Anda di halaman 1dari 23

A.

TES KBAHASAAN DAN PENGAJARAN BAHASA


Tes kebahasaan dan pengajaran bahasa merupakan dua kegiatan yang erat
berkaitan.tes kebahasaan merupakan bagian dari kegiatan pengajaran bahasa secara
keseluruhan. Berdasarkan informasi tes itulah dapat dilakukan penilaian secara objektif,
khusunya terhadap hasil belajar bahasa siswa.
Baik pengajaran bahasa maupun tes kebahasaan masing-masing mempunyai
permasalahan yang cukup kompleks. Ada banyak faktor yang terlibat dan perlu
dipertimbangkan dalam keduanya. Masalah dalam pengajaran bahasa terutama berkaitan
dengan peningkatan berhasilan belajar siswa dalam bahasa yang dipelajari, bahasa target,
sedang masalah tes kebahasaan antara lain tentang bagaimana mengungkap hasil belajar
yang mencerminkan kemampuan siswa yang mendekati sebenarnya.

1. Tentang Tes Kebahasaan


Tes kebahasaan yang dimaksud dalam penulisan ini adalah tes kebahasaan dalam
kaitannya atau sebagai bagian pengajaran bahasa, baik bahasa pertama, bahasa kedua,
maupun bahasa asing. Istilah “penguasaan” terhadap suatu bahasa yang dipelajari
dibedakan menjadi penguasaan terhadap aspek-aspek bahasa (elemen-elemen
lingusitik) dan penggunaan bahasa itu untuk kegiatan komunikasi. Penguasaan
terhadap aspek-aspek linguistik suatu bahasa belum tentu berarti menguasai bahasa itu
untuk kebutuhan komunikasi.
Penguasaan yang kedua berdifat praktis, menguasaibahasa target untuk maksud
komunikasi sesuai dengan fungsi komunikatif bahasa. Tes terhadap penguasaan
aspek-aspek bahasa tak ada salahnya juga dilakukan, tetapi hendaknya dikaitkan
dengan fungsi komunikatif bahasa.
Tes kebahasaan yang dimaksud untuk mengukur kemampuan komunikatif siswa
dalam bahsa target, tidak harus (dan jangan semata-mata) hanya berupa tes akhir atau
sumatif saja, melainkan yang baik adalah tes dalam proses, selama masih
berlangsungnya proses pembelajaran.

Penelitian dengan Tes Kebahasaan


Kegiatan penelitian merupakan hal yang sangat diperlukan dalam mengajaran
bahasa (dan sastra). Berbagai hal yang masih merupakan masalah dapat dicari
jawabannya atau dibuktikan kebenarannya melalui penelitian. Pengambilan keputusan
tentang suatu kebijakan dengan berdasarkan diri pada hasil-hasil penelitian akan lebih
bijak daripada sekedar mendasarkan diri pada pertimbangan akal sehat saja.
Banyak masalah pengajaran bahsa yang dapat dipecahkan atau ditemukan melalui
penelitian kependidikan, khususnya penelitian yang mempergunakan instrumen tes
kebahasaan. Masalah-masalah pengajaran baasa yang dimaksudkan anatara lain :
a) Seberapa tinggi tingkat kemampuan berbahasa siswa tingkat tertentu, didaerah
tertentu, dalam bahasa target tertentu.
b) Ada pengaruh teknik tertentu (lingkungan, atau sesuatu yang lain) terhadap
prestasi belajar bhasa siswa.
c) Adakah kaitan anatara penguasaan keterampilan berbahasa dengan kemampuan
apresiasi satra siswa.
d) Dan sebagainya.

2. Tes Kebahasaan dan Sifat Pengajaran Bahasa


Tes Kebahasaan yang dimaksudkan mengukur hasil belajar siswa hendaknya
sesuai dengan sifat pengajaran bahsa yang dilakukan. Dengan demikian, tes yang
dilakukan dapat berbeda-beda terutama jika sifat dan tujuan yang akan dicapai tidak
sama.
Sifat pengajaran bahsa antara lain dapat ditinjau dari kedudukan bahasa yang
diajarkan kepada siswa, apakah ia berupa bahasa ibu atau bahasa pertama, bahasa
kedua, atau bahasa asing. Bahasa pertama tentunya akan berbeda dengan sifat
pengajaran bahasa kedua dan bahasa asing.
Pengajaran bahsa jawa bagi anak-anak yang berbasa jawa tentunya akan berbeda
dengan pengajaran bahsa indonesia yang merupakan bahasa kedua. Hal itu
disebabkan anak-anak telah menguasai bahasa untuk keperluan komunikasi baik yang
bersifat reseptif maupun produktif.
Perbedaan sifat dan kedudukan pengajaran bahasa tersebut menurut perbedaan tes
kebhasaan bagi siswa pemelajar bahasa khusunya yang menyangkut cakuan bahan
dan tingkat kesulitan butir-butir tes. Demikian belum dpat di lakukan untuk tes
bahasa asing karena pengetahuan kebahasan dan tingkat keterampilan berbahasa
siswa dalam bahasa itu masih terbatas. Oleh karena itu, tes kebahasaan yang diberikan
lebih terbatas cakupan nya dan mencakup kesulitan butir-butir soal mudah atau
sederhana, baik yang mencakup struktur, kosa kata, maupun yang menyangkut
penguasaan keterampilan berbahasa.
Pengjaran bahasa indonesia di sekolah lanjutan meliputi pengajaran tentang
bahasa yang berkaitan dengan kompetensi linguistik, keterampilan berbahas yang
berkaitan dengan tindak berbahsa (performance) atau yang mengyangkut fungsi
komunikatif bahasa, dan kesusatraan. Oleh karena itu tujuan pembelajaran bahsa
ditekankan pada kemampuan siswa untuk berkomunikasi. Dipihak lain, karena tujuan
pengajaran sasatra ditekankan semata-mata berupa pengajaran tentang sastra,
melainkan yang bersifat membimbing dan memberi kesempatan untuk
mengapresiasikan karya sastra.

B. KOMPONEN TES KEBAHASAAN


Komponen atau unsur kebahasaan yang diteskan adalah meliputi hal-hal yang menjadi
cakupan pengajaran bahasa (Indonesia).

1. Tes Kompetensi Kebahasaan


Kompetensi kebhasaan seseorang berkaitan dengan pengetahuan tentang sistem
bahasa, tentang struktur, kosa kata, atau seluruh aspek kebahasaan itu, dan bagaimana
tiap aspek tersebut saling berhubungan (Brown, 1980: 27-28).
Pengetahuan tentang kompetensi kebahasaan tersebut penting karena hal itu akan
mempengaruhi (mungkin: menentukan) kemampuan dalam tindak berbahasa,
walaupun penutur asli suatu bahasa belum tentu menyadari pengetahuan tentang
kompetensi kebahasaannya. Dalam hal yang terakhir ini kesadaran kompetensi
kebahasaan pemelajar bahasa sangat diperlukan karena hal itu akan menentukan
kemampuan tindak berbahsa.
Tes yang menyangkut kompetensi kebahasaan secara garis besar dapat
dikelompokan menjadi tes struktur dan kosa kata (dengan tanpa mengabaikan sistem
fonologi). Dengan kata lain, boleh dikatakan bahwa penguasaan struktur dan kosa
kata merupakan persyaratan untuk melakukan kegiatan berbahasa.

(1) Tes Struktur Tata Bahasa


Struktur bahsa pada umuya dibedakan ke dalam morfologi dan sintaksis.
Struktur sintaksis merupakan hal yang lebih penting daripada morfologi karena
sintasksi meripakn struktur bahasa yang tingi. Kegramatikalan kalimat akan
sangat menentukan apakah suatu penuturan dapat diterima karena bermakna,
atau sebaliknya ditolak karena tidak bermakna.
(2) Tes Kosa Kata
Kosa kata dalam suatu bahasa biasanya jumlahnya banyak sekali. Akan tetapi,
hanya sebagian kosa kata yang dipergunakan secara aktif dalam kegiatan
berkomunikasi, sedang yang lain jarang dipergunakan.

2. Tes Kemampuan Berbahasa


Kegiatan berbahasa merupakan tindak mempergunakan bahasa secara nyata untuk
maksud berkomunikasi. Kegiatan berbahasa, atau sebagai kebalikan kompetensi.
Kemampuan berbahasa dapat dibedakan menjadi dua kolompok, kemampuan
mamahami (comprehension) dan mempergunakan (production).

(1) Tes Kemampuan Reseptif


Kemampuan reseptif terdiri dari dua macam kemampuan berbahasa,
kemampuan membaca dan menyimak. Kegiatan membaca merupakan usaha
memahami informasi yang disampaikan melalui lambang tulisan.
Kegiatan menyimak pada hakikatnya juga merupakan usaha memahami
konteks ekstralinguistik atau informasi memlalui sarana linguistik. Dalam
kegiatan membaca sarana bahasa disampaikan secara tertulis, tetapi dalam
menyimak disampaikan secara lisan yang berupa lambang bunyi.

(2) Tes Kemampuan Produktif


Kemampuan Produktif terdiri dari dua macam kemampuan berbahasa,
kemampuan berbicara dan kemampuan menulis. Kegiatan berbicara
merupakan kegiatan menghasilkan bahasa dan mengkomunikasikan ide dan
pikiran secara lisan. Untuk dapat berbicara secara baik yang bersangkutan
yang akan dipergunakan sebagai wadah untuk menampung pikiran yang akan
dikemukakan.
Secara prinsipial kegiatan menulis tidak berbeda dengan kegiatan
berbicara, kegiatan menghasilkan berbahsa dan mengkomunikasikan pikiuran
secara tertulis.
3. Tes Kesastraan
Jika disejajarkan dengan tes kebahasaan yang terdiri dari aspek kompetensi dan
performansi, tes kesastraan dapat dibedakan menjadi tes pengetahuan tentang sastra
dan kemampuan apresiasi sastra.
Tes kesastraan harus diprioritaskan pada usaha mengungkap kemampuan
mengapresiasi sastra siswa, dan secara ;angsung berhubungan dengan karya sastra.

C. JENIS TES BAHASA


Tes kebahasaan yang dilakukan mingkin hanya menyangkut salah satu aspek bahasa
secara sendiri, mungkin dua aspek atau lebih sekaligus, atau mungkin langsung
dikaitakna dengan pemakaian bahasa secara faktual sesai dengan fungsi komunikatif
bahasa. Tes kebahasaan yang pertama bersifat diskrit, yang kedua integratif, ketiga
pragmatif, dan keempat komunikatif.

1. Tes Diskrit
Tes diskrit adalah tes yang hanya menentukan atau menyangkut atau aspek
kebahasaaan pada satu waktu (Oller, 1979; 37). Tiap satu butir soal hanya
dimaksudkan untuk mengmengukur satu aspek kebahasaan, misalnya fonologi,
omortofologi, sintaksis, atau kosa kata.
Sebagai contoh misalnya, tes keterampilan menyimak yang hanya menuntut siswa
untuk mengenali perbedaan fenomena-fenomena tertentu, atau aspek kebahasaan yang
lain. Dasar pemikiran teori diskrit, baik dalam pengajaran maupun penilaian, berasal
dari teori strukturalisme dalam linguitik dan teori behaviorisme dalam psikologi
(Brown, 1980; 217). Strukturalisme maupun behaviorisme mengakui bahwa suatu
bentuk keseluruhan dapat dipecah menjadi bagian-bagian tertentu.
Dengan demikian teori beranggapan keseluruhan semua dengan jumlah bagian-
bagiannya. Kenyataan bahwa bahasa dapat dilepaskan dari konteks pemakaiannya
kurang diabaikan dalam teori diskrit. Tes fonologi mungkin menghendaki siswa untuk
mengenal fenomena-fenomena tertentu dalam sebuah kata.
Tes fonologis yang dimaksud untuk mengukur kemampuan menyimak dapat
dilakukan dengan meminta siswa mengenai perbedaan bunyi pada kata-kata yang
mirip (Lado, 1964). Tes struktur, morfologis dan sintaksis dapat dilakukan dengan
meminta siswa untuk mengenai, mengidentifikasi, menunjukan atau membedakan
bentuk-bentuk tertentu.
Padangan topri diskrit yang memecah-mecah unsur kebebasan dan
menhadirkannya dalam keadaan terislasi dipandang orang sebagai kelemahan yang
mencolok. Kritik tersebut terutama timbul setelah populernya pendekatan komunikatif
yang menekankan pengajaran sesuai dengan fungsi komunikatif bahasa yang bersifat
alami dan memandang bahasa bukan sebagai jumlah dari bagian-bagian (Brown,
1980: 217).
Menurut pandangan komunikatif dan pragmatik, pengajaran bahasa yang bersifat
diskrit tidak akan mencapai keberhasilan. Tidak ada seseorang pun yang dapat belajar
bahasa secara mutlak diskrit.

2. Tes Integratif
Tes yang bersifat integratif muncul sebagai reaksi terhadap teori tes diskrit. Jika
dalam tes diskrit aspek-aspek bahasa dan keterampilan berbahasa dilakukan secara
terpisah, dalam tes integratif aspek dala keterampian. Dalam tes integratif berusaha
mengukur kemampuan siswa mempergunakan berbagai aspek kebahasaan atau
beberapa keterampilan berbahsa (Ollerm 1979: 37).
Dalam tes integratif aspek-aspek kebahasaan tidak dipisahkan satu dengan yang
lain untuk diteskan secara sendiri, melainkan dalam wujud bahasa yang merupakan
suatu kesatuan yang padu. Tes kebahsaan yang integratif tidak secara khsus
mengeteskan salah satu aspek atau keterampilan tertentu, melainkan sebuah tes dalam
satu waktu meliputi beberapa aspek kebahasan sekaligus.
Tes kebahasaan yang sesuai dengan kompetensi komunikatif, sesuai dengan
konteks pemakaian bahasa seperti dikemukakan di atas, menurut Oller sudah
termasuk tes ragmantik. Tes pragmatik pasti integratif, tetapi tes integratif belum
tentu pragmatik. Tes integrayif yang demikian kadang-kadang tak dapat dibedakan
secara pilah dengan tes diskrit, khususnya tes diskrit yang melibatkan konteks
kalimat.

(1) Menyusun Kalimat


Dalam tes jenis ini disediakan sepearngkat kalimat (untuk satu soal) yang kata-
katanya disusun secara acak sehingga “kalimat” itu tidak memiliki makna
gramatikal.
(2) Menafsirkan Wacana Singkat yang dibaca atau Didengar
Setelah siswa membaca atau mendengar sebuah waana singkat, kemudian
disuruh menfasirkan isi wacana tersebut baik dengan cara menuliskan (atau
mengucapkan) dengan bahasa sendiri maupun memilih sejumlah alternatif yang
telah disediakan.

(3) Memahami Bacaan yang Dibaca atau Didengar


Soal ini dimaksudkan untuk mengukur kemampuan reseptif, membaca dan
menyimak. Letak perbedaanya wacana yang diteskan di sini lebih panjang dan
biasanya terdiri dari beberapa nomor soal. Tes yang sama untuk mengukur
kemampuan menyimak tidak banyak dilakukan orang dibanding kemampuan
(pemahaman) membaca.
Tes yang diberikan harus benar-benar menuntut siswa untuk memahami secara
kritis wacana yang dibaca (didengar) tidak semata-mata hanya memindahkan
informasi faktual ke dalam pertanyaan. Kosa kata pun dapat diteskan berdasarkan
wacana bacaan, tegasnya, kosa kata yang diambil dari wacana yang ditegaskan
tersebut.

(4) Menyusun Sebuah Alineai Berdasarkan Kalimat-kalimat yang disediakan


Untuk menyusun sebuah alinea diperlukan kemampuan untuk menghubunkan
kalimat yang sesuai dengan yang lain, ide yang satu dengan ide yang lain. Tes ini
menuntut kemampuan siswa yang menyangkut beberapa aspek dan keterampilan
berbahsa, bahkan juga termasuk unsur ekstralinguistik.

3. Tes Pragmatik
Tes Pragmatik muncul sebagai reaksi tes diskrit yang dipandang banyak
kelemahannya. Teori diskrit yang memecahkan unsur kebahasaan dan kemudian
diteskan secara terpisah dan terisolasi bersifat sangat artifisal. Tes keterampilan
(Skills) berbhasa untuk mengukur beberapa baik siswa mempergunakan elemen-
elemen bahsa sesuai dengan konteks komunikasi yang nyata (Oller, 1979: 227).
Tes Pragmatik sejelan dengan (atau berasal dari) pendekatan komunikatif dalam
pengjaran bahsa *) yang menekatkan pembentukan kimpetensi berbahsa, kemampuan
berbahasa dalam fungsi komunikatif s ecara wajar (Widdowson menyebutnya : Use)
Dalam situasi pemakaian bahasa yang sesungguhnya, terdapat dua konteks utama
yang senantiasa terlibat; Kotekslinguistik dan ekstralinguistik (Oller, 1979: 18).
Konteks lingusitik adalah wujud bahasa sebagai suatu l;ambang verbal dengan segala
aspek nya, sedang konteks ektralinguistik adalah satu “dunia”, “sesuatu” yang berada
di luar bahasa, “sesuatu” yang ingin disampaikan melalui alat bahasa.
Tes pragmatik dapat diartikan sebagai suatu produser atau tugas yang menuntut
siswa untuk menghasilkan urut-urutan unsur bahasa sesuai dengan pemakaian bahasa
itu secara nyata, dan sekaligus menuntut siswa untuk menghubungkan unsur-unsur
bahasa bahasa tersebut dengan konteks ekstralinguistik (Oller, 1979: 39).
Tes pragmatik (Oller) mempunyau persamaan pengertian dengan tes kompetensi
komunikatif (Valette, 1997: 12), keduanya menekankan kemampuan siswa untuk
berkomunikasi dengan bahasa dalam situasi tertentu. Oleh karena tes pragmatik
dimaksudkan untuk mengukur kemampuan siswa memahami dan menghasilkan
bahasa dalam komunikasi yang wajar, tes pragmatik pastilah bersifat integratif, atau
tes bahasa yang bersifat global (secara singkat: tes global).
Berikut akan diberikan beberapa contoh tes kebahasaan yang bersifat pragmatik.
Tes-tes yang dicontohkan sebenarnya buka merupakn ‘barang” baru buat kita, dalam
arti telah banyak didengar dan (mungkin) dilaksanakan.

(1) Dikte
Dikte merupakan salah satu cara yang sering dilakkan untuk mengukur
kemampuan berbahsa siswa. Jika urutan kata dan frase yang ditekan berupa
wacana (prosa, dialog, atau bentuk kegiatan berbahasa yang lain) kehidupan
berbahasa yang wajar, dan jika penyajiannya dengan kecepatan yang wajar
untuk mempergunakan kemapuan ingatannya, dikte yang dilakukan telah
benar-benar pragmatik.
Dikte tidak hanya menyangkut konteks linguistik saja, melainkan juga
melibatkan konteks ekstralinguistik. Dikte menuntut kegiatan mental secara
aktif dan kreatif. Misalnya Lado megatakan bahwa dikte hanya mengukur
sangat sedikit unsur bahasa (Lado, 1964: 34) dan Harris mengatakan dikte
bersifat kurang ekonomis dan kurang teliti (Harris, 1979: 5). Kesalahan-
kesalahn kebahasaan dalam tes kemampuan berbahasa yang lain. Dengan
demikian, kesalahan-kesalahan dalam dikte merupakan petunjuk tentang
kelemahan siswa dalam berbagai aspek kebahasaan yang bersangkutan, baik
yang menyangkut bunyi bahasa (ejaan), struktur, maupun kosa kata.
Prosedur dikte dapat dibuat secara bervariasi, dengan teknik-teknik yang
berupa dikte standar, dikte sebagian, dikte dengan gangguan suara, dikte-
kompetensi, dan produksi lisan imitasi (Oller, 1979: 264 – 5 ) dalam dikte
standar siswa diminta menulis wacana yang dibacakan langsung atau melalui
rekaman dengan kecepatan nomral. Dikte dengan gangguan suara adalah
dikte yang disertai suara lain yang sengaja dimaksudkan untuk menggangu
suara yang didiktekan. Hal itu sesuai dengan kenyataan orang berkomunikasi
yang selalu banyak gangguan suara-suara di sekitarnya. Dalam dikte-
komposisi dan prosuksi lisan imitasi penilaian secara verbatim tidak tepat
Penialian lebih tepat dilakukan secara verbatim tidak tepat Penilaian lebih
tepat dilakukan seperti halnya dalam menilai kemampuan prosuksi, tertulis
dan lisan.
Dikte yang bersifat tradisional banyak dilakukan di sekolah dasar, pada
tahap awal anak mempelajari bahasa Indonesia secara formal. Dengan
pertimbangan bahwa dikte termasuk tes kebahasaan yang pragmatik serta
adanya berbagai variasi pelaksanaan dikte yang menuntut kegiatan mental
secara aktif dan kreatif, dikte ternyata dapat diterapkan di sekolah menengah,
tentu saja dengan penyesuaian bahan.

(2) Berbicara
Tes keterampilan berbicara seharusnya lebih mendapat perhatian karena
ia paling mencerminkan kemampuan berbahasa seseorang (Oller, 1979: 306).
Tes keterampilan berbicara prestasi terhadap gambar susun (rangkaian
gambar yang membentuk suatu cerita).

(3) Pemahaman Parafrase


Sebuah wacana singkat disajikan kepadak siswa, lisan atau tertulis,
kemudian siswa diminta untuk memilih salah satu dari beberapa parafrase
alternatif yang disediakan yang maknanya paling sesuai dengan wacana. Tes
komprehensi dengar dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
(4) Jawaban Pertanyaan
Tugas ini berupa tes komprehensi dengar (lisan). Sebuah pertanyaan
yang diajukan melalui sarana pendengaran (rangsang yang dipergunakan),
dan diikuti beberapa alternatif jawaban secara tertulis yang dapat dalam
lembar tugas.

(5) Teknik Cloze (Cloze Technique, Cloze Procedure, Cloze Test)


Istilah cloze berasal dari persepsi psikologi gestal yang merupakan
proses “menutup” sesuatu yang belum lengkap. Dalam teknik Cloze tempat
kosong sengaja disediakan dalam suatu wacana dengan menghilangkan kata-
kata tertentu yang kesekian (ke-n: ke- 5, ke-6, atau ke-7).
Kemampuan pembaca untuk mengisikan kata yang hilang itu mirip
dengan proses konstruktif, jika konteks sescara komplit bersifat redundan (
melimpah), atau pengisian kata itu hanya pengingat, pengisian kata itu tak
berbeda, halnya dengan melengkapi pola visual yang tak sempurna. Akan
tetapi, jika konteksnya belum dikenal, pengisian kata menjadi lebih sulit
dilakukan karena kita harus memahami konteks itu terlebih dahulu.
Untuk maksud mengukur kemampuan berbahasa siswa penyusunan
teknik cloze harus dipilihkan wacana yang “memaksa” siswa untuk
memahami wacana itu. Wacana yang bersifat redudansinya tinggi sehingga
mudah dikenal.

4. Tes Komunikatif
Pendekatan ini menekankan pentingnya fungsi bahasa yang sebagai fungsi
komunikatif. Pengajaran bahasa di sekolah haruslah memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk memperoleh berbagai kemampuan berbahasa yang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan berkomunikasi dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Dengan demikian, pengajaran bahasa, dengan konsekuensi penilaiannya mau tidak
mau harus melibatkan berbagai aspek kebasahasaan seklaigus, dan inilah kemudain
yang dikenal sebagai pengajaran yang bersifat whole language. Agar pembelajaran
bahasa dapat mencapai target, pembelajaran yang dilakukan haruslah menekankan
pemberian kesempatan kepada siswa untuk memperoleh apa yang disebut Kompetensi
Komunikatif (communicative copetence ) (Hyme, 1972).
Kompetensi ini meliputi kompetensi gramatikal, yang merupakan kompetensi
yang berkaitan dengan berbagai unsur kebahasaan, kompetensi sosialingual, yang
merupakan kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan mempergunakan bahasa
sesuai dengan keadaan sosial kemasyarakatan, dan kompetensi kontekstual.
Pembicaraan tentang tes pragmatik di atas sebenarnya telah didasarkan pada
pengajaran bahasa dengan pendekatan komunikatif. Diatas juga dikemukakan bahwa
pengertian tes pragmatik (Oller) identik dengan tes kompetensi komunikatif (Valette)
jadi, boleh dikatakan bahwa tes komunikatif merupakan tes pragmatik yang lebih
menekankan pad aketegasan dan kejelasan konteks, kejlesan yang tegas antara tes
bahasa dengan aspek dan situasi-situasi faktual dalam berkomunikasi.
Unsur konteks dalam kegiatan berbahasa dinamakan faktor penentu dalam
pendangan pragmatik. Faktor penentu itulah yang akan menentukan ketetapan
pemilihan ragam bahasa tertentu dalam kegiatan berbahasa yang dilakukan. Faktor
penentu yang dimaksud antara lain adalah pihak (orang) yang terlibat dalam kegiatan
berbahasa, tujuan pembicaraan, masalah yang menajdi topik penentu bicaraan, tepat
dan waktu berlangsungnya pembicaraan, jalur yang dipergunakan, suasana
keformalan pembicaraan, dan lain-lain.
Berbagai aspek kebahasaan dna fungsi komunikatif pemahaman-pemahaman dan
penggunaan bahasa haruslah terintegrasi dalam tes komunikatif. Tes kebahasaan yang
dimaksudkan untuk mengukur kompetensi gramatikal – memang perlu mendapatkan
perhatian tersendiri. Akan tetapi, ia tidak boleh lepas dari fungsi komunikatif bahasa,
dan jika dipaksakan akan berubah menjadi jenis tes kebahasaan yang lain yang tidak
mengukur komptensi komunikatif bahasa. Dengan demikian, tes komunikatif akan
berwujud tes kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan bahasa.

5. Perlukah Tes Diskrit Dipertahankan ?


Setelah timbulnya teori tes integratif dan terlebih lagi pragmatik, teori tes diskrit
dikecam sehingga yang terilah hanyalah segi negatifnya saja. Tes diskrit dianggap
(seolah-olah) tidak ada gunanya dilaksanakan karena tidak dapat mengkap
kemampuan berbahasa siswa yang sebenarnya.
Pada hakikatnya reaksi terhadap teori tes diskrit merupakan reaksi (baca:
penolakan) pendekatan pengajaran yang memuaraiknya, yaitu pendekatan pengajaran
pada teori struktualisme. Dalam dunia pengajaran bahasa (kedua, asing), dewasa ini
sedang diramaikan oleh pendekatan baru: pendekatan komunikatif dan tes pragmatik
dalam sistem penilaiannya. Pendekatan komunikatif menghendaki pengajaran bahasa
ditekankan pada kompetensi berbahsa siswa dan langsung dikaitkan dengan situasi
komunikatif.
Pada tahapan awal pengajaran bahasa (asing) yang diperlukan adalah pengajaran
tentang sistem bahasa, pembentukan kompetensi kebahasaan, pengjaaran yang
bersifat prakomunikatif, dan setelah siswa memiliki pengetahuan kebahasaan yang
memadai barulah pengajaran yang bersifat komunikatif. Jika sistem pengajaran yang
dilakukan bersifat diskrit dan integratif, tes kebahasaan yang dipergunakan tentunya
menuntut yang sesuai, tes diskrit dan integratif, dan bukan pragmatik.
Tes kebahasaan yang disesuaikan dengan sistem pengajaran bahasa, berarti
menyesuaikan tes itu dengan tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran bahasa secara
umum memang ditekankan pada kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang
bersangkutan, dan itu secara tepat diukur dengan tes pragmatik. Tes diskrit walau
banyak kecam bukanya tanpa kebaikan. Oller yang gigih mengecam tes diskrit
sebagai suatu metode yang gagal dan tidak efektif, tidak menutup mata adanya
kegunaan tes diskrtit. Tes diskrit berguna untuk (a) mendiagnosis ksulitan belajar
siswa, mengdiagnosis kelebihan dan kelemahan siswa, (b) menentukan tujuan
pengajaran pada aspek-aspek kebehasaan dan keterampilan berbahasa tertenu, (c)
menentukan pengajaran yang bersifat remidi kelemahan siswa pada asepk dan
keterampilan tertentu yang ditemukan melalui tes diskrit (Oller, 1979: 209-11)

D. TES KEBAHASAAN DAN ANALISIS KESILAPAN


Setiap guru bahasa pasti akan selalu menjumpai kesilapan-kesilapan berbahsa yang
dibuat siswa. Kesilapan-kesilapan itu dapat terjadi secara lisan seperti dalam kegiatan
berbicara, ataupun secara tertulis seperti dalam kegiatan mengarang. Secara prinsipal,
kegiatan belajar memang tak dapat lepas dari kesilapan-kesilapan, silab penialaian, silan
penerapan, silab penyimpulan, dan sebagainya tentang sesuatu yang sedang dipelajari
(brown 1987: 169-70)
Analisis kesilapan menunjukan pada kegiatan menganalisis kesilapan bahasa yang
dihasilakn siswa, menemukan, mengidentfikasi, mendeskripsikan, menghitung frekuensi,
dan menentukan sumber kesilapan. Faktor yang membedakan analisis kesilapan dan tes
kebahasaan : (1) Kekeliruan dan kesilapan (2) Tingkat keparahan dan jenis Kesilapan (3)
Kaitan Tes kebahasaan dan Analisis Kesilapan.
BUTIR-BUTIR INTI
1. Tes kebahasaan dimaksudkan untuk mencoba mengukur seberapa banyak siswa telah
menguasai bahasa yang dipelajari. Penguasaan yang dimaksud meliputi penguasaan
terhadap aspek-aspek bahasa, kompetensi kebahasaan, dan penggunaan bahasa itu untuk
keperluan berkomunikasi, kompetensi komunikatif.
2. Bahasa terutama berfungsi untuk berkomunikasi, maka tes kebahasaan yang dilakukan
hendaknya lebih ditekankan pada kompetensi komunikatif daripada kompetensi
kebahasaan.
3. Tes yang dimaksudkan untuk mengukur pengajran bahasa pertama, kedua, dan asing
hendaknya berbeda cakupan bahan dan tingkat kesulitannya. Tes untuk bahasa peryama
dan kedua (bahsa Indonesia) di tingkat sekolah lanjutan mencakup bahan yang lebih luas,
kompleks, bersifat apresiatiff, berkaitan dengan style dan fungsi komunikatif secara luas.
4. Tes kesastraan dapat dibedakan ke dalam tes pengetahuan tentang sastra dan kemampuan
apresiasi sastra. Tes kesastraan hendaknya diprioritaskan pada usaha mengungkap
kemampuan apresiasi sastra karena tes yang demikian akan menompang tercapainya
tujuan pengajaran sastra yang berkadar apresiatif.
5. Teori diskrit yang memecah-mecah unsur kebahsaan dan menyajikannya secara
terisolasi dipandang sebagai kelemahan yang mencolok, yaitu oleh pendekatan
komunikatif dan teori tes pragmatik.
TES KESASTRAAN

Pengajaran sastra (Indonesia) disekolah tidak berdiri sendiri sebagai sebuah mata
pelajaran yang mandiri, melainakn “hanya” menjadi bagian mata pelajaran bahasa dan sastra
Indonesia. Sastra yang sejak kurikulum 1984 ditegaskan dengan sebutan “apresiasi bahasa
dan sastra Indonesia” hanya merupakan salah satu pokok bahasan dari sejumlah pokok
bahasan yang lain yang terdapat dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dengan
demikian, sesorang guru bahasa (Indonesia) juga berarti guru apresiasi sastra. Ia bertugas
mengukur hasil belajar bahasa dan sastra siswa yang menjadi asuhannya. Hal itu juga berarti
ia dituntut untuk mampu menyusun teks kebahasaan dan kesastraan sebagai salah satu sarana
mengungkap hasil belajar siswa.
Penggabungan sastra ke dalam pengajaran bahasa (Indonesia) memang wajar dan dapat
dimengerti. Sebab, bahasa merupakan sarana pengucapan sastra, bahsa merupakan salah satu
unsur bentuk sastra yang sangat penting, khususnya pad akarya sastra yang berwujud puisi.
Bahkan secara lahiriah, aspek formal yang tampak, wujud sastra adalah bahasa. Sastra
merupakan karya seni yang bermediakan bahsa yang unsur-unsur keindahannya menonjol.
Untuk memahami sastra dengan baik, di samping penguasaan terhadap kode bahasa,
diperlukan juga pengetahuan tentang kode sastra dan kode budaya. Walau kita telah
memiliki pengetahuan yang memadai tentang berbagai kode yang diperlukan, untuk
mengapresiasikan karya sastra, amasih harus disertai dengan usaha dan sikap sadr, kritis, dan
sungguh-sungguh.
Masalah yang dihadapi oleh para guru di sekolah adalah sebagaimana mengajar,
membimbing, dan melatih siswa mengapresiasikan sastra dengan bekal dan sikap seperti
diatas. Paling tidak, bagaimana kita mengajarkan kemampuan berbahsa siswa yang
menunjang penguasaan kode bahasa yang dibutuhkan dalam permahaman karya sastra.
Idealnya terjaidnya kaitan yang erta antara pengajaran bahasa dengan pengajaran sastra yang
bersifat saling mengisi dan menunjang. Dengan demikian, terdapat korelasi antara
kemampuan berbahasa dengan kemampuan berapresiasi sastra.

A. TUJUAN, BAHAN DAN PENILAIAN DALAM PENGAJARAN KESASTRAAN


Dalam kegiatan pengjaaran, seperti dikemukakan di atas, antara komponen tujuan,
bahan yang diajarkan, dan penilaian terhadap hasil kegiatan pengajaran berkaitan erat.
Bahan pengajaran hendaknya di jabakan berdasarkan tujuan, tujuan itu sendiri
dimungkinkan tercapai jika ditunjang oleh bahan yang sesuai.
1. Tujuan dan Bahan Pengajaran Sastra
Kita telah mempunyai kesepakatan bahwa tujuan pengajaran sastra secara
umum ditekankan, atau demi terwujudnya, kemampuan siswa untuk
mengapresiasikan, atau secara memadai. Tujuan tersebut walau bersifat umum,
paling tidak telah memberi arah terhadap tujuan-tujuan yang lebih khusus dan
operasional.
Kejelasan tujuan pengajran 9sastra) penting sebab ia akan memberikan
pedoman bagi pemilihan bahan yang sesuai. Pemilihan bahan pengajaran, dan juga
bahan untuk diteskan, harus menopang tercapainya tujuan : membimbing dan
meningkatkan kemampuan mengapresiasikan sasstra siswa. Hal ini perlu ditegaskan
karena ada kecenderungan dalam pengajaran sastra di sekolah, kita seirng memilih
bahan yang mudah saja, maksud mudah mengajarkannya, dengan mengabaikan
peran besar kecilnya bahan itu untuk mencapai tujuan seperti diatas.
Secara garis besar bahan pengajaran sastra dapat dibedakan ke dalam dua
golongan : (i) bahan apresiasi tak langsung, dan (ii) bahan apresiasi langsung. Bahan
pengajaran apresiasi sastra yang tak langsung terutama berfungsi untuk menunjang
berhasilnya pengajaran apresiasi sastra yang bersifat langsung. Bahan apresiasi yang
tak langsung menyaran pada bahan pengajaran yang bersifat teoritis dan sejarah.
Pengajaran apresiasi langusng menyaran pada pengertian bahwa siswa
langsung dihadapkan pada berbagai jenis karya sastra. Siswa secara kritis dibimbing
untuk memahami, mengenali berbagai unsurnya yang khas, menunjukkan kaitan di
anatara berbagai unsur, dan lain-lain yang semuanya tercakup dalam wadah
apresiasi.

2. Penilaian dalam Pengajaran Sastra


Penilaian dalam hal ini dapat berfungsi ganda : (i) mengungkapkan
kemampuan apresiasi sastra siswa, dan (ii) menunjang tercapainya tujuan pengajaran
apresiasi sastra. Fungsi pertama jelas dan menjadi tujuan penulisan ini. Fungsi kedua
pun akan terjadi jika penilaian yang dilakukan lebih ditekankan pada tujuan untuk
mengungkapkan kemampuan.
Apapun motivasi siswa jika mereka telah mau berusaha mengapresiasikan
karya sastra : membaca, memahami, mereaksi, menganalisis, dan lain-lain terhadap
karya sastra, bukan sekedar menghapal nama, pengertian, konsep tentang sastra,
adalah suatu hal yang sangat menguntungkan. Apa pun motivasi siswa untuk
belajara, jika akhirnya memang tinggi kemampuan apresiasi dan sikap terhadap
sastra, kiranya cukup memadai.
Pemilihan bahan yang diujikan dan kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa
tentu saja hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan kejiwaan dan
kognitif siswa. Bahan yang diberikan untuk siswa tingkat SD, SMTP, SMTA, dan
mahasiswa tentu saja tida sama. Puisi, fiksi, ataupun drama yang diteskan untuk
anak SD harus yang berbeda dalam jangkauan kognitif mereka, misalnya puisi,
cerita, atau drama anak-anaka yang semuanya masih amat sederhana baik isi
maupun bahasannya.
Pemilihan kegiatan dalam “memperlakukan” karya sastra dan atau pemiliha n
tugas kesastraan juga ada perbedaan anatara siswa dalam berbagai tingkat sekolah.
Tugas tes kesastraan untuk anak SD misalnya, maih berbatas pada tugas membaca,
termasuk di dalamnya berdeklamasi dan membaca indah; sekedar untuk mengetahui
isi bacaan atau cerita. Dipihak lain untuk siswa SMTA misalnya, sesuai dengan
perkembangan kognitifnya, pemberian tugas-tugas tes kesastraan hendaknya jauh
lebih kompleks. Bahkan tugas yang sederhana yang hanya melibatkan kegiatan
mengingat haruslan semakin di kurangi. Tugas-tugas yang diberikan hendaknya
sudah lebih di tekankan pada tugas yang menuntut aktivitas mental yang lebih
tinggi, sikap kritis dalam membaca karya sastra, menganalisis karya sastra seperti
menemukan tema, mencari kaitan antarperistuwa, konflik, gaya bahasa dan lain-lain.
Tugas-tugas keasatraan sebenarnya dapat sangat luas, tidak hanya terbatas
pada tugas tes yang diberikan di sekolah, melainkan juga tugas-tugas yang dilakukan
di luar sekolah.

3. Kadar Apresiatif Tes dan Tugas Kesastraan


Tes atau tugas-tugas kesastraan dalam penulisan ini dimaksudkan sebagai tes
atau tugas-tugas yang dimaksudkan untuk mengungkap kemampuan apresiasi sastra
siswa. Tes atau tugas-tugas tersebut dapat apresiatif, atau sebaliknya kurang
apresiatif.
Kriteria tes atau tugas-tugas kesastraan yang apresiatif, kata kunci untuk
pengertian apresiasi adalah “membaca karya sastra secara langsung”. Jadi, siswa
betul-betul dihadapkan pada karya sastra tertentu, baik berupa puisi, cerpen, novel,
atau drama. Tes kesastraan yang apresiatif adalah tes yang berangkat dari karya
sastra secara langsung, dan untuk dapat mengerjakan siswa harus membaca karya itu
sungguh-sungguh. Jadi, soal-soal atau ugas-tugas tersebut berupa “memperlakukan”
secara langsung sebuah karya tertentu, baik berupa pengenalan, pengidentifikasian,
pemahaman, penganalisisan, ppemberian pertimbangan tertentu, penilaian, dan lain-
lain.
Dalam pembuatan soal-soal keastraan, kita sering tergoda untuk embuat soal
yag mudah (mungkin karena kita juga malas membaca karya, atau karena tuntutan),
seperti soal-soal yang menanyakan hal-hal teoretis dan historis. Misalnya, soal yang
menanyakan pengertian-pengertian aspek intrisnik karya (tema, alur, penokohan,
rima, irama). Persoalan yang kemudian muncul adalah perlu dan pentingkah tes atau
tugas kesastraan yang rendah kadar apresiatifnya tersebut bagi siswa ? jawaban yang
tepat adalah perlu tetapi tidak terlalu diperlukan, penting tetapi tidak begitu penting.
Jika dalamsebuah perangkat tes atau tugas kesastraan terdapat soal yang
berkadar apresiasi rendah jauh lebih banyak daripada yang berkadar apresiasi tinggi,
hal itu menunjukan bahwa penyusun tes yang bersangkutan lebih banyak
memikirkan kebutuhan sendiri daripada kebutuhan siswa. Pembuatan tes atau tugas
yang berkadar apresiasi rendah, juga pengajarannya, jauh lebih mudah apresiasi
tinggi karena samta-mata hanya berkaitan tagihan informasi atau pengetahuan yang
dimiliki siswa.
Tugas tes apresiasi sastra juga bertingkat, dalam arti ada tingkat yang
sederhana dan ada tingkatan-tingkatan di atasnya yang lebih kompleks. Dibawah ini
akan dibicarakan dua macam tingkatan tes kesastraan berdasarkan dua pendekatan
yang berbeda.

B. PENDEKATAN TAKSONOMIS TES KESASTRAAN


Pendekatan taksonomus beranggapan bahwa keluaran hasil belajar walalu pada
kenyataannya merupakan satu sastunya yang padu dalam diri siswa, dapat dibedakan ke
dalam berbagai aspek, jenis, dan tingkatan tertentu. Pendekatan taksonomis yang banyak
diikuti orang termasuk dalam pennulisan ini, adalah taksonomis Bloom, yaitu yang
membedakan keluaran hasil belajar ke dalam tiga ranah; kognitif, afektif, dan
psikomotoris.
Tingkah laku belajar sastra yang meliputi ketiga ranah tersebut saling berkaitan.
Faktor pertama yang dibutuhkan dalam sutau hal termasuk di dalam kesastraan, adalah
faktor yang bersifat pengetahuan, ranah kognitif. Pengetahuan tentang sastra yang
memadai akan menimbulkan sikap menghargai dan mencintai sastra. Adanya sikap
penghargaan dan kecintaan tersebut, pada giliran selanjutnya, akan mendorong
timbulnya tingkah laku kongkret yang mencerminkan sikap itu. Tingkah laku itu dapat
berupa kemauan membaca dengan bersemangat berbgai jenis karya sastra, teori, kritik,
sastra, atau berlaku yang demikian, sebagai konsekuensi logisnya, akan semakin
meningkat pengetahuan kita tentang sastra.

1. Penilaian Ranah kognitif


Hasil belajar kognitif ini dapat diukur dengan mempergunakan berbagai bentuk
tes objektif ataupun esai, secara lisan ataupun tertulis. Pelaksanaan penilaian dapat
dilakkan dalam proses pengajaran, ter formatif. Tes sumatif biasanya dilaksanakan
dalam bentuk ulangan umum atau ujian semester dengan alat penilaian yang berupa
tes tertulis tentang tingkat tes kognitif secara lebih rinci.

2. Penilaian Ranah Afektif


Ranah afektif berhubungan dengan masalah sikap, pandangan, dan nilai-nilai
yang diyakini seseorang. Bagaimana sikap dan pandangan seseorang terhadap sesuatu
(baca : sastra) antara lain tampak dari tingkah lakunya “memperlakukan” sesuatu
yang bersangkutan.
Pengukuran dengan pemberiantugas tertulis dapat dipergunakan bentuk skala
(umumnya skala Likert), jawaban singkat “ya” dan “tidak”, atau juga berupa prosedur
nominasi. Pengukuran sikap dengan skala Likert dilakukan dengan menyediakan
skala jawaban terhadap suatu pernyataan yang diberikan.

3. Penilaian Ranah Psikomotorik


Ranah psikomotorik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas
otot, fisik, atau gerakan-gerakan anggota tuibuh. Keluaran hasil belajar yang bersifat
psikomotorris adalah keterampilan-keterampilan gerak tertentu yang diperoleh setahu
mengalami peristiwa belajar. Pengertian “keterampilan gerak” tersebut hendkanya
senantiasa dikaitkan dengan ‘gerak’ keterampilan atau penampilan yang sesuai
dengan bidang studi yang diajarkan.
Penilaian hasil belajar psikomotorik harus juga dilakukan dengan alat tes yang
berupa tes pembuatan. Penilaian dilakukan dengan jalan pengamatan. Tes
psikomotorik kesastraan misalnya walau tetap ada unsur kognitif dan sikap karena
yang utama adalah kadarnya – tugas berdeklamasi, membaca puisi, cerpen, drama
(kesemuanya dengan gerak mimik dan pantomimik), dramatisasi (bentuk yang lebih
sunguhan : pentas drama ) dan lain-lain. Penilaian tak harus dilakukan secara khusus,
dalam arti menyelenggarakan tes itu, melainkan dapat bersifat kesewaktuan dan kapan
saja. Penilaian yang demikian kiranya akan lebih mencerminkan penampilan dan
sikap siswa yang sesungguhnya.

4. Tingkatan Tes Kesastraan


Tingkat tes kesastraan yang dimaksuddi sini, seperti halnya tes kebahasaan diatas,
menunjuk pada tingkatan tes kognitif yang terdiri dari keenam tingkatan, tingkat
ingatan (C1) sampai tingkatan penilaian (C6). Pembicaraan dibawah ini akan mencoba
membedakan dan mencontohkan tes kesastraan ke dalam keenam tingkatan kognitif
tersebut – suatu hal yang hingga kini, seperti juga tes kebahasaan setahu saya.

(1) Tes Kesastraan Tingkat Ingatan


Tes kesastraan pada tingkat ingatan sekedar menghendaki siswa untuk
memngungkapkan kembali kemampuan ingatannya yang berhubungan dengan
fakta, konsep, pengertian, definisi, deskriptif ata penamaan tentang kesatuan hal,
dan sebagainya.
Dalam pelaksaan pengajaran tak jarang guru hanya, misalnya,
memperkenalkan nama-nama pelaku utama dalam sebuah novel tanpa
membiarkan siswa untuk membaca dan menemukannya sendiri. Jika sifat
pengajarannya demikian, dan butir tes berbunyi : siapakah (atau sebutan) pelaku-
pelaku utama novel Atheis, butir tes tersebut masih dapat digolongkan ke dalam
tes tingkat ingatan.

(2) Tes Kesastraan Tingkat Pemahaman


Tes kesastraan pada tingkat pemahaman menghendaki siswa untuk mampu
memahami, membedakan, dan menjelaskan fakta, hubungan antarkonsep, dan
nilai-nilai yang sifatnya lebih dari sekedar mengingat. Tugas yang berupa
memberi atau mengenali contoh yang sederhana, juga tergolong tes tingkat
pemahaman, tetapi memberi contoh yang menuntut aktivutas kognitif yang lebih
kompleks termasuk tingkatan yang lebih tinggi.
(3) Tes Kesastraan Tingkat Penerapan
Tes kesastraan pada tingkat penerapan menunut siswa untuk mampu
menerapkan pengetahuan teoretisnya ke dalam kegiatan praki yang kongkret.
Artinya, siswa telah dituntut benar-benar untuk “memperlakukan” karya sastra
secara nyata. Kemampuan aplikasi ini antara lain berupa kemampuan mengubah,
memodifikasi, mendemonstrasikan, mengoprasikan, menerapkan sesuatu hal atau
kemampuan.
Dengan mempertimbangankan bentuk-bentuk tugas seperti diatas, kiranya tes
bentuk esai akan lebih memberi kebebasan kepada siswa untuk mengemukakan
jawabannya.

(4) Tes Kesastraan Tingkat Analis


Tes kesastraan pada tingkat analisis, di samping menuntut siswa untuk lebih
benar-benar membaca karya sastra tertentu, siswa diharapkan mampu untuk
melakukan kerja analisis terhadapnya. Aktivitas membaca karya secara tidak
sekedar untuk mengetahui isi cerita saja, jika ia berupa fiksi, melainkan harus
disertai sikap kritis, baik terhadap unsur-unsur yang mendukungnya maupun karya
sastra sebagi suatu keseluruhan.
Tugas kemampuan analisis antara lain berupa identifikasi dan aanalisis
terhadap unsur-unsur instrinstik dan ekstrinsik karya sastra, analisis unsur bentuk
dan isi; membedakan, menyeleksi, memilih, dan merinci lebih lanjut unsur-unsur
karya sastra, misalnya konflik pokok yang tepat dipandang sebagai klimaks
dengan konflik-konflik yang lain. Tentu saja emua analisis tersebutperlu disertai
bukti-bukti kongret yang terdapat (atau bahkan dikutip) dalam karya yang
bersangkutan.

(5) Tes Kesastraan Tingkat Sintesis


Tes kesastraan pada tingka sintesis, sebagai kelanjutan berpikir analisis,
menuntut siswa untuk mengkategorikan, menghubungkan dan
mengkombinasikan, menjelaskan, dan meramalkan hal-hal yang berkenaan
dengan unsur-unsur karya sastra dan anatra karya sastra.
Tugas kemampuan sintesisi yang lain misalnya menjelaskan hubungan anatar
beberapa unsur atau unsur-unsur dalam sebuah karya sastra dalam bentuk satu
kesatuan, misalnya hubungan antara pilihan kata, kalimat, dan gaya untuk
menggungkapkan tema dalam puisi, hubungan antara karakteristik latar yang
mencakup unsur waktu, tempat, dan keadaan sosial dengan perwatakan para tokoh
cerita.
Untuk mengukur kemampuan berpikir yang berkompleks seperti dalam tingkat
sinstesis di atas, tes esai kiranya lebih tepat karena lebih mencerminkan proses
berpikir siswa yang sesungguhnya. Tes objektif, waktu dapat dipergunakan,
mempunyai kelemahan berhubung kurang dapat menerminkan proses berpikir
untuk mengkomunikasikan ide murni siswa sendiri.

(6) Tes Kesastraan Tingkat Penilaian


Tes kesastraan pada tingkat evaluasi menuntut siswa untuk mampu melakukan
penilaian terhadap berbagai masalah kesastraan, baik karay sastra dengan
berbaagai unsur maupun kehidupan sastra secara keseluruhan. Penilaian terhadap
kemampuan berpikir tingkat evaluasi memamng lebih ditekankan pada proses
berpikir, dan bukan hasil penilaiannya itu sendiri.
Kemampuan berpikir tingkat evaluasi antara lain berupa kemampuan menilai
suatu hal, misalnya masalah ketetatapan pilihan kata, ungkapan, dan “kalimat”
hubungannya dengan tema dan makna keseluruhan sajak. Ketetapan alur,
penokohan latar, gaya, tem, dan unsur-unsur yang lain dalam membentuk
kesatuan yang padu dalam sebuah fiksi, kritik terhadap suatu hal.
Kemampuan berfikir evaluatif yang lain misalnya kemampuan menunjukan
sesuatu yang baru dalam sebuah (beberapa) karuya melalui kerja analisis dan
pembandingan. Misalnya menunjukan (dapat juga : menemukan) teknik, struktur,
alur, penokohan, latar, dan lain-lain sehingga dapat menyimpulkan, misalnya,
sebagai karya yang inkenvensional baik terhadap fiksi, pusi, maupun drama.

C. TES KESASTRAAN KATEGORI MOODY


Berbeda halnya dengan tes pendekatan taksonomis Bloom yang dapat diterapkan pada
semua mata pelajaran dan pokok bahasan, tingkat tes kategori Moody memang secara
khusus direncanakan untuk kesastraan. Akan tetapi, hal itu tak usah dipertentangkan,
atau sengaja dicari-cari pertentangan dan usnur-unsur yang dibedakannya. Hal itu itu
berdasrkan kenyataan bahwa keduanya memang tidak bertentangan, tetapi terdapat
kesamaan-kesamaan pengertian dan tuntutan anktivitas yang harus dilakukan.
Untuk keperluan pengukuran hasil belajar sastra, Moody dalam the Teaching of
Literature (1979: 89-96) membedakan ke dalam empat kategori yang disusun dari
tingkatan yang sederhana ke tingkatan yang semakin kompleks. Keempat tingkatan yang
dimaksud adalah tes yang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan pada tingkat
informasi (information). Konsep (concepts), perseptik (perpectives), dan apresiasi
(apreciation).

1. Tes Kesastraan Tingkat Informasi


Tes kesatraan tingkat informasi dimaksudkan untuk mengungkap kemampuan
siswa yang berkaitan dengan hal-hal pokok yang berkenaan dengans astra, baik yang
menyangkut dta-data tentang suatu karya maupun data-data lain yang dapat
diperguanakan untuk membantu menafsirkannya.
Data-data yang dapat membantu penafsiran antara lain berupa biografis
pengarang: siapa namannya, dilahirkan dimana, kapan, apa pekerjaannya, status
sosial, karya mana dan siapa penerbitnya, dan lain-lain. Butir-butir soal yang
dimaksudkan untuk mengukur pengetahuan siswa tentang informasi di atas sangat
mudah disusun karena (hampir) semuanya hanya menanyakan sesuatu yang bersifat
hafalan.
Untuk menjawab pertanyaan dengan baik, walalu hanya berupa ingatan dan
pemahaman secara grafis besar, siswa telah dituntut membaca sesuatu karya. Tes
tingkat informasi inilah yang tampaknya paling mendominasi tes-tes kesastraan di
sekolah. Hal itu wajar – walalu sebenarnya merupakan suatu hal yang memper
hatikan – karena di samping bahanya luas dan mudah sekali mengambilnya.

2. Tes Kesastraan Tingkat Konsep


Tes kestaraan pada tingkat konsep erkaitan dengan persepsi tentang bagaimana
data-data atau unsur-unsur karya sasatra itu diorganisasikan. Unsur-unsur karya
merupakan sastra it organisasikan. Masalah-masalah yang dimaksudkan antara lain
berupa (pertanyaa) : apa sajakah unsur-unsur yang terdapat dalaam fiksi itu, apa efek
pemilihan usnur itu, apa hubungan sebab akibat unsur untuk peristiwa-peristiwa itu,
apa konflik pokok yang dipermasalahkan, konflik apa sajakah yang timbul, faktor-
faktor apa saja yang terlibat dalam atau mempengaruhi terjadinya konflik, dan
sebagainya.
Kemampuan kognitif yang dibutuhkan tidak sekedar kemampuan memahami
sajsa, melainkan juga kemampuan menganalisis dan meperhubungkan berbagai usnur
dalam suatu karya.

3. Tes Kesastraan Tingkat Perspektif

Anda mungkin juga menyukai