Anda di halaman 1dari 7

TES PEMBELAJARAN PENDEKATAN KOMUNIKATIF PRAGMATIK

1. Dikte
Dikte adalah sebuah kegiatan membaca sesuatu dengan keras supaya ditulis orang lain.
Dalam belajar bahasa, dikte adalah sesuatu teknik belajar bahasa dengan cara menulis apa
yang di katakan atau di ucapkan oleh guru atau teman sekelas secara tepat. Bahan pelajaran
yang biasa di dektekan, antara lain kata, kalimat sederhana, atau bacaan singkat. Kegiatan
dikte memiliki beberapa manfaat, dikte menyebabkan guru dan siswa mengetahui kesalahan
penulisan atau ejaan sebuah kata, kalimat, atau bacaan singkat secara cepat.
Kesalahan tersebut biasanya di buat tiap tiap siswa saat mengevaluasi hasil dikte. Dikte
dapat meningkatkan kemahiran mendengarkan dan menulis bagi para siswa. Dikte dapat
menambah perbendaan kosakata. Dikte melatih daya ingat jaka pendek siswa akan kata-kata
kalimat yang didengar sebelum dituliskan pada kertas. Selama dan sesudah dikte, semua
siswa terlihat aktif. Dikte dapat menjadi acuan yang baik bagi keseluruhan kemahiran bahasa.
Pembelajaran di sekolah menjadi jalan keluar untuk anak mendapatkan pendidikan
formal. Namun terkadang dalam pembelajaran seorang anak dapat mengalami kendala dalam
penerimaan informasi, memproses informasi dan merespon informasi yang di dapatnya dalam
pembelajaran yang disebut kesulitan belajar.
Kesulitan belajar adalah suatu hal yang sering terjadi dan dialami oleh sebagian siswa di
sekolah dasar juga bahkan oleh siswa yang belajar pada jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Disini kompetensi guru sangatlah berperan dalam mengetahui kelemahan dan
kesulitan yang dialami oleh peserta didiknya. Hal ini terkait dengan pemberian layanan yang
akan di berikan dan akan di terima oleh guru kepada anak didiknya, sehingga peserta didik
tidak lagi mengalami kesulitan didalam belajar.
2. Tes Berbicara
Tes berbicara adalah pengukuran untuk mengumpulkan informasi mengenai kemampuan
seseorang dalam keterampilan berbicara (Shihabuddin, 2009:197). Tes berbicara bukan hanya
tes lisan, melainkan tes penampilan, yaitu tes perbuatan lisan. Ini berarti yang dinilai bukan
hanya pembicaraannya, melainkan proses perbuatan, tindakan, perilaku, dalam menghasilkan
pembicaraan itu. Tes berbicara dapat dilakukan dengan tes terpadu atau integratif. Artinya,
tes ini memadukan sejumlah komponen yang dijadikan sebagai sasaran tes. Komponen-
komponen tersebut adalah sebagai berikut.
1. Bahasa lisan yang digunakan, meliputi:
1)  lafal;
2)  kosakata dan pilihan kata;
3)  struktur bahasa;
4)  gaya bahasa dan pragmatik.
2. Isi pembicaraan, meliputi:
1)  hubungan topik pembicaraan dengan isi;
2)  struktur isi;
3)  kualitas isi;
4)  kuantitas isi.
3. Teknik dan penampilan berbicara, meliputi:
1)  tata cara berbicara sesuai dengan jenis pembicaraannya;
2)  gerak-gerik dan mimik;
3)  volume suara.
Adapun contoh dalam tes berbicara pada pembelajaran Bahasa Indoensia seperti
pemberian tugas untuk bercerita kepada siswa,merupakan salah satu cara untuk mengungkap
kemampuan berbicara yang bersifat pragmatis. Untuk dapat bercerita, paling tidak ada dua
hal yang dituntut untuk dikuasai oleh siswa, yaitu unsur linguistik (bagaimana cara bercerita,
bagaimana memilih bahasa) dan unsur “apa” yang diceritakan. Ketepatan, kelancaran, dan
kejelasan cerita akan menunjukkan kemampuan berbicara siswa. Siswa juga dapat memilih
bahasa yaang tepat untuk mengungkapkan gagasan, berpidato mempunyai persamaan dengan
tugas bercerita. Dalam kehidupan bermasyarakat, aktivitas berpidato banyak dikenal dan
dilakukan orang, misalnya pidato sambutan, pidato tentang politik, kenegaraan dan termasuk
dimaksudkan disini adalah ceramah-ceramah. Untuk melatih kemampuan siswa
mengungkapkan gagasan dalam bahasa yang tepat dan cermat, tugas berpidato baik untuk
diajarkan dan diujikan di sekolah. Dalam kaitannya dengan pengajaran (dan tes) bahasa di
sekolah, tugas berpidato dapat berwujud permainan simulasi. Misalnya, siswa bersimulasi
sebagai kepala sekolah berpidato dalam upacara bendera, menyambut tahun ajaran baru, hari
sumpah pemuda dan sebagainya. Keterampilan ekspresi lisan yang berupa aktivitas berpidato
cukup populer di sekolah dan perguruan tinggi, terbukti dengan seringnya diselenggarakan
lomba berpidato antarsiswa atau mahasiswa.
3. Tes Cloze
Taylor (Shihabuddin, 2008:140) merupakan orang yang pertama kali merancang prosedur
pengukuran keterampilan berbahasa yang dikenal dengan nama “teknik cloze”. Dia pun
sebagai pembuat istilah kata cloze yang kadang-kadang membuat repot dan salah pengertian
pada pihak juru ketik karena kata itu terasa asing bagi mereka, sehingga meluruskannya
menjadi “close”, seperti dalam frasa“close the door”. Ada pula yang menganggap bahwa kata
”cloze”merupakan penghilangan pengejahan dan kata “to close” yang berderivasi dari sebuah
prinsip closure sebagai salah satu konsep utama dalam psikologi Gestalt.
Teknik ini menggunakan tingkat keterpahaman pembaca terhadap teks sasaran sebagai
indikator kualitas terjemahan. Hal ini dilakukan oleh pembaca dengan cara menebak atau
memprediksi kata-kata yang dihapus dari suatu teks terjemahan. Namun demikian, Teknik ini
memiliki beberapa kelemahan misalnya, (1) tidak mengukur seberapa akurat pesan, (2) tidak
mempertimbangkan kompetensi pembaca sasaran, (3) seandainya tertebak pun tidak bisa
dijadikan jaminan bahwa teks tersebut sudah akurat (Hartono, 2011:101).
Taylor (Shihabuddin, 2008:140) mendefinisikan teknik cloze sebagai suatu metode
untuk“menjegal” suatu berita dari pengirim (pengirim-penulis atau pembaca) dengan cara
merusak pola bahasanya melalui penghilangan bagianbagiannya, dan setelah itu diberikan
kepada penerima (penerima-pembaca atau pendengar). Usaha si penerima untuk
menyempurnakan pola itu kembali secara parsial akan memberikan sejumlah unit cloze.
Teknik cloze melibatkan dua pihak yaitu pihak pengirim, dalam hal ini penguji yang
menghilangkan beberapa kata dari sebuah teks secara sistematis, dan pihak penerima yaitu
testi yang bertugas mengisi kembali, mempersepsi, dan menyempurnakan teks yang
sebelumnya dirusak oleh si pengirim (Shihabuddin, 2008: 140). Tes cloze yang dapat
dimanfaatkan untuk penilaian tingkat keterbacaan dan tingkat kesulitan teks, penilaian
kemampuan membaca pemahaman,menelaah kendala-kendala yang ada dalam teks, penilaian
kelancaran berbahasa dan penilaian efektifitas pengajaran.
4. Tes Pragmatik
Tes ini muncul dikarenakan adanya reaksi akeras antara tes diskret yang dipandang
memiliki banyak kelemahan. Tes diskret yang mmeacahkan unsrur kebahasaan dan
kemudahan diteskan secara terpisah dan terisolasi bersifat sangat
artificial(nurguyantoro,1988). Berkaitan dengan hal ini oller (1979) mengusulkan sebuah
pendekatan tes yang disebut denagn pagmatik. Tes pragmatic menurut vallete (1977)
mempunyai persamaan konseptual dengan ts kompetnsi komunikatif . sementara
itu ,djiwandono (1966) memberikan penekanan tertentu dalm tes komunikatif adanya kaiytan
yang jekas antara tes bahasa denga s\aspek – aspek nyata dalam komunikasi tertentu, yang
terjadio antara orang – orang trerttentu , mengenai suatu hal tertentu pada suatu keadaan
tertentu serta dengahn maksdud dan tujuan tertentu.
Menurut Oller (1979), tes pragmatik merupakan suatu pendekatan dalam tes keterampilan
(skills) berbahasa untuk mengukur seberapa baik siswa mempergunakan elemen-elemen
bahasa sesuai dengan konteks komunikasi yang nyata (Nurgiantoro, 1987:163). Pendekatan
tes ini sejalan dengan penerapan pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa.
Sasarannya adalah penguasaan empat aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis) sebagai perwujudan dari kompetensi berbahasa. Fungsi bahasa
sebagai alat komunikasi benar-benar menjadi dasar bagi pengelolaan proses belajar mengajar
bahasa, termasuk pengevaluasiannya (Mulyati dan Halimah).
Jenis tes bahasa yang termasuk dalam tes ini bermacam- macam diantaranya:
1. Dikte (dictataion)
2. Tes cloze (cloze precedure)
3. Pemahaman para frase (paraphrase recognition),
4. Jawaban pertanyaan(question answering)
5. Berbicara atau lebih khusus lagi atau wawancara(oral interview)
6. Menulis (composition or essay)
7. Bercerita(narration)
8. Terjemahan(translation.
5. Tes Komunikatif
Pembelajaran bahasa di sekolah dimaksudkan untuk mencapai kompetensi komunikatif
peserta didik sebagaimana terlihat dari pendekatan juga yang disarankan, yaitu pendekatan
komunikatif Pendekatan ini me nekankan pentingnya fungsi bahasa yang sebagai fungsi
komunikatif Pembelajaran bahasa di sekolah haruslah memberikan kesempalan kepuda
peserta didik untuk memeroleh berbagai kompetensi berbahasa yang dapat dimanfaatkan
untuk kegiatan berkomunikasi dalam kehidupan nyata sehari-hari. Kompetensi berbahasa itu
meliputi kemampuan pemahaman (menyimak dan membaca) dan kemampuan penggunaan
(berbicara dan menulis). Dengan demikian, pembelajaran bahasa, dengan konsekuensi
penilaiannya, mau tidak mau harus melibatkan berbagai aspek kebahasaan sekaligus, dan
inilah kemudian yang dikenal sebagai pembelajaran yang bersifat whole language. Dalam
whole language terkandung pengertian keterpaduan antara berbagai fungsi bahasa dengan tata
bahasa. Fungsi komunikatif bahasa adalah berupa pemahaman (aktif reseptif) dan
penggunaan(aktif produktif) bahasa, sedang tata bahasa adalah semua aspek yang terkait
dengan sistem bahasa.
Agar pembelajaran bahasa dapat mencapai target, pembelajaran yang dilakukan haruslah
menekankan pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk memeroleh apa yang disebut
kompetensi komunikatif (communicative competence), (Hyme,197). Kompetensi
komunikatif merupakan kompetensi untuk memahami dan mempergunakan bahasa dalam
kegiatan komunikasi secara faktual dan wajar sesuai dengan konteks pembicaraan.
Kompetensi itu meliputi kompetensi gramatikal, yang merupakan kompetensi yang berkaitan
dengan berbagai unsur kebahasaan, kompetensi sosiolingual, yang merupakan kompetensi
yang berkaitan dengan kemampuan memergunakan bahasa sesuai dengan keadaan sosial
kemasyarakatan, Kompetensi tontekstual, yang merupakan kompetensi yang berkaitan
dengan kemampuan memergunakan bahasa sesuai dengan situasi dan kondisi (konteks)
pembicaraan yang dilakukan, dan kompetensi stragik, yang merupakan kemampuan memilih
strategi komunikasi yang sesuai dengan efek yang diinginkan.
Dengan demikian, tes komunikatif harus didesain sedemikian rupa agar terdapat
kemiripan antara kemampuan berbahasa yang diteskan dan kenyataan penggunaan bahasa
sehari hari dalam konteks tertentu. Masalahnya adalah ada sekian banyak penggunaan bahasa
dalam konteks kehidupan nyata, dan bahasa yang mana yang akan disampel untuk diteskan
Dalam kaitan ini lagi-lagi faktor penentu berbahasa harus dipertimbangkan.
Untuk memudahkan mencari pemakaian bahasa yang kontekstual yang dapat diteskan,
misalnya, kita dapat memanfaatkan media elektronika televisi yang dewasa ini semakin
suntuk dinikmati masyarakat. Kita dapat menugasi peserta didik untuk mencermati siaran-
siaran tertentu, misalnya film-film kartun, film-film anak-anak, sinetron, warta berita, dan
lain-lain tergantung tingkat sekolah peserta didik yang ditugasi. Pencermatan terhadap acara-
acara tersebut kemudian dimanfaatkan untuk tugas menyimak, membaca, berbicara, dan
memulis. Pemanfaatan media televisi sebagai salah satu sumber belajar bahasa juga dapat
mendukung masalah keotentikan komunikasi yang perlu mendapat penekanan dalam tes
komunikatif Bahasa.

Sumber Referensi :
https://ejurnalunsam.id/index.php/jbes/article/download/3557/2381/
https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/jurnalmembaca/article/download/1559/2144
https://mastiahumiaisyabilal.wordpress.com/2019/01/10/jenis-tes-bahasa/

TES PEMBELAJARAN PENDEKATAN KOMUNIKATIF PRAGMATIK

DISUSUN OLEH :

NAMA : Fininta Sasronida Sinaga


NPM : 2001020052

MATA KULIAH : KAJIAN WACANA BAHASA INDONESIA


DOSEN PENGAMPU : Drs. RONALD HASIBUAN, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN PEMATANGSIANTAR
2023

Anda mungkin juga menyukai