulan dan Rekomendasi


Program pengelolaan pesisir berbasis masyarakat merupakan
langkah nyata dalam mewujudkan partisipasi masyarakat. Walaupun
sampai saat ini belum dilakukan evaluasi terhadap efektivitas program
tersebut, tetapi sebagai langkah awal program tersebut telah
menunjukkan adanya upaya untuk membentuk tata kelola yang baik
dalam pengelolaan dan perlindungan daerah laut/pesisir. Langkah
selanjutnya adalah bagaimana meyiapkan masyarakat untuk berperan
lebih aktif dalam melindungi lingkungan laut tempat mereka menetap
dan mencari kehidupan.

Meskipun penerapan kearifan lokal melalui kehadiran Panglima


Laot menjadi salah satu perwujudan dari partisipasi masyarakat dalam
program pengelolaan lingkungan, tetapi masih membutuhkan evaluasi
yang lebih menyeluruh terkait dengan peran institusi adat tersebut

39 Wawancara, Syakur, Staff DKP Aceh (Pelaksana Program


pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis masyarakat 2010, 29 Oktober 2014.

46
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

sejalan dengan perkembangan perannya di kalangan masyarakat nelayan


di Aceh. Tantangan berikutnya adalah mengolaborasikan pendekatan
pengelolaan partisipatif dengan pendekatan adat laot tersebut dalam
pelaksanaannya sehingga program lebih efektif. Sekalipun demikian,
evaluasi dan monitoring mengenai efektivitas program masih perlu
dibuktikan melalui penelitian lebih lanjut dengan metodologi yang
sesuai. Penilaian mengenai efektivitas program tersebut juga sangat
terkait dengan keberlanjutan program dimana pada tahapan akhir
diharapkan masyarakat dapat mengelola program tersebut secara
mandiri.

Terkait hal tersebut, tulisan ini merekomendasikan Pemerintah


Aceh melalui DKP untuk menginisiasi evaluasi terhadap Program
Pengelolaan Wilayah Pesisir. Evaluasi perlu dilakukan untuk menilai
efektivitas pelaksanaan program, termasuk memastikan apakah metode
partisipasi masyarakat yang dilakukan efektif untuk menyelesaikan
masalah terkait lingkungan di kawasan pesisir. Lebih lanjut, penilaian
terhadap program perlu dilakukan untuk memastikan masyarakat siap
berperan lebih aktif dalam melindungi lingkungan laut tempat mereka
menetap dan mencari kehidupan.

Daftar Pustaka

A. Syakur dkk. “Ensuring local stakeholder support for marine


conservation: establishing a locally-managed marine area network
in Aceh”, Oryx, 46, (2012): 516-524.

Aceh Ocean Coral, Formasi Terumbu Karang Aceh.


http://acehoceancoral.org/artikel/formasi-terumbu-karang-aceh,
diakses pada 28 Februari 2014.

Adli, A. “Model Hukum Adat Laot Menuju Keberlanjutan Lingkungan”,


di dalam Kearifan Lokal di Laut Aceh, edited by Adli, et. Al, 23.
Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2010.

Aslin and Brown. Toward whole of Community Engagement: A Practical


toolkit. Australia: Murray Darling Basin Commission, 2004.

Dakin, Susan. “Challenging Old Models of Knowledge and learning:


New Perspective for Participation in Environmental Management
and Planning”, Environments, vol.31, No.1 (2003): 93-107.

47
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Johnston, Kim A. Community Engagement: A relational perspective, dalam


Tebbutt, J dan Cregan, Kate (Editor), Proceeding Australia and New
Zealand Communication Association Annual Conference:
Communication, Civics, Industry. Melbourne Australia: La Trobe
University, 2007.

Hudalah, D, Winarso, H, and Woltjer, J. “Policy networking as capacity


building: An analysis of regional road development conflict in
Indonesia”, Planning Theory, vol. 9 (4), (2010): 315-332.

Juhola and Westerhoff, L. “Challenges of adaptation to climate change


across multiple scales: A case study of network governance in two
European countries”, Environmental Science & Policy, vol. 14, (2011):
239–247.

Kamaruzzaman, Bustaman, A. “Panglima Laot di Aceh Masa Kini:


Sebuah Tinjauan Sosial-Antropologi”, di dalam Kearifan Lokal di
Laut Aceh, edited by Adli, et al, 1-13. Banda Aceh: Syiah Kuala
University Press, 2010.

Muhammad Akib. Politik Hukum Lingkungan: Dinamika dan Refleksinya


dalam Produk Hukum Otonomi Daerah. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2012.

Oracion, Miller, Christie. “Marine Protected Areas for whom? Fisheries,


tourism, and solidarity in Philippine community”, Ocean and
Coastal Management, vol. 48, (2005): 393-410.

Ostrom, E. 1999. “Self-governance and Forest Resources”, Occasional paper


no. 20, Centre for International Forestry Research, (1999): 1-15.

Reed, M, S. “Stakeholder Participation for Environmental Management:


A Literature Review”, Biological Conservation, vol. 141, (2008): 2417-
2430.

Sarkissian, dkk. Kitchen Table Sustainability: Practical Recipes for Community


Engagement with Sustainability. United Kingdom: Earthscan, 2009.

Sulaiman Tripa. Eksistensi Hukom Adat Laot Menuju Pengentasan


Kemiskinan, Makalah dipresentasikan dalam Forum Rembug Nasional
Mahasiswa Pascasarjana. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2009.

---------. 2010. Lembaga Hukum Adat Laot dan Peran yang Terus Berubah’, di
dalam Kearifan Lokal di Laut Aceh, edited by Adli, dkk, 95-122. Banda
Aceh: Syiah Kuala University Press.

48
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Tullungan, Kussoy, and Crawford. Community Based Coastal Resources


Management in Indonesia: North Sulawesi early stage experiences,
Convention of Integrated Coastal Management Practitioners in the
Philippines, 10-12 November 1998.

Warburton. A Passionate Dialogue: Community and Sustainable Development,


1998, dalam Warburton, Community and Sustainable Development:
Participation in the future. United Kingdom: Earthscan, 1998.
Wilson & Linkie. 2012. “The Panglima Laot of Aceh: a case study in large-
scale community-based marine management after the 2004 India
Ocean tsunami”, Oryx, 46, (2012): 495-500.

49
T INDAKAN A FIRMATIF SEBAGAI B ENTUK K EADILAN PADA
P ENEGAKAN H UKUM L INGKUNGAN H IDUP DI L AUT :
S TUDI K ASUS MV H AI F A DAN N ELAYAN U JUNG K ULON
Rayhan Dudayev1

Abstrak

Upaya penegakan hukum yang tegas merupakan salah satu cara untuk
menjaga kelestarian lingkungan. Instrumen hukum lingkungan dibuat
dan ditegakkan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
Namun pada pelaksanaannya, penegakan hukum lingkungan tidak
senada dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Penegakan hukum
lingkungan seolah hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Dalam
tulisan ini, akan dibahas mengenai penegakan hukum lingkungan di
sektor maritim dalam dua kasus yang berbeda, berkaitan dengan
pelanggaran Undang-Undang Konservasi Nomor 5 Tahun 1990 Tentang
Koservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Perbedaan sebab akibat
dalam kasus yang berbeda tidak membuat hukum memperlakukan
kedua kasus tersebut secara berbeda karena adanya asas kesamaan
(equality before the law) dalam hukum. Tulisan ini akan memaparkan
penegakan hukum, terutama hukum pidana, ditinjau dengan perspektif
pembangunan berkelanjutan pada kasus nelayan dan kasus illegal fishing
yang melibatkan korporasi. Berangkat dari perspektif tersebut, tulisan ini
mencoba menganalisis alasan pentingnya tindakan afirmatif bagi
penegakan hukum di masing-masing kasus.

Kata Kunci: pembangunan berkelanjutan, penegakan hukum lingkungan,


tindakan afirmatif

                                                                                                                       
1Penulis adalah peneliti di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL),
mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Abstract

One of the means to protect the environment is to firmly enforce the


environmental law. Environmental legal instruments are made and enforced in
order to prevent environmental damage. However, environmental law
enforcement in practice is not always consistent with the concept of sustainable
development. Environmental enforcement is sharper to the poor people, but dull
to big corporations. This article attempts to discuss the enforcement of
environmental law in the maritime sector in two different cases, with regard to
the violation of Law no. 5 of 1990 regarding Conservation. Despite the different
causation and magnitude of impacts, the law treats those cases equally due to the
equality before the law principle. This article also elaborates the law enforcement,
especially criminal law, with the perspective of sustainable development in the
case of involving fishermen and the illegal fishing case involving a corporation.
From this perspective, this paper analyzes the importance affirmative action for
the law enforcement in each case.

Key Words: Sustainable Development, Enforcing Environmental Law,


Affirmative Action

1. Pendahuluan

Di awal tahun 2015, beberapa media ramai memberitakan aksi


massa yang didominasi oleh nelayan di depan Pengadilan Negeri
Pandegelang.2 Massa meminta keadilan terhadap kasus hukum yang
menimpa tiga orang nelayan yang menangkap 3 ekor udang di kawasan
Taman Nasional Ujung Kulon (“TNUK”).3 Mereka ditangkap oleh polisi
air atas pelanggaran larangan menangkap ikan di kawasan konservasi
dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990. Nelayan tersebut merasa
tidak mendapatkan keadilan atas penangkapan yang menimpa mereka
karena aksi penangkapan ikan sering dilakukan di kawasan tersebut.
Penyidik bergeming dengan pembelaan para nelayan. Siapa yang
                                                                                                                       
2 “Demo, Minta Peradilan 3 Nelayan Adil,” Banten Raya, 3 Desember 2014,

Sumber : http://bantenraya.com/banten-raya/pandeglang/8477-demo-minta-peradilan-3-
nelayan -adil diakses pada 7 Juli 2015.
3 “Gelombang Ganas Nelayan Miskin Penangkap 4 Udang Terbebas dari

Penjara,” Detik.com, 29 Januari 2015 http://news.detik.com/read/2015/01/29/095247/


2817229/10/gelombang-ganas-nelayan-miskin-penangkap-4-udang-terbebas-dari-penjara,
diakses pada14 April 2015.

49
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

melanggar ketentuan hukum, harus diproses secara hukum dalam


rangka penegakan hukum secara tegas.

Setelah menjalani pemeriksaan penyidikan dan persidangan,


hakim memutuskan para nelayan tersebut bebas dari jeratan hukum.
Namun, jaksa masih mengajukan kasasi. Kisah tiga orang nelayan ini
menjadi déjà vu bagi kisah penegakan hukum lingkungan yang terkesan
hanya tajam ke bawah. Sebelum kasus ini, masih lekat dalam ingatan
kasus yang menimpa warga adat Semende Banding Agung di kawasan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (“TNBBS”).4

Di lain tempat dan waktu, hipotesis penegakan hukum lingkungan


yang tumpul ke atas tercermin dari lemahnya penegakan hukum
terhadap pelaku pencurian ikan. Premis tersebut sementara dapat
disimpulkan melalui kasus MVV Hai Fa. Kapal dengan bobot 4.300 GT
itu membawa 900,702 ton ikan yang diduga hasil curian dengan kerugian
negara diperkirakan mencapai 70 Miliar rupiah.5 Kapal MV Hai Fa yang
berbendera Panama6 melanggar banyak pasal, di samping kejahatan
pencurian ikan, MV Hai Fa juga melakukan kejahatan lingkungan karena
melakukan penagkapan satwa dilindungi, yaitu hiu martil dan hiu konoi.
Ironisnya, putusan pengadilan hanya menghukum nahkoda dan anak
buah kapal (“ABK”) dengan pidana penjara selama satu tahun dan denda
sebesar 250 juta rupiah.7

jaksa hanya menuntut8 berdasarkan pelanggaran Pasal 100 jo. Pasal


7 ayat (2) huruf m Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (amandemennya,
secara kolektif dirujuk sebagai “UU Perikanan”) mengenai kewajiban
mematuhi ketentuan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan,
dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik
Indonesia serta dua ketentuan lain terkait kepemilikan Surat Layak
Operasional (SLO) dan aktivasi alat pemantau kapal penangkap dengan

                                                                                                                       
“Jadi Tersangka, Empat Warga Adat Semende Banding Agung Dijerat
4

UU P3H,” Mongabay, 24 Desember 2013,


http://www.mongabay.co.id/2013/12/24/jadi-tersangka-empat-warga-adat-semende-
banding-agung-dijerat-uu-p3h/, diakses pada 7 Juli 2015.
5 “Menteri Susi Tegaskan Kapal MV Hai Fa Ilegal,” Liputan 6, 13 April

2015, http://bisnis.liputan6.com/read/2212459/menteri-susi-tegaskan-kapal-mv-Hai Fa-


ilegal, diakses pada 14 April 2015.
6 Pengadilan Negeri Ambon, “Putusan No.
01/PID.SUS/PRK/2015/PN.Amb.”
7 Ibid.
8 Ibid.

50
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

bobot tertentu. Padahal jika melihat ketentuan yang ada, kapal MV Hai
Fa telah melanggar beberapa peraturan yaitu: Pasal 16 UU ayat (1) UU
Perikanan (larangan ikan hasil tangkapan ke luar wilayah Indonesia),
Pasal 29 ayat (1) UU Perikanan (hanya WNI atau badan hukum Indonesia
yang dapat melakukan usaha perikanan di Indonesia), Pasal 35A ayat (1)
UU Perikanan (nakhoda dan anak buah kapal wajib berkewarganegaraan
Indonesia), Pasal 41 ayat (3) UU Perikanan (kewajiban mendaratkan ikan
tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan
lainnya yang ditunjuk), Pasal 41 ayat (4) UU Perikanan (kewajiban
melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang
ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk) dan Pasal 21 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (“UU No. 5 Tahun 1990”) yang melarang
menangkap ikan hiu martil dan hiu koboi dengan pidana penjara paling
lama 5 tahun dan denda Rp100.000.000,-.

Jaksa menuntut tegas kasus penangkapan ikan di kawasan TNUK.


Sementara itu, perbedaan perlakuan jaksa terlihat pada kasus MV Hai Fa
dimana jaksa tidak melakukan upaya penuntutan yang progresif.
Mengingat banyaknya ketentuan hukum yang dilanggar, seharusnya
jaksa dapat melakukan penuntutan lebih berat dengan ganti rugi lebih
besar serta perampasan negara berdasarkan Pasal 76A UU Perikanan.
Kasus MV Hai Fa dan kasus penangkapan udang oleh nelayan sama
dalam hal kedua subyek hukum sama-sama bersalah melanggar hukum.
Keduanya diputus dengan putusan pengadilan yang terkesan ‘ringan.’
Bedanya, kuantitas dan kerugian lingkungan yang ditimbulkan oleh
kedua pihak berbeda, yang dalam konteks hukum lingkungan
mempunyai pertanggungjawaban hukum yang juga berbeda.9
Pertanyaannya, adilkah putusan tersebut jika disandingkan dari
perspektif lingkungan? Adilkah jika kedua pelaku diperlakukan sama?
                                                                                                                       
9 Di dalam prinsip pembangunan berkelanjutan terdapat prinsip

pembangun yaitu keadilan intera generasi yang di dalamnya juga terdapat


prinsip pembangun yaitu keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif. Di
dalam prinsip tersebut terdapat konsep Common-but-Differential Responsibility
(CBDR) yang biasa digunakan untuk membebankan tanggung jawab pada
negara-negara yang melakukan pencemaran. Dalam konsep CBDR, tanggung
jawab yang dibebankan pada negara maju dan berkembang berbeda karena
kontribusi terdahadap pencemaran lingkungan, kemapuan teknologi, dan
kondisi keuangan yang berbeda dari masing-masing negara. Lihat: Rio
Declaration on Environment and Development, 3-14 Juni 1992, United Nations
Treaty Series A/CONF.151/26 (Vol. I), pasal 7; Lihat juga Andri Guna Wibisana,
Elemen-Elemen Pembangunan Berkelanjutan-Keadilan Intera dan Antar Generasi, hal.
6.

51
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

2. Menyoal Equality Before The Law


dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Hukum ada karena kekuasaan yang sah. Sebaliknya, kekuasaan


yang sah menciptakan hukum. Hukum adalah kekuasaan, yang
mengusahakan ketertiban yang diciptakan oleh kekuasaan yang sah.10
Walaupun begitu, pengekangan kekuasaan merupakan unsur esensial
dan tiada kekuasaan yang kebal terhadap rule of law, yang berarti
pengaturan oleh hukum atau lebih dikenal dengan istilah supermasi
hukum.11 Menurut Albert Venn Dicey, seorang yuris asal Inggris pada
abad 19-20, rule of law mengandung tiga unsur, yaitu hak asasi manusia
dijamin lewat undang-undang, persamaan di muka hukum (equality
before the law), dan supremasi aturan hukum serta tidak ada kesewenang-
wenangan tanpa aturan yang jelas.12 Rule of law ini hadir di dalam Pasal 1
ayat (3) UUD NRI 1945.13

Rule of law dalam pelaksanaannya menemui kendala, terutama saat


diaplikasikan pada negara bekas jajahan dan di era kapitalisme global.14
Hal tersebut berkaitan dengan karakteristik hukum yang merupakan
sebuah sistem bebas di dalam ruang yang tertutup.15 Karakteristik
tersebut diperkuat oleh H.L.Hart, seorang positivis hukum, dalam
bukunya yang berjudul A General Concept of Law, menyatakan bahwa
teori hukum harus umum dan deskriptif, tidak bergantung pada sistem
budaya dan budaya hukum tertentu.16 Konsepsi keumuman hukum itu
dipertegas dengan pendapat Kelsen yang menyatakan bahwa hukum
                                                                                                                       
10 Sudikno Merto Kusomo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta :

Liberti, 2007), hal. 25-26.


11 Ibid.
12 Ibid., hal. 28.
13 Pasal tersebut berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.”
14 Dalam penulisannya, Donny menggambarkan pemikiran Brian Z..

Tamanha, profesor hukum di St. John’s University School of Law, New York
tetang Sosio-legal Positivis yang menyatakan bahwa teori hukum umum tersebut
tidak bisa dibangun dari berbagai asumsi lama tentang relasi antara hukum dan
masyarakat, terutama anggapan hukum sebagai cerminan perilaku masyarakat.
Pada kenyatannya sering kali hukum menjadi tidak efektif karena kehidupan
masyarakat lebih diatur oleh norma-norma lainnya. Lihat: Donny Danardo,
“Mepertimbangkan Brian Z. Tamanaha: Sosio-Legal Positivis, Anti-Esensialisme, dan
Pragmatisme,” dalam Sosiologi Hukum dalam Perubahan (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2009), hal. 314.
15 Sudikno, op.cit., hal. 201.
16 Donny, op.cit., hal. 314.

52
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

terlepas dari nilai benar dan salah atau keadilan secara absolut, maka
hukum adalah pemenuhan kepentingan individu yang setara
diformulasikan sebagai kehendak mayoritas.17 Itu berarti kaidah hukum,
termasuk salah satunya asas equality before the law berlaku bagi siapapun,
tidak terkecuali.

Asas kesamaan menghendaki adanya keadilan, dalam arti di


dalam hukum setiap orang harus diperlakukan sama (equality before the
law). Perkara yang sama (sejenis) harus diputus sama (serupa) pula:
similia similibus.18 Keadilan diasosiasikan dengan realisasi asas kesamaan
tersebut. Frasa itu senada dengan konsepsi justice for all di Amerika
Serikat (AS). Penduduk AS yang memiliki sejarah hukum dan tradisi
politik yang panjang kerap menyuarakan “justice for all.” Sebaliknya,
menurut, Prof. Sulistyowati, Bangsa Indonesia masih perlu
menyuarakan: “justice for disavantage group,” keadilan bagi kelompok
yang tidak diuntungkan, termasuk kaum miskin, perempuan dan anak.19
Nampaknya, equality before the law perlu dipersoalkan ketika prinsip
tersebut menafikan adanya jurang sosial dan ketidaksetaraan di
masyarakat, terutama dalam konteks Bangsa Indonesia.

Idealnya, equality before the law dapat berlaku bila setiap orang
memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan keadilan.20
Menurut logika silogisme hukum dengan penalaran deduktif,21
berdasarkan prinsip tersebut, setiap orang yang merambah hutan atau
melakukan kegiatan pemanfaatan di kawasan konservasi dapat dipidana
tanpa memandang kelas sosial dan aksesibilitasnya. Hukum tidak
memikirkan bahwa kemiskinan dan keadaan terpinggirkan timbul
karena dampak laten konstruksi politik dan ekonomi yang sebenarnya
disahkan oleh kebijakan hukum itu sendiri,22 yang menjauhkan orang
miskin dari akses keadilan dan sumber daya.

3. Kasus Nelayan TNUK sebagai Kasus Struktural


                                                                                                                       
17 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dan Dr. M. Ali Sa’at, S.H., M.H., Teori

Hans Kelsen, (Jakarta: Konpress, 2012), hal. 19.


18 Sudikno,op.cit., hal. 46.
19 Sulistyowati Irianto, “Menuju Pembangunan Hukum Pro Keadilan

Rakyat,” dalam, Sosiologi Hukum dalam Pembangunan (Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia, 2009), hal. 11.
20 Ibid., hal. 12.
21 Tan Malaka, Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), cet. 4, (Jakarta:

LPPM Tan Malaka, 2008), hal. 209-210.


22 Op.cit.

53
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Robert Merton, seorang sosiolog, mengaitkan masalah kejahatan


dengan struktur sosial (strain theory) yang menawarkan tujuan yang sama
untuk semua anggotanya (agen sosial) tanpa memberi sarana yang
merata untuk mencapainya.23 Kekurangpaduan antara apa yang diminta
oleh budaya dan kebutuhan dengan apa yang diperbolehkan oleh
struktur (yang mencegah memperoleh kebutuhan itu) dapat
menyebabkan norma-norma runtuh karena tidak lagi efektif untuk
membimbing tingkah laku.24 Namun dalam hal ini, Merton hanya
mengaitkan masyarakat dalam konteks masyarakat AS yang ia
gambarkan beriorientasikan kelas; masing-masing orang didorong untuk
mencapai kelas teratas namun dengan sarana yang minim. Ihwal tersebut
membuat orang yang dalam tekanan besar akan melakukan kejahatan
karena disparitas antara tujuan dan sarana yang tidak seimbang.

Di dalam konteks nelayan Indonesia,25 khususnya dalam kasus


nelayan TNUK, nelayan mempunyai tujuan yang cukup sederhana yaitu
mencari ikan untuk menyambung hidup. Namun, mereka mengalami
keterbatasan sarana26 dalam mencari ikan seperti alat tangkap yang
sangat sederhana serta ketiadaan alat penunjuk arah.27 Dengan
keterbatasan tersebut, nelayan mencari ikan hingga ke wilayah yang
tidak dapat mereka tentukan – berbeda dengan kapal besar yang
memiliki GPS.28 Dikarenakan batas taman nasional yang tidak jelas,
ketiga nelayan tersebut pun menangkap udang dan kepiting yang
ternyata berada di kawasan TNUK. Pada saat itu juga, mereka ditangkap
oleh petugas TNUK yang sedang berada di lokasi. Para nelayan tersebut
dianggap dengan sengaja melakukan pemanfaatan di kawasan TNUK.
Padahal, perluasan kawasan TNUK29 yang mereduksi zona pemanfaatan

                                                                                                                       
Freda Adler, Criminology, (New York: McGraw-Hill, 2001), hal.35 .
23

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, (Jakarta: Rajawali


24

Pers, 2009), hal. 61.


25 Dalam konteks struktural fungsional nelayan merupakan agen sosial

yang menjalani fungsi sosial.


26 Abdul Halim, Bukan Bangsa Kuli, (Jakarta: KIARA, 2014), hal. 39.
27 Kronologis dalam Pengadilan Negeri Pandeglang, “Putusan No.

247/Pid.B/2014/PN.Pdl.”
28 Global Positioning System merupakan Alat Pelacak untuk mengetahui

posisi keberadaan.
29Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.
SK3658/Menhut-VII/KUH/2014.

54
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

warga tidak ditunjang dengan batas-batas yang jelas dalam perairan


taman nasional.30

Pisau analisis dari strain theory Robert K. Merthon dalam kajian


kriminologi bukan untuk membenarkan perbuatan agen sosial (nelayan)
untuk tidak menaati apa yang diperbolehkan oleh struktur. Alat tersebut
merupakan alat bantu bagi penegak hukum untuk melihat dengan terang
penyebab seseorang melakukan perbuatan yang dilarang oleh struktur
(dalam hal ini norma hukum). Teori tersebut mencoba memfasilitasi
penegak hukum untuk melihat akar permasalahan dari suatu kejahatan.31
Dalam kasus nelayan TNUK tersebut, jika ditelaah, permasalahan bukan
semata-mata karena nelayan tersebut ingin mendapatkan tangkapan
sebanyak-banyaknya, tetapi minimnya sarana seperti alat pendukung
aktivitas melaut dan menangkap, serta ketiadaan komunikasi dan
sosialisasi tentang batas taman nasional sehingga membuat ketiga
nelayan melanggar ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1990.

Sarana merupakan komponen utama dalam rangka penaatan


hukum oleh masyarakat atau aktor lain yang dituju oleh suatu aturan
hukum. Dalam kasus ini, salah satu sarana yang dibutuhkan oleh
nelayan dalam penaatan ialah konsensus pada saat penetapan kawasan
taman nasional, bukan lagi sekedar penetapkan aturan yang
bersandarkan pada teori fiksi, yang menyatakan bahwa diundangkannya
suatu peraturan perundang-undangan oleh instansi yang berwenang
mengandaikan semua orang telah mengetahui peraturan tersebut.32
Konsensus tersebut penting untuk menemukan alternatif akses terhadap
sumber kebutuhan selain di areal taman nasional. Konsensus tersebut
dapat tercapai dengan adanya komunikasi yang pro-aktif dalam
pembuatan peraturan sebagaimana yang diungkapkan Jurgen
Habermas.33 Menurutnya, sebagai sebuah sistem nilai dalam suatu
masyarakat majemuk, keabsahan (legitimasi) hukum tidak bisa dibuat
berdasarkan filsafat moral tertentu. Hukum yang sah hanya bisa dibuat
dalam komunikasi inter-subyektif antara negara dan para subyek
                                                                                                                       
Mengacu pada Putusan No. 247/Pid.B/2014/PN.Pdl., Op. Cit.
30

Guru Besar Universitas Amsterdam, W.A. Bonger mengatakan bahwa


31

kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala


kejahatan seluas-luasnya. Lihat: W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi,
(Jakarta: PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982), hal. 21.
32 Ignotaria iuris neminem excusat yang berarti ketidaktahuan seseorang

akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Lihat:
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan 2, (Jakarta: Kanisius, 2007), hal.
152.
33 Jurgen Habermas merupakan salah satu tokoh teori kritis dari Jerman.

55
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

hukum. Proses komunikasi dan konsensus yang dicapai dapat


menyadari sampai sejauh mana hak-hak subyek hukum. Bagi Habermas,
teori komunikasi akan membuat hukum tidak hanya melindungi
kepentingan pribadi para subjek hukum, tetapi juga menjamin integrasi
sosial.34 Pada saat nelayan tidak mengetahui hak-haknya dan pada saat
itu melakukan pelanggaran hukum, seyogiyanya tindakan afirmatif35
perlindungan lingkungan dengan cara pembuatan kebijakan taman
nasional dan penegakan hukum pada nelayan tersebut digunakan.

4. Keadilan Intra Generasi dalam Pembangunan Berkelanjutan


sebagai Pintu Masuk Tindakan Afirmatif dalam Perlindungan
Lingkungan

Konsep pembangunan berkelanjutan36 mencoba memberikan


tindakan afirmatif bagi masyarakat miskin untuk dapat mengakses
sumber daya alam. Konsep tersebut merupakan salah satu prinsip
hukum lingkungan.37 Prinsip ini identik dengan konsepsi yang

                                                                                                                       
Donny, loc.cit., hal. 331. 34

Tindakan Afirmatif yang dimaksud yaitu perlakuan khusus yang


35

diberikan kepada nelayan. Perlakuan khusus tersebut diperlukan supaya posisi


nelayan menjadi setara dihadapan hukum. Posisi setara dapat berupa pemberian
fasilitas melalui keadilan prosedural yang akan dibahas pada halaman
berikutnya untuk mendapatkan informasi, berpartisipasi, dan akses terhadap
keadilan dalam pembuatan kebijakan taman nasional sehingga nelayan bukan
hanya mengetahui kebijakan tersebut tetapi juga tidak dirugikan dengan dibuat
kebijakan tersebut, bahkan diuntungkan. Tindakan afirmatif pada penegakan
hukum nelayan yaitu perlakuan khusus yang seharusnya diberikan oleh penegak
hukum terhadap nelayan yang ‘melanggar hukum’ karena keterbatasan sarana
yang ia miliki untuk menaati hukum sebagaimana dijelaskan di dalam
penedekatan kriminologi di atas. Tindakan afirmatif di sini sebenarnya
mengadaptasi apa yang dikemukakan Ratna Kapur, profesor hukum asal India.
Kapur menganalogikan pendekatan ini dengan tercapainya keadilan dalam suatu
masyarakat apabila kaum cacat memperoleh fasilitas tertentu seperti parkir
khusus, toilet khusus supaya mereka dapat melaksanakan fungsinya sebagai
anggota masyarakat dengan baik. Perlakuan khusus tersebut bukanlah suatu
diskriminasi atau keistimewaan melainkan penghargaan karena keunikan dan
perbedaan yang ada. Lihat: Ratna Kapur dan Brenda Cossman, Feminist
Engagement with Law in India, (New Delhi: Vedam Books, 1996), hal. 16-19.
36 Lihat “Rio Declaration on Environment and Development,” Op. Cit.
37 Prinsip ini juga tertera di dalam UU 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup salah satunya di dalam pasal


15 ayat (3) huruf c. Lihat: Indonesia, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

56
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

mengisyaratkan bahwa generasi yang akan datang seminimal mungkin


harus bisa menikmati sumber daya alam seperti yang dirasakan oleh
generasi yang sekarang.38 Berbicara tentang keadilan generasi yang akan
datang tidak bisa dilepaskan dari konsep keadilan intra generasi.
Bagaimana mungkin membicarakan keadilan yang bersifat futuristik
sedangkan keadilan pada saat ini tidak dirasakan. Di dalam prinsip intra
generasi,39 terdapat empat elemen turunan, salah satunya adalah aspek
keadilan lingkungan sebagai keadilan sosial.

Dalam konteks keadilan tersebut, Kuehn menfasirkan keadilan


sosial sebagai cabang dari keadilan yang akan mendorong kita untuk
melakukan upaya terbaik guna tercapainya tatanan masyarakat yang
adil, yaitu tatanan masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat.40 Keadilan ini juga dapat dilihat dari pandangan yang
menyatakan bahwa upaya pengentasan kemiskinan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan.41 Tindakan afirmatif di sini ialah perlindungan lingkungan
harus dibarengi dengan usaha pengentasan kemiskinan, bukan malah
memiskinkan. Kebijakan perlindungan lingkungan melalui kebijakan
TNUK yang tidak partisipatif dan minim komunikasi dapat berdampak
laten viktimisasi42 terhadap nelayan, salah satu bentuknya penangkapan
nelayan yang sedang menghidupi diri dan keluarganya. Untuk itu, perlu
wadah dalam mewujudkan perlindungan lingkungan yang berkeadilan
sosial, di dalam elemen intra generasi berikutnya, yaitu keadilan
prosedural.

Keadilan prosedural merupakan keadilan untuk memperoleh


perlakuan yang sama. Perlakuan yang sama ini bukanlah persamaan
dalam hal distribusi barang dan kesempatan, tetapi persamaan dalam hal
mendapatkan perhatian (concern and respect) ketika terjadi pengambilan

                                                                                                                                                                                                                                                                           
Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, Lembaran Negara No. 140 Tahun 2009, Tambahan
Lembaran Negara No. 5059.
38 M. Jacobs, The Green Economy: Environment, Sustainable Develepoment and

the Politics of the Future (Pluto Press, 1991), hal. 79-80 dalam buku Sertifikasi
Hakim Lingkungan Hidup (Jakarta: ICEL, 2014), hal. 64.
39 Ibid., hal. 53. Prinsip intra generasi merupakan salah salah satu prinsip

turunan pembangunan berkelanjutan.


40 Ibid., hal. 83
41 Ibid., hal. 84
42 Viktimisasi adalah suatu penimbulan penderitaan (mental, fisik, dan

sosial) pada pihak tertentu. Lihat: Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta:
Akademika Presindo, 1993), hal. 139.

57
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

keputusan politik terkait distribusi barang dan kesempatan tersebut.43


Keadilan prosedural setidaknya mencakup tiga aspek, yaitu hak untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, hak atas informasi, dan
akses terhadap keadilan.

Terkait dengan hak untuk berpartisipasi, maka keadilan


prosedural dapat dilihat dari apakah pihak yang berpotensi untuk
terkena dampak dari sebuah keputusan telah terlibat dalam proses
pengambilan keputusan serta menyetujui keputusan yang akan diambil.
Dalam hal ini, Kuehn menyatakan bahwa keadilan prosedural tidak
sekedar terkait partisipasi di dalam proses pengambilan keputusan,
tetapi juga apakah proses pengambilan keputusan tersebut telah
dirancang sedemikian rupa sehingga proses ini akan mengarah pada
hasil (yaitu distribusi) yang adil.44 Dalam konteks ini, maka proses
pengambilan keputusan secara deliberatif dianggap sebagai upaya untuk
mewujudkan keadilan prosedural, di mana pihak yang lemah (baik
secara ekonomi, politik, maupun sosial) diberikan bantuan sumber daya,
teknis, dan hukum (tindakan afirmatif) yang akan memungkinkan
mereka untuk memperoleh akses yang lebih besar terhadap pengambilan
keputusan.45 Nelayan di sekitar TNUK ataupun masyarakat miskin
pesisir lainnya46 perlu mendapatkan perlakuan seperti proses partisipatif
dan pengambilan putusan yang deliberatif saat melakukan penetapan
kawasan taman nasional di kawasan laut. Saat proses penetapan tidak
mengindahkan hal tersebut, besar kemungkinan ketidaktaatan terjadi
karena ketidaktahuan atau tidak tersedianya alternatif terhadap akses
ekonomi. Penegak hukum perlu menyadari pentingnya proses tersebut
supaya dalam melakukan penegakan hukum tidak lagi sekedar
menyimpulkan premis umum dan khusus.

Terlepas dari putusan bebas yang diterima oleh ketiga nelayan


tersebut, sejak awal tidak seharusnya mereka dibui oleh penyidik.
Dengan kewenangan diskresi penyidik,48 pihak berwenang tidak harus
                                                                                                                       
Andri Gunawan Wibisana, Loc. Cit., hal. 14.
43

Ibid. 44
45 Ibid., hal. 15.
46 Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin

di 10.666 desa pesisir tersebar 300 kabupaten/kota dari total 524 kabupaten/kota
se-Indonesia mencapai 7,87 juta jiwa atau 25,14% dari total penduduk miskin
nasional yang berjumlah 31,02 juta jiwa. Lihat: Abdul Halim, Loc. Cit., hal. 113.
48 Di dalam pasal 18 UU 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
mengindikasikan adanya kewenangan diskresi pada Kepolisian Republik
Indonesia (Polri) yaitu: untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat

58
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

memproses perkara dan dengan demikian terikat untuk menunggu


putusan pengadilan,49 melainkan dapat menyelesaikan masalah ini
dengan alternatif penyelesaian non-hukum dan membebaskan mereka
sejak awal. Terlepas perspektif yuridis dari hasil prosesi peradilan, yang
memaparkan bahwa para nelayan tidak terbukti melakukan perbuatan
yang dapat merusak ekosistem,51 penetapan kawasan taman nasional
yang mengacuhkan kepentingan masyarakat secara ekonomi, politik, dan
sosial tidak tepat untuk menjadi dasar menghukum para nelayan jika
mengacu pada elemen yang ada di prinsip intra generasi. Selain itu, jika
melihat kembali dari tinjauan yuridis, dakwaan dari jaksa yang mengacu
Pasal 33 ayat (3) jo. Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam (“PP No. 28 Tahun 2011”) tidak terpenuhi unsur-unsurnya. Akibat
yang disangkakan kepada para nelayan ternyata tidak membahayakan
lingkungan serta unsur “kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona
pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional” tidak terpenuhi karena
tidak ada pembatasan yang jelas dalam perairan di TNUK.52 Hakim
membebaskan para nelayan namun jaksa tetap bersikukuh dengan
dakwaannya dan terus melakukan upaya hukum53 kasasi untuk
memidanakan para nelayan.

Berbanding terbalik dengan upaya jaksa yang cukup ‘tegas’ dalam


kasus penangkapan udang, kasus MV Hai Fa yang melibatkan kapal
penangkap ikan berkapasitas besar, jaksa memberikan dakwaan yang
                                                                                                                                                                                                                                                                           
bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pasal tersebut menunjukan bahwa polisi
punya kewenangan untuk melakukan diskresi selama tidak bertentangan dengan
etika profesi. Gayus Lumbun mengaitkan diskresi di Kepolisian dengan tiga asas
hukum yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Menurut Gayus,
anggota Polri di lapangan seringkali berada di posisi dilematis antara
menegakkan asas kepastian hukum, kemanfaatan atau keadilan. Solusi atas
situasi dilematis ini adalah diskresi. Lihat: “Diskresi Polisi Harus Dibatasi,”
Hukum Online, 19 September 2012, Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5059b7d1c3d3c/ kabareskrim--diskresi-polisi-
harus-dibatasi
49 “3 Nelayan Terancam 5 Tahun Bui karena Dituduh Curi Kepiting,”

Merdeka.com, 24 November 2014, Sumber: http://www.merdeka.com/peristiwa/3-


nelayan-terancam-5-tahun-bui-karena-dituduh-curi-kepiting.html diakses pada 29
April 2015.
51 Rumusan Pasal 33 ayat (3) UU Konservasi No. 5 Tahun 1990. Lihat:

Indonesia, Undang-undang Konservasi, UU No. 5 Tahun 1990, Lembaran Negara


No. 49 Tahun 1990, Tambahan Lembaran Negara No. 2823.
52 Pertimbangan mejelis hakim dalam pertimbangan Putusan No.

247/Pid.B/2014/PN.Pdl, Op. Cit.


53 Wawancara tertulis dengan Hendra, Pengacara LBH Jakarta, Jakarta, 29

Mei 2015.

59
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

cukup ringan. Hakim pun mengamini keringanan yang diajukan jaksa


dengan memberikan putusan yang juga ringan. Jika disandingkan dalam
tinjauan yuridis dengan pisau analisis keadilan distributif,54 kasus MV
Hai Fa tidak seimbang dengan kasus nelayan TNUK dari sisi putusan
dan dakwaan jaksa.

Keadilan distributif memiliki kaitan yang sangat erat dengan


pembangunan berkelanjutan karena tiga alasan, yaitu: pertama,
lingkungan hidup merupakan sumber daya yang harus didistribusikan
secara adil; kedua, keadilan bersifat fungsional bagi terciptanya
keberlanjutan; dan ketiga, keberlanjutan juga membutuhkan adanya
keadilan bagi lingkungan hidup itu sendiri.56 Keadilan distributif
memberikan perhatian pada dampak lingkungan yang terdistribusi
secara tidak adil.57 Kondisi ketidakadilan lingkungan bisa ditunjukkan
dengan merujuk pada pembagian sumber daya alam dan pemanfaatan
yang tidak merata, ataupun pada pembagian resiko kerusakan
lingkungan yang juga tidak seimbang.58 Lebih jauh lagi, ketidakadilan
lingkungan dapat terjadi dalam skala global berupa ketidakadilan
terhadap negara miskin / berkembang. Misalnya, dalam persoalan
lingkungan global seperti pemanasan global, negara berkembang
seringkali menjadi pihak yang paling rentan dan paling menderita akibat
dari persoalan tersebut, meskipun kontribusinya terhadap persoalan jauh
lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi negara maju.59 Dampak
kerusakan yang disebabkan oleh tiap orang atau negara berbeda, maka
tanggung jawab bagi subyek yang memberikan dampak kerusakan yang
lebih besar seharusnya lebih besar. Ihwal tersebut terdefinisikan di dalam
prinsip hukum yang tertera di dalam Deklarasi Rio60 mengenai common
but differentiated responsibilities (“CBDR”).61

                                                                                                                       
Andri Guna Wibisana, Op.Cit., hal. 3.
54

Ibid., hal. 3. 56
57 Ibid.
58 Ibid.
59 Ibid., hal. 3.
60 Prinsip 7 Deklarasi Rio menyatakan: “States shall cooperate in a spirit of

global partnership to conserve, protect and restore the health and integrity of the Earth's
ecosystems. In view of the different contributions to global environmental degradation,
States have common but differentiated responsibilities. The developed countries
acknowledge the responsibility that they bear in the international pursuit of sustainable
development in view of the pressures their societies place on the global environment and of
the technologies and financial resources they command.” Lih: Deklarasi Rio, Op. Cit.
61 Andri G. Wibisana, Loc. Cit.

60
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

5. Mengaitkan Analisis Yuridis pada Kasus MV Hai Fa


dengan Elemen Keadilan Distributif

Pada kasus MV Hai Fa, jaksa hanya menuntut pidana denda atas
pelanggaran terkait sistem pemantauan kapal, standar prosedur
operasional, dan membawa ikan yang dilarang untuk diperdagangkan,
dimasukan, dan dikeluarkan dari wilayah RI.62 Tuntutan didasarkan
fakta bahwa kapal tersebut tidak memilik Surat Layak Operasional
(SLO), tidak mengaktifkan alat transmitter yang disebut Vessel Monitoring
System (VMS) serta membawa hiu martil dan hiu koboi yang tidak boleh
dibawa keluar dari wilayah RI. Padahal, perbuatan yang bertentangan
dengan aturan perikanan lebih dari apa yang didakwakan. MV Hai Fa
juga tidak memiliki dokumen persetujuan impor barang. Selain itu,
ketentuan yang lebih berat yaitu Pasal 88 UU Perikanan serta pasal-pasal
lain yang disebutkan di bagian pendahuluan tidak masuk dalam
dakwaan jaksa. Terlepas dari tuntutan pidana badan yang perlu
ditujukan pada pengurus korporasi pada perusahaan yang
mengoperasikan kapal MV Hai Fa, satu hal yang mengecewakan dari
tuntutan tersebut yaitu kapal MV Hai Fa tidak dirampas63 berdasarkan
pasal 76A UU Perikanan agar dapat dimanfaatkan masyarakat Indonesia.
Sebagaimana disampaikan Menteri Susi di media massa,64 mesin
pendingin untuk menyimpan ikan dalam kapal MV Hai Fa merupakan
aset yang berharga khususnya bagi nelayan.

Dakwaan yang diajukan jaksa hanya dakwaan alternatif yang


menimbulkan konsekuensi masing-masing dakwaan tersebut saling
mengecualikan satu sama lain.66 Artinya, hakim dapat memilih dakwaan
mana yang telah terbukti tanpa memutuskan terlebih dahulu dakwaan
lainnya, sekalipun jika dakwaan lain lebih berat. Dalam putusan MV Hai
                                                                                                                       
62 Lihat pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) huruf d, e, dan m UU 31 Tahun 2004

jo. UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31


Tahun 2004, Op. Cit.
63 “Kasus Kapal Maling Ikan Hai Fa Dituntut Ringan,” Detik.com, 29 Maret

2015, http://news.detik.com/read/2015/03/29/093954/2872642/10/kasus-kapal-maling-
ikan-hai-fa-dituntut-ringan-penegak-hukum-harus-lebih-jeli, diakses pada 29 April
2015
64 Wiji Nurhayat, “Menteri Susi Ingin Kapal Terbesar dalam Sejarah

Ditenggelamkan,” Detik.com, 13 Januari 2015, Sumber:


http://finance.detik.com/read/2015 /01/13/105047/2801614/4/menteri-susi-ingin-kapal-
pencuri-ikan-terbesar-dalam-sejarah-ditenggelamkan, diakses pada 8 Juli 2015.
66 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,

2010), hal. 185.

61
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Fa, hakim hanya memutuskan bahwa terdakwa terbukti melanggar pasal


Pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) huruf m UU Perikanan. Dalam hal ini,
tuntutan jaksa sangat menentukan putusan yang akan dihasilkan hakim
jika mengacu pada Pasal 182 ayat (3) dan (4),67 walaupun hakim tetap
harus memutus berdasarkan keyakinan dan alasan berupa dua alat bukti,
sebagaimana tertera di dalam pasal 183 KUHAP.68 Dakwaan kumulatif
dan kombinasi untuk menjerat pelaku yang melanggar beberapa
ketentuan pidana69 tidak digunakan oleh jaksa sehingga subyek yang
dihukum hanya nakhoda kapal dan ia hanya dihukum berdasarkan satu
pasal saja. Padahal, apabila dicermati, pelanggaran MV Hai Fa masuk
dalam kategori concursus realis atau gabungan beberapa kejahatan.70
Artinya, nakhoda kapal MV Hai Fa dapat dihukum maksimal 10
(sepuluh) tahun 8 (delapan) bulan berdasarkan Pasal 92 UU Perikanan
jika ia dituntut sesuai dengan kuantitas pasal yang dilanggar.71

                                                                                                                       
67 Indonesia, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981,

Lembaran Negara No. 76 Tahun 1981. Tambahan Lembaran Negara No. 3209,
Lih: Pasal 174 KUHP.
68 Indonesia menganut teori conviction de la raison dalam pembuktian

hukum pidana yaitu putusan hakim didasarkan pada keyakinan dan alasan logis.
Lih: M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjuan Kembali, Edisi 2, cet.
3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002).
69 Jika dicermati perbuatan yang dilanggar oleh subyek di dalam kasus

MV Hai Fa ini memenuhi unsur beberapa pasal pada undang-undang yang


berbeda yaitu UU Kelautan dan UU Konservasi yang berarti subyek tersebut
memenuhi unsur pasal 66 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) tentang perbarengan perbuatan yang berbunyi: Dalam hal perbarengan
beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan
yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang
diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas
tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana
yang terberat ditambah sepertiga.
70 Lihat pasal 66 KUHP.
71 Di dalam pasal 66 tentang concursus realis yang berbunyi: “(1) Dalam hal

perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai


perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang
diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas
tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana
yang terberat ditambah sepertiga.” Beberapa perbuatan yang dilakukan oleh
subyek hukum di dalam kasus MV Hai Fa yang merupakan beberapa perbuatan
pidana (seperti tidak memiliki SLO, tidak memasang VMS, menagkap hiu, dll)
dapat dikatan concursus realis. Apabila diakumulasikan sanksi pidana dari pasal
yang dilanggar, jumlahnya akan melebihi sepuluh (10) tahun, hukuman terberat
dari pasal yang dilanggar subyek hukum dalam Mv Hai Fa. Itu berarti, bila
mengacu pada pasal ini, pidana penjara maksimal selama 10 tahun dapat

62
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Hukuman itu, tidak hanya dapat ditujukan kepada nakhoda kapal, tetapi
juga pengurus korporasi, termasuk pimpinan perusahaan.

Pasal 101 UU Perikanan menyatakan bahwa pengurus korporasi


harus bertanggungjawab terhadap tindak pidana perikanan yang
dilakukan oleh korporasi, bahkan pidana denda ditambah sepertiga.
Sayangnya, perumusan di dalam undang-undang tersebut belum
mengatur secara jelas, siapa subjek dalam korporasi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Berbeda dengan undang-undang tersebut,
Pasal 116 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU No. 32 Tahun
2009”) sudah menggunakan pijakan teori vicarious liability yang
memungkinkan korporasi untuk menjadi subjek hukum pidana sehingga
sanksi dapat dijatuhkan padanya.72 Vicarious liability merupakan ajaran
yang berasal dari hukum perdata dalam sistem common law, yaitu doctrine
of respondeat superior dimana dalam hubungan karyawan dengan majikan
atau antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa berlaku adagium “qui
facit per alium facit per se” yang berarti seseorang yang berbuat melalui
orang lain dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh ia sendiri.
Dalam hal ini, majikan bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan
yang dilakukan oleh karyawannya sepanjang kesalahan tersebut
dilakukan dalam rangka pekerjaannya.73 Terkait dengan teori ini, will
(keinginan) untuk memberantas illegal fishing dapat ditempuh melalui
penegakan hukum hingga ke aktor utamanya selain para nelayan dari
negara lain ataupun nakhoda kapal, seperti yang terjadi di kasus MV Hai
Fa. Sebuah pertanyaan besar perlu dilontarkan ketika kapal yang begitu
besar menangkap puluhan ton ikan yang merugikan negara kurang lebih
sebesar Rp 70 miliar: apakah tindakan tersebut terencana untuk
memperoleh keuntungan bagi korporasi? Dalam kasus pencurian ikan

                                                                                                                                                                                                                                                                           
dijatuhkan, yaitu pasal 92 UU 31 2004 dengan sanksi terberat yaitu delapan tahun
dan ditambah sepertiga, menjadi 10 (sepuluh) tahun 8 (delapan) bulan.
72 Di dalam pasal 116 ayat (1) UU 32 Tahun 2009, badan usaha dapat

dijatuhi sanksi pidana. Dalam hal ini pidana penjara dapat dijatuhkan kepada
pemberi perintah atau pemimpin kegiatan, tetapi pidana pokok yang dapat
dijatuhkan kepada korporasi hanyalah denda. Tetapi, di dalam undang-undang
tersebut, korporasi dimungkinkan untuk mendapatkan pidana tambahan berupa
penutupan seluruh korporasi dan pembatasan aktivitas korporasi, sehingga
korporasi seolah mendapatkan pidana penjara atau kurungan sebagaimana
istilah corporate imprisonment. Lih: Raynaldo Sembiring, et.al., Anotasi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, (Jakarta: ICEL, 2014), hal. 274.
73 Sutan Rehmi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta:

Grafiti Press, 2006), hlm. 84.

63
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

skala besar, termasuk di dalamnya penangkapan ikan yang dilindungi,


penegak hukum tidak boleh lagi menunjukkan perilaku fakultatif untuk
menindak tegas mastermind74 atau pelaku fungsional dalam sebuah
kejahatan korporasi.

Pertanggungjawaban korporasi penting, terutama dalam konteks


penegakan hukum lingkungan, apabila melihat beberapa kasus
kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas korporasi.75
Meminjam konsep CBDR, seperti halnya negara besar, korporasi yang
memiliki kontribusi lebih besar dalam menyebabkan persoalan
lingkungan memikul tanggung jawab yang lebih besar untuk mengatasi
persoalan lingkungan tersebut.76 Konsep CBDR ini dapat digunakan
sebagai benang merah dalam membandingkan penegakan hukum
lingkungan di laut dalam kasus skala besar (kasus MV Hai Fa) dan kasus
struktural (kasus nelayan TNUK) berdasarkan besarnya dampak
lingkungan yang ditimbulkan dari masing-masing kasus.

Dalam putusan MV Hai Fa, hal yang memberatkan pelaku hanya


sebatas akibat perbuatan yang dapat mengancam kelestarian ikan
sebagai sumber daya alam. Hakim tidak mempertimbangkan bahwa
kelestarian hiu martil sangat penting untuk menjaga keseimbangan
ekosistem laut.77 Jika hiu punah, maka tidak akan ada kontrol bagi
pertumbuhan-pertumbuhan ikan besar yang memakan ikan-ikan kecil
sehingga ikan-ikan kecil itu dapat mengalami ledakan populasi yang juga
dapat berujung pada kepunahan.78 Punahnya ikan hiu ini akan
berdampak pada hasil tangkapan nelayan dan kesejahteraannya.
Terlebih, terlepas dari pernyataan yang terkesan antroposentris tersebut,
keberadaan hiu ini menjadi penyeimbang keberlanjutan berbagai jenis
makhuk hidup,79 terutama yang hidup di laut. Berseberangan dengan
                                                                                                                       
74 Yang dimaksud mastermind yaitu pelaku fungsional orang yang

memberi perintah atau bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana. Lih:
Raynaldo Sembiring dkk, Op. Cit., hal. 272.
75 Lihat Kasus Lumpur Lapindo.
76 Andri G. Wibisana, Op. Cit., hal. 6.
77 “Moratorium Ekspor Hiu Martil dan Hiu Koboy,” Maritime Magazine, 7

Januari 2015, SumberL http://maritimemagz.com/moratorium-ekspor-hiu-


martil-dan-hiu-koboy/ diakses pada 17 April 2015 pukul 11:35.
78 Kharina Trianada, “Dampak Kepunahan Hiu bagi Keseimbangan

Ekosistem Laut,” Berita Satu, 9 Juni 2013, Sumber:


http://www.beritasatu.com/iptek/118539-dampak-kepunahan-hiu-bagi-
keseimbangan-ekosistem-laut.html 19 April 2015.
79 Berdasarkan penelitian ilmuwan, hiu harimau di Hawaii mempunyai

dampak positif bagi kesehatan padang lamun. Hiu ini merupakan pemangsa
kura-kura, ketika hiu tidak ada, kura-kura tersebut menghabisi seluruh nutrisi

64
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan dalam kasus tersebut,


pengambilan udang dan lobster yang ternyata masuk zona TNUK tidak
menyebabkan dampak masif bagi ekosistem laut, bahkan dapat
dikatakan tidak merusak kawasan konservasi tersebut.

Dampak lingkungan perlu menjadi perhatian penegak hukum


dalam rangka melakukan perlindungan lingkungan dengan perspektif
CBDR untuk mencapai keadilan distributif. Dalam konteks lingkungan
hidup, keadilan distributif ini terkait dengan persamaan perlakuan (equal
treatment) atas beban dan dampak lingkungan yang dihasilkan dari
kegiatan yang membahayakan lingkungan. Dengan demikian, keadilan
distributif memberikan perhatian pada dampak lingkungan yang
terdistribusi secara tidak adil, dimana kelompok masyarakat miskin,
perempuan, dan ras tertentu sering kali merupakan kelompok yang
paling merasakan dampak lingkungan tersebut.80

6. Penutup

Pada penegakan hukum kasus nelayan TNUK dan MV Hai Fa,


penegak hukum belum terlihat menggunakan perspektif keadilan intra
generasi. Dalam kasus nelayan TNUK, penegak hukum seperti polisi dan
jaksa hanya menerapkan ketentuan hukum tanpa mempertimbangkan
aspek lainnya. Hal ini terbukti dari pilihan penegakan hukum yang
mengenyampingkan diskresi mulai dari proses penyidikan sampai
penuntutan, yang memberikan perlakuan sama tanpa melihat
kesenjangan struktural tiga orang nelayan TNUK. Dalam kasus MV Hai
Fa, jaksa tidak menuntut pasal-pasal yang sebenarnya dapat ditujukan
kepada pelaku dan menggunakan jenis dakwaan yang cukup lemah
yaitu dakwaan alternatif. Terlebih, hakim juga memutus perkara sebatas
apa yang dituntut oleh jaksa.

Penegakan hukum lingkungan dalam masalah struktural tidak


bisa hanya berlandaskan prinsip legisme81 hukum semata. Ada aspek-
aspek non-yuridis lain yang perlu dipertimbangkan seperti ketersediaan

                                                                                                                                                                                                                                                                           
terbaik yang membuat habitat ini hancur. Keberadaan hiu membuat kura-kura di
daerah tersebut berpencar untuk makan di berbagai wilayah. “Sharks Role in The
Ocean,” Sumber: http://www.sharksavers.org/en/education/the-value-of-
sharks/sharks-role-in-the-ocean/ 19 April 2015.
80Andri Wibisana, Op. Cit., hal. 4.
81 Soedikno Merto Koesomo, loc.cit., hal. 76.

65
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

sarana yang dipunyai masyarakat untuk dapat mematuhi suatu aturan


hukum. Penegak hukum dalam kasus struktural terkait lingkungan
hidup tidak dapat menegasikan adanya keterbatasan akses masyarakat
kecil seperti nelayan terhadap SDA karena tidak terwujudkannya
keadilan SDA. Pernyataan tersebut bukan pembenaran bagi siapa saja
untuk merusak lingkungan di kawasan konservasi atau melanggar
peraturan tetapi hanya sebagai alat bantu untuk melihat hubungan
sebab-akibat dari suatu masalah. Kondisi tersebut dapat tergali apabila
penegak hukum memiliki perpektif keadilan intra generasi.

Dalam penegakan hukum, untuk menghindari hukum yang tajam


ke bawah dan tumpul ke atas, perbedaan tanggung jawab atas akibat
yang ditimbulkan perusak lingkungan patut diaplikasikan untuk
menindak pelaku-pelaku besar, terutama di kawasan laut. Penindakan
tidak hanya ditujukan pada pelaku fisik tetapi juga pelaku fungsional
dalam kejahatan lingkungan skala besar, dalam hal ini kejahatan yang
melibatkan korporasi. Penegak hukum perlu membedakan perlakuan
penanganan kasus struktural dan kasus besar. Tindakan afirmatif bukan
hanya ditujukan kepada mereka yang berada di dalam kasus struktural,
tetapi juga bagi mereka yang berada di kasus besar supaya pelaku
ditindak tegas berdasar kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Oleh
karena itu, asas kesamaan dalam penegakan hukum di dua kasus ini
tidak bisa ditelan bulat. Dengan perspektif pembangunan berkelanjutan
melalui elemen keadilan intra generasi, penegakan hukum lingkungan
harus berpihak dengan alat perlakuan khusus atau tindakan afirmatif.

Terakhir, sebelum sampai pada tahapan penegakan hukum,


sebaiknya pembuat kebijakan dapat membuat kebijakan konsensus
dengan masyakat, dimana dalam pembentukannya masyarakat diberi
ruang untuk berkomunikasi dan menentukan pendapat yang
menentukan hasil dari suatu kebijakan melalui konsepsi komunikasi
Habernas. Saat komunikasi dan pelibatan sudah berjalan, keadilan
prosedural mulai tercapai. Keadilan prosedural merupakan sarana utama
bagi tercapainya keadilan sosial dalam perlindungan lingkungan,
sehingga perlindungan tidak memiskinkan, tetapi menyejahterakan.
Sekali lagi, semua itu memerlukan tindakan khusus dalam bentuk
penyediaan sarana bagi para nelayan.

Daftar Pustaka
Adler, Freda. Criminology. New York: McGraw-Hill, 2001.

66
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Asshiddiqie, Prof.Dr. Jimly dan M. Ali Sa’at. Teori Hans Kelsen. Jakarta:
Konpress, 2012.

Binawan, Al. Andang L. Jalan Terjal Ekokrasi dalam Jurnal Hukum


Lingkungan Volume-1 ICEL. Jakarta: Januari, 2014.

Bonger, W.A. Pengantar Tetang Kriminologi. cet. 6. Jakarta: PT.


Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982.

Danardo, Donny. Mepertimbangkan Brian Z. Tamanaha: Sosio-Legal Positivis,


Anti- Esensialisme, dan Pragmatisme dalam Sosiologi Hukum dalam
Perubahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009.

Gosita, Arif. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika Presindo,


1993.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,


2010.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:


Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjuan
Kembali. Edisi 2. cet. 3. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan 2. Jakarta: Kanisius, 2007.

Kusomo, Sudikno. M. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta :


Liberti, 2007.

Malaka, Tan. Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Jakarta: LPPM


Tan Malaka, 2008.Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa. Kriminologi. Jakarta: Rajawa

Sembiring, Raynaldo. Anotasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009


Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta:

Sjahdeini, Sutan Rehmi. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta:


Grafiti Press, 2006.

Sulistyowati Irianto, Menuju Pembangunan Hukum Pro Keadilan Rakyat


dalam Sosiologi Hukum dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2009.

Tim Penulis ICEL. Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup. Jakarta: ICEL, 2014.

Wibisana, Andri G. Elemen-elemen Pembangungan Berkelanjutan: Keadilan


Intra dan Antar Generasi

“Moratorium Ekspor Hiu Martil dan Hiu Koboi.” Maritime Magazine.


Sumber: http://maritimemagz.com/moratorium-ekspor-hiu-martil-dan-
hiu-koboy

67
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

“Sharks Role in the Ocean.” Sharksavers. Sumber:


http://www.sharksavers.org/en/education/the-value-of-sharks/sharks-role-
in-the-ocean

“Kabareskrim: Diskresi Polisi Harus Dibatasi.” Hukum Online.


http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5059b7d1c3d3c/ka
bareskrim--diskresi-polisi-harus-dibatasi

“3 Nelayan Terancam 5 Tahun Bui Karena Dituduh Curi Kepiting.”


Merdeka.com. Sumber: http://www.merdeka.com/peristiwa/3-nelayan-
terancam-5-tahun-bui-karena-dituduh-curi-kepiting.html

“Kasus Kapal Maling Ikan Hai Fa Dituntut Ringan, Penegak Hukum


Harus Lebih Jeli.” Detik.com. Sumber:
http://news.detik.com/read/2015/03/29/093954/2872642/10/kasus-kapal-
maling-ikan-hai-fa-dituntut-ringan-penegak-hukum-harus-lebih-jeli

“Gelombang Ganas Nelayan Miskin Penangkap 4 Udang Terbebas dari


Penjara.” Detik.com. Sumber:
http://news.detik.com/read/2015/01/29/095247/2817229/10/gelombang-
ganas-nelayan-miskin-penangkap-4-udang-terbebas-dari-penjara

“Menteri Susi Tegaskan Kapal MV Hai Fa Ilegal.” Liputan 6. Sumber:


http://bisnis.liputan6.com/read/2212459/menteri-susi-tegaskan-
kapal-mv-Hai Fa-ilegal

68
PENGELOLAAN AIR BALAS:
KERANGKA HUKUM INTERNASIONAL DAN PERBANDINGAN
HUKUM DI INDONESIA
Eliza Dayinta Harumanti1

Abstrak

Pembuangan air balas kapal yang tidak diolah dan dibuang di


sembarang tempat berpotensi menyebabkan perpindahan beberapa
organisme laut yang tidak sesuai dengan lingkungan hidup awalnya.
Organisme ini akan berkembang dan mengganggu sistem rantai
makanan yang pada akhirnya berdampak pada pencemaran air laut dan
keseimbangan ekosistem. Perhatian dunia internasional terhadap
perlindungan laut terlihat dengan adanya konvensi yang mengatur
tentang pembuangan air balas pada tahun 1992 sebagai upaya mitigasi
untuk mencegah menyebarnya spesies predator serta untuk menjaga
keseimbangan ekosistem di suatu daerah di dunia. Tulisan ini membahas
perkembangan pengaturan pengelolaan air balas di dunia sampai dengan
terbentuknya Konvensi Pengelolaan Air Balas dan perbandingan
penerapannya di beberapa negara termasuk di Indonesia. Mengingat
Indonesia belum meratifikasi ketentuan Konvensi Pengelolaan Air Balas,
tulisan ini akan mengkaji kemungkinan Indonesia menjadi negara
anggota konvensi tersebut.

Kata kunci: air balas, Indonesia, UNCLOS, invasive alien species

Abstract
This article attempts to discuss Indonesia’s policy on ballast water exchange with
regard to protection of the marine environment in Indonesia’s water

1
Asisten Peneliti pada Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

territory. The exchange of ballast water is potential to inadvertently


introduce non-native species into new habitat. These species are likely to
thrive and harm the existing ecosystem, turning them to be invasive
species. World’s attention was gained after several disasters in some
countries, calling the adoption of a new international standard as
prevention and mitigation measures of such issue. This article will also
address the development of Ballast Water Management Convention and
compare other countries practice in their national law framework.

Keywords: ballast water, Indonesia, UNCLOS, invasive alien species

1. Pengantar

Sistem air balas adalah sistem yang sangat penting di dalam suatu
kapal. Sistem air balas ini digunakan untuk menyeimbangkan kapal
ketika kapal tidak membawa muatan sesuai dengan kapasitas maksimal
mereka. Hal ini menjadi penting untuk menghadapi cuaca buruk ketika
kapal berlayar di tengah samudera.2 International Maritime Organization
atau Organisasi Maritim International (“IMO”) mengartikan air balas
sebagai “water with its suspended matter taken on board a ship to control trim,
list, draught, stability or stresses of the ship.”3

Banyaknya volume air yang dipompa masuk ke dalam tangki air


balas bergantung pada besarnya ukuran kapal,4 yang mana pada
umumnya akan mengisi 50% hingga 70% dari total kapasitas kapal.5

2
“Ballast Water”, http://www.epa.vic.gov.au/your-
environment/water/ballast-water, diakses pada 20 Mei 2015.
3
“Ballast Water Management Convention,” International Convention for
the Control and Management of Ships’ Ballast Water and Sediments, IMO Doc.
BWM/CONF/36, 13 Februari 2004, art. 1(7).
4
Penghitungan standar ukuran kapal menggunakan banyak satuan ukur.
Satuan ukur yang sering sekali digunakan untuk mengukur kapasitas kapal kargo
adalah Twenty-Foot Equivalent Unit (TEU) atau Forty-Foot Equivalent Unit
(FEU). Sedangkan, berat kapal diukur dengan satuan Gross Tonnage (GT) Lihat:
Michael Bohlman, “ISO’s container standards are nothing but good news”, ISO
Bulletin, September 2001, hal. 12-15. Adapun ukuran kapal yang digunakan di
dalam Ballast Water Convention adalah GT. Lih: “Ballast Water Management
Convention, art.1(7).
5
A. Whitman Miller, et.al, “Geographic Limitations and Regional
Differences in Ships’ Ballast Water Management to Reduce Marine Invasions in
the Contiguous United States”, BioScience vol. 61, 2011, hal. 881.

70
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Proses pemompaan dan pembuangan biasa terjadi di daerah pelabuhan


ketika muatan kargo diturunkan atau dinaikkan. Proses ini mengandung
banyak isu lingkungan, antara lain pembuangan air balas yang
dikategorikan sebagai limbah karena sering mengandung minyak yang
terkontaminasi, patogen berbahaya, dan proses pertukaran hewan laut
yang berbeda habitat.6 Potensi pencemaran disebabkan kegiatan lalu-
lintas perdagangan global melalui laut juga semakin meningkat seiring
berjalannya waktu.

Dampak proses penggunaan air balas dalam kegiatan pelayaran


kapal kargo yang paling mendapat perhatian adalah tereksposnya hewan
non-endemik (non-native species) ke suatu lingkungan baru. Penelitian
pertama mengenai hal ini dilakukan pada awal tahun 1900-an. Penelitian
ini dilakukan di daerah North Sea dan melaporkan terdapatnya
fitoplankton spesies Odontella (Biddulphia) sinensis yang merupakan jenis
fitoplankton di perairan Asia.7

Dengan asumsi bahwa suatu tangki balas dapat menampung 3,4


juta ton air, sebanyak tujuh ribu spesies berbeda diestimasikan dapat
berpindah tempat dalam satu kegiatan pelayaran kapal kargo.8 Berbagai
penelitian telah membuktikan tentang banyaknya spesies dalam jumlah
besar ditemukan dalam sampel air balas. Sebuah studi tentang proses
shipping di Eropa menemukan bahwa ada seribu spesies yang dibawa di
dalam air balas yang mencakup dari spesies satu sel seperti ganggang
hingga berbagai spesies ikan.9

Perhatian serius mulai banyak ditunjukkan karena akibat ini tidak


dapat diprediksi sebelumnya. Spesies flora dan fauna yang baru di suatu
perairan tersebut dapat terus hidup dan menjadi dominan yang

6
Simon C. Barry, et. al., “Ballast Water Risk Assessment: Principles,
Processes, and Methods.” ICES Journal of Marine Science 65, (2008), hal. 121.
7
C.H. Ostenfeld, “On the Immigration of Bidulphia sinensis Grev. and its
occurrence in the North Sea during 1903-1907”, Meddelelser fra Kommissionen
fo Havundersogelser, Plankton Vol 1 No. 6, 1908, hal 2.
8
S.G. Bullard, et al., “Abundance and Diversity of Ascidians in the
Southern Gulf of Chiriquí, Pacific Panama”, Aquatic Invasions Vol 6 No. 4,
(2011), hal 381.
9
S. Gollasch, et al., “Life in Ballast Tanks” di dalam Invasive Aquatic
Species of Europe: Distribution, Impacts and Management, ed. E. Leppakoski, et
al., (Dordecht: Kluwer Academic Publishers, 2002), hal. 217-231.

71
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem.10 Dominasi flora dan


fauna yang terbukti resisten karena tetap hidup di dalam tangki balas
akan menginvasi spesies endemik di habitat barunya dalam perebutan
makanan dan habitat. Dalam tingkat yang lebih serius, invasive alien
species (“IAS”) dapat mengubah kondisi lingkungan seperti
mempengaruhi tingkat kejernihan air dan mengurangi keanekaragaman
hayati lokal karena banyak spesies endemik yang tidak mampu bertahan
hidup dengan invasi spesies baru di suatu habitat.11

Telah terjadi beberapa kasus yang mengindikasikan akibat buruk


air balas di suatu lingkungan maritim. Pada tahun 1982, Mnemiopsis leidyi
(American Atlantic Coast Comb Jelly) yang menjadi IAS di daerah Laut
Hitam dan Laut Azov telah menyebabkan lingkungan di laut tersebut
menjadi berbahaya dan beracun. Spesies tersebut menyebabkan
meledaknya populasi ganggang dalam jumlah besar. Hal ini
mengakibatkan berkurangnya kadar oksigen di sekitar Laut Hitam dan
Laut Azov karena ganggang tersebut menutupi permukaan laut dan
berbagai spesies rumput laut dan terumbu karang yang berfungsi untuk
memproduksi oksigen. Ledakan populasi ganggang tersebut disebabkan
oleh berkurangnya populasi zooplankton karena menjadi sumber
makanan comb jelly.12

Dreissena polymorpha (zebra mussels) menginvasi habitat di Great


Lakes, Kanada pada tahun 1988.Spesies ini juga membawa akibat buruk
di Danau St. Clair, Detroit, Amerika Serikat pada tahun yang sama. Zebra
mussels memiliki kemampuan untuk mengeliminasi berbagai
mikroorganisme yang ada di perairan. Hal ini berakibat pada
ketidakseimbangan rantai makanan, terutama untuk ikan-ikan
tangkapan. Spesies ini terus berkembang biak dan menempel di kerang
yang mengakibatkan kerang-kerang tersebut tidak bisa membuka
cangkangnya untuk memperoleh nutrisi. Populasi kerang pun menurun

10
Jenis flora dan fauna invasive ini dikenal dengan terminologi yang
bermacam-macam, seperti alien invaders dan Invasive Alien Species (IAS).
Untuk kepentingan penulisan artikel ini, terminology IAS akan digunakan untuk
menghindari kebingungan di dalam pembahasan.
11
A.M. Ibrahim dan M.A. El-naggar, “Ballast water Review: Impacts,
Treatments, and Management”, Middle-East Journal of Scientific Research Vol
12 No. 17, (2012), hal. 976.
12
C. Bright, Life Out of Bounds: Bioinvasion in a Borderless World ,
Worldwatch Environmental Alert Series (New York, NY: Norton, 1998), hal.
182.

72
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

drastis. Kerugian ekonomis yang besar juga dirasakan karena zebra


mussels menghambat aliran air dan menyebabkan pembangkit listrik
tidak berfungsi dan tutupnya beberapa pabrik.13

Australia juga pernah mengalami dampak negatif air balas.


Perairan Australia terpapar ganggang Gymnodimium yang merupakan
spesies endemik dari Jepang pada tahun 1998. Ganggang ini berkembang
biak dengan sangat cepat dan menjadi racun bagi populasi shellfish di
sekitar perairan negara bagian Tasmania.14

Melihat fenomena di atas, banyak negara dengan kapasitas


maritim yang besar mulai menaruh perhatian mengenai dampak
lingkungan akibat aktivitas pelayaran.Terdapat perkembangan
pengaturan di mana air balas harus diolah sebelum akhirnya dilepaskan
kembali ke alam. Perhatian ini ditindaklanjuti oleh IMO dengan
membuat berbagai pedoman dan mekanisme pengaturan untuk
mencegah kerusakan lingkungan dan ekosistem oleh IAS. Di dalam
perkembangannya, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi usaha IMO
di dalam pencapaian tujuan dibentuknya berbagai regulasi, yaitu
pembatasan jumlah konsentrasi makhluk hidup yang diperbolehkan di
dalam air balas, penggunaan teknologi, serta kemauan dan kemampuan
dari operator kapal untuk menggunakan teknologi tersebut dalam usaha
untuk mematuhi ketentuan yang telah diatur.15

Indonesia tentunya juga memiliki potensi pencemaran air balas


akibat kegiatan pelayaran yang sibuk di daerah perairannya. Salah satu
contohnya adalah Selat Malaka yang menjadi perlintasan kapal paling
sibuk di dunia. Dengan 2,33 milyar kapal yang singgah di Pelabuhan
Singapura,16 perairan yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka
berpotensi mengalami pencemaran akibat air balas ini.

13
“Sea Ballast and Zebra Mussels (Ballast),
http://www1.american.edu/ted/ballast.htm, diakses 22 Mei 2015; J. Ellen
Marsden, “Zebra Mussel Study on Lake Michigan, Annual Report to Illinois
Department of Conservation”, Illinois Natural History Survey, Center for
Aquatic Ecology, 1992, hal. 1.
14
G.C. Ray dan J. McCormick-Ray, “Coastal Marine Conservation:
Science and Policy”, (UK: Blackwell, 2004), hal. 252.
15
DM King, et.al. “Preview of Global Ballast Water Treatment”, Journal
of Marine Engineering and Technology, Vol 11, (2012), hal. 15.
16
MPA: at the Helm of New Waves, Port View Singapore, 2Q/2014,
https://www.singaporepsa.com/images/PortView/2014%20PortViewQ2/HTML/f
iles/assets/common/downloads/publication.pdf, diakses 22 Mei 2015.

73
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Tulisan ini membahas kepentingan Indonesia untuk meratifikasi


Konvensi Air Balas. Selain membahas pengaturan dalam tingkat
internasional dan nasional berbagai negara yang rentan terhadap
dampak pencemaran air balas, tulisan ini juga akan menggunakan studi
komparatif dalam membahas pengaturan nasional negara-negara yang
pernah mengalami dampak air balas tersebut. Menyadari bahwa posisi
Indonesia yang terletak di posisi silang menjadikannya sebagai jalur
pelayaran yang paling sibuk berpotensi mengalami pencemaran air
balas,17 maka tulisan ini juga akan mepaparkan pengaturan tingkat
nasional yang sudah dimiliki oleh Indonesia dalam menanggulangi
potensi pencemaran oleh air balas. Bagian kesimpulan tulisan ini akan
menyimpulkan pembahasan serta menawarkan langkah-langkah mitigasi
yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk melaksanakan
perlindungan perairan yang rentan terhadap air balas.

2. Kerangka Pengaturan Hukum Internasional

mengenai Air Balas

Di dalam hukum internasional, terdapat berbagai macam konvensi


yang mengatur mengenai perlindungan lingkungan laut dari sumber
pencemaran yang berasal dari kapal, antara lain air balas, minyak, atau
sampah selama pelayaran. United Nations on the Law of the Sea
(UNCLOS) mengatur mengenai perlindungan lingkungan laut di dalam
Bagian XII. Terdapat enam sumber pencemaran terhadap lingkungan
laut yang diatur di UNCLOS, yaitu aktivitas di daerah pantai, kegiatan
pengeboran minyak di landas kontinen, penambangan di daerah seabed,
pembuangan limbah ke laut (dumping), pencemaran yang berasal dari
kapal, dan pencemaran dari lapisan atmosfir.18 Berdasarkan konsep ini,
pembuangan air balas dapat dikategorikan sebagai pencemaran yang

17
United States Department of State, Bureau of Oceans and
International Environmental and Scientific Affairs, “Limits in the Seas, No.
141, Indonesia: Archipelagic and other Maritime Claims and Boundaries”,
dirilis 15 September 2014, hal. 6.
18
UNCLOS, “United Nations on the Law of the Sea”, 1833 UNTS 3, art.
194.

74
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

berasal dari kapal.19 UNCLOS mengatur mengenai kewajiban bagi negara


peserta untuk menjaga dan melindungi lingkungan laut20 dengan cara
melakukan serangkaian tindakan yang bertujuan untuk mencegah dan
mengontrol pencemaran lingkungan laut. Tindakan ini dapat dilakukan
dengan cara bekerjasama dengan negara peserta lain.21Adapun negara
memiliki kewajiban untuk membuat mekanisme hukum untuk
menanggulangi pencemaran yang berasal dari kapal yang sesuai dengan
standar internasional.22 Selain itu, berdasarkan mekanisme hukum ini
negara peserta juga dapat memberlakukan hukumnya terhadap kapal-
kapal yang terbukti telah mempengaruhi kerusakan lingkungan akibat
bahan pencemar yang dikeluarkannya.23Namun, UNCLOS tidak
mengatur mengenai standar implementasi kewajiban tersebut.24

Pada tahun 1973, IMO mengadopsi International Convention for


the Prevention of Pollution from Ships (“Konvensi Marpol”).25 Akibat
minimnya jumlah ratifikasi, dibuatlah protokol pada tahun 1978 yang
melengkapi ketentuan di dalam Konvensi Marpol 1973. Konvensi ini
mulai berlaku sejak 2 Oktober 1983 dengan terpenuhinya ketentuan
ratifikasi yang membutuhkan minimal 15 negara yang mewakili
persentase shipping tonnage di dunia sebanyak lima puluh persen.26
Hingga saat ini, telah ada 162 negara yang meratifikasi Konvensi Marpol
beserta enam Annex lainnya yang bersifat teknis.27

19
Daniel Bodansky, “Protecting the Marine Environment from Vessel-
Source Pollution: UNCLOS III and Beyond”, Ecology Law Quarterly Vol. 18
Issue 4, (1991), hal. 724-725.
20
UNCLOS, Op. Cit., art. 192.
21
Ibid., art. 194.
22
Ibid., art. 211
23
Ibid., art. 220.
24
Myron H. Nordquist, et al. (ed), “United Nations Convention on the
Law of the Sea, 1982: A Commentary, (1991), hal. 234.
25
Konvensi ini lebih dikenal dengan nama Marpol (Marine Pollution).
Terminologi Marpol akan digunakan selanjutnya di dalam pembahasan artikel
ini.
26
Marpol 73/78 Convention, “International Convention for the Prevention
of Pollution from Ships”, 1340 UNTS 61, art. 15.
27
Konvensi Marpol diamandemen pada tahun 1997 sedangkan Annex
keenam mulai berlaku pada tahun 2005. [International Convention for the
Prevention of Pollution from Ships (MARPOL), Sumber:
http://www.imo.org/About/Conventions/ListOfConventions/Pages/International-
Convention-for-the-Prevention-of-Pollution-from-Ships-(MARPOL).aspx,
diakses pada 27 Mei 2015.

75
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Konvensi Marpol bertujuan melindungi lingkungan laut dengan


cara mengeliminasi pencemaran akibat minyak dan bahan beracun
lainnya serta mengurangi tumpahan bahan pencemar tersebut secara
tidak sengaja.28 Konvensi ini mengatur mengenai tiga tipe umum sumber
pencemaran yang berasal dari laut: (1) discharge standards, atau standar
pembuangan, yang diatur dengan menentukan batas maksimal
pembuangan minyak dan sampah yang diizinkan. Walaupun keluarnya
bahan pencemar dari kapal dapat terjadi dengan tidak disengaja, namun
pembuangan yang dimaksud ketentuan ini dilakukan dengan
kesengajaan dalam suatu volume tertentu; (2) construction, design,
equipment, and manning standards (CDEM standards), yang bertujuan untuk
meningkatkan keamanan pelayaran untuk menghindari suatu
kecelakaan yang menimbulkan pencemaran laut, memfasilitasi
penerapan dan pengawasan standar pembuangan; (3) navigation standard,
atau standar pelayaran, yang berkaitan dengan kegiatan pelayaran kapal.
Seiring berjalannya waktu, standar pelayaran ini diimplementasikan
dengan pembentukan traffic separation scheme, batas kecepatan, dan
prosedur keselamatan umum.

Inisiatif pengaturan air balas secara internasional di dalam suatu


konvensi tersendiri muncul setelah terjadi beberapa kasus pencemaran di
berbagai negara di dunia. Sejak tahun 1993, telah terjadi diskusi di IMO
untuk mencari cara dalam menghadapi akibat buruk ekologis air balas.
Berbagai pedoman berhasil dibuat oleh IMO, yaitu Marine
Environmental Protention Committee (MEPC) Resolution (50)31
(Guidelines for Preventing the Introduction of Unwanted Organism and
Pathogens from ships’ Ballast Water and Sediment Discharges); IMO
Assembly Resolution A. 774 (18) (Guidelines for Preventing the
Introduction of Unwanted Organism and Pathogens from Ships’ Ballast
Water and Sediment Discharges),29 dan IMO Resolution A. 868(20),
(Guidelines for the Control and Management of Ships’ Ballast Water to
Minimise the Transfer of Harmful Organism and Pathogens).30 Pedoman-

28
Marpol 73/78 Convention, art. 1.
29
IMO Assembly Resolution A. 774 (18), Guidelines for Preventing the
Introduction of Unwanted Organism and Pathogens from Ships’ Ballast Water
and Sediment Discharges, 4 November 1993, Sumber:
http://www.sjofartsverket.se/upload/5121/774.pdf, diakses 29 Mei 2015.
30
IMO Resolution A. 868(20), Guidelines for the Control and
Management of Ships’ Ballast Water to Minimise the Transfer of Harmful
Organism and Pathogens, 27 November 1997, Sumber:

76
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

pedoman tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh masing-masing negara


dengan pembuatan standar dan prosedur dalam kegiatan pengambilan
dan pembuangan air balas di zona teritorial.31

Berbagai pedoman di atas dibuat dengan usulan kepada negara


berdasarkan prinsip precautionary approach. Negara diminta untuk
mengidentifikasi wilayah teritorial yang memiliki kemungkinan menjadi
tempat pembuangan air balas, melakukan usaha untuk memastikan
bahwa air balas yang dikeluarkan bersih dari IAS, dan menentukan
bahwa pengambilan air balas tidak dilakukan di daerah dangkal.32
Upaya mitigasi ini lebih banyak dibebankan kepada port state
dibandingkan dengan flag state. Selain itu, terdapat pihak lain yang
terlibat, sebagaimana tercantum di dalam tujuan “to assist Governments
and appropriate authorities, ship masters, operators and owners, and port
authorities, as well as other interested parties, in minimizing the risk of
introducing harmful aquatic organism and pathogens from ships’ ballast water
and associated sediments while protecting ships safety.”33

Pedoman tersebut tidak mampu menanggulangi peningkatan IAS


di berbagai daerah baru yang tercemar. Berbagai negara pun
menerapkan berbagai standar yang berbeda yang berlaku di dalam
teritorialnya. Hal ini yang memaksa kebutuhan adanya suatu tatanan
hukum baru yang mengatur mengenai standar internasional di dalam
sebuah perjanjian internasional.34 Pada tahun 1999, dibentuk the Ballast
Water Working Group of MEPC yang memulai penulisan rancangan
perjanjian internasional yang khusus mengatur mengenai air balas.35
Terdapat pemikiran untuk menyertakan pengaturan ini sebagai annex
baru dari Konvensi Marpol, tetapi berkembang pendapat bahwa
perubahan ekologis lautan akibat IAS memiliki perbedaan dalam hal

http://globallast.imo.org/wp-content/uploads/2015/01/ Resolution-
A.868_20_english.pdf, diakses 29 Mei 2015.
31
IMO Assembly Resolution A. 774 (18), guideline 4, par. 1; IMO
Resolution A. 868(20), guideline 4 par. 3.
32
IMO Assembly Resolution A. 774 (18), guideline 6, par. 1.
33
IMO Resolution A. 868(20), guideline 4 par. 1.
34
Sarah McGee, “Proposals for Ballast Water Regulations: Biosecurity in
an Insecure World”, Colorado Journal of International Environmental Law and
Policy Vol 141, (2012), hal. 153.
35
Tony George Puthucherril, “Ballast Waters and Aquatic Invasive
Species: A Model for India”, Colorado Journal of International Environmental
Law and Policy Vol 19, (2008), hal. 394.

77
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

akibat serta mekanisme dan metode pencegah, mitigasi, dan penanganan


dibandingkan dengan tumpahan minyak.36 Selain itu, penambahan
pengaturan air balas sebagai annex akan mengakibatkan kurang kuatnya
implementasi di dalam hukum nasional.37 Maka, pengaturan mengenai
air balas ini dibuat di dalam rezim baru hukum internasional di dalam
International Convention for the Control and Management of Ships’ Ballast
Water and Sediments38 atau Konvensi Pengendalian dan Pengelolaan Air
Balas dan Sedimen Kapal (“Konvensi Air Balas”).

Konvensi Air Balas terdiri dari 22 pasal yang mengatur mengenai


kewajiban flag states dan port states. Konvensi ini memiliki lima annex.
Bagian A mengatur mengenai aturan umum (general provisions) yang
menjelaskan berbagai terminologi yang digunakan di dalam konvensi.
Bagian B mengatur mengenai ketentuan pengelolaan dan kontrol
terhadap kapal. Setiap kapal diwajibkan untuk menerapkan konsep
pengelolaan air balas. Konsep tersebut harus disetujui oleh pihak yang
berwenang dan berisikan hal-hal minimum yang telah diatur oleh
Konvensi Air Balas.39 Bagian C mengatur beberapa wilayah dengan
aturan khusus. Hal ini berhubungan dengan ketentuan khusus yang
harus dipenuhi oleh kapal untuk memenuhi persyaratan yang diatur
oleh beberapa negara secara khusus. Persyaratan yang ditentukan oleh
negara ini bersifat tambahan dan harus dikomunikasikan kepada IMO
paling lambat 6 bulan sebelum penetapan aturan tersebut secara sah.40
Selain itu, negara yang akan memberlakukan peraturan tambahan harus
berkonsultasi dengan negara lain yang akan terkena dampak serta
menyesuaikan dengan ketentuan hukum internasional. Negara juga
memiliki kewajiban untuk memberi notifikasi apabila perairan di suatu
area tidak dapat menjadi tempat kegiatan pembuangan dan pengambilan
air balas.41 Bagian D mengatur standar pengelolaan air balas, sedangkan
Bagian E mengatur ketentuan tentang survei dan sertifikasi pengelolaan
air balas. Di luar annex, konvensi ini memiliki 17 pedoman lain yang

36
Hellen Foncesa de Souza Rolim, The International Law on Ballast
Water: Preventing Biopollution, (Leiden, Boston: Martinus Nijhoff Publishers,
2008), hal. 53.
37
Moira McConnell, GloBallast Legislative Review: Final Report
GloBallast Monograph, Series No. 1, (London:IMO, 2002), hal. 32.
38
Selanjutnya akan disebut dengan BWM Convention.
39
BWM Convention, Section B, Regulation B-1.
40
Ibid, Section C, Regulation C-1.
41
Ibid,Section C, Regulation C-2.

78
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

tidak bersifat mengikat namun memberikan pedoman teknis mengenai


implementasi Konvensi Air Balas.

Berdasarkan ketentuan di dalam Konvensi Air Balas, sebuah kapal


harus membuang atau mengambil air balas paling tidak 200 mil laut dari
pulau terdekat dan di perairan dengan kedalaman paling sedikit 200
meter. Jika hal ini tidak memungkinkan, praktik ini dilakukan sejauh-
jauhnya dari pulau tedekat atau paling sedikit sejauh 50 mil laut dari
pulau terdekat dengan kedalaman perairan yang sama.42 Port states juga
diberikan kewenangan untuk menentukan area khusus untuk kegiatan
pengambilan atau pembuangan air balas dengan konsultasi dan
kesepakatan dengan negara tetangga.43 Ketentuan yang terdapat di
dalam Bagian B ini berkaitan dengan Bagian D karena kapal dengan
mekanisme air balas diwajibkan untuk mempraktikkan pembuangan
atau pengambilan air balas dengan prinsip efisiensi, yaitu paling tidak
memenuhi 95% volume tangki.44 Selain itu, kapal wajib memastikan
bahwa dalam satu meter kubik air balas yang dikeluarkan terkandung
kurang dari sepuluh organisme hidup dan tidak melebihi indikator
mikrobakteria yang ditentukan.45 Kapal juga wajib memenuhi standar
teknologi pengolahan air balas dengan peninjauan dari IMO.46

Hingga saat ini, Konvensi Air Balas telah memiliki 44 negara


anggota yang mewakili 34,86% gross ton pelayaran dunia.47 Hal ini
belum memenuhi ketentuan ratifikasi untuk membuat Konvensi Air
Balas menjadi berlaku karena ketentuan ratifikasi mensyaratkan negara
peserta mewakili sekurang-kurangnya 35% gross ton pelayaran dunia.48
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa justru negara-negara yang

42
Ibid, Section B, Regulation B-4.
43
Ibid.
44
BWM Convention, Section D, Regulation D-1.
45
Ibid,Section D, Regulation D-2.
46
Ibid,Section D, Regulation D-4.-4
47
IMO, “Status of multilateral Conventions and instruments in respect of
which the International maritime organization or its Secretary-General performs
depositary or other functions”, 18 May 2015.
48
“This Convention shall enter into force twelve months after the date on
which not less than thirty States, the combined merchant fleets of which
constitute not less than thirty-five percent of the gross tonnage of the world’s
merchant shipping, have either signed it without reservation as to ratification,
acceptance, or approval, or have deposited the requisite instrument of
ratification, acceptance, approval or accession […]” Lih: BWM Convention, art.
18 par. 1.

79
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

mendominasi pelayaran dunia, seperti Panama, Singapura, Finlandia,


dan Amerika Serikat, tidak meratifikasi Konvensi Air Balas.

3. Praktik di Kanada dan Malaysia

Penulis melakukan studi perbandingan dengan Kanada dan


Malaysia dalam hal penerapan ketentuan pengelolaan air balas sesuai
dengan Konvensi Air Balas di tingkat nasional. Kedua negara tersebut
adalah negara anggota konvensi ini dan menjadi negara dengan praktik
terdepan di tingkat regional.

Kanada menjadi negara anggota Konvensi Air Balas pada tanggal


8 April 2010. Namun, Kanada telah memulai untuk mengembangkan
konsep ini sejak tahun 1980-an. Pada tahun 1989 Kanada
mempublikasikan sebuah pedoman terkait pengelolaan air balas
berdasarkan studi di Grande Entrée Lagoon, Magdalen Islands. Pedoman
ini mensyaratkan kapal yang masuk ke daerah perairan St. Lawrence
River dan Great Lakes dari luar zona ekonomi eksklusif Kanada untuk
melakukan pembuangan air balas dan kemudian mengambil kembali di
tengah samudera atau di zona tertentu yang telah ditentukan
berdasarkan kedalaman dan tingkat salinitas.49Hal ini didukung
pembuatan peraturan serupa oleh Amerika Serikat pada tahun 1993
karena wilayah Great Lakes berada di kedua negara.50 Sejak saat itu,
pengaturan air balas di wilayah Great Lakes dan St. Lawrence
merupakan pengaturan yang paling ketat di dunia.51 Pedoman ini
menjadi sumber pembuatan pedoman oleh IMO.52

Pedoman yang dibuat Kanada ini dibuat ke dalam suatu undang-


undang pada tahun 2006 dengan nama Ballast Water Control and
Management Regulations (selanjutnya disebut dengan Canada Ballast

49
Transport Canada, “Discussion Paper: Canadian Implementation of the
Ballast Water Convention”, 26 Oktober 2012, hal. 5.
50
United States Ballast Water Regulations,
http://el.erdc.usace.army.mil/zebra/zmis/zmishelp/united_states_ballast_
water_regulations.htm, diakses 1 Juni 2015.
51
The Great Lakes Seaway Ballast Water Working Group, “2013
Summary of Great Lakes Seaway Ballast Water Working Group February 2014”,
hal. 2.
52
Transport Canada, op. cit.

80
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Water Regulation)53 sebagaimana diamanatkan oleh Canada Shipping


Act.54 Undang-Undang ini mewajibkan setiap kapal berbendera Kanada
serta semua kapal yang akan masuk ke dalam yurisdiksi Kanada untuk
melakukan proses pengelolaan air sebagai berikut,

“Ballast water is managed if one or more of the following


management processes are employed: (a) the ballast water is
exchanged; (b) the ballast water is treated; (c) the ballast water
or any sediment that has settled out of it in the vessel’s tanks is
transferred to a reception facility; and 9d) the ballast water is
retained on board the vessel.”55

Canada Ballast Water Regulation ini mengatur hal yang tidak


berbeda dengan Konvensi Air Balas. Konvensi tersebut juga mengatur
bahwa ketentuan tentang sistem air balas tidak berlaku bagi kapal yang
hanya beroprasi di dalam wilayah teritorial Kanada. Kanada
membedakan pengaturan bagi kapal-kapal domestik tersebut dengan
pertimbangan ilmiah dari Fisheries and Oceans Canada sebagai otoritas
pemerintah yang memiliki lingkup kewenangan untuk mengatur
kegiatan perikanan domestik.56

Undang-undang ini juga mengatur mengenai 95% total volume air


balas yang dibuang atau diambil57 serta pembahasan kandungan
organisme yang terdapat di dalam air balas setelah diolah dan siap
dibuang.58 Selain itu, kapal diwajibkan untuk membawa rencana
pengelolaan air balas ketika berlayar.59 Dalam rencana pengelolaan ini,
terdapat deskripsi tentang proses pengelolaan air balas, prosedur awak
kapal dalam pengelolaan air balas, prosedur keselamatan awak kapal,
prosedur pembuangan endapan hasil pencucian secara rutin tank air
balas, prosedur koordinasi dengan pihak otoritas Kanada, spesifikasi

53
Canada, Ballast Water Control and Management Regulations, 2006,
SOR/2011-237.
54
Canada, Canada Shipping Act, 2001, S.C. 20001, c. 26.
55
Canada, Ballast Water Control ad Management Regulations, Pasal 4
ayat (1).
56
Transport Canada, loc. cit., hal. 7.
57
Canada, Ballast Water Control and Management Regulations, Pasal 8.
58
Ibid, Pasal 9.
59
Ibid,Pasal 11 ayat (1).

81
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

sistem air balas masing-masing kapal, serta prosedur koordinasi dengan


otoritas Kanada yang telah ditempuh.60

Pada tahun 2013, semua kapal yang masuk ke daerah Great Lakes
dari luar zona ekonomi eksklusif Kanada menempuh pemeriksaan
pengelolaan air balas pada saat kapal tersebut transit. Jumlah kapal yang
diinspeksi mencapai 6803 tank air balas dari 371 kapal. Kapal yang tidak
mengikuti prosedur yang telah diatur Canada Ballast Water Regulation
diharuskan untuk tetap membawa air balas dan residunya karena tidak
diperbolehkan untuk mengganti di daerah Great Lakes, mengolah air
balas di wilayah lain yang aman bagi lingkungan, atau kembali ke laut
untuk melakukan pembuangan dan kembali dengan air balas yang
diambil dari wilayah 200 mil dari garis pantai Kanada. Proses verifikasi
ini membuktikan bahwa tidak air balas yang dibuang di daerah Great
Lakes yang tidak memenuhi prosedur. Di tahun itu, semua kapal yang
masuk ke Great Lakes Seaway tidak dilengkapi dengan sistem
pengelolaan air balas.61 Namun, sistem inspeksi dan verifikasi ini terbukti
efektif karena berhasil mencegah masuknya IAS ke dalam ekosistem
Great Lakes sejak tahun 2006.62

Malaysia meratifikasi Konvensi Air Balas pada tanggal 27


September 2010 dan menjadi negara anggota pertama, dan satu-satunya
hingga saat ini, di Asia Tenggara. Di dalam instrumen ratifikasinya,
Malaysia menyatakan bahwa ketentuan Konvensi Air Balas baru berlaku
secara efektif di Malaysia pada tahun 2011.63 Namun, Pemerintah
Malaysia menunda implementasi Konvensi Air Balas hingga waktu yang
tidak ditentukan.64 Selain itu, Malaysia tidak memiliki undang-undang
khusus tentang manajamen air balas sebagaimana Kanada.

Pada tanggal 15 Maret 2012, Jabatan Laut Malaysia sebagai otoritas


yang berwenang mengeluarkan notifikasi kepada pemilik kapal, agen
perkapalan, nakhkoda, pelaut, operator pelabuhan, dan pengusaha di

60
Ibid,Pasal 11(2).
61
The Great Lakes Seaway Ballast Water Working Group, loc. Cit.
62
S.A. Bailey, et.al., “Evaluating Efficacy Of An Environmental Policy to
Prevent Biological Invasions”, Environmental Science and Technology Vol. 45,
(2011), 2554-2561.
63
Malaysia, Implementation of Internaitonal Convention for the Control
and Mangement of Ships’ Ballast Water and Sediments, 2004 (BWM
Convention), MSN 28/2011.
64
Jabatan Laut Malaysia, Installation of Ballast Water Treatment System,
MSN 04/2012, angka 2.

82
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

bidang kepelabuhanan dan industri maritim untuk menyesuaikan


dengan instalasi sistem pengelolaan air balas. Kapal yang mulai dibuat
setelah 1 Juni 2012 dengan kapasitas air balas sebesar 5000 meter kubik
harus melaksanakan Regulasi D-2 Konvensi Air Balas, yaitu ketentuan
batas mikroorganisme yang terkandung di dalam air balas yang akan
dibuang.65 Hal ini berlaku bagi kapal yang berasal dari luar zona
ekonomi eksklusif Malaysia yang akan memasuki pelabuhan Malaysia.66
Ketentuan ini tetap berlaku meskipun pelaksanaan Konvensi Air Balas
belum berlaku efektif di Malaysia.

4. Praktik di Indonesia

Indonesia belum meratifikasi Konvensi Air Balas meskipun


merupakan salah satu negara yang diproyeksikan sebagai negara
anggota Konvensi Air Balas. Hal ini disebabkan kegiatan pelayaran di
Indonesia yang cukup sibuk, memenuhi persentase 4,15% yang
disyaratkan oleh Konvensi Air Balas.67 Indonesia dikabarkan telah
menunjukkan kemauan yang kuat untuk meratifikasi Konvensi Air
Balas.68

Dengan lalu lintas kapal yang padat di Selat Malaka, perairan


Indonesia ditengarai rawan terhadap pencemaran yang disebabkan air
balas.69 Meskipun hampir semua wilayah perairan Indonesia dilewati
kapal-kapal sebagai konsekuensi sebuah negara kepulauan, tingkat
pelanggaran di dalam aktivitas pembuangan air balas di wilayah jalur

65
Ibid. angka 1.
66
Installation of Ballast Water management System for the Ships Calling
at Malysian Ports, http://www.ombros-consulting.com/?p=1164, diakses tanggal
1 Juni 2015.
67
DM King, et.al, loc. cit., hal. 6.
68
More Countries Get Behind Ballast Water Convention, Sumber:
http://www.tradewindsnews.com/weekly/347257/More-countries-get-behind-
ballast-water-convention, diakses 1 Juni 2015.
69
Pencemaran Air Ballast Ancam Perairan Batam,
http://kepri.antaranews.com/berita/28809/pencemaran-air-ballast-ancam-
perairan-batam, diakses 1 Juni 2015.

83
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

pelayaran Samudera Hindia yang juga melewati Indonesia dikategorikan


rendah.70

Walaupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Air Balas


namun pengaturan tentang pengelolaan sistem air balas telah diatur
didalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 29 Tahun 2014 tentang
Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim (selanjutnya disebut “PM
29/2014”). Patut digarisbawahi bahwa tujuan diberlakukannya peraturan
ini mengacu pada tujuan Konvensi Marpol, yaitu mencegah pencemaran
laut akibat tumpahan minyak.71 Padahal, Konvensi Air Balas bertujuan
untuk mencegah pencemaran laut akibat IAS yang memerlukan
mekanisme berbeda di dalam pengaturannya.

PM 29/2014 mengatur mengenai pengelolaan air balas hanya


dalam 3 pasal yaitu pasal 48, pasal 49, dan pasal 50. Namun, di dalam
pasal lainnya peraturan ini juga mengatur bahwa kapal tangki minyak
ukuran 100 GT sampai dengan 149 GT wajib membawa oil record book
yang mencatat berbagai kegiatan, salah satunya adalah pengisian air
balas, pembuangan balas kotor, serta pengisian dan pembuangan tangki
balas pada tangki muatan dan pada tangki balas bersih.72 Sedangkan
untuk kapal yang difungsikan mengangkut muatan bahan cair beracun
secara curah wajib menyediakan cargo record book untuk mencatat
aktivitas yang sama.73 Selain itu diatur juga mengenai pembuangan
kotoran (sewage) yang harus dilakukan pada jarak minimal 12 mil, atau 3
mil apabila sewage telah melalui alat pengolah atau alat penghancur
kotoran, dari garis pantai terdekat.74

Pasal 48 PM 29/2014 menyatakan bahwa setiap kapal dengan


ukuran 400 GT atau lebih yang membawa air balas dan berlayar di
perairan internasional wajib memenuhi ketentuan Konvensi Air Balas.
Hal ini menegaskan bahwa ketentuan Konvensi Air Balas tidak berlaku
di dalam wilayah teritorial Indonesia.Terlebih di dalam Pasal 48 ayat 2

70
A.W. Miller, et. al, Status and Trends of Ballast Water Mangement in
the United States, Third Biennal Report of the national Ballast Information
Clearinghouse, Submitted to the United States Coast Guard, 2007, hal. 18.
71
Indonesia, PM 29 Tahun 2014, Peraturan Menteri Perhubungan
Republik Indonesia tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim,
Berita Negara Nomor 1115 Tahun 2014, Pasal 1 ayat (2).
72
Ibid, Pasal 10 huruf h.
73
Ibid, Pasal 17(a).
74
Ibid, Pasal 27.

84
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

PM 29/2014 dinyatakan bahwa peraturan ini harus dipenuhi oleh kapal


yang membawa air balas dengan kapasitas 1500 meter kubik atau lebih
yang berlayar di perairan Indonesia.

PM 29/2014 mewajibkan kapal yang diatur di dalam Pasal 48 ayat


(2) tersebut untuk membawa ballast water record book dan rencana
pengelolaan air balas yang disahkan pejabat yang berwenang. Selain itu,
kapal dengan kapasitas air balas 1500 meter kubik hingga 5000 meter
kubik atau lebih diwajibkan untuk menerapkan pengelolaan air balas.
Pertukaran air balas yang diperbolehkan adalah hingga 95% volume
balas dengan jarak minimal pembuangan 25 mil laut dari daratan
terdekat.75

Proses pengolahan air balas diwajibkan bagi kapal yang tidak


membuang air balas pada jarak yang telah ditentukan di atas. Selain itu,
diatur pula jumlah maksimum kandungn organisme dengan ukuran dan
ketentuan yang sama sebagaimana diatur di dalam Konvensi Air Balas.76
PM 29/2014 juga mengatur klasifikasi kapal yang dibebaskan dari
ketentuan pengelolaan air balas, yaitu kapal yang hanya beroperasi di
area pelabuhan atau hanya berlayar tidak lebih dari 50 mil serta kapal
yang digunakan sebagai unit penampungan terapung yang tidak
berpindah.77

Meskipun tidak komprehensif, ketentuan yang telah diatur di


Indonesia mengenai pengelolaan air balas telah mengindikasikan adanya
perhatian terhadap upaya pencegahan masuknya IAS ke dalam perairan
Indonesia. Selain itu, dengan pendekatan untuk memasukkan ruang
lingkup pengaturan pengelolaan air balas ke dalam konsep pencegahan
pencemaran laut oleh minyak tidak serta-merta membuat usaha
pencegahan tersebut menjadi kurang efektif dengan berbagai
pertimbangan berdasarkan segi kesiapan teknis.

5. Potensi Ratifikasi Konvesi Air Balas oleh Indonesia

Fakta bahwa beberapa bagian perairan Indonesia digunakan


sebagai jalur pelayaran internasional dapat menjadi suatu ancaman

75
Ibid, Pasal 49.
76
Ketentuan ini sama dengan Regulation D BWM Convention.
77
Indonesia, PM 29 Tahun 2014, loc. cit.,Pasal 50.

85
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

terjadinya pencemaran lingkungan akibat IAS. Adapun daerah pelayaran


Indonesia yang sibuk terjadi di sekitar Selat Malaka dan daerah Alur
Laut Kepulauan Indonesia (“ALKI”) I yang mencakup alur pelayaran
dari Laut Tiongkok Selatan ke Samudera Hindia atau sebaliknya,
melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda.78
Hingga saat ini, belum terdapat laporan yang menyatakan adanya
pencemaran akibat IAS di perairan Indonesia. Namun, berdasarkan
prinsip precautionary principle, maka Indonesia perlu menyadari
kepentingannya untuk melindungi wilayah laut dengan meratifikasi
Konvensi Air Balas.

Hal yang perlu diantisipasi lebih jauh adalah kesiapan Indonesia


untuk menyesuaikan dengan ketentuan Konvensi Air Balas apabila
konvensi ini memenuhi syarat ratifikasinya. Hal ini merupakan
konsekuensi dari perumusan Pasal 211 ayat (2) UNCLOS yang berbunyi
sebagai berikut.

“States shall adopt laws and regulations for the prevention,


reduction and control of pollution of the marine environment from
vessels flying their flag or of their registry. Such laws and
regulations shall at least have the same effect as that of generally
accepted international rules and standards established through the
competent international organization or general diplomatic
conference.”79

Indonesia perlu membuat pengaturan yang lebih spesifik


mengenai visi pencegahan IAS berkembang biak dan mencemari wilayah
perairan Indonesia. Perlu disadari bahwa PM 29/2014 memberikan kesan
bahwa penyebab pencemaran air laut adalah akibat pencemaran minyak.
Maka dari itu, adanya pengaturan yang terpisah dengan PM 29/2014
diperlukan untuk memberikan perhatian khusus mengenai ancaman
kerusakan ekosistem akibat berubahnya sistem rantai makanan akibat
invasive alien species.

Pembuatan tatanan baru peraturan mengenai pencegahan dampak


air balas ini dapat dimulai dengan meratifikasi Konvensi Air Balas.

78
Indonesia, PP Nomor 37 Tahun 2002, Peraturan Pemerintah tentang
Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak
Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan, LN
No 71 Tahun 2002, TLN No. 4210.
79
UNCLOS, art.211 (2).

86
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Dengan menunjukkan keinginannya untuk terikat dengan pengaturan di


dalam konvensi tersebut, Indonesia dapat dengan leluasa untuk
mengadopsi ketentuan di dalam Konvensi Air Balas. Pengaturan yang
terdapat di dalam konvensi ini sangat bersifat teknis, sehingga norma
pengaturan yang dibutuhkan cukup setingkat peraturan menteri.

Peraturan baru ini perlu mengatur secara berbeda kapal


berbendera Indonesia dan berbendera asing. Perlu juga diatur mengenai
pembuangan air balas yang dilakukan kapal berbendera Indonesia
karena terdapat kemungkinan kapal-kapal dalam negeri mengancam
lingkungan maritim dengan adanya kekosongan hukum ini.

Selain itu, hal yang juga luput untuk diatur di dalam pengaturan
mengenai pencegahan pencemaran lingkungan laut adalah tidak
menyertakan Kementerian Lingkungan Hidup sebagai pihak yang
terlibat dalam sistem koordinasinya. Dengan mengambil contoh
pengaturan di dalam PM 29/2014, hanya Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Kementerian Perhubungan yang
mendapatkan otoritas untuk melaksanakan fungsi pengawasan teknis
terhadap pelaksanaan peraturan. Hal ini sebenarnya sesuai dengan misi
Dirjen Hubla untuk menyelenggarakan perlindungan lingkungan
maritim di perairan nusantara.80 Peran Kementerian Lingkungan Hidup
akan sangat dibutuhkan apabila Indonesia ingin mengatur perlindungan
lingkungan maritime secara komprehensif, termasuk upaya mitigasi
pencemaran akibat pertukaran air balas jika diindikasikan telah terjadi.

6. Kesimpulan

Dalam sepuluh tahun sejak diadopsinya Konvensi Air Balas,


konvensi ini belum juga berlaku karena belum memenuhi jumlah
minimal ratifikasi negara di dunia. Mengingat bahwa ancaman mengenai
IAS ini nyata dan sudah terjadi, maka perlu adanya perhatian khusus
dari negara-negara lain yang berpotensi mengalami pencemaran, salah
satunya Indonesia.

80
Sumber: http://hubla.dephub.go.id/profil/Pages/Visi-Misi.aspx, diakses
pada tanggal 25 Juli 2015.

87
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

PM 29/2014 bisa menjadi langkah awal untuk menanggapi


kebutuhan sebuah negara dalam melindungi lingkungan maritimnya.
Hal yang luput untuk untuk diatur adalah bagaimana pembedaan
pengaturan mengenai pengelolaan air balas bagi kapal yang berbendera
Indonesia dan kapal asing. Tidak dinyatakan dengan jelas mengenai
kewajiban yang harus dipenuhi bagi kapal berbendera Indonesia,
padahal kapal-kapal dalam negeri juga mungkin mengancam lingkungan
maritim dengan adanya kekosongan hukum ini.

Jika Konvensi Air Balas berlaku di masa mendatang, negara-


negara di dunia akan memiliki kewajiban untuk meyesuaikan hukumnya
dengan ketentuan Konvensi Air Balas. Hal ini disebabkan oleh
berlakunya Konvensi Air Balas menandakan bahwa konvensi ini
memenuhi syarat generally accepted international rules and standards. Hal ini
yang harus diantisipasi oleh Indonesia dengan merumuskan ketentuan
yang mengakomodasi kepentingn nasional. Selama tidak meratifikasi
konvensi, maka ketentuan yang dibuat Indonesia tidak harus mengikuti
standar yang diatur Konvensi Air Balas.

Bagaimanapun juga, keberhasilan Konvensi Air Balas ditentukan


semata-mata oleh kemampuan para pemilik kapal untuk menyesuaikan
dengan ketentuan yang telah diatur. Selain itu, hal yang akan menjadi
perhatian lebih lanjut adalah bagaimana proses pengawasan dan
pendeteksian ketidaksesuaian ketentuan sistem pengelolaan air balas.
Perlu ada diskusi lebih jauh mengenai kemungkinan revisi ketentuan di
dalam konvensi serta adanya asistensi finansial bagi negara dan bagi
perusahaan kapal jika ingin menjadi aggota dari Konvensi Air Balas.

Daftar Pustaka

Bailey, S.A. et.al.“Evaluating Efficacy Of An Environmental Policy to


Prevent Biological Invasions”, Environmental Science and Technology
Vol. 45. (2011).

Ballast Water Treatment Market Remains Buoyant,


http://www.waterworld.com/articles/wwi/print/volume-25/issue-
1/regulars/creative-finance/ballast-water-treatment-market-remains-
buoyant.html, diakses 1 Juni 2015.

Ballast Water, http://www.epa.vic.gov.au/your-environment/water/ballast-


water, diakses pada 20 Mei 2015.

88
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Barry, Simon C., et. al., “Ballast Water Risk Assessment: Principles,
Processes, and Methods.” ICES Journal of Marine Science 65, (2008).

Bodansky, Daniel. “Protecting the Marine Environment from Vessel-


Source Pollution: UNCLOS III and Beyond” Ecology Law Quarterly
Vol. 18 Issue 4. (1991).

Bohlman, Michael. “ISO’s container standards are nothing but good


news”, ISO Bulletin. 2001.
Bright, C. Life Out of Bounds: Bioinvasion in a Borderless World. Worldwatch
Environmental Alert Series, New York. NY: Norton. 1998.

Bullard, S.G. et al. “Abundance and Diversity of Ascidians in the


Southern Gulf of Chiriquí, Pacific Panama”Aquatic Invasions Vol 6
No. 4.(2011).

Canada. Ballast Water Control and Management Regulations (2006)

Canada. Canada Shipping Act (2001)

Gollasch, S, et al. “Life in Ballast Tanks” di dalam Invasive Aquatic Species


of Europe: Distribution, Impacts and Management, ed. E. Leppakoski,
et al. Dordecht: Kluwer Academic Publishers. 2002.

Ibrahim, A.M. dan M.A. El-naggar, “Ballast water Review: Impacts,


Treatments, and Management”, Middle-East Journal of Scientific
Research Vol 12 No. 17. (2012).

IMO Assembly Resolution A. 774 (18), Guidelines for Preventing the


Introduction of Unwanted Organism and Pathogens from Ships’ Ballast
Water and Sediment Discharges, 4 November 1993,
http://www.sjofartsverket.se/upload/5121/774.pdf, diakses 29 Mei 2015.
IMO Assembly Resolution A. 774 (18). (1993)

IMO Resolution A. 868(20), Guidelines for the Control and Management of


Ships’ Ballast Water to Minimise the Transfer of Harmful Organism and
Pathogens, 27 November 1997, http://globallast.imo.org/wp-
content/uploads/2015/01/ Resolution-A.868_20_english.pdf, diakses 29
Mei 2015.

Indonesia, PM 29 Tahun 2014, Peraturan Menteri Perhubungan Republik


Indonesia tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim,
Berita Negara Nomor 1115 Tahun 2014.

89
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Installation of Ballast Water management System for the Ships Calling at


Malaysian Ports, http://www.ombros-consulting.com/?p=1164, diakses
tanggal 1 Juni 2015.

International Convention for the Prevention of Pollution from Ships


(MARPOL)

International Maritime Organization.“International Convention for the


Control and Management of Ships’ Ballast Water and Sediments.”
(2004).

International Maritime Organization.“International Convention for the


Prevention of Pollution from Ships.” (1973)

International Maritime Organization.Status Of Multilateral Conventions


And Instruments In Respect Of Which The International Maritime
Organization Or Its Secretary-General Performs Depositary Or
Other Functions. 2015.

King, DM, et.al. “Preview of Global Ballast Water Treatment” Journal of


Marine Engineering and Technology Vol 11. (2012).

Malaysia. Implementation of International Convention for the Control


and Management of Ships’ Ballast Water and Sediments, 2004
(BWM Convention) (2011)

Malaysia. Installation of Ballast Water Treatment System (2012)

Marsden, J. Ellen. Zebra Mussel Study on Lake Michigan, Annual Report


to Illinois Department of Conservation”, Illinois Natural History
Survey, Center for Aquatic Ecology. 1992.

McConnell, Moira. GloBallast Legislative Review: Final Report GloBallast


Monograph, Series No. 1. London: IMO. 2002.

McGee, Sarah. “Proposals for Ballast Water Regulations: Biosecurity in an


Insecure World”, Colorado Journal of International Environmental Law
and Policy Vol 141. (2012).

Miller, A. Whitman, et.al. “Geographic Limitations and Regional


Differences in Ships’ Ballast Water Management to Reduce Marine
Invasions in the Contiguous United States” BioScience vol. 61.
(2011).

Miller, A.W. et. Al. Status and Trends of Ballast Water Management in
the United States, Third Biennal Report of the national Ballast

90
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

Information Clearinghouse, Submitted to the United States Coast


Guard. 2007.

More Countries get behind ballast water convention,


http://www.tradewindsnews.com/weekly/347257/More-countries-get-
behind-ballast-water-convention, diakses 1 Juni 2015.

MPA: at the Helm of New Waves, Port View Singapore, 2Q/2014,


https://www.singaporepsa.com/images/PortView/2014%20PortViewQ2/
HTML/files/assets/common/downloads/publication.pdf, diakses 22 Mei
2015.

Nordquist, Myron H., et al. Ed. United Nations Convention on the Law of
the Sea, 1982: A Commentary. 1991.

Ostenfeld, C.H. “On the Immigration of Bidulphia sinensis Grev. and its
Occurrence in the North Sea during 1903-1907” Meddelelser fra
Kommissionen fo Havundersogelser, Plankton Vol 1 No. 6. (1908).

Pencemaran Air Ballast Ancam Perairan Batam,


http://kepri.antaranews.com/berita/28809/pencemaran-air-ballast-ancam-
perairan-batam, diakses 1 Juni 2015.

Puthucherril, Tony George. “Ballast Waters and Aquatic Invasive Species:


A Model for India” Colorado Journal of International Environmental
Law and Policy Vol 19, (2008).

Ray, G.C. dan J. McCormick-Ray, Coastal Marine Conservation: Science and


Policy. UK: Blackwell. 2004.

Rolim, Hellen Foncesa de Souza. The International Law on Ballast Water:


Preventing Biopollution. Leiden, Boston: Martinus Nijhoff
Publishers. 2008.

Sea Ballast and Zebra Mussels (Ballast),


http://www1.american.edu/ted/ballast.htm, diakses 22 Mei 2015.

Sinking Under A Big Green Wave, Sumber: http://www.economist.com/


news/business/21574517-shipowners-face-onslaught-new-environmental-
laws-sinking-under-big-green-wave, diakses 1 Juni 2015.

The Great Lakes Seaway Ballast Water Working Group.2013 Summary of


Great Lakes Seaway Ballast Water Working Group. 2014.

Transport Canada. Discussion Paper: Canadian Implementation of the


Ballast Water Convention. 2012.

91
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015

United Nations General Assembly. “United Nations on the Law of the


Sea.” (1982)

United States Ballast Water Regulations,

http://el.erdc.usace.army.mil/zebra/zmis/zmishelp/united_states_ballast_water_r
egulations.htm, diakses 1 Juni 2015.

http://www.imo.org/About/Conventions/ListOfConventions/Pages/International
-Convention-for-the-Prevention-of-Pollution-from-Ships-(MARPOL).aspx,
diakses 27 Mei 2015.

92
ULASAN
UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2014 TENTANG KELAUTAN
“PENEGAKAN HUKUM DI LAUT: PELUANG DAN TANTANGAN”

Margaretha Quina dan Henri Subagiyo

Di penghujung masa jabatannya, Presiden Susilo Bambang


Yudhoyono mengesahkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. UU ini
disambut momen yang tepat dengan prioritas agenda politik Presiden RI
selanjutnya, Joko Widodo, yang berambisi kembali membangun Indonesia
sebagai negara maritim.

UU ini, yang muncul sebagai inisiatif DPD dan membutuhkan waktu


dua tahun pembahasan di DPR, sepertinya oleh penyusunnya difungsikan
sebagai undang-undang "payung" atau umum bagi beberapa undang-
undang sektoral yang berkaitan dengan laut. Dalam bagian Penjelasan UU
Kelautan, penyusun UU menyatakan kendala pembangunan kelautan di
Indonesia disebabkan tiadanya UU yang secara komprehensif mengatur
keterpaduan berbagai kepentingan sektor di wilayah laut. 1 UU ini
dimaksudkan sebagai payung hukum yang terintegrasi dan komprehensif
dalam hal pemanfaatan laut. Dengan kata lain, secara politik hukum
keberadaan UU ini telah menunjukkan pandangan negara yang melihat laut
sebagai aset strategis dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.

Beberapa UU terkait yang dinaungi UU ini melalui banyak ketentuan


teknis yang dirujuknyaantara lain: UU No. 31 Tahun 2004 tentang


Margaretha Quina merupakan Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law
(ICEL), sedangkan Henri Subagiyo merupakan Direktur Eksekutif ICEL.
1 Penjelasan Umum, UU Kelautan. Lih: Undang-Undang Kelautan, UU No. 32

Tahun 2014, Lembaran Negara No. 294 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara No.
5603.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

Perikanan, sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 (“UU


Perikanan”); UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (“UU PWP2K”); UU No. 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran (“UU Pelayaran”); UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (“UU Konservasi”); UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Beberapa UU ini, sekalipun disahkan terlebih dahulu, namun merupakan
lex specialis, yang jika ada ketentuan yang bertentangan akan menundukkan
diri pada UU Kelautan yang merupakan legi generali. Patut diingat UU No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(“UU PPLH”) yang juga merupakan legi generali, bertalian erat dengan UU
ini, utamanya dalam hal keberlanjutan lingkungan laut. Hal lainnya bisa
juga kita lihat dari banyaknya ketentuan dalam UU Kelautan yang merujuk
pada UU lainnya, misalnya dengan rumusan seperti Pasal 21 Ayat (2) yang
menyatakan: "Pengaturan pemanfaatan sumber daya mineral sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan hukum internasional."

Selain hubungannya dengan UU sektoral, UU ini mencabut UU No. 6


Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (“UU Perairan Indonesia”), serta
mengganti Badan Koordinasi Keamanan Laut (“Bakorkamla”) menjadi
Badan Keamanan Laut (“Bakamla”).

Setidaknya ada dua isu besar yang selama ini muncul terkait dengan
kelautan. Pertama, tentang pengelolaan laut mulai dari kebijakan
perencanaan hingga pemanfaatan sumber daya laut. Kedua, tentang
pengawasan dan penegakan hukum di laut. Kedua isu tersebut patut kita
cermati dan sudah selayaknya harus mampu dijawab, baik secara normatif
dalam ketentuan UU dan aturan pelaksananya maupun pada tataran
empiris pelaksanaannya. Fokus tulisan ini adalah pada isu kedua, yaitu
terkait dengan penegakan hukum. Tanpa bermaksud mengesampingkan
isu pengelolaan, penegakan hukum merupakan pilar terakhir dalam
menjaga kedaulatan dan memastikan agar sumber daya laut dapat dikelola
secara berkelanjutan untuk tujuan pembangunan nasional. Meskipun
demikian, kita perlu garis bawahi bahwa penegakan hukum tidak dapat
berjalan dengan efektif jika masih banyak kelemahan pada aspek
pengelolaan.

94
ULASAN UNDANG-UNDANG

Sudahkah UU Kelautan Menjawab Tantangan Penegakan Hukum di


Laut?

Persoalan penegakan hukum di laut selama ini merupakan persoalan


kelembagaan yang terkait dengan tumpang tindih kewenangan dan
lemahnya koordinasi antar lembaga dengan kewenangan yang berbeda-
beda.

Sebelum diundangkannya UU Kelautan, yurisdiksi penanganan


pelanggaran hukum di wilayah laut terbagi di berbagai lembaga, antara
lain, secara tersendiri dan terpisah, adalah TNI Angkatan Laut, Polisi
Perairan (“Polair”), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (“Ditjen Bea Cukai”),
Kejaksaan Agung RI, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Armada
PLP/KPLP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (“KLHK”),
Kementerian Kelautan dan Perikanan (“KKP”), Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (“Kementerian ESDM”), Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata (“Kemenbudpar”), Kementerian Hukum dan HAM
(“Kemenhukham”), Kementerian Pertanian (“Kementan”) dan Kementerian
Kesehatan (“Kemenkes”).2 Pra-UU ini, Bakorkamla yang dimandatkan
dalam UU Perairan Indonesia3 bertugas melakukan koordinasi di antara
badan-badan ini. Bakorkamla, yang dahulu dibentuk dengan Surat
Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima
Angkatan Bersenjata, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri
Kehakiman, dan Jaksa Agung,4 kini resmi diubah menjadi Bakamla dengan
Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Bakamla.

2 Terdapat setidaknya 12 lembaga di tingkat nasional yang memiliki kewenangan

penegakan hukum di laut di luar Bakorkamla. Untuk uraian tugas masing-masing


lembaga, Lih: Bambang Usadi, “Sistem Penegakan Hukum dalam RUU Kelautan,” Jurnal
Maritim, diakses di http://jurnalmaritim.com/2014/09/sistem-penegakan-hukum-
dalam-ruu-kelautan/ pada 8 September 2014.
3 Pasal 23 ayat (3) UU No. 6 Tahun 1996 menentukan: “Apabila diperlukan, untuk

meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan


Perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibentuk suatu badan
koordinasi yang ditetapkan dengan Keputus-an Presiden.” Lih: Undang-Undang
Perairan Indonesia, UU No. 6 Tahun 1996, Lembaran Negara No. 73 Tahun 1996,
Tambahan Lembaran Negara No. 3647.
4 Keputusan bersama itu masing-masing Nomor: KEP/B/45/XII/1972;
SK/901/M/1972; KEP.779/MK/III/12/1972; J.S.8/72/1;KEP-085/J.A/12/1972 tentang
Pembentukan Badan Koordinasi Keamanan di Laut dan Komando Pelaksana Operasi
Bersama Keamanan di Laut. Di tahun 2005, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 81
Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA) yang menjadi
dasar hukum dari Bakorkamla hingga digantikan oleh Bakamla pada 2014. Lih: Hukum
Online, “Presiden Jokowi Resmi Bentuk Badan Keamanan Laut,” 15 Desember 2014,

95
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

Bakamla memang memiliki fungsi yang diperluas dan diperkuat


dibandingkan institusi pendahulunya, yang ditujukan agar Bakamla dapat
mengefektifkan dan mengefisienkan tugas penegakan hukum di laut
sebagai pengelola kewenangan berbagai institusi agar dapat bekerja sama
dalam penegakan hukum.5 Tugas Bakamla, jika dibandingkan dengan
Bakorkamla, lebih dari menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli
perairan oleh instansi terkait,6 melainkan juga melakukan patroli keamanan
dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi
Indonesia. Secara praktis, hal ini berarti Bakamla diharapkan dapat turun
langsung dalam penegakan hukum di laut. Sinergi hanya salah satu fungsi
yang dijalankan Bakamla, dan fungsi lainnya mencakup penyusunan
kebijakan nasional di bidang keamanan dan keselamatan di wilayah
perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; menyelenggarakan
sistem peringatan dini keamanan dan keselamatan di wilayah perairan
Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; melaksanakan penjagaan,
pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah
perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; memberikan
dukungan teknis dan operasional kepada instansi terkait; memberikan
bantuan pencarian dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan
wilayah yurisdiksi Indonesia; dan melaksanakan tugas lain dalam sistem
pertahanan nasional.7 Jika dilihat secara normatif, penguatan rumusan
tugas dan fungsi Bakamla seharusnya menjadi landasan hukum yang
cukup sebagai modal awal penegakan hukum yang lebih efektif.

Bagaimanapun, hal-hal yang paling krusial justru berada dalam


tataran implementasi, khususnya harmonisasi tugas dan fungsi Bakamla
dan masing-masing lembaga. Terdapat setidaknya dua hal yang perlu
menjadi perhatian Bakamla dalam hal ini. Pertama, sekalipun dengan UU
Kelautan yang baru, Bakamla tidak lepas dari tantangan yang selama ini
juga mengganjal Bakorkamla, yaitu ego sektoral dari kedua belas lembaga
di atas khususnya dalam hal koordinasi. Secara praktis, ego sektoral
menyebabkan makin banyak otoritas berpatroli di laut dengan tugas dan
fungsi yang tidak terkoordinasi dengan baik. 8 Bagi pelaku pelayaran, hal ini
berarti inspeksi yang begitu banyak dan kepastian hukum yang minim.

diakses di http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt548e81c137787/presiden-
jokowi-resmi-bentuk-badan-keamanan-laut pada 15 Agustus 2015.
5 Lihat: Usadi, Op. Cit.
6 Lih: Pasal 62 UU Kelautan, Op. Cit.
7 Id.
8 Loc. Cit.

96
ULASAN UNDANG-UNDANG

Bagi Bakamla, hal ini dapat berarti tumpang tindih atas tugas dan
kewenangan lembaga yang dulunya berada di bawah koordinasi
Bakorkamla; atau kebalikannya – adanya ruang penegakan hukum yang
justru tidak terjamah oleh semua instansi penegak hukum karena
kurangnya pemahaman akan pola interaksi dan koordinasi fungsi antar
lembaga.

Permasalahan di atas tidak lepas dari peran TNI dalam hubungannya


dengan instansi penegak hukum lainnya. Dalam konteks penegakan
hukum, Penulis berpendapat bahwa TNI seharusnya menjadi sistem
pelengkap dalam konteks mobilisasi alat-alat kekuatan, mengingat
kapasitas fisik TNI dalam hal alat-alat kekuatan merupakan yang paling
mumpuni. Salah satu fungsi penting Bakamla dalam hal ini seharusnya
memfasilitasi mobilisasi kekuatan TNI. Peran ini serupa dengan fungsi TNI
di bawah komando Badan Nasional Penanggulangan Bencana (“BNPB”)
dalam hal penanggulangan bencana. Sementara itu, peran intelektual dalam
pengawasan dan penegakan hukum yang tidak lepas dari justifikasi adanya
pelanggaran berdasarkan standar tertentu, tetap menjadi fungsi instansi
sektoral yang memang memiliki kewenangan dan kapasitas dalam
penegakan hukum tersebut. Dengan demikian, kewenangan original yang
merupakan mandat UU instansi-instansi tersebut tetap dijalankan
utamanya oleh instansi-instansi tersebut sendiri. Hanya saja, jika
diperlukan koordinasi dengan instansi lain, termasuk pengerahan kekuatan
TNI, maka jika dimungkinkan koordinasi tersebut dapat dilakukan melalui
Bakamla. Pada konteks penegakan hukum ini, kekuatan TNI sudah
seharusnya tunduk pada komando Bakamla.

Hal lainnya yang perlu kita cermati bahwa di laut ada banyak aspek
dan kegiatan yang menentukan pula banyaknya potensi pelanggaran.
Kondisi ini tentu harus dipertimbangkan dalam mencermati kapasitas
kelembagaan Bakamla. Sayangnya, tugas dan fungsi yang cukup besar bagi
Bakamla ternyata tidak diimbangi oleh kewenangan yang diberikan oleh
UU kepadanya. Untuk menjalankan tugas dan fungsi tersebut, baik UU
Kelautan maupun Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang
Badan Keamanan Laut hanya memberikan tiga kewenangan, yaitu: (1)
melakukan pengejaran seketika; (2) memberhentikan, memeriksa,
menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang
berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut; dan (3)
mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah
perairan Indonesia dan

97
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

wilayah yurisdiksi Indonesia. Jika dilihat dari kewenangan ini, justru


peran penting Bakamla untuk melakukan sinergi dan koordinasi antar
sektor yang selama ini menjadi persoalan signifikan belum terjawab.
Setidaknya ada dua prasyarat agar Bakamla memiliki kemampuan
koordinasi, yaitu: (1) kewenangan yang jelas dan tegas untuk melakukan
koordinasi, tidak hanya pada tataran patroli saja melainkan juga
merumuskan kebijakan dan menjalankan tugas-tugas lainnya; (2) desain
kelembagaan yang memungkinkan Bakamla memiliki akses terhadap
pengambil keputusan tertinggi dalam pemerintahan, yaitu Presiden dan
memungkinkan melakukan koordinasi efektif dengan berbagai sektor.
Bakamla memang telah diberikan akses langsung kepada Presiden oleh
ketentuan UU maupun Perpres 178/2014. Namun untuk menjalankan
fungsi sinergi dan koordinasi ternyata Perpres 178/2014 kurang
memberikan ruang bagi jalannya koordinasi itu sendiri. Desain
kelembagaan Bakamla tidak ubahnya seperti kelembagaan yang berdiri
sendiri, terdiri dari Kepala, Sekretaris Utama, dan Deputi. Peluang
pelibatan sektor secara jelas dan tegas hanya pada tingkat unit, misalnya
Unit Penindakan Hukum yang terdiri dari personel yang merupakan
representasi kementerian/lembaga yang mempunyai kewenangan di
bidang penegakan hukum di laut. Minimnya kewenangan koordinasi dan
lemahnya desain kelembagaan ini dapat berpotensi menimbulkan benturan
kewenangan maupun pelaksanannya.

Hal kedua yang perlu Bakamla perhatikan terkait dengan tugas dan
fungsi Bakamla disuarakan dalam kaitannya dengan tugas dan fungsi
Lembaga Penjagaan Laut dan Pantai (“Sea and Coast Guard”)9 yang
dimandatkan dalam UU Pelayaran. Hingga kini, Sea and Coast Guard masih
belum terbentuk, bahkan PP yang dimandatkan oleh UU Pelayaran untuk
mengatur mengenai lembaga ini belum juga tuntas. Padahal, UU Pelayaran
memandatkan fungsi penegakan dan pengaturan peraturan perundang-
undangan di laut dan pantai kepada Sea and Coast Guard.10 Jika
disandingkan, kedua lembaga ini memiliki tugas dan fungsi yang sulit
dibedakan dalam hal penegakan hukum. Salah satu tugas koordinasi Sea
and Coast Guard bahkan dirumuskan persis dengan fungsi Bakamla, yaitu

9 Pasal 1 angka 59 UU Pelayaran mendefinisikan Penjagaan Laut dan Pantai (Sea

and Coast Guard) adalah lembaga yang melaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan
peraturan perundang-undangan di laut dan pantai yang dibentuk dan bertanggung
jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional ilaksanakan oleh Menteri.
10 Pasal 267 UU Pelayaran.

98
ULASAN UNDANG-UNDANG

“penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran


hukum” di wilayah perairan RI. 11 Selain itu, penyusunan kebijakan dan
standar prosedur operasi (“SOP”) dan pemberian dukungan teknis
administrasi penegakan hukum di laut secara terpadu sebetulnya
merupakan tugas koordinasi Sea and Coast Guard.12

Dalam hal lingkungan hidup, Sea and Coast Guard memiliki


kewenangan yang cukup kuat, karena mencakup pengawasan, pencegahan
dan penanggulangan pencemaran di laut; pekerjaan bawah air serta
eksplorasi dan eksploitasi kekayaan bawah laut.13

Mengingat beberapa kesamaan tugas, fungsi dan kewenangan


tersebut, sangat penting bagi Bakamla untuk memiliki kebijakan yang jelas
dalam hal pelaksanaan tugas dan fungsi yang sama dengan Sea and Coast
Guard yang masih belum terbentuk, serta rencana aksi pembagian tugas
pasca Sea and Coast Guard terbentuk. Selain itu, perlu juga dirumuskan
dengan jelas bagaimana Bakamla berkoordinasi dengan penegak hukum
dari semua instansi sektoral, misal mengenai kriteria kewenangan Bakamla
untuk menindak temuan inspeksi, kerja sama penanganan dengan instansi
sektoral, penyerahan kasus kepada instansi sektoral, peningkatan kapasitas
teknis dan operasional instansi sektoral, dan sebagainya.

Ketentuan Pidana dan Administrasi

Sesuai fungsinya sebagai UU payung atau umum, UU ini telah cukup


baik merujuk pada sanksi-sanksi administrasi dan pidana yang telah ada
dalam UU sektoral. Artinya, jika UU PPLH, UU Perikanan, UU PWP2K atau
UU lain yang terkait mengatur sanksi administrasi atau pidana, maka
sanksi tersebutlah yang digunakan.

Hanya ada satu pasal mengenai sanksi administrasi dalam UU ini,


yaitu dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang laut.14 UU Kelautan
mengatur sanksi administrative bagi pelanggaran terhadap pemanfaatan
ruang laut. Sanksi administratif tersebut mencakup: (a) peringatan tertulis;
(b) penghentian sementara kegiatan; (c) penutupan lokasi; (d) pencabutan
izin; (e) pembatalan izin; dan/atau (f) denda administratif. Pemanfaatan

11 Lihat: Pasal 277 ayat (2) huruf (c) UU Pelayaran dengan 26 huruf (c) UU

Kelautan.
12 Pasal 277 ayat (2) huruf (a) dan (b) UU Pelayaran.
13 Id., huruf (b) dan (e)
14 Lihat: Pasal 47 UU Kelautan, Op. Cit.

99
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

ruang laut memang diatur oleh UU ini, termasuk persyaratan izin lokasi
yang dibebankan kepada pemanfaat ruang laut.

Sanksi pidana yang ada dalam UU ini hanya sebatas mengenai


pemanfaatan ruang laut secara menetap yang tidak memiliki izin lokasi,15
yang mengancamkan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
bagi setiap orang yang terbukti melakukan tindak pidana ini. Konstruksi
rumusan pasal pidana ini masih sangat minim, misalnya UU ini tidak
menjelaskan siapa yang berwenang melakukan penyidikan meskipun
penyidikan merupakan tugas utama kepolisian. Selain itu, apakah memang
pendekatan sanksi pidana hanya dapat diterapkan hanya untuk izin lokasi ?
misalnya untuk kejahatan-kejahatan di laut seperti perdagangan satwa liar,
perambahan hutan, dan sebagainya yang umumnya memanfaatkan laut
sebagai jalur transportasi. Hal lain misalnya, penerapan sanksi pidana bagi
pejabat yang mengeluarkan izin usaha tanpa izin lokasi atau pengeluaran
izin usaha yang bertetangan dengan ketentuan pemanfaatan ruang laut
atau tata ruang laut.

Hal lain yang patut diwaspadai adalah pengenaan pasal pidana ini
terhadap kaum marjinal dan individu-individu dengan modal sosial yang
lemah. Belajar dari pemidanaan di sektor lingkungan hidup lain, seperti
perambahan hutan atau perlindungan satwa langka, penegakan hukum
pidana kerap tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Spirit pemidanaan yang
mendambakan penegakan hukum yang efektif dengan diskresi yang
mempertimbangkan fakor efektivitas, efek jera, dan besaran kasus harus
dipertahankan dan mampu menyasar aktor-aktor strategis. Perlu diingat
bahwa pidana merupakan ultimum remedium, dan jika upaya lain telah
terbukti tidak efektif seharusnyalah pidana dijatuhkan. Di lain pihak, orang
perorangan yang miskin, termarjinalkan, atau terhimpit pilihan terbatas
seharusnya diutamakan untuk dibina, bukan dijerat dengan pasal pidana
tanpa satupun upaya pembinaan.

Tugas ke Depan: PP yang Dimandatkan

Walaupun UU ini memberikan optimisme pengelolaan laut, tidak


serta merta semua ketentuan dalam UU ini dapat langsung dilaksanakan.
UU ini memandatkan sembilan Peraturan Pemerintah dalam

15 Pasal 49 UU Kelautan, Ibid.

100
ULASAN UNDANG-UNDANG

mengimplementasikan mandat-mandat hukumnya. Kesembilan PP yang


dimandatkan tersebut adalah:

1. PP Kebijakan PP mengatur proses perumusan dan pelaksanaan


Pembangunan kebijakan pembangunan kelautan, yang mencakup
Kelautan (Pasal (a) pengelolaan Sumber Daya Kelautan; (b)
13) pengembangan sumber daya manusia; (c)
pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan
keselamatan di laut; (d) tata kelola dan
kelembagaan; (e) peningkatan kesejahteraan; (f)
ekonomi kelautan; (g) pengelolaan ruang Laut dan
pelindungan lingkungan Laut; dan (h) budaya
bahari.
2. PP Industri PP yang ada mengatur ketentuan detail agar
Maritim16 & Jasa industri dan jasa maritime mengacu pada
Maritim17 (Pasal Kebijakan Pembangunan Kelautan dan berorientasi
27) pada kesejahteraan rakyatsesuai kebijakan ekonomi
kelautan.
3. PP Penempatan PP yang ada memastikan bangunan di laut tidak
bangunan di mengganggu alur pelayaran maupun Alur Laut
laut (Pasal 32) Kepulauan Indonesia (“ALKI”) maupun
inkonsisten dengan daerah keselamatan, dengan
mengatur kriteria, persyaratan dan mekanisme
pendirian dan/atau penempatan bangunan di laut
secara detail. Perihal aspek kelestarian sumber
daya pesisir dan pulau-pulau kecil dalam pendirian
bangunan laut juga merupakan aspek yang harus
dijawab PP.
4. PP Kebijakan PP mengatur lebih lanjut mengenai Kebijakan
Budaya Bahari Budaya Bahari dalam bentuk KRP, a.l. melalui: (a)
(Pasal 36) peningkatan pendidikan dan penyadaran
masyarakat tentang Kelautan yang diwujudkan
melalui semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan;
(b) identifikasi dan inventarisasi nilai budaya dan
sistem sosial Kelautan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai bagian dari sistem
kebudayaan nasional; dan (c) pengembangan

16 Industri maritim a.l. mencakup galangan kapal, pengadaan dan pembuatan

suku cadang, peralatan kapal dan/atau perawatan kapal. Lih: Pasal 27 ayat (1) UU
Kelautan
17 Jasa maritime a.l. dapat berupa pendidikan dan pelatihan, pengangkatan benda

berharga atas muatan kapal tenggelam, pengerukan dan pembersihan alur pelayaran,
reklamasi, pencarian dan pertolongan, remediasi lingkungan, jasa konstruksi dan/atau
angkutan sungai, danau, penyeberangan dan antarpulau. Lih: Pasal 27 ayat (2) UU
Kelautan.

101
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

teknologi dengan tetap mempertimbangkan


kearifan lokal.
5. PP Pusat PP ini mengatur tugas, kewenangan, dan
Fasilitas pembiayaan Pusat Fasilitas Kelautan, yang
Kelautan (Pasal dimandatkan dibentuk oleh Pemerintah dengan
38) bekerja sama dengan Pemerintah Daerah. Pusat
Fasilitas Kelautan ini meliputi
fasilitas pendidikan, pelatihan, dan penelitian yang
dilengkapi dengan prasarana kapal latih dan kapal
penelitian serta tenaga fungsional peneliti.

6. PP Perencanaan Mendetailkan proses dan keluaran Perencanaan


Ruang Laut Ruang Laut yang meliputi (a) perencanaan tata
(Pasal 43) ruang Laut nasional (menghasilkan Rencana Tata
Ruang Laut Nasional atau “RTRLN”); (b)
perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil (merujuk pada UU PWP2K); dan (c)
perencanaan zonasi kawasan Laut (menghasilkan
rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana
zonasi kawasan strategis nasional tertentu, dan
rencana zonasi kawasan antarwilayah).
7. PP Izin Lokasi PP ini mendetailkan pemrosesan izin lokasi yang
di Laut yang merupakan kewajiban bagi setiap orang yang
berada di melakukan pemanfaatan ruang Laut secara
wilayah menetap di wilayah perairan dan wilayah
perairan dan Yurisdiksi untuk memiliki izin lokasi. PP juga akan
wilayah mendetailkan sanksi administrative dalam hal
yurisdiksi dan terjadi pelanggaran.
sanksi
administratifnya
(Pasal 47)
8. PP Kebijakan PP ini mendetailkan penetapan kebijakan tata
Tata Kelola dan kelola dan kelembagaan Laut oleh Pemerintah,
Kelembagaan yang meliputi rencana pembangunan sistem
Laut (Pasal 69) hukum dan tata pemerintahan serta sistem
perencanaan, koordinasi, pemonitoran,
dan evaluasi Pembangunan Kelautan yang efektif
dan efisien.
Penataan hukum laut dalam suatu sistem hukum
nasional, baik melalui aspek publik maupun aspek
perdata dengan memperhatikan hukum
internasional juga dimandatkan dalam penyusunan
kebijakan ini.
9. Bentuk dan Tata PP ini mendetailkan pelibatan peran serta
Cara Peran Serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan

102
ULASAN UNDANG-UNDANG

Masyarakat kelautan. Partisipasi masyarakat ini dapat


dalam dilakukan dalam: (a) penyusunan kebijakan
Pembangunan Pembangunan Kelautan; (b) Pengelolaan Kelautan;
Kelautan (Pasal (c) pengembangan Kelautan; dan (d) memberikan
70) masukan dalam kegiatan evaluasi dan
pengawasan. Selain itu, partisipasi masyarakat juga
dapat dilakukan dalam (a) melestarikan nilai
budaya dan wawasan bahari serta merevitalisasi
hukum adat dan kearifan lokal di bidang Kelautan;
atau (b) pelindungan dan sosialisasi peninggalan
budaya bawah air melalui usaha preservasi,
restorasi, dan konservasi.

Kesembilan PP di atas merupakan pekerjaan rumah bagi pemerinah,


namun juga merupakan peluang penormaan UU Kelautan ke dalam
ketentuan-ketentuan pelaksana yang baik dan jelas. Secara umum, UU
Kelautan merupakan peluang yang dapat didayagunakan dalam
menjalankan penegakan hukum di laut apabila peratuan turunannya
berhasil memfasilitasi peningkatan koordinasi. Dengan peningkatan
koordinasi, banyak “tangan” instansi sektoral yang selama ini memiliki
keterbatasan di laut terfasilitasi dengan pemberdayaan sumber daya yang
ada dan jalur kerja sama yang saling memperkuat. Bagaimanapun, baik
tidaknya implementasi koordinasi ini tidak terlepas dari (1) jelas tidaknya
pembagian kewenangan agar tidak tumpang tindih; (2) bentuk dan
mekanisme koordinasi antar instansi; dan (3) penanggung jawab yang
memiliki otoritas memobilisasi kekuatan tersebut.

Hal lain yang juga sangat penting adalah harmonisasi peraturan


perundang-undangan yang terkait dengan UU Kelautan ini, termasuk
mengintegrasikan harmonisasi sektoral ini dalam peraturan pelaksana UU
Kelautan. DIM yang telah ada dalam proses pembuatan UU ini dapat
menjadi patokan awal harmonisasi UU sektoral selanjutnya, akan tetapi
penting dipikirkan bagaimana melakukan harmonisasi peraturan per-UU
sektoral ini dan siapa lembaga yang akan memimpin pelaksanaannya.
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhukham) melalui Direktorat
Jenderal Harmonisasi Perundang-undangan merupakan salah satu lembaga
yang potensial memimpin studi harmonisasi perundang-undangan sektoral
di laut, utamanya dalam hal penegakan hukum.

Akhirnya, semua kalangan perlu berperan aktif mendukung maupun


mengawasi kinerja pemerintah dalam menyelesaikan pekerjaan rumahnya

103
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

merumuskan semua PP yang dimandatkan UU ini. Kepentingan


masyarakat sipil utamanya tercermin dalam PP Peran Serta Masyarakat
dalam Pembangunan Kelautan. Lebih penting lagi, perlu didorong agar
pembuatan semua PP dilakukan dengan transparan, tidak memihak
kepentingan tertentu, dan dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya untuk
mewujudkan gagasan sebagai poros maritim dunia sebagaimana telah
dicanangkan pemerintah.

104
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
 
 
PEDOMAN PENULISAN

J
urnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) adalah media enam bulanan
yang diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
sebagai upaya mempublikasikan ide dan gagasan mengenai hukum
lingkungan dan regulasi mengenai sumber daya alam. Jurnal Hukum
Lingkungan Indonesia ditujukan bagi pakar dan para akademisi, praktisi,
penyelenggara Negara, kalangan LSM serta pemerhati dan penggiat hukum
lingkungan dan permasalahan tata kelola sumber daya alam.

Tema dan Topik

JHLI Volume II Issue 2, Desember 2015, bertema:

“Perlindungan dan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Indonesia:


Hukum dan Kebijakan”

Beberapa topik* yang dapat menjadi acuan dalam menyempitkan tema tersebut
adalah: (1) perlindungan terhadap spesies terancam punah (endangered species),
termasuk perburuan dan perdagangan internasional baik legal maupun illegal;
(2) hak masyarakat adat dan hak asasi manusia dalam konservasi; (3)
pengelolaan kawasan konservasi keanekagaraman hayati, termasuk
pengamanan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; (4) perdebatan hukum
dalam preservasi versus konservasi lingkungan (nilai guna dan non-guna); (5)
akses dan pembagian keuntungan sumber daya genetik; (6) perlindungan
sumber daya genetik; dan (7) penegakan hukum (administrasi, pidana atau
perdata).

Untuk setiap topik, diharapkan ulasan dapat menjawab satu atau lebih
pertanyaan kunci berikut:

1. Bagaimana potret hukum dan kebijakan lingkungan dalam topik yang


bersangkutan?
2. Bagaimana persoalan-persoalan hukum dan kebijakan yang dihadapi
dalam mengembangkan perlindungan & pengelolaan keanekaragaman
hayati di Indonesia dalam topik ybs?
3. Bagaimana gagasan-gagasan dalam memperbaiki dan mengembangkan
hukum dan kebijakan terkait perlindungan & pengelolaan
kenekaragaman hayati dalam topik ybs?

xi
 
P EDOMAN P ENULISAN

*) Topik tidak bersifat wajib/mutlak, melainkan hanya sebagai panduan untuk


mempermudah penulis dalam memilih isu terkait. Penulis dapat memilih topik
apa saja yang masih relevan dan masuk dalam ruang lingkup tema besar.

Prosedur Pengiriman**

Penulis diharapkan mengirimkan abstrak sebelum 15 Agustus 2015 dengan


menyertakan (1) nama lengkap; (2) institusi asal; (3) nomor telepon yang dapat
dihubungi. Redaksi akan menghubungi penulis yang naskahnya diterima.
Naskah final diterima paling lambat 31 Oktober 2015.

Abstrak maupun naskah artikel dapat dikirimkan melalui surat elektronik


maupun melalui pos. Pengiriman melalui surat elektronik ditujukan ke
jurnal@icel.or.id dengan di-cc ke margaretha.quina@icel.or.id. Pengiriman
melalui pos disertai dengan tulisan “Jurnal Lingkungan Hidup Indonesia” di
sudut kiri atas amplop, ditujukan ke alamat berikut:

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)


Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
DKI Jakarta

Pemilihan Tulisan

Pemilihan abstrak bersifat prosedural untuk menyaring artikel yang relevan


dengan aspek hukum dan kebijakan, dilakukan secara internal oleh para
peneliti ICEL. Redaksi akan menghubungi penulis yang abstraknya diterima
selambat-lambatnya pada 31 Agustus 2015.

Pemilihan tulisan akhir melalui Sidang Redaksi yang terdiri dari para peneliti
ICEL dan Mitra Bebestari. Tulisan yang dimuat akan diberikan honorarium
yang layak, sementara tulisan yang tidak dimuat akan diberikan notifikasi pada
tanggal 30 November 2015 dan merupakan hak penulis sepenuhnya. Sidang
Redaksi dapat meminta penulis untuk melakukan perbaikan substansi maupun
teknis terhadap tulisannya.

Persyaratan Formil

1. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa


Inggris). Panjang abstrak tidak lebih dari 150 kata yang ditulis dalam

xii
J URNAL H UKUM L INGKUNGAN V OL . 2 I SSUE 1, J ULI 2015
 
 
satu alinea. Abstrak mengandung ringkasan dari latar belakang, tujuan,
metodologi, hasil dan kesimpulan;
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai
dengan EYD dengan kalimat yang efektif;
3. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4 dengan
margin kiri 4 cm; kanan, atas, dan bawah 3 cm. Tulisan menggunakan
huruf Times New Roman (TNR) 12 pt, spasi satu setengah tanpa spasi
antar paragraph, dengan panjang naskah 4000 – 5000 kata.;
4. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah
dengan keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir
naskah setelah daftar pustaka;
5. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan
ilmiah/seminar/lokakarya namun belum pernah diterbitkan dalam
bentuk prosiding, perlu disertai keterangan mengenai pertemuan
tersebut sebagai catatan kaki;
6. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf
kapital. Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf
miring;
7. Semua kutipan harus mencantumkan referensi, dengan catatan kaki
atau catatan akhir dengan format Chicago style sebagaimana dijelaskan
dalam poin 7 dan 8, dan daftar pustaka pada bagian akhir naskah.
8. Tabel dan/atau gambar juga harus mencantumkan sumber. Untuk
memudahkan koreksi naskah, diharapkan penulisan catatan kaki
(footnote) mengikuti ketentuan:
a. Phillipe Sands, Principles of Environmental Law, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2007), hlm. 342 – 344;
b. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan
ke-8, Edisi ke-5, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1991), hlm. 201 – 208;
c. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De
Structuur der Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidharta,
(Bandung: PT Alumni, 2003), hlm. 7;
d. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”, Sinar
Harapan, 15 Januari 2014;
e. Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di
Indonesia”, http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2
Januari 2005.
Sedangkan untuk penulisan Daftar Pustaka sebagai berikut:
a. Sands, Phillipe. 2007. Principles of Environmental Law.
Cambridge: Cambridge University Press.

xiii
 
P EDOMAN P ENULISAN

b. Burchi, Tefano. 1989. “Current Developments and Trends in


Water Resources Legislation and Administration”. Paper
presented at the 3rd Conference of the International Association
for Water Law (AIDA). Alicante, Spain: AIDA, December 11-14.
c. Dewiel, Boris. 2000. “What Is the People? A Conceptual History
of Civil Society,” dalam Democracy, A History of Ideas.
Vancouver: University of British Columbia Press.
d. Rahayu, Muji Kartika. 2006. “Sistem Peradilan Kita Harus
Dibenahi: Analisis Putusan MK tentang UU Komisi Yudisial,”
Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 3, September 2006. Jakarta:
Mahkamah Konstitusi.
e. Indonesia. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
f. Sinar Harapan. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan
Mendesak”. 15 Januari 2014.
g. Tjiptoherijanto, Prijono. Jaminan Sosial Tenaga Kerja di
Indonesia, http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2
Januari 2005.
9. Identitas penulis meliputi:
a. Nama lengkap penulis (dengan gelar akademis)
b. Nama dan alamat lembaga penulis
c. Keterangan mengenai penulis untuk korespondensi disertai
nomor telepon, handphone dan fax, serta alamat e-mail;
d. Nomor rekening Bank yang masih aktif;

**) Tidak berlaku bagi Penulis dengan Undangan  

xiv
Indonesian Center for Environment Law
Jl. Dempo II No.21, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120
Phone: (021) 7262740, 7233390
Fax: (021) 7269331
www.icel.corid | jurnal@icel.or.id

Anda mungkin juga menyukai