Anda di halaman 1dari 4

Penyebaran virus Corona atau (Covid-19) yang semakin luas ke berbagai negara di dunia menimbulkan

reaksi beragam di tengah masyarakat. Pada mulanya banyak yang menyangka bahwa virus ini tak
ubahnya seperti virus-virus yang telah lebih dahulu mewabah. Sebut saja ebola, virus flu burung H5N1,
SARS, ataupun MERS-Cov.

Oleh : Ade Faulina

Namun berbeda halnya dengan wabah-wabah tersebut yang relatif tidak terlalu banyak memakan
korban dan dalam skop yang masih bisa ditangani, virus corona yang kasus pertamanya ditemukan di
kota Wuhan, China ini memiliki kemampuan penyebaran yang sangat cepat dan jauh lebih luas.

Portal berita online www.kompas.com, Rabu, (18/3/2020) berdasarkan data terbaru dari Coronavirus
COVID-19 Global Cases by John Hopkins CSSE memuat total terdapat 197.168 kasus infeksi virus corona
yang telah dilaporkan oleh 152 negara di dunia. Sekitar 7.905 berupa kasus kematian, dan 80.840 di
antaranya telah dinyatakan sembuh.

Untuk Indonesia sendiri dilansir dari www.cnnindonesia.com pada hari yang sama, ada 227 kasus positif,
11 di antaranya sembuh dan 19 meninggal dunia. Dengan temuan kasus yang tersebar di beberapa
wilayah, yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Bali,
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Sumatera Utara dan Lampung.
Data ini memperlihatkan bahwa virus corona tidak bisa dianggap sebagai pandemi biasa.

Pada dasarnya perlu usaha preventif maupun mitigasi yang harus dilakukan secara jelas, dan terukur.
Bukan hanya dalam aspek kesehatan, namun dalam hal komunikasi juga perlu ditangani dengan
langkah-langkah tepat dan benar.

Hal ini mengingat bahwa musibah non-alam (wabah) ini cenderung lebih menakutkan dan
menggelisahkan bagi masyarakat. Adanya video-video via pesan WhatsApp yang diterima oleh
masyarakat di awal masa kemunculan virus corona menimbulkan kengerian tersendiri.
Berbagai informasi, berita maupun artikel-artikel yang berkembang sesudahnya, baik media cetak dan
online semakin meresahkan masyarakat dan menimbulkan miskomunikasi.

Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan seharusnya lebih memainkan perannya dalam hal ini. Bukan
saja dalam menyampaikan fakta maupun data yang benar dalam upaya untuk menenangkan
masyarakat.

Jika kita telisik dari awal, pemerintah sedikit terlambat dalam mengatur strategi dalam menangani krisis
ini. Pemerintah Indonesia tidak memberikan edukasi maupun advokasi yang tepat dan menyeluruh
tentang apa dan bagaimana virus corona. Masyarakat dibiarkan menerima begitu saja informasi-
informasi seputar virus corona dari berbagai media tanpa melakukan filter ataupun klarifikasi terlebih
dahulu.

Selain itu pemerintah juga luput untuk memanfaatkan hubungan dengan media dalam hal memberikan
rilis resmi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Kurang melakukan pemantauan terhadap perkembangan sebaran virus serta tidak maksimal dalam
bersinergi dengan menteri, kepala daerah, instansi maupun jajaran terkait dalam hal memberikan
informasi yang benar bagi masyarakat dan dapat menjadi acuan yang komprehensif, serta membuat
langkah-langkah konkret lainnya.

Pejabat berwenang lebih suka untuk mengeluarkan pernyataan atau komentar yang cenderung
mengabaikan daripada memberikan pernyataan objektif dan tanpa tendensi. Sebut saja pernyataan
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, yang menyebut Indonesia tidak akan
terdampak virus corona ataupun pernyataan lainnya yang senada.

Padahal sejumlah negara lain meskipun belum terdampak atau kasus yang relatif kecil justru telah
melakukan upaya serius yang bisa meminimalisir kasus ataupun dampak yang ditimbulkan.

Kita dapat mencontoh apa yang dilakukan oleh negara Korea Selatan sebagai salah satu negara dengan
jumlah kasus terinfeksi yang cukup tinggi, sejak pengumuman resmi pada 20 Januari silam kerap
mengumumkan angka kesembuhan lebih sering dibandingkan angka kasus infeksi baru.
Kemudian pemerintah Korea Selatan juga memberikan informasi yang terbuka kepada publik. Contoh
paling nyata adalah lokasi GPS dari seseorang terkonfirmasi Covid-19 bisa dilihat dari aplikasi sehingga
warga lain yang belum tertular bisa menjauhi area tersebut.

Secara tidak langsung apa yang dilakukan oleh Korea Selatan dapat menggambarkan bahwa komunikasi
maupun teknologi yang menyertainya dapat dijadikan sebagai sebuah cara dalam mengurangi
keresahan maupun kepanikan masyarakat.

Sebaliknya kita justru melihat sejak pengumuman resmi dari Presiden Jokowi pada 2 Maret lalu, belum
ada langkah terintegrasi secara menyeluruh dari atas ke bawah, ataupun dari pemerintah pusat kepada
daerah.

Ini memperlihatkan bahwa pemerintah belum siap dalam menghadapi krisis, khususnya krisis dari luar.
Hingga hari ini langkah konkret penanganan virus corona belum sampai ke daerah-daerah yang sejumlah
warganya dicurigai terpapar Covid-19.

Contoh saja apa yang terjadi pada Pemerintah Sumatera Barat. Kasus meninggalnya salah seorang
pasien di RSUP M. Djamil Padang pada beberapa waktu lalu menimbulkan simpang siur di tengah
masyarakat.

Dikutip dari www.langgam.id Jumat (13/3/2020) Pejabat Pemberi Informasi dan Dokumentasi RSUP M.
Djamil Padang, Gustavianof menyebutkan bahwa pasien berjenis kelamin perempuan tersebut dianggap
sebagai pasien positif MERS-Cov berdasarkan gejala ataupun ciri yang dimiliki, maka dalam masa
perawatan di ruang isolasi hingga perawatan jenazah dilakukan dengan standar prosedur penyakit
tersebut.

Sementara itu dalam waktu yang sama, pihak Dinas Kesehatan Sumatera Barat melalui Kepala Bidang
(Kabid) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Liarni Jamil menyatakan bahwa pasien tersebut
merupakan suspect Covid-19 bukan MERS-Cov. Dua pernyataan ini tentunya saling bertentangan.
Berbeda halnya dengan pernyataan kedua instansi, pemerintah Sumatera Barat sehari sesudahnya,
berdasarkan apa yang disampaikan oleh Kepala Biro Humas, Jasman Rizal justru membantah kedua
pernyataan tersebut.

Ia menyatakan bahwa pasien yang meninggal sepulang melaksanakan ibadah umrah itu belum dapat
dipastikan sebagai orang yang terpapar MERS-Cov, atau Covid-19 dan perlu pembuktian medis terlebih
dahulu.

Apa yang terjadi kepada tiga unsur pemerintah ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa dalam
lingkup daerah saja belum terbentuk suatu alur komunikasi yang runtut dan jelas. Hal ini tentunya
semakin melemahkan penanganan krisis yang terjadi. Seharusnya pemerintah baik pusat maupun
daerah memiliki struktur komunikasi yang jelas.

Dalam skop daerah khususnya, pihak pemerintah bisa menunjuk juru bicara resmi. Baik badan maupun
perorangan. Sehingga dapat satu suara (tidak bertentangan), memberikan kejelasan dan keakuratan
informasi kepada masyarakat.

Serta melakukan upaya-upaya yang memang sinkron dengan pernyataan yang dikeluarkan. Hal ini perlu
menjadi bahan evaluasi tidak saja untuk penanganan virus corona yang dihadapi saat ini tetapi juga
krisis-krisis lain yang menghadang nantinya. (**)

Anda mungkin juga menyukai