Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai.Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Kotabumi, Oktober 2018

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Sebagai umat muslim (orang yang beragama Islam) kita memerlukan belajar
secara teratur (long live education). Belajar dalam Islam bertujuan agar kita dapat
ilmu untuk hidup di dunia dan memperoleh bekal untuk di akhirat. Hal-hal
penting tentang ilmu yang harus kita pelajari nantinya akan berpengaruh dan
InsyaAllah dapat menjadi pegangan kita selama hidup di dunia yaitu dengan ilmu
kita dapat mencari nafkah untuk kebutuhan hidup.

Ilmu Adalah Bunga-bunga Ibadah . Kita harus memahami juga untuk apa kita
hidup di dunia ini. Allah menciptakan makhluknya hanya untuk beriman dan
bertakwa kepadaNya. Jadi semua hal di dunia yang telah dan akan kita lakukan,
semua ditujukan hanya pada Allah. Setiap hal di dunia memerlukan ilmu.Sebab
kelebihan yang dimiliki manusia adalah akal.Dengan akal maka manusia dapat
berpikir dan mempergunakan pikirannya untuk memperoleh dan mengamalkan
ilmu.

Menuntut ilmu sebaiknya jangan dianggap kewajiban tetapi sebuah


kebutuhan yang asasi dan sangat penting.Menuntut ilmu dapat mengembangkan
pola berpikir seseorang sehingga dapat memudahkan dalam menjalani kehidupan.
Orang yang menghargai ilmu dan mengamalkannya dengan baik maka hidupnya
akan menjadi damai dan sejahtera. Tak jarang manusia menyepelekan ilmu sebab
untuk menuntut ilmu memerlukan biaya dan waktu yang lama.Mereka adalah
orang-orang yang tidak bisa membuka hati dan pikirannya untuk menerima ilmu.
Apabila kita telah membuka hati dan pikiran kita untuk menerima bahwa ilmu itu
ada dan berguna, maka dengan sendirinya diri kita akan terbiasa menuntut ilmu
karena kebutuhan hidup selalu berkaitan dengan ilmu.

Mencari ilmu adalah kebutuhan yang akan menjadi kewajiban bila sudah
ditanamkan dalam hati. Hal tersebut sangat penting karena akan menjadi bekal
manusia di dunia dan di akherat. Islam dianggap sebagai agama pemersatu bangsa
dan agama Islam sebagai rahmatan lil alamin. Kita sebagai umat muslim akan
menjadi orang yang merugi bila tidak menuntut ilmu. Sebab Nabi Muhammad
SAW pernah bersabda : “Tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina”. Sabda
nabi tersebut menunjukkan bahwa ilmu sangatlah berharga. Ilmu yang kita miliki
baru akan berharga bila sudah diamalkan di jalan Allah. Dengan demikian kita
akan mampu meningkatkan amal ibadah kita kepada Allah SWT.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengambil judul makalah “Kewajiban


Menuntut Ilmu, Mengembangkan dan Mengamalkannya”

1.2.Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas penulis mengambil rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaiman perintah menuntut ilmu dalam Islam ?
2. Bagaimana keutamaan orang berilmu ?
3. Bagaimana kedudukan ulama dalam Islam ?

1.3.Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaiman perintah menuntut ilmu dalam Islam ?
2. Bagaimana keutamaan orang berilmu ?
3. Bagaimana kedudukan ulama dalam Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Perintah Menuntut Ilmu Dalam Islam


Pada dasarnya kita hidup didunia ini tidak lain adalah untuk beribadah kepada
Allah. Tentunya beribadah dan beramal harus berdasarkan ilmu yang ada di Al-
Qur’an dan Al-Hadist. Tidak akan tersesat bagi siapa saja yang berpegang teguh
dan sungguh-sungguh perpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.Disebutkan
dalam hadist, bahwasanya ilmu yang wajib dicari seorang muslim ada 3,
sedangkan yang lainnya akan menjadi fadhlun (keutamaan). Ketiga ilmu tersebut
adalah ayatun muhkamatun (ayat-ayat Al-Qur’an yang menghukumi), sunnatun
qoimatun (sunnah dari Al-hadist yang menegakkan) dan faridhotun adilah (ilmu
bagi waris atau ilmu faroidh yang adil)
Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda :
ْ ‫ازي ِْر‬
َ.‫َالج ْوهَرَوَللُّؤْ َلُؤَوَالذَّهب‬ ْ ‫َال ِع ْل ِمَ ِع ْندَغي ِْرَا ْه ِل ِهَك ُمق ِلد‬
ِ ‫َِالخن‬ ْ ‫ض ُع‬
ِ ‫َال ِع ْل ِمَف ِريْضةٌَعلىَ ُك ِلَ ُم ْس ِل ٍمَوَو‬
ْ ‫ب‬ ِ ‫طَل‬
‫(رواهَابنَمجا‬

“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan orang yang meletakkan ilmu
kepada orang yang bukan ahlinya (orang yang enggan untuk menerimanya dan
orang yang menertawakan ilmu agama) seperti orang yang mengalungi beberapa
babi dengan beberapa permata, dan emas. (H.R. Ibnu Majah,Al-Baihaqi,Anas bin
Malik dan lain lain serta Al-Mundiri 28/1)

Juga pada hadist rasulullah yang lain,”carilah ilmu walau sampai ke negeri
cina”.Dalam hadist ini kita tidak dituntut mencari ilmu ke cina, tetapi dalam hadist
ini rasulullah menyuruh kita mencari ilmu dari berbagai penjuru dunia.Walau jauh
ilmu haru tetap dikejar.

Dalam kitab “ Ta’limul muta’alim” disebutkan bahwa ilmu yang wajib dituntut
terlebih dahulu adalah ilmu haal yaitu ilmu yang seketika itu pasti digunakan dn
diamalkan bagi setiap orang yang sudah baligh. Seperti ilmu tauhid dan ilmu
fiqih.Apabila kedua bidang ilmu itu telah dikuasai, baru mempelajari ilmu-ilmu
lainya, misalnya ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lainya.
Kadang-kadang orang lupa dalam mendidik anaknya, sehingga lebih
mengutamakan ilmu-ilmu umum daripada ilmu agama.Maka anak menjadi orang
yang buta agama dan menyepelekan kewajiban-kewajiban agamanya.Dalam hal
ini orang tua perlu sekali memberikan bekal ilmu keagamaan sebelum anaknya
mempelajari ilmu-ilmu umum.

Dalam hadist yang lain Rasulullah bersabda, “sedekah yang paling utama adalah
orang islam yang belajar suatu ilmu kemudian diajarkan ilmu itu kepada orang
lain.”(HR. Ibnu Majah)

Maksud hadis diatas adalah lebih utama lagi orang yang mau menuntut ilmu
kemudian ilmu itu diajarkan kepada orang lain. Inilah sedekah yang paling utama
dibanding sedekah harta benda. Ini dikarenakan mengajarkan ilmu, khususnya
ilmu agama, berarti menenan amal yang muta’adi (dapat berkembang) yang
manfaatnya bukan hanya dikenyam orang yang diajarkan itu sendiri, tetapi dapat
dinikmati orang lain.

B. Keutamaan Orang Berilmu

Orang yang berilmu mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah
dan masyarakat.Al-Quran menggelari golongan ini dengan berbagai gelaran mulia
dan terhormat yang menggambarkan kemuliaan dan ketinggian kedudukan
mereka di sisi Allah SWT dan makhluk-Nya. Mereka digelari sebagai “al-
Raasikhun fil Ilm” (Al Imran : 7), “Ulul al-Ilmi” (Al Imran : 18), “Ulul al-Bab”
(Al Imran : 190), “al-Basir” dan “as-Sami' “ (Hud : 24), “al-A'limun” (al-A'nkabut
: 43), “al-Ulama” (Fatir : 28), “al-Ahya' “ (Fatir : 35) dan berbagai nama baik dan
gelar mulia lain.

Dalam surat ali Imran ayat ke-18, Allah SWT berfirman: "Allah menyatakan
bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang- orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".

Dalam ayat ini ditegaskan pada golongan orang berilmu bahwa mereka amat
istimewa di sisi Allah SWT . Mereka diangkat sejajar dengan para malaikat yang
menjadi saksi Keesaan Allah SWT. Peringatan Allah dan Rasul-Nya sangat keras
terhadap kalangan yang menyembunyikan kebenaran/ilmu, sebagaimana firman-
Nya: "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami
menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan
dilaknati pula oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati." (Al-Baqarah: 159)
Rasulullah SAW juga bersabda: "Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, akan
dikendali mulutnya oleh Allah pada hari kiamat dengan kendali dari api neraka."
(HR Ibnu Hibban di dalam kitab sahih beliau.Juga diriwayatkan oleh Al-Hakim.
Al Hakim dan adz-Dzahabi berpendapat bahwa hadits ini sahih) Jadi setiap orang
yang berilmu harus mengamalkan ilmunya agar ilmu yang ia peroleh dapat
bermanfaat. Misalnya dengan cara mengajar atau mengamalkan pengetahuanya
untuk hal-hal yang bermanfaat.

C. Kewajiban Mengamalkan Ilmu

Banyak orang menuntut ilmu yang tidak diamalkan,ilmunya menjadi sia-sia hanya
digunakan untuk menunjukan kehebatan dan keutamaan dirinya,serta untuk tujuan
yang berbau keduniaan.

Amalkan ilmumu bila engkau ingin selamat dari adzab Allah. Dalam
mengamalkan ilmu kita harus memperhatikan hal-hal berikut,diantaranya :

1. Jangan melihat tempat dan waktu dalam mengamalkan ilmu

2. Meskipun sedikit amalkan ilmumu,

Dikisahkan ,sesungguhnya Al – Junaid setelah meninggal dunia ada seorang yang


bermimpi bertemu dia,lalu ia bertanya kepada Al – junaid : “Wahai Abu Qasim
(imam junaid), bagaimana keadaanmu setelah meninggal? ,Al – Junaid
menjawab,”Aduh … kebaikan yang aku lakukan hilang semuanya,dan seluruh
isyarah amal-amal itu juga hilang tidak ada manfa’atnya sedikitpun ,kecuali
beberapa rakaat yang aku lakukan di tengah malam”. Keterangan Al- Junaid
membuktikan bahwa derajat seseorang disisi Allah itu tidak dilihat dari
banyaknya ilmu yang dipelajari dan dikuasai,melainkan dilihat dari
pengamalannya. Meskipun ilmunya sedikit lalu diamalkan itu lebih baik dan
berarti dari pada memiliki ilmu yang banyak tetapi tidak diamalkan.

3. Janganlah menunggu masa tua dalam mengamalkan ilmu.

4. Jangan beranggapan ilmu itu bisa mengangkat derajat mu bila tanpa


diamalkan.

Ali ra berkata : “Barangsiapa menyangka bahwa tanpa jerih payah beribadah


dirinya bisa mencapai derajat yang tinggi,itu berarti dia mengharapkan perkara
yang sulit datangnya. Barangsiapa menyangka bahwa dengan menyepelekan
ibadah dirinya bisa mencapai derajat tinggi,itu menunjukan kesombongan dirinya
(ia sudah merasa cukup amal ibadahnya)
Al Hasan berkata : “Mencari surga tanpa beramal adalah suatu dosa,dari jenis
dosa-dosa yang lain

Nabi Isa bersabda: “Orang yang mempelajari suatu ilmu tetapi tidak mau
mengamalkannya,bagaikan seorang wanita yang berbuat zina ditempat
tersembunyi,lalu ia hamil dan perut wanita itu semakin besar,yang akhirnya
ketahuan dia hamil. Begitu juga dengan orang yang tidak mau mengamalkan
ilmunya,pada hari kiiamat nanti Allah akan memperlihatkan dia dihadapan semua
makhluk yang hadir di Makhsyar”

D. Kedudukan Ulama Dalam Islam

Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta
tingginya kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan
mereka sebagai teladan dan pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh
perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam
kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan
ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh
dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa.Dengan ilmunya para
ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia
kehormatannya.

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

َ‫قُ ْلَه ْلَيسْت ِويَالَّذِينَي ْعل ُمونَوالَّذِينََلَي ْعل ُمون‬

Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang


yang tidak mengetahui?” (QS. az-Zumar: 9) Dan firman-Nya Azza wa Jalla:

َ‫ت‬ ْ ُ ‫واَم ْن ُك ْمَوالَّذِينَأُوت‬


ٍ ‫واَال ِع ْلمَدرجا‬ ِ ُ‫َّللاَُالَّذِينَآمن‬
ََّ ِ‫ي ْرفع‬
Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa
derajat.” (QS. al-Mujadilah: 11)

Diantara keutamaannya adalah para malaikat akan membentangkan sayapnya


karena tunduk akan ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada
di airpun ikut memohonkan ampun baginya. Para ulama itu adalah pewaris Nabi,
dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang
mereka wariskan hanyala ilmu, dan pewaris sama kedudukannya dengan yang
mewariskannya, maka bagi pewaris mendapatkan kedudukan yang sama dengan
yang mewariskannya itu. Di dalam hadits Abi Darda radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang
meniti suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya
jalan menuju surga. Sesungguhya para malaikat akan membuka sayapnya untuk
orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan
sesungguhnya seorang yang alim akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang
ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya
keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama atas
seluruh bintang.Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi.Dan
sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka
wariskan hanyalah ilmu.Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka
sesungguhnya ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.” (Shahih, HR
Ahmad (V/196), Abu Dawud (3641), at-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223) dan
Ibnu Hibban (80/al-Mawarid). Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa
oleh para Nabi, dan melanjutkan peranan dakwah di tengah-tengah umatnya untuk
menyeru kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya.Juga melarang dari perbuatan
maksiat serta membela agama Allah.Mereka berkedudukan seperti rasul-rasul
antara Allah dan hamba-hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan
petunjuk, serta untuk menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan
menerangi jalan.

Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Sesungguhnya orang alim itu perantara


antara Allah dan hamba-hamba-Nya, maka perhatikanlah bagaimana dia bisa
masuk di kalangan hamba-hamba-Nya.”

Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Manusia yang paling agung kedudukannya adalah
yang menjadi perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, yaitu para Nabi
dan ulama.”

Sahl bin Abdullah berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat majlisnya para Nabi,
maka hendaklah dia melihat majelisnya para ulama, dimana ada seseorang yang
datang kemudian bertanya, ‘Wahai fulan apa pendapatmu terhadap seorang laki-
laki yang bersumpah kepada istrinya demikian dan demikian?’Kemudian dia
menjawab, ‘Istrinya telah dicerai.’ Kemudian datang orang lain dan bertanya,
‘Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang bersumpah pada istrinya
demikian-demikian?’ Maka dia menjawab, ‘Dia telah melanggar sumpahnya
dengan ucapannya ini.’Dan ini tidak dimiliki kecuali oleh Nabi atau orang alim.
(maka cari tahulah tentang mereka itu).”

Maimun bin Mahran berkata, “Perumpamaan seorang alim disuatu negeri itu,
bagaikan mata air yang tawar di negeri itu.”

Jikalau para ulama memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi seperti itu,
maka wajib atas orang-orang yang awam untuk menjaga kehormatan serta
kemuliaannya. Dari Ubadah bin Ashomit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda, “Bukan termasuk umatku orang yang tidak
memuliakan orang yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak
tahu kedudukan ulama.”

Dan di antara hak para ulama adalah mereka tidak diremehkan dalam hal keahlian
dan kemampuannya, yaitu menjelaskan tentang agama Allah, serta penetapan
hukum-hukum dan yang semisalnya dengan mendahului mereka, atau
merendahkan kedudukannya, serta sewenang-wenang dengan kesalahannya, juga
menjauhkan manusia darinya atau perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh
orang-orang jahil yang tidak tahu akan kedudukan dan martabat para ulama. Satu
hal yang sudah maklum bagi setiap orang, bahwa mempercayakan setiap cabang-
cabang ilmu tidak dilakukan kecuali kepada para ahli dalam bidangnya.Jangan
meminta pendapat tentang kedokteran kepada makanik, dan jangan pula meminta
pendapat tentang senibena kepada para dokter, maka janganlah meminta pendapat
dalam suatu ilmu kecuali kepada para ahlinya.Maka bagaimana dengan ilmu
syariah, pengetahuan tentang hukum-hukum dan fiqh kontemporer?Bagaimana
kita meminta pendapat kepada orang yang tidak terkenal alim mengenainya dan
tidak pula punya kemampuan memahaminya jauh sekali sebagai ulama yang
mujtahid dan para imam yang kukuh ilmunya serta ahli fiqh yang memiliki
keupayaan sebagai ahli istimbath?

Allah Ta’ala berfirman:

َ‫َم ْن ُه ْم َلع ِلمهَُالَّذِين‬


ِ ‫يَاْل َْم ِر‬ْ ‫سو ِل َوإِلىَأُو ِل‬ ُ ‫ىَالر‬
َّ ‫ف َأذاعُواَبِ ِه َول ْو َردُّوهُ َإِل‬ ْ ‫َاْل ْم ِن َأ ِو‬
ِ ‫َالخ ْو‬ ْ ‫َمن‬
ِ ‫وإِذاَجاء ُه ْم َأ ْم ٌر‬
َ ً ‫شيْطانَ ِإ ََّلَق ِل‬
‫يل‬ َّ ‫َُّللاَِعل ْي ُك ْمَورحْ متُهََُلتَّب ْعت ُ ُمَال‬
َّ ‫ضل‬ ْ ‫َُم ْن ُه ْمَول ْوَلَف‬
ِ ‫طونه‬ ُ ‫يسْتَ ْن ِب‬

"Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya, (padahal) apabila mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-
orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara
resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena karunia dan
rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil
saja (di antara kamu). (QS. an-Nisa`: 83)

Dan yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat ini adalah para ulama yang
'Alim dan cermat dalam beristimbath hukum-hukum syariat baik dari kitab
maupun sunnah, karena nash-nash yang jelas tidaklah cukup untuk menjelaskan
seluruh permasalahan kontemporer dan hukum-hukum terkini, dan tidaklah begitu
mahir untuk beristimbath serta mengerluarkan hukum-hukum dari nash-nash
kecuali para ulama yang berkelayakan. Abul ‘aliyah mengatakan tentang makna
“Ulil Amri” dalam ayat ini, “Mereka adalah para ulama, tidakkah kamu tahu
Allah berfirman, ‘(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan
Ulil Amri).”

Dari Qatadah, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
Amri di antara mereka”, dia mengatakan, “Kepada ulamanya.” “Tentulah orang-
orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara
resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”, tentulah orang-orang yang membahas
dan menyelidikinya mengetahui akan hal itu.”

Dan dari Ibu Juraij, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul”
sehingga beliaulah yang akan memberitakannya “dan kepada Ulil Amri” orang
yang faqih dan faham agama.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam Fath al-Bari: Ibnu Attin menukil dari ad-
Dawudi, bahwasanya beliau menafsirkan firman Allah Ta’ala “Dan Kami
turunkan az-Zikir (al-Qur`an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.”

An-Nahl : 44,: Allah Ta’ala banyak menurunkan perkara-perkara yang masih


bersifat global, kemudian ditafsirkan oleh Nabi-Nya apa-apa yang diperlukan
pada waktu itu, sedangkan apa-apa yang belum terjadi pada saat itu, penafsirannya
di wakilkan kepada para ulama. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : (padahal)
apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka. (QS. an-Nisa`: 83)

Al-’Allamah Abdurrahman bin Sa’di rahimahullahu menafsirkan ayat ini: Ini


merupakan pelajaran tentang adab dari Allah untuk para hamba-Nya, bahwa
perbuatan mereka tidak layak, maka sewajarnya bagi mereka, apabila ada urusan
yang penting, juga untuk kemaslahatan umum, yang berkaitan dengan keamanan
dan kebahagiaan kaum mukminin, atau ketakutan yang timbul dari suatu musibah,
maka wajib bagi mereka untuk memperjelas dan tidak tergesa-gesa untuk
menyebarkan berita itu, bahkan mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
Amri dikalangan mereka, yang ahli dalam hal pemikiran ilmu, dan nasehat , yang
faham akan permasalahan, kemaslahatan dan mafsadatnya. Jikalau mereka
memandang pada penyebaran berita itu ada maslahat dan sebagai penyemangat
bagi kaum mukminin, yang membahagiakan mereka, serta dapat melindungi dari
musuh-musuhnya maka hal itu dilakukan, dan apabila mereka memandang hal itu
tidak bermanfaat, atau ada manfaatnya akan tetapi mudhorotnya lebih besar dari
manfaatnya maka tidak menyebarkan berita itu, oleh karena itu Allah berfirman :
“tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka.” Yaitu: mengerahkan pikiran dan
pandangannya yang lurus serta ilmunya yang benar.

Dan dalam hal ini ada kaidah tentang etika (adab) yaitu: apabila ada pembahasan
dalam suatu masalah hendaknya di berikan kepada ahlinya dan tidak mendahului
mereka, karena itu lebih dekat dengan kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan.
Juga ada larangan untuk tergesa-gesa menyebarkan berita tatkala mendengarnya,
yang patut adalah dengan memperhatikan dan merenungi sebelum berbicara,
apakah ada maslahat maka disebarkan atau mudharat maka dicegah.Selesai
ucapan syaikh rahimahullahu.Dengan penjelasan ini diketahui wahai teman-teman
semua, bahwa perkara yang sulit dan hukum-hukum yang kontemporer serta
penjelasan hukum-hukum syariatnya tidak semua orang boleh campur tangan
dalam masalah itu, kecuali para ulama yang memiliki bashirah dalam agama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu berkata, “Jabatan dan kedudukan


tidaklah menjadikan orang yang bukan alim menjadi orang yang alim, kalau
seandainya ucapan dalam ilmu dan agama itu berdasarkan kedudukan dan jabatan
niscaya khalifah dan sulthan (pemimpin negara) lebih berhak untuk berpendapat
dalam ilmu dan agama.Juga dimintai fatwa oleh manusia, dan mereka kembali
kepadanya pada permasalahan yang sulit difahami baik dalam ilmu ataupun
agama. Apabila pemimpin negara saja tidak mengaku akan kemampuan itu pada
dirinya, dan tidak memerintahkan rakyatnya untuk mengikuti suatu hukum dalam
satu pendapat tanpa mengambil pendapat yang lain, kecuali dengan al-Qur`an dan
as-Sunnah, maka orang yang tidak memiliki jabatan dan kedudukan lebih tidak
dianggap pendapatnya.” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ilmu Adalah Bunga-bunga Ibadah . Kita harus memahami juga untuk apa kita
hidup di dunia ini. Allah menciptakan makhluknya hanya untuk beriman dan
bertakwa kepadaNya. Jadi semua hal di dunia yang telah dan akan kita lakukan,
semua ditujukan hanya pada Allah. Setiap hal di dunia memerlukan ilmu.Sebab
kelebihan yang dimiliki manusia adalah akal. Dengan akal maka manusia dapat
berpikir dan mempergunakan pikirannya untuk memperoleh dan mengamalkan
ilmu

Menuntut ilmu sebaiknya jangan dianggap kewajiban tetapi sebuah kebutuhan


yang asasi dan sangat penting.Menuntut ilmu dapat mengembangkan pola berpikir
seseorang sehingga dapat memudahkan dalam menjalani kehidupan. Orang yang
menghargai ilmu dan mengamalkannya dengan baik maka hidupnya akan menjadi
damai dan sejahtera. Tak jarang manusia menyepelekan ilmu sebab untuk
menuntut ilmu memerlukan biaya dan waktu yang lama.Mereka adalah orang-
orang yang tidak bisa membuka hati dan pikirannya untuk menerima ilmu.
Apabila kita telah membuka hati dan pikiran kita untuk menerima bahwa ilmu itu
ada dan berguna, maka dengan sendirinya diri kita akan terbiasa menuntut ilmu
karena kebutuhan hidup selalu berkaitan dengan ilmu.

Mencari ilmu adalah kebutuhan yang akan menjadi kewajiban bila sudah
ditanamkan dalam hati. Hal tersebut sangat penting karena akan menjadi bekal
manusia di dunia dan di akherat. Islam dianggap sebagai agama pemersatu bangsa
dan agama Islam sebagai rahmatan lil alamin. Kita sebagai umat muslim akan
menjadi orang yang merugi bila tidak menuntut ilmu.

B. Saran

Untuk menuntut dan mengamalkan Ilmu Pengetahuan harus kita dasar dengan
keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt.agar dapat memberikan jaminan
kemaslahatan bagi kehidupan serta lingkungan sekitar kita.
DAFTAR PUSTAKA

http://ustazmokhtar.blogspot.com/2009/07/kedudukan-ulama-dalam-islam.html

http://iipkasipulqulub.blogspot.com/2014/03/makalah-hadits-pentingnya-
menuntut-ilmu.html

Anda mungkin juga menyukai