1. Tes Diskrit
Tes diskrit adalah tes yang hanya menentukan atau menyangkut atau aspek
kebahasaaan pada satu waktu (Oller, 1979; 37). Tiap satu butir soal hanya
dimaksudkan untuk mengmengukur satu aspek kebahasaan, misalnya fonologi,
omortofologi, sintaksis, atau kosa kata.
Sebagai contoh misalnya, tes keterampilan menyimak yang hanya menuntut siswa
untuk mengenali perbedaan fenomena-fenomena tertentu, atau aspek kebahasaan yang
lain. Dasar pemikiran teori diskrit, baik dalam pengajaran maupun penilaian, berasal
dari teori strukturalisme dalam linguitik dan teori behaviorisme dalam psikologi
(Brown, 1980; 217). Strukturalisme maupun behaviorisme mengakui bahwa suatu
bentuk keseluruhan dapat dipecah menjadi bagian-bagian tertentu.
Dengan demikian teori beranggapan keseluruhan semua dengan jumlah bagian-
bagiannya. Kenyataan bahwa bahasa dapat dilepaskan dari konteks pemakaiannya
kurang diabaikan dalam teori diskrit. Tes fonologi mungkin menghendaki siswa untuk
mengenal fenomena-fenomena tertentu dalam sebuah kata.
Tes fonologis yang dimaksud untuk mengukur kemampuan menyimak dapat
dilakukan dengan meminta siswa mengenai perbedaan bunyi pada kata-kata yang
mirip (Lado, 1964). Tes struktur, morfologis dan sintaksis dapat dilakukan dengan
meminta siswa untuk mengenai, mengidentifikasi, menunjukan atau membedakan
bentuk-bentuk tertentu.
Padangan topri diskrit yang memecah-mecah unsur kebebasan dan
menhadirkannya dalam keadaan terislasi dipandang orang sebagai kelemahan yang
mencolok. Kritik tersebut terutama timbul setelah populernya pendekatan komunikatif
yang menekankan pengajaran sesuai dengan fungsi komunikatif bahasa yang bersifat
alami dan memandang bahasa bukan sebagai jumlah dari bagian-bagian (Brown,
1980: 217).
Menurut pandangan komunikatif dan pragmatik, pengajaran bahasa yang bersifat
diskrit tidak akan mencapai keberhasilan. Tidak ada seseorang pun yang dapat belajar
bahasa secara mutlak diskrit.
2. Tes Integratif
Tes yang bersifat integratif muncul sebagai reaksi terhadap teori tes diskrit. Jika
dalam tes diskrit aspek-aspek bahasa dan keterampilan berbahasa dilakukan secara
terpisah, dalam tes integratif aspek dala keterampian. Dalam tes integratif berusaha
mengukur kemampuan siswa mempergunakan berbagai aspek kebahasaan atau
beberapa keterampilan berbahsa (Ollerm 1979: 37).
Dalam tes integratif aspek-aspek kebahasaan tidak dipisahkan satu dengan yang
lain untuk diteskan secara sendiri, melainkan dalam wujud bahasa yang merupakan
suatu kesatuan yang padu. Tes kebahsaan yang integratif tidak secara khsus
mengeteskan salah satu aspek atau keterampilan tertentu, melainkan sebuah tes dalam
satu waktu meliputi beberapa aspek kebahasan sekaligus.
Tes kebahasaan yang sesuai dengan kompetensi komunikatif, sesuai dengan
konteks pemakaian bahasa seperti dikemukakan di atas, menurut Oller sudah
termasuk tes ragmantik. Tes pragmatik pasti integratif, tetapi tes integratif belum
tentu pragmatik. Tes integrayif yang demikian kadang-kadang tak dapat dibedakan
secara pilah dengan tes diskrit, khususnya tes diskrit yang melibatkan konteks
kalimat.
3. Tes Pragmatik
Tes Pragmatik muncul sebagai reaksi tes diskrit yang dipandang banyak
kelemahannya. Teori diskrit yang memecahkan unsur kebahasaan dan kemudian
diteskan secara terpisah dan terisolasi bersifat sangat artifisal. Tes keterampilan
(Skills) berbhasa untuk mengukur beberapa baik siswa mempergunakan elemen-
elemen bahsa sesuai dengan konteks komunikasi yang nyata (Oller, 1979: 227).
Tes Pragmatik sejelan dengan (atau berasal dari) pendekatan komunikatif dalam
pengjaran bahsa *) yang menekatkan pembentukan kimpetensi berbahsa, kemampuan
berbahasa dalam fungsi komunikatif s ecara wajar (Widdowson menyebutnya : Use)
Dalam situasi pemakaian bahasa yang sesungguhnya, terdapat dua konteks utama
yang senantiasa terlibat; Kotekslinguistik dan ekstralinguistik (Oller, 1979: 18).
Konteks lingusitik adalah wujud bahasa sebagai suatu l;ambang verbal dengan segala
aspek nya, sedang konteks ektralinguistik adalah satu “dunia”, “sesuatu” yang berada
di luar bahasa, “sesuatu” yang ingin disampaikan melalui alat bahasa.
Tes pragmatik dapat diartikan sebagai suatu produser atau tugas yang menuntut
siswa untuk menghasilkan urut-urutan unsur bahasa sesuai dengan pemakaian bahasa
itu secara nyata, dan sekaligus menuntut siswa untuk menghubungkan unsur-unsur
bahasa bahasa tersebut dengan konteks ekstralinguistik (Oller, 1979: 39).
Tes pragmatik (Oller) mempunyau persamaan pengertian dengan tes kompetensi
komunikatif (Valette, 1997: 12), keduanya menekankan kemampuan siswa untuk
berkomunikasi dengan bahasa dalam situasi tertentu. Oleh karena tes pragmatik
dimaksudkan untuk mengukur kemampuan siswa memahami dan menghasilkan
bahasa dalam komunikasi yang wajar, tes pragmatik pastilah bersifat integratif, atau
tes bahasa yang bersifat global (secara singkat: tes global).
Berikut akan diberikan beberapa contoh tes kebahasaan yang bersifat pragmatik.
Tes-tes yang dicontohkan sebenarnya buka merupakn ‘barang” baru buat kita, dalam
arti telah banyak didengar dan (mungkin) dilaksanakan.
(1) Dikte
Dikte merupakan salah satu cara yang sering dilakkan untuk mengukur
kemampuan berbahsa siswa. Jika urutan kata dan frase yang ditekan berupa
wacana (prosa, dialog, atau bentuk kegiatan berbahasa yang lain) kehidupan
berbahasa yang wajar, dan jika penyajiannya dengan kecepatan yang wajar
untuk mempergunakan kemapuan ingatannya, dikte yang dilakukan telah
benar-benar pragmatik.
Dikte tidak hanya menyangkut konteks linguistik saja, melainkan juga
melibatkan konteks ekstralinguistik. Dikte menuntut kegiatan mental secara
aktif dan kreatif. Misalnya Lado megatakan bahwa dikte hanya mengukur
sangat sedikit unsur bahasa (Lado, 1964: 34) dan Harris mengatakan dikte
bersifat kurang ekonomis dan kurang teliti (Harris, 1979: 5). Kesalahan-
kesalahn kebahasaan dalam tes kemampuan berbahasa yang lain. Dengan
demikian, kesalahan-kesalahan dalam dikte merupakan petunjuk tentang
kelemahan siswa dalam berbagai aspek kebahasaan yang bersangkutan, baik
yang menyangkut bunyi bahasa (ejaan), struktur, maupun kosa kata.
Prosedur dikte dapat dibuat secara bervariasi, dengan teknik-teknik yang
berupa dikte standar, dikte sebagian, dikte dengan gangguan suara, dikte-
kompetensi, dan produksi lisan imitasi (Oller, 1979: 264 – 5 ) dalam dikte
standar siswa diminta menulis wacana yang dibacakan langsung atau melalui
rekaman dengan kecepatan nomral. Dikte dengan gangguan suara adalah
dikte yang disertai suara lain yang sengaja dimaksudkan untuk menggangu
suara yang didiktekan. Hal itu sesuai dengan kenyataan orang berkomunikasi
yang selalu banyak gangguan suara-suara di sekitarnya. Dalam dikte-
komposisi dan prosuksi lisan imitasi penilaian secara verbatim tidak tepat
Penialian lebih tepat dilakukan secara verbatim tidak tepat Penilaian lebih
tepat dilakukan seperti halnya dalam menilai kemampuan prosuksi, tertulis
dan lisan.
Dikte yang bersifat tradisional banyak dilakukan di sekolah dasar, pada
tahap awal anak mempelajari bahasa Indonesia secara formal. Dengan
pertimbangan bahwa dikte termasuk tes kebahasaan yang pragmatik serta
adanya berbagai variasi pelaksanaan dikte yang menuntut kegiatan mental
secara aktif dan kreatif, dikte ternyata dapat diterapkan di sekolah menengah,
tentu saja dengan penyesuaian bahan.
(2) Berbicara
Tes keterampilan berbicara seharusnya lebih mendapat perhatian karena
ia paling mencerminkan kemampuan berbahasa seseorang (Oller, 1979: 306).
Tes keterampilan berbicara prestasi terhadap gambar susun (rangkaian
gambar yang membentuk suatu cerita).
4. Tes Komunikatif
Pendekatan ini menekankan pentingnya fungsi bahasa yang sebagai fungsi
komunikatif. Pengajaran bahasa di sekolah haruslah memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk memperoleh berbagai kemampuan berbahasa yang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan berkomunikasi dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Dengan demikian, pengajaran bahasa, dengan konsekuensi penilaiannya mau tidak
mau harus melibatkan berbagai aspek kebasahasaan seklaigus, dan inilah kemudain
yang dikenal sebagai pengajaran yang bersifat whole language. Agar pembelajaran
bahasa dapat mencapai target, pembelajaran yang dilakukan haruslah menekankan
pemberian kesempatan kepada siswa untuk memperoleh apa yang disebut Kompetensi
Komunikatif (communicative copetence ) (Hyme, 1972).
Kompetensi ini meliputi kompetensi gramatikal, yang merupakan kompetensi
yang berkaitan dengan berbagai unsur kebahasaan, kompetensi sosialingual, yang
merupakan kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan mempergunakan bahasa
sesuai dengan keadaan sosial kemasyarakatan, dan kompetensi kontekstual.
Pembicaraan tentang tes pragmatik di atas sebenarnya telah didasarkan pada
pengajaran bahasa dengan pendekatan komunikatif. Diatas juga dikemukakan bahwa
pengertian tes pragmatik (Oller) identik dengan tes kompetensi komunikatif (Valette)
jadi, boleh dikatakan bahwa tes komunikatif merupakan tes pragmatik yang lebih
menekankan pad aketegasan dan kejelasan konteks, kejlesan yang tegas antara tes
bahasa dengan aspek dan situasi-situasi faktual dalam berkomunikasi.
Unsur konteks dalam kegiatan berbahasa dinamakan faktor penentu dalam
pendangan pragmatik. Faktor penentu itulah yang akan menentukan ketetapan
pemilihan ragam bahasa tertentu dalam kegiatan berbahasa yang dilakukan. Faktor
penentu yang dimaksud antara lain adalah pihak (orang) yang terlibat dalam kegiatan
berbahasa, tujuan pembicaraan, masalah yang menajdi topik penentu bicaraan, tepat
dan waktu berlangsungnya pembicaraan, jalur yang dipergunakan, suasana
keformalan pembicaraan, dan lain-lain.
Berbagai aspek kebahasaan dna fungsi komunikatif pemahaman-pemahaman dan
penggunaan bahasa haruslah terintegrasi dalam tes komunikatif. Tes kebahasaan yang
dimaksudkan untuk mengukur kompetensi gramatikal – memang perlu mendapatkan
perhatian tersendiri. Akan tetapi, ia tidak boleh lepas dari fungsi komunikatif bahasa,
dan jika dipaksakan akan berubah menjadi jenis tes kebahasaan yang lain yang tidak
mengukur komptensi komunikatif bahasa. Dengan demikian, tes komunikatif akan
berwujud tes kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan bahasa.
Pengajaran sastra (Indonesia) disekolah tidak berdiri sendiri sebagai sebuah mata
pelajaran yang mandiri, melainakn “hanya” menjadi bagian mata pelajaran bahasa dan sastra
Indonesia. Sastra yang sejak kurikulum 1984 ditegaskan dengan sebutan “apresiasi bahasa
dan sastra Indonesia” hanya merupakan salah satu pokok bahasan dari sejumlah pokok
bahasan yang lain yang terdapat dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dengan
demikian, sesorang guru bahasa (Indonesia) juga berarti guru apresiasi sastra. Ia bertugas
mengukur hasil belajar bahasa dan sastra siswa yang menjadi asuhannya. Hal itu juga berarti
ia dituntut untuk mampu menyusun teks kebahasaan dan kesastraan sebagai salah satu sarana
mengungkap hasil belajar siswa.
Penggabungan sastra ke dalam pengajaran bahasa (Indonesia) memang wajar dan dapat
dimengerti. Sebab, bahasa merupakan sarana pengucapan sastra, bahsa merupakan salah satu
unsur bentuk sastra yang sangat penting, khususnya pad akarya sastra yang berwujud puisi.
Bahkan secara lahiriah, aspek formal yang tampak, wujud sastra adalah bahasa. Sastra
merupakan karya seni yang bermediakan bahsa yang unsur-unsur keindahannya menonjol.
Untuk memahami sastra dengan baik, di samping penguasaan terhadap kode bahasa,
diperlukan juga pengetahuan tentang kode sastra dan kode budaya. Walau kita telah
memiliki pengetahuan yang memadai tentang berbagai kode yang diperlukan, untuk
mengapresiasikan karya sastra, amasih harus disertai dengan usaha dan sikap sadr, kritis, dan
sungguh-sungguh.
Masalah yang dihadapi oleh para guru di sekolah adalah sebagaimana mengajar,
membimbing, dan melatih siswa mengapresiasikan sastra dengan bekal dan sikap seperti
diatas. Paling tidak, bagaimana kita mengajarkan kemampuan berbahsa siswa yang
menunjang penguasaan kode bahasa yang dibutuhkan dalam permahaman karya sastra.
Idealnya terjaidnya kaitan yang erta antara pengajaran bahasa dengan pengajaran sastra yang
bersifat saling mengisi dan menunjang. Dengan demikian, terdapat korelasi antara
kemampuan berbahasa dengan kemampuan berapresiasi sastra.