Anda di halaman 1dari 13

SUKU MINAHASA

Disusun Oleh :

Stefani Hellena Judith Ningrum Paat


XII IPA 9

SMAN 1 TAMBUN SELATAN


2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini

dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap

bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran

maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah

pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar

makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai

penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena

keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik

dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bekasi, 10 Maret 2022

Penulis
BAB I
Pendahuluan
Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, tata krama, pergaulan, kesenian,
bahasa, keindahan alam dan keterampilan lokal yang merupakan ciri khas dari suatu suku
bangsa. Keanekaragaman tersebut memperindah dan memperkarya nilai-nilai kehidupan
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, keanekaragaman tersebut perlu diusahakan
pengembangannya dan pelestariannya, dengan tetap mempertahankannya melalui upaya
kesadaran dari suatu suku bangsa itu sendiri. Dari berbagai macam suku yang ada di
Indonesia, salah satu suku yang memiliki keanekaragaman khususnya pada seni tari yakni
suku Minahasa. Suku Minahasa adalah salah satu etnik suku yang ada di Sulawesi Utara yang
penyebarannya sampai ke Provinsi Gorontalo. Sedangkan di Provinsi Gorontalo suku
Minahasa menyebar di berbagai Kabupaten, diantaranya Kabupaten Boalemo tepatnya di
desa Kaaruyan.

Desa Kaaruyan ini tempat di mana Suku Minahasa bermukim, Suku Minahasa adalah
salah satu etnik yang memiliki adat istiadat dan bahasa, yang berbeda dari Masyarakat
lainnya salah satunya dalam hal kesenian. Seni sebagai gejala yang mempunyai kaitan
dengan sistem kepercayaan, dapat pula di lihat dalam seni yang ada di Minahasa. Antara lain
seni tari, seni musik,dan teater tetapi penelitian ini lebih di fokuskan pada seni tari.
Suku Minahasa memiliki ciri khas yang khusus dan keunikan tersendiri. Adapun seni
tari yang ada di Minahasa yakni: tari Masamper, Cakalele dan tari Maengket.

Pada mulanya tari Maengket merupakan tarian untuk mengucapakan terima kasih
kepada Tuhan Yang Maha Esa karena panenya berhasil dengan baik, yang dipertunjukan
dengan menggunakan nyanyian berupa syair. Secara umum tarian ini biasanya ditarikan
secara berpasangan antara penari laki-laki dan perempuan di Sulawesi Utara, tetapi di Desa
Kaaruyan tari Maengket ditarikan oleh seluruh penari perempuan. Berdasarkan hasil
wawancara (tanggal 20 september 2012) dengan seorang pelatih tari Maengket yakni Bapak
Yan Luwuk asli dari suku Minahasa. Mengatakan bahwa Minahasa memiliki 4 bahasa besar
yakni Tongtemboan, tombulu, tongsea dan tondano. Adapun dari keempat bahasa yang
digunakan tersebut, biasanya dipakai dalam syair tari Maengket. Akan tetapi, untuk
mayarakat yang ada di desa Kaaruyan mereka menggunakan bahasa Toengtemboan dalam
syair Maengket. Bahasa Toengtemboan bukan merupakan bahasa sehari-hari melainkan
bahasa yang digunakan dalam syair tersebut.

Tari Maengket sampai saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat suku Minahasa,
baik yang berada di Minahasa Sulawesi utara maupun yang berada di desa Kaaruyan
kabupaten Boalemo. Di desa Kaaruyan, orang-orang Minahasa ini hidup bermasyarakat
bersama-sama dengan anggota masyarakat lainnya dengan latar belakang yang bervariasi,
diantaranya adalah orang-orang yang asli Gorontalo dan para transmigran dari bali.

Tari Maengket dipertunjukan dalam acara-acara seperti, festival jaton, hari


pengucapan, dan acara-acara hiburan lainnya. Pada masing-masing acara tersebut disajikan
bagian-bagian tari Maengket tertentu pula, yang di sebut dengan babak. Terdapat 3 (tiga)
babak dalam tari Maengket. Babak I di sebut dengan Maowey Kamberu (musim panen),
dilaksanakan pada saat upacara pengucapan rasa syukur karena hasil panen yang berlipat
ganda. Pertunjukannya biasanya di lapangan. Syairnya berisikan puji-pujian terhadap Tuhan
yang Maha Esa. Babak II rumambak (meresmikan rumah baru), babak ini hanya ditarikan
pada saat apabila salah seorang warga akan menempati rumah baru yang diaksanakan
dihalaman rumah baru tersebut. Babak III lalayaan (pergaulan muda-mudi), babak terakhir ini
berfungsi sebagai hiburan. Lalayaan menceritakan tentang seorang laki-laki merayu seorang
perempuan yang ditandai dengan meletakan lenso diatas bahu penari perempuan.
Berdasarkan hasil wawancara ( 21 september 2012, dengan bapak Yan Luwuk).

Tari Maengket yang paling sering dilaksanakan di desa Kaaruyan adalah babak I
maowey kamberu, dalam ritual upacara panen desa, sedangkan kedua babak yang lain
(lalayan dan rumambak), jarang dilaksanakan. Kedua babak tersebut hanya akan di tampilkan
apabila ada permintaan dari masyarakat itu sendiri. Ketiga babak tari Maengket tersebut
menggunakan alat musik tambor, sejenis alat musik perkusi yang dimainkan dengan cara
dipukul. Dengan menggunakan sepasang tangkai kayu yang dibersihkan sampai berukuran
10cm. Dari ketiga jenis pertunjukan tersebut, peneliti lebih memfokuskan pada salah satu
babak tarian ini, yakni tari Maengket: maowey kamberu. Karena pertunjukan 3
tari Maengket: maowey kamberu terdiri dari satu pola lantai. Dari satu pola lantai
inilah penari melakukan gerakan-gerakan yang selaras dengan bunyi alat musik yang
dimainkan. Dalam bentuk pertunjukannya pula terdapat cerita tentang bagaimana masyarakat
Minahasa hidup dengan bercocok tanam, yang disimbolkan melalui gerak. Pelaksanaan tari
Maengket: maowey kamberu dilakukan setelah panen hasil dan biasanya dimulai pada siang
hari, pertunjukan tari Maengket: maowey kamberu dilakukan dalam lingkungan masyarakat
Minahasa. Kehadiran tari Maengket: maowey kamberu yang ada di desa Kaaruyan
mencerminkan bahwa setiap bentuk hasil panen yang mereka dapatkan di syukuri dengan
cara mereka menarikan tarian ini. Pada pertunjukan tari Maengket: maowey kamberu,
peneliti mengharapkan secara umum, masyarakat di Kecamatan Mananggu dan khususnya
masyarakat Minahasa itu sendiri dapat menguasai bentuk atau gerakan–gerakan pertunjukkan
tari Maengket: maowey kamberu, karena tari Maengket: maowey kamberu ini merupakan tari
tradisi yang berkembangan secara turun-temurun.

Tari Maengket:maowey kamberu memiliki keunikan tersendiri, keunikan tersebut


terletak pada gerakannya serta memiliki seorang kapel yang mengatur jalannya pertunjukan
tarian tersebut.

BAB II
Kearifan Lokal

Suku Minahasa memiliki banyak tradisi yang berkembang dalam masyarakat sejak
zaman dahulu. Setidaknya ada 5 tradisi yang hingga kini masih lestari dan harus dijaga,
berikut kelima tradisi tersebut:

1. Waruga

Di wilayah Minahasa banyak ditemukan batu-batu megalit yang menjadi saksi


perkembangan zaman. Batu tersebut diantaranya adalah menhir, batu bergores, lumpang batu,
altar batu, arca batu, arca menhir, batu dakon, dan yang paling terkenal adalah peti kubur atau
umum disebut waruga.
Menurut Bahasa Minahasa Kuna, istilah waruga merupakan gabungan dari 2 kata
yaitu wale yang berarti rumah dan maruga yang berarti badan yang hancur lebur jadi debu.
Jadi dapat dimaknai sebagai peti kubur batu yang berperan sebagai rumah untuk badan yang
telah hancur lebur jadi debu atau meninggal.
Bentuk waruga terdiri atas 2 bagian utama, yaitu badan dan tutup. Masing-masing
bagian tersebut dibuat dari batu utuh atau monolith dengan bentuk dasar segi empat yang
paling umum dan sebagian berbentuk segi delapan atau berbentuk bulat.
Mayat yang dalam waruga ini diposisikan jongkok yang mencirikan posisi bayi dalam
kandungan. Maksudnya adalah manusia berawal dalam posisi jongkok dan berakhir dalam
posisi jongkok pula, filosofi ini disebut whom.
Tangan pria diposisikan dalam keadaan kunci tangan sedangkan wanita diposisikan
dalam keadaan kepal tangan. Umumnya satu buah waruga diperuntukan untuk satu famili dan
beberapa kasus diperuntukan untuk beberapa orang yang satu profesi.
Waruga yang ditemukan di kawasan Minahasa mencapai 1335 buah dan diperkirakan ada
sejak tahun 1600-an. Jumlah tersebut terdiri atas 104 marga atau dotu, diantaranya adalah
Karamoy, Wenas, Kalalo, Mantiri, Kojongiang, Tangkudung, dan Rorimpandey.
 

2. Kolintang

Kolintang adalah salah satu alat musik tradisional yang dibuat dengan bahan dasar
kayu belar. Namun seiring perkembangan zaman, kolintang tidak hanya diproduksi dari
bahan dasar kayu belar tetapi juga bisa menggunakan kayu cempaka. Alat musik ini terdiri
atas barisan gong kecil yang disusun secara horizontal.
Istilah kolintang diadaptasi dari bunyi tingkatan dari alat musik ini. Seperti bunyi
‘tong’ pada nada rendah, ‘tang’ pada nada sedang, dan ‘ting’ pada nada tinggi. Orang dahulu
mengajak bermain alat musik ini dengan ajakan “Maimo Kumolintang” hingga munculah
istilah kolintang.
Di Minahasa, kolintang sudah diajarkan sejak masa kanak-kanak untuk
memperkenalkan tradisi sejak dini. Umumnya pementasan kolintang dikemas dalam bentuk
orkes dengan alunan suara yang menenangkan. Kolintang sering dipentaskan dalam perayaan
khusu yang ada di wilayah Minahasa.
 
3. Kegiatan Mapalus

Seperti masyarakat Indonesia pada umumnya, penduduk Minahasa juga gemar


menjalin kerjasama untuk menghadapi kehidupan. Sistem ini biasanya disebut Mapalus, yaitu
kerjasama atau tolong menolong yang dilakukan oleh kelompok atau perorangan yang
dipimpin oleh tu’a im palus.
Mapalus bisa terjalin di berbagai aspek kehidupan, seperti pada kegiatan sosial serta
kegiatan ekonomi. Berikut beberapa bentuk mapalus yang terjadi di lingkungan penduduk
Minahasa:
 Mendu impero’ongan, yaitu kegiatan sosial dalam wujud kerja bakti memperbaiki lingkungan
 Berantang, yaitu kegiatan sosial dalam wujud membantu keluarga yang tertimpa musibah
atau kedukaan
 Sumakey, yaitu kegiatan sosial dalam wujud syukuran atas nikmat yang diberikan
 Ma’endo, yaitu kegiatan ekonomi dalam wujud memperbaiki rumah atau menggarap ladang
 Pa’anda, yaitu kegiatan ekonomi dalam wujud arisan rutinan
 Kerukunan, yaitu kegiatan ekonomi dalam wujud lebih luas yang melibat kecamatan

4. Upacara Toki Pintu

Upacara Toki Pintu adalah tradisi sakral yang dilakukan sebagai rangkaian dari
pernikahan adat Suku Minahasa. Tradisi ini umumnya bersifat privat sehingga tidak
sembarang orang bisa menyaksikan tradisi ini tanpa adanya izin dari pihak yang
bersangkutan.
Pernikahan adat ini banyak yang diselenggarakan secara mapalus, yaitu kedua mempelai
dipandu oleh mapalus warga desa yang berwenang. Karena mayoritas penduduk Minahasa
adalah penganut agama Kristen yang taat, biasanya kegiatan pesta digantikan dengan acara
kebaktian yang khusyuk.
Pernikahan adat ini dapat dilakukan di di Langowan Toutemboan atau rumah
mempelai pria atau di Tomohon Tombulu atau rumah mempelai wanita sesuai kesepakatan
kedua keluarga. Seiring perkembangan zaman, keseluruhan prosesi pernikahan adat ini
umumnya dilakukan dalam satu hari saja.
Rangkaian acara bermulai di pagi hari yaitu memandikan pengantin, merias wajah
pengantin, memakaikan busana adat pada pengantin, memasangkan mahkota dan
memasangkan topi pengantin. Persiapan ini dilakukan untuk menjalankan Upacara Maso
Minta atau Upacara Toki Pintu.
Selanjutnya pada siang hari kedua mempelai dibawa ke catatan sipil untuk
mengesahkan pernikahan secara hukum Indonesia. Kemudian acara dilanjutkan dengan
resepsi yang biasanya terdiri dari lempar bunga, iringan musik, dan tari-tarian yang meriah.

5. Tari Kabasaran

Tari Kabasaran adalah tarian keprajuritan tradisional yang menjadi kekayaan adat
Suku Minahasa. Tarian ini bermula dari istilah ‘wasal’ yang dimaknai sebagai ayam jantan
yang telah dipotong jenggernya dengan maksud membuat ayam tersebut lebih garang ketika
sedang bertarung.
Orang yang menarikan tari ini dinamakan Kawasalan dengan gerakan menirukan
ayam jantan dalam pertarungan. Tarian ini diringi alat musik Pa’wasalen yang terdiri atas
kolintang dan gong. Tari Kabasaran umum dipertontonkan dalam wujud 3 babak, yaitu
cakalele, kumoyak, dan lalayaan.
Tidak sembarang orang bisa menarikan Tari Kabasaran karena tari ini merupakan
salah satu tari yang bersifat turun temurun. Tak heran jika masing-masing penari memiliki
sebuah senjata tajam yang didapat dari leluhurnya sebagai sebuah warisan. Leluhur yang
dimaksud adalah mereka yang bertugas sebagai seorang prajurit pada saat perang dan petani
di hari biasa.
Saat ini Tari Kabasaran sering dipentaskan dalam acara pagelaran seni budaya. Tak heran jika
tarian ini menjadi salah satu tradisi ikonik yang terkenal dari Minahasa.
Jadi itulah beberapa informasi menarik terkait Suku Minahasa yang bisa Anda jadikan
referensi. Indonesia adalah negara yang kaya, jadi jangan berhenti untuk terus
mengeksplorasi keragaman dan keunikan yang ada di dalamnya.

BAB III
Pemberdayaan Suku

nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi kasesenan ialah:

Saling menerima. Pelaksanaan tradisi kasesenan ini akan terjadi karena adanya saling
menerima antara setiap masyarakat. Saling menerima maksudnya masyarakat ikut ambil
bagian dalam tradisi ini dikarenakan setiap masyarakat tak bisa hidup tanpa bersosialisasi,
setiap masyarakat akan mengalami peristiwa dukacita dan pasti membutuhkan orang lain.
Ketika mengetahui bahwa ada salah seorang masyarakat desa yang mengalami peristiwa
duka, masyarakat langsung berbondong-bondong kerumah duka apalagi tradisi kasesenan ini
dilaksanakan tanpa undangan tertulis ataupun lisan dari keluarga yang berduka melainkan
inisiatif masyarakat saja. Keikutsertaan masyarakat juga tanpa melihat status sosial, ekonomi
dan agama. Hal ini menunjukkan dengan adanya tradisi kasesenan ini masyarakat saling
menerima satu dengan lain.
Memupuk rasa kebersamaan dalam masyarakat. Dalam keadaan bersama, belum
tentu ada rasa kebersamaan. Namun rasa kebersamaan dapat muncul atau diawali dengan
keadaan bersama. Rasa kebersamaan akan terus muncul ketika suatu masyarakat bersama-
sama dalam suatu kondisi, situasi, kegiatan yang sama, bahkan dalam hal menanggung beban
yang sama. Pelaksanaan tradisi kasesenan ini menjadi ruang lingkup keluarga, saudara, sobat
kenalan dan masyarakat untuk berkumpul bersama-sama. Salah satu tujuan dari tradisi ini
pun sebagai wadah bertegur sapa, dari yang belum saling mengenal untuk saling mengenal.
Kasesenan berasal dari kata sumesen yang artinya berkumpul, kasesenan adalah
perkumpulan. Masyarakat berkumpul dalam tradisi kasesenan karena rasa kebersamaan yang
terlihat lewat masyarakat datang dengan membawa makan bersama, duduk dan makan
bersama. Melalui hal ini, rasa kebersamaan tersaksikan dengan nyata.

Rasa solidaritas. Terbentuknya solidaritas merupakan dampak dari rasa kebersamaan.


Dalam bukunya Paul Johnson (1988), solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan
antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan
yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama (Johnson, 1988).

Rasa solidaritas tumbuh karena adanya kesadaran dari setiap masyarakat. Solidaritas
itu merujuk kepada rasa senasib sepenanggungan. Tradisi kasesenan ini terus berlangsung
sampai saat ini karena masyarakat memahami bahwa setiap kita pasti akan mengalami
peristiwa dukacita, untuk itu rasa solidaritas setiap masyarakat sangat dibutuhkan untuk
membantu keluarga dalam melewati peristiwa dukacita. Lewat tradisi kasesenan, masyarakat
hidup untuk saling peduli satu dengan yang lainnya. Hal ini sebagai wujud simpati dan
empati masyarakat. Dalam pelaksanaan tradisi kasesenan, lewat kehadiran, membawa makan,
duduk dan makan bersama merupakan bagian dari rasa solidaritas masyarakat suku
Tounsawang. Tidak ada undangan tertulis ataupun lisan, keikutsertaan masyarakat karena
rasa solitaritas itu sendiri.

Rasa persaudaraan. Memiliki rasa persaudaraan dalam masyarakat merupakan dasar


penting dalam setiap aspek. Rasa persaudaraan tidak hanya terjalin pada kelompok dengan
hubungan darah. Filosofi yang dimunculkan dalam pelaksanaan tradisi kasesenan baik dalam
hal serbet ataupun daun pisang mengandung arti rasa persaudaraan/kekeluargaan dipererat.

Saling berbagi. Berbagi dalam artian menyisipkan waktu untuk hadir, menghibur
keluarga yang berduka, dan membawa makanan. Muncul pertanyaan, kenapa saling berbagi
menjadi hal penting dalam tradisi kasesenan? karena berbagi juga dapat mempererat ikatan
persaudaraan antar masyarakat.

Perekat loyalitas sosial. Tradisi kasesenan menjadi perekat loyalitas sosial dalam
kehidupan masyarakat seperti semboyan Minahasa ‘Torang Samua Basudara’ yang artinya
‘Kita Semua Bersaudara’. Tradisi ini menjadi tempat berkumpulnya masyarakat tanpa
membeda-bedakan. Kebersamaan antar masyarakat begitu terasa. Jadi, kunjungan pada
keluarga yang berduka ini dilakukan oleh siapa saja: saudara, kenalan, kerabat, sekampung,
golongan agama apa saja. Hal ini terlihat dari proses pelaksanaan tradisi kasesenan, ketika
yang mengalami kedukaan beragama Kristen keikut serta masyarakat beragama Islam
nampak dari awal kegiatan sampai selesai, begitupun sebaliknya. Bahkan di tahun 2018, pada
pelaksanaan tradisi kasesenan keluarga yang mengalami kedukaan beragama Islam akan
tetapi ketika doa makan, mereka memberikan kesempatan untuk seorang penatua memimpin
doa makan bersama. Secara tidak langsung tradisi kasesenan ini mengajarkan masyarakat
untuk menjunjung tinggi “Bhineka Tunggal Ika” berbeda-beda tetapi tetap satu.

Mapalus (Semangat Gotong Royong). Semangat gotong royong merupakan sikap


dan prilaku untuk bekerja bersama-sama. Dalam kehidupan masyarakat Tounsawang
semangat bergotong royong atau lebih dikenal dengan sebutan maando terus dikembangan
sebagai prinsip saling tolong menolong, saling menopang dan saling mengasihi antar
masyarakat desa. Tradisi kasesenan merupakan bagian dari mapalus. Apabila ada masyarakat
desa yang meninggal dunia atau mengalami peristiwa dukacita secara spontas masyarakat
sekitar datang membantu keluarga, salah satunya hadir dengan membawa makan bersama.
Masyarakat mempunyai peran dalam pelaksanaan tradisi ini yaitu masyarakat dengan
pemerintah mempersiapkan tempat

pelaksanaanya, mengatur meja dan kursi, beribadah bersama, makan bersama. Salah satu
tradisi yang kuat dikalangan masyarakat suku Tounsawang ialah melakukan pekerjaan
bersama-sama.

Kesetiaan pada tradisi leluhur. Salah satu nilai penting sehingga tradisi kasesenan
masih dilaksanakan sampai saat ini dikarenakan masyarakat setia kepada leluhur. Memang
dalam kehidupan manusia faktor kesetiaan dianggap penting. Masyarakat setia kepada tradisi
leluhur karena nilai-nilai lain yang tertanan dalam tradisi kasesenan seperti rasa saling
menerima, memupuk rasa kebersamaan dalam masyarakat, solidaritas, rasa persaudaraan,
saling berbagi, perekat loyalitas sosial, dan semangat gotong royong, nilai-nilai inipun yang
diajarkan dan ditanamkan oleh para lelehur sehingga bertumbuh dan berakar serta berbuah
demi terciptanya hubungan baik antar masyarakat ditengah perbedaan.

Pelestarian Budaya. Tradisi kasesenan adalah salah satu dari banyaknya budaya di
Minahasa. Lewat tradisi kasesenan yang masih dilaksanakan sampai sekarang menjadi wujud
nyata masyarakat untuk melestarikan budaya setempat. Muncul pertanyaan, apa keuntungan
dari setiap kita dalam melestarikan budaya? Masyarakat dapat mengenal budaya setempat,
dapat menjadi identitas desa, bahkan menjadi kebanggaan masyarakat karena budaya pasti
memiliki nilai pendidikan, bahkan bila ada orang yang tidak tahu dapat diajarkan.
Melestarikan budaya kasesenan juga meningkatkan sifat toleransi dari setiap kita dalam
hidup bermasyarakat. Kasesenanpun merupakan warisan untuk anak cucu supaya tetap dapat
melestarikan budaya sekaligus menikmati warisan budaya dari tradisi kesesenan.

Berdasarkan semua nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi kasesenan ini, dapat
dikatakan bahwa tradisi kasesenan sebagai modal sosial dalam masyarakat.
Menurut Woolcock, modal sosial dapat dijelaskan sebagai social bounding (perekat
sosial dan social bridging (jembatan sosial). Social bounding (perekat sosial) nilai, kultur,
persepsi, dan tradisi atau adat-istiadat. Social bounding adalah tipe modal sosial dengan
karakteristik adanya ikatan yang kuat dalam suatu sistem masyarakat (Laura, 2018). Dalam
social bounding adanya rasa empati yang dirasakan masyarakat sekitar, kemudian adanya
kepercayaan yaitu sikap saling mempercayai antar masyarakat suku Tounsawang. Dalam
tradisi kasesenan yang mampu melahirkan rasa kebersamaan, saling menerima, saling
berbagi yang berarti saat ada berita duka semua masyarakat datang mengunjungi keluarga
yang berduka tanpa membedakan agama. Hal inilah yang melahirkan rasa empati bagi
keluarga yang sedang berduka.

Menurut Woolcock, social bridging (jembatan sosial), bisa berupa institusi maupun
mekanisme. Sosial bridging merupakan suatu ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas
berbagai macam karakteristik kelompoknya (Laura, 2018). Institusi adalah suatu lembaga
yang hadir dalam ranah masyarakat yang berperan sebagai fasilitas dalam mengatasi
permasalahan dalam mayarakat seperti pemerintah desa yang memfasilitasi masyarakat suku
Tounsawang dalam setiap acara termasuk dalam pelaksanaan Kasesenan. Ketika ada berita
duka yang di alami oleh salah satu keluarga, masyarakat dan segenap pemerintah desa datang
berbondong-bondong menghadiri, ikut andil dalam kegiatan tersebut. Pemimpin masyarakat
(Hukum Tua, Pala/Meweteng, Perangkat Desa) dan pemimpin agama (Pendeta/Majelis
Jemaat, Ustad, Imam) turut menghadiri acara kasesenan.

Social bounding (perekat sosial dan social bridging (jembatan sosial) ini sangat
berpengaruh dalam tradisi kasesenan, karena memunculkan kepekaan sosial sejalan dengan
teori Woolcock. Dalam pelaksaan tradisi kasesenan ini banyak

mengandung nilai-nilai positif. Nilai-nilai inilah menjadi daya tarik tersendiri dalam
pelaksanaan tradisi kasesenan. Secara garis besar tanda-tanda tradisi kasesenan nampak
dalam nilai-nilai tersebut ialah faktor sejarah, asal mula tradisi ini dilaksanakan, lewat
kehadiran, cara membawa makan dan makan bersama. Oleh karena itu, suatu sistem nilai
budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sumber dari nilai
budaya yang terkandung dalam tradisi kasesenan ini adalah dari apa yang dilakukan oleh para
leluhur secara turun- termurun. Itulah sebabnya nilai budaya tadi sukar diganti dengan nilai
lainnya dalam waktu singkat.
BAB IV
Penutup

Masyarakat Tombatu Tiga Tengah adalah masyarakat yang majemuk. Kemajukan ini
tidak menjadi penghalang bagi masyarakat untuk hidup bersama. Hal ini nampak dalam
tradisi kasesenan yang merupakan budaya dan ciri khas masyarakat yang berkaitan dengan
kegiatan sosial. Tradisi kasesenan dilakukan sejak dahulu dan berlangsung secara turun
temurun, karena tradisi ini melekat dalam ingatan masyarakat yang tidak hanya menjelaskan
pelaksaannya tetapi juga menjadi sarana menampakan identitas suku Tounsawang, yang
saling menerima, memupuk rasa kebersamaan, solidaritas, persaudaraan yang saling berbagi,
perekat loyalitas sosial, mapalus, kesetiaan pada tradisi leluhur, dan pelestarian budaya.

Keterpanggilan masyarakat untuk menghadiri tradisi kasesenan ternyata dilakukan


secara sukalera solidaritas pada saat menggalami peristiwa dukacita. Tradisi ini merupakan
bentuk makan bersama dan sarana perjumpaan masyarakat yang dilaksanakan seminggu
setelah berpulangnya salah satu anggota keluarga atau sesuai dengan permintaan keluarga.
Bentuknya dari waktu ke waktu mengalami perubahan seperti hari

pelaksanaan, cara berpakaian, alat makan, dan kehadiran masyarakat, namun


perubahan itu tidak meninggalkan nilai budaya kasesenan. Hal-hal ini terkait dengan
pendapat Ogburn dan Nimkoff mengenai wujud kebudayaan material dan non material yang
diumpamakan seperti gunung es oleh Edward Hall.

Sistem nilai budaya yang terdapat dalam tradisi kasesenan memberikan pengajaran
yang baik dengan tujuan positif bagi kelangsungan kehidupan masyarakat. Sikap saling
membantu, tolong menolong merupakan wujud empati bahkan mengajarkan tentang perasaan
senasib sepenanggungan seperti semboyan Minahasa “Torang samua basudara” (kita semua
bersaudara). Sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi perilaku manusia
dan sumber dari nilai budaya yang terkandung dalam tradisi kasesenan sungguh melekat,
karena itu nilai budaya kasesenan ini sulit diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu
singkat. Kasesenan menjadi perekat sosial dan jembatan sosial seperti pemahaman Woolcock
bahwa ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi karakteristik kelompok menyangkut institusi
pemerintah dan agama. Oleh karena itu masyarakat terpanggil dan ikut ambil bagian dalam
pelaksanaan tradisi kasesenan. Tradisi ini dengan nilai-nilai budaya yang terkandung
didalamnya tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan kebersamaan ditengah masyarakat
suku Tounsawang.

Anda mungkin juga menyukai