Anda di halaman 1dari 7

Cegah Banjir melalui Sistem Drainase Bandara

Sejak tahun 1980, terjadi peningkatan fenomena bencana alam di dunia, khususnya
bencana alam yang tidak dapat diprediksi. Hal ini menyebabkan kerugian, baik kerugian
material maupun korban jiwa. Menurut Dutta (2012), faktor utama yang menyebabkan
kerugian di sektor ekonomi adalah adanya alih fungsi lahan dan peningkatan populasi manusia
di suatu wilayah atau daerah. Contohnya, daerah perkotaan dan pedesaan yang kemungkinan
terkena bencana alam gempa bumi, daerah aliran sungai yang berpotensi terdampak banjir, dan
daerah pesisir pantai yang berisiko terdampak bencana angin puting beliung dan tsunami.
Indonesia menjadi negara di kawasan di Asia yang rawan terhadap bencana alam dan
bencana buatan akibat berbagai perkembangan aktivitas manusia. Secara geografis, Indonesia
termasuk negara yang dengan bentuk kepulauan yang terletak di antara tiga lempeng utama,
yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Indo-Australia. Letak geografis ini
dinilai sebagai salah satu faktor banyaknya keberadaan gunung berapi di Indonesia. Kondisi
ini menyebabkan wilayah Indonesia sangat berpotensi terdampak berbagai bencana alam,
seperti gempa bumi tektonik, gunung meletus, hingga kenaikan air laut ke wilayah daratan atau
tsunami.
Disamping letak geografisnya yang unik, kondisi demografis Indonesia juga tidak bisa
dilupakan begitu saja. Menurut Findayani (2015), Indonesia memiliki populasi yang cukup
besar, dengan angka >230 juta penduduk yang tersebar ke berbagai daerah. Jumlah penduduk
yang cukup tinggi ternyata tidak menyebar secara merata. Pulau Jawa menjadi pulau yang
padat penduduk. Kepadatan penduduk di Pulau Jawa menimbulkan meningkatnya aktivitas
pengalihfungsian lahan menjadi pemukiman. Pengalihan fungsi lahan yang dilakukan sangat
berpotensi menyebabkan terjadinya bencana alam buatan manusia, seperti banjir, polusi, tanah
longsor, ledakan industri, dan lain sebagainya.
Berdasarkan kondisi geografis dan demografis Indonesia, banjir menjadi bencana yang
paling rawan terjadi. Menurut Suripin (2004), banjir merupakan suatu kondisi saat air tidak
bisa ditampung atau terhambat di dalam saluran pembuangan sehingga meluap ke daratan atau
daerah sekitarnya. Secara harfiah, banjir dapat diartikan sebagai kondisi tanah tergenang air
yang disebabkan oleh luapan sungai yang biasanya terjadi setelah hujan deras. Debit hujan
yang tinggi dan ketidakmampuan sungai untuk menampung besarnya debit air menyebabkan
banjir terjadi. Selain itu, banjir juga dapat disebabkan oleh kiriman atau aliran air yang
bersumber dari tempat yang permukaan tanahnya lebih tinggi ke daerah dengan permukaan
tanah lebih rendah. Hal ini biasa disebut dengan banjir kiriman. Wilayah Indonesia memiliki
curah hujan yang tinggi, yaitu berada di kisaran 2000-3000 mm/tahun sehingga berpotensi
terjadi banjir pada saat musim hujan di Bulan Oktober-Januari. Menurut Bakornas (2007), ada
kurang lebih 600 sungai besar yang tersebar di wilayah Indonesia. Pengelolaan yanh belum
terstruktur terhadap sungai-sungai tersebut berisiko besar terhadap bencana banjir.
Secara umum, banjir dapat terjadi karena faktor alami dan faktor buatan manusia. Salah
satu faktor alami yang mempengaruhi terjadinya banjir adalah curah hujan dengan intensitas
tinggi dan durasi yang lama. Selain itu, bencana banjir dapat disebabkan oleh pengaruh
fisiografi sungai yang biasanya dilihat dari bentuk, fungsi, lokasi, kemiringan daerah
pengaliran sungai. Erosi dan sedimentasi di daerah pengaliran sungai dalam jangka panjang
akan mempengaruhi berkurangnya kapasitas penampungan dan saluran air di sungai. Ketika
kapasitas penampungan sungai berkurang, maka risiko terjadinya banjir di musim hujan akan
lebih tinggi. Tidak hanya itu, banjir di daerah pesisir juga bisa terjadi akibat dari air laut yang
pasang. Ketika air laut sedang pasang, biasanya menyebabkan aliran air dari sungai ke laut
menjadi melambat. Kondisi ini dapat meningkatkan potensi banjir dan tinggi genangannya,
terutama ketika air laut pasang bersamaan dengan curah hujan tinggi. Selanjutnya, kapasitas
drainase yang tidak memadai di kota-kota besar akan yang rawan terhadap banjir akan
menyebabkan risiko banjir semakin tinggi.
Umumnya, banjir terjadi di daerah aliran sungai, namun tak menutup kemungkinan
banjir bisa terjadi juga di daerah pesisir pantai. Banjir pesisir dapat diartikan sebagai banjir
yang terjadi akibat air laut pasang dan kemudian membanjiri daratan. Di beberapa kota besar
seperti DKI Jakarta, Semarang, serta beberapa kota lain di Pulau Jawa, banjir rob atau banjir
pasang surut air laut dipercaya sebagai salah satu bencana besar yang akan terjadi seiring
dengan terjadinya pengikisan tanah dan global warming. Penggerusan atau pengikisan tanah
yang tidak terkendali menyebabkan penurunan permukaan tanah secara drastis dari tahun ke
tahun. Banjir menyebabkan berbagai kerugian, baik korban jiwa maupun kerugian material.
Kerugian akibat bencana ini biasanya berupa kerugian akibat kerusakan bangunan, hilangnya
barang-barang berharga, hingga kerugian akibat terhambatnya aktivitas masyarakat, terutama
kegiatan ekonominya.
Dalam menanggulangi bencana banjir, pemerintah telah membuat berbagai proyek
drainase di daerah-daerah rawan banjir, khususnya perkotaan. Daerah perkotaan dipenuhi
dengan segala kegiatan masyarakat yang begitu padat. Kondisi ini menyebabkan kebutuhan
akan transportasi massal terus meningkat. Transportasi yang diperlukan oleh masyarakat di
daerah padat penduduk, bukan hanya transportasi darat dan laut, tetapi juga transportasi udara,
yaitu pesawat. Oleh karena itu, pemerintah senantiasa berusaha memenuhi kebutuhan
transportasi udara dengan pembangunan beberapa terminal baru di tiap-tiap bandara yang padat
penerbangan. Pembangunan beberapa terminal baru dilakukan karena fasilitas yang tersedia
dirasa tidak sebanding dengan kebutuhan transportasi masyarakat yang kian bertambah setiap
harinya. Pembangunan terminal baru di beberapa bandara diiringi juga dengan pembangunan
apron atau pelataran pesawat, penghubung apron dan landas pacu atau taxiway, area
perkantoran Angkasa Pura, dan penambahan gedung parkir. Melalui pengembangan dan
pembangunan terminal baru di beberapa bandara, pemerintah berharap kebutuhan masyarakat
terkait transportasi udara dapat terpenuhi.
Menurut Kafi, Darsono, dan Kurniani (2018), bandara yang baik harus memiliki
fasilitas-fasilitas umum yang penting, yaitu (1) fasilitas keselamatan; (2) fasilitas keamanan;
(3) fasilitas utama; dan (4) fasilitas penunjang lainnya. Untuk menunjang faktor keselamatan
dan keamanan bandara, pihak bandara berusaha untuk menciptakan sistem drainase. Dalam
buku yang berjudul Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan, Suripin (2004)
menjelaskan bahwa drainase merupakan rangkaian bangunan air yang dirancang untuk
mengurangi ataupun membuang kelebihan air di suatu area agar area tersebut dapat
dimanfaatkan secara maksimal. Selain itu, drainase juga dapat diartikan sebagai proses sanitasi
yang berkaitan dengan pengendalian kualitas air tanah. Pendapat lain mengatakan bahwa
drainase menjadi salah satu cara yang paling umum digunakan untuk pembuangan kelebihan
air dan cara-cara untuk menanggulangi akibat dari kelebihan air yang tidak diinginkan tersebut.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa drainase tidak hanya sistem yang
bersangkutan dengan pengelolaan air permukaan, tetapi juga menyangkut air tanah.
Keberadaan drainase sebagai salah satu sistem pengelolaan air di bandara tentu sangat
diperlukan untuk menjamin sarana prasarana umum yang aman, nyaman, bersih, dan juga
sehat. Dengan adanya drainase di bandara, maka permasalahan terkait becek dan genangan
dapat teratasi.
Sistem jaringan drainase biasanya terdiri atas dua bagian, yaitu sistem drainase
makrochannel dan mikrochannel (Amiwarti dan Aligansyah, 2017). Sistem drainase makro
diartikan sebagai sistem yang drainase yang mengelola saluran air yang menampung dan
mengalirkan air dari catchment area. Sistem drainase makro juga dikenal sebagai sistem
pembjangan utama atau sistem utama. Meskipun dikatakan sebagai sistem aliran air yang
menjadi sarana tambahan, sistem micro drainase juga digunakan untuk mengekstraksi dan
membuang air dari daerah tangkapan air (DTA). Sistem drainase mikro cenderung memiliki
kapasitas saluran yang hanya bisa menampung air dengan debit kecil.
Sistem drainase terdiri atas berbagai jenis yang dapat diklasifikasikan berdasarkan
beberapa aspek. Menurut Hasmar (2012), jenis-jenis drainase dapat diklasifikasikan
berdasarkan sejarah terbentuknya, letak saluran, fungsi, dan juga konstruksinya. Sistem
drainase dibedakan menjadi sistem drainase alami dan buatan berdasarkan sejarah asal usulnya.
Drainase alami tercipta dari gerusan air yang mengalir di bawah pengaruh gravitasi yang secara
bertahap membentuk saluran air permanen, seperti sungai. Sedangkan drainase buatan
merupakan drainase khusus yang membutuhkan struktur khusus, seperti selokan, saluran,
gorong-gorong, dan pipa drainase. Berdasarkan letak alirannya, drainase dibedakan menjadi
drainase permukaan tanah dan drainase bawah permukaan tanah. Drainase permukaan tanah
atau surface drainage berfungsi untuk mengalirkan air yang ada di permukaan tanah dengan
menggunakan analisis open channel flow untuk menganalisis aliran airnya. Sedangkan drainase
bawah tanah atau sub surface drainage berfungsi untuk mengalirkan air dari tempat tinggi ke
tempat yang lebih rendah. Berdasarkan fungsinya, drainase terbagi atas drainase fungsi tunggal
dan multi fungsi. Drainase fungsi tunggal merupakan saluran yang berfungsi untuk
mengalirkan hanya satu jenis air buangan. Sedangkan drainase multi fungsi merupakan saluran
yang digunakan untuk mengalirkan beberapa jenis air buangan rumah tangga dan air hujan
secara bersamaan dalam satu saluran air. Berdasarkan konstruksinya, drainase dibedakan
menjadi saluran terbuka dan saluran tertutup. Dengan saluran terbuka, struktur atas biasanya
terbuka dan bersentuhan langsung dengan udara luar. Saluran terbuka lebih cocok untuk
mengalirkan air hujan yang terletak di area yang luas. Disisi lain, saluran tertutup adalah
saluran konstruksi yang bagian atasnya biasanya tertutup dan tidak terhubung langsung dengan
udara luar. Saluran pembuangan seperti itu biasanya digunakan untuk mengalirkan air kotor
yang terletak di tengah kota.
Dalam upaya menanggulangi permasalahan banjir di bandara, diperlukan pemahaman
mendalam mengenai konsep hidrologi. Secara harfiah, hidrologi merupakan ilmu yang
mempelajari tentang pergerakan air termasuk berbagai bentuk air dan juga perubahan yang
terjadi di dalamnya. Mempelajari konsep hidrologi tentu menjadi hal mendasar dalam sebuah
usaha pembangunan atau konstruksi karena sangat berguna sebagai landasan analisis hidrologi.
Menurut Soemarto (1987), analisis hidrologi tidak hanya digunakan sebagai landasan
pembangunan saluran air, tetapi juga sangat penting digunakan untuk menganalisis rancangan
pembangunan jalan raya, lapangan terbang, dan berbagai bangunan lainnya.
Proses analisis pembuatan drainase di bandara harus memperhatikan beberapa hal. Hal
pertama yang harus dilakukan adalah memperhatikan lokasi bandara. Setelah mengetahui
lokasi bandara, harus dilakukan pengamatan terhadap kondisi topografi di sekitar lokasi.
Kondisi topografi yang dimaksud berupa iklim dan kondisi alam lainnya, seperti sungai,
saluran, kontur tanah, dan lain sebagainya. Ketika kondisi topografi di daerah bandara
cenderung datar atau tidak terdapat kemiringan yang signifikan antara satu tempat ke tempat
lainnya, maka aliran air relatif mengalir lambat. Hal tersebut akan meningkatkan potensi
terjadinya genangan. Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu dibuatkan sistem drainase di
luar bandara dan di dalam bandara.
Sistem drainase bandara hampir sama dengan sistem drainase jalan raya. Dikatakan
demikian karena area bandara membutuhkan waktu penyerapan air yang cepat sehingga harus
ada sistem drainase yang terintegrasi. Berbagai area di bandara seperti area landasan pacu,
taxiway, dan pelataran pesawat harus terbebas dari genangan air. Di dalam bandara, air yang
menggenang di permukaan harus segera disalurkan ke saluran air untuk mencegah terjadinya
banjir. Hal ini perlu dilakukan untuk alasan keselamatan dan keamanan penerbangan.
Untuk menganalisis sistem drainase di bandara dan efektifitasnya dalam menangani
permasalahan banjir maupun genangan, perlu dilakukan beberapa perhitungan. Pertama-tama
harus dilakukan perhitungan intensitas curah hujan, perhitungan analisis frekuensi hujan harian
maksimum, perencanaan intensitas hujan tahunan maksimum, dan perhitungan dimensi
saluran. Setelah dilakukan perhitungan-perhitungan tersebut, maka akan lebih mudah untuk
melakukan analisis terhadap efektivitas dan menentukan evaluasi-evaluasi terhadap sistem
drainase bandara. Untuk memastikan sistem drainase tetap berjalan efektif sesuai dengan
harapan, perlu dilakukan beberapa hal, yaitu (1) pemeriksaan rutin pada setiap sistem drainase
untuk mencegah kegagalan; (2) melakukan peninjauan kembali terhadap perencanaan dan
perawatan sistem drainase yang ada setiap tahunnya; dan (3) perbaikan pada titik-titik
kerusakan untuk mencegah kerusakan yang lebih besar yang dapat membahayakan
keselamatan dan keamanan penerbangan.
Jadi, banjir merupakan bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, terutama di
daerah perkotaan dan pesisir pantai. Faktor-faktor seperti curah hujan tinggi, erosi dan
sedimentasi di sungai, serta air laut pasang dapat menyebabkan banjir. Selain itu, faktor
manusia seperti alih fungsi lahan dan pengelolaan sungai yang tidak terstruktur juga
berkontribusi pada banjir. Untuk mengatasi masalah banjir di bandara, terutama di daerah
perkotaan, penting untuk membangun sistem drainase yang efektif. Sistem drainase membantu
mengurangi atau membuang kelebihan air sehingga area bandara dapat digunakan dengan baik.
Sistem drainase terdiri dari dua bagian, yaitu sistem drainase makro dan mikro, yang mengelola
aliran air dari daerah tangkapan air. Drainase dapat diklasifikasikan berdasarkan sejarah
terbentuknya, letak saluran, fungsi, dan konstruksinya. Memahami konsep hidrologi juga
penting dalam analisis pembuatan drainase di bandara. Analisis hidrologi digunakan sebagai
dasar dalam pembangunan saluran air dan infrastruktur lainnya di bandara. Untuk mencegah
banjir di bandara, perlu memperhatikan lokasi bandara, kondisi hidrologi di sekitarnya, dan
merancang sistem drainase yang sesuai. Dengan sistem drainase yang baik, diharapkan risiko
banjir di bandara dapat dikurangi, sehingga bandara dapat beroperasi dengan lancar dan aman.
Referensi:
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS PB). 2007. Pengenalan
Karakteristik Bencana Dan Upaya Mitigasinya Di Indonesia. Jakarta Pusat: Badan Koordinasi
Nasional Penanggulangan Bencana.
Dutta, Dushmanta, and Srikantha Herath. 2004. "Trend of floods in Asia and flood risk management
with integrated river basin approach." Proceedings of the 2nd international conference of Asia-
Pacific hydrology and water resources Association, Singapore. Vol. 1.
Findayani, A. (2015). Community-based practices to cope with coastal and river floods in semarang
city, Indonesia.
Hasmar, H.A.H. 2012. Drainase Terapan. UII Press. Yogyakarta.
Kafi, A. A., Darsono, S., & Kurniani, D. (2018). Perencanaan Sistem Drainase Pada Pengembangan
Bandara Ahmad Yani Semarang. Jurnal Karya Teknik Sipil, 7(1), 39-49.
Soemarto CD, 1987, Hidrologi Teknik. Usaha Nasional. Surabaya.
Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. ANDI Offset Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai