Sumber :
Plog, Barbara A., Fundamental of Industrial Hygiene 5th Edition., USA :
National Safety Council. 2002.
Rona Elfiza, Dwi Marliyawati. Hubungan Antara Lamanya Paparan Bising dengan Gangguan
Fisiologis dan Pendengaran pada Pekerja Industri Tekstil. Fakultas Kedokteran, Universitas
Diponegoro dan Staf Pengajar Ilmu THT-KL, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro
https://www.researchgate.net/publication/298912566_ANALISA_PENGARUH_PENGGU
NAAN_ALAT_PELINDUNG_DIRI_APD_TERHADAP_ALLOWANCE_PROSES_KERJ
A_PEMOTONGAN_KAYU_STUDI_KASUS_PT_PAL_INDONESIA [accessed May 23
2018].
Analisis Masalah
1. Bagaimana cara membuat penilaian resiko kesehatan kerja, keselamatan kerja dan
lingkungan?
Penilaian risiko adalah proses evaluasi risikorisiko yang di akibatkan adanya bahaya-bahaya,
dengan memperhatikan kecukupan pengendalian. yang dimiliki dan menentukan apakah
risiko dapat di terima atau tidak. Penilaian risiko terdapat dua tahap proses yaitu :
1. Menganalisis risiko (Risk Analysis). 2. Evaluasi Risiko.
2. Berapa lama batas waktu yang diperbolehkan untuk terkena paparan total bising 75 dB dan
120 dB?
7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu;
atau
8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.
Pada kedua sistem jam kerja tersebut juga diberikan batasan jam kerja yaitu 40 (empat puluh)
jam dalam 1 (satu) minggu. Apabila melebihi dari ketentuan waktu kerja tersebut, maka waktu
kerja biasa dianggap masuk sebagai waktu kerja lembur sehingga pekerja/buruh berhak atas
upah lembur.
7. Apa kriteria area evakuasi dan tempat berkumpul apabila ada kasus emergensi pada
perusahaan?
Undang-undang no 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan juga Peraturan Pemerintah
No. 36 tahun 2005 tentang Bangunan Gedung. PP No 36 tahun 2005 tentang bangunan gedung
menyatakan bahwa “Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah
deret sederhana, harus menyediakan sarana evakuasi yang meliputi sistem peringatan
bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat, dan jalur evakuasi yang dapat menjamin
kemudahan pengguna bangunan gedung untuk melakukan evakuasi dari dalam bangunan
gedung secara aman apabila terjadi bencana atau keadaan darurat”
Pada ayat 3 di pasal yang sama disebutkan bahwa sarana pintu keluar darurat dan jalur
evakuasi harus dilengkapi dengan tanda arah yang mudah dibaca dan jelas. Prinsip
penyelenggaraan bangunan dengan standar keselamatan dan kemudahan evakuasi ini juga
dijelaskan dalam UU No 28 TAHUN 2002 TENTANG BANGUNAN GEDUNG dimana
pada pasal 27 dinyatakan Persyaratan kemudahan meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan
di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana dalam pemanfaatan
bangunan gedung. Pada pasal 30 ayat 1 dinyatakan bahwa akses evakuasi dalam keadaan
darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat(2) harus disediakan di dalam bangunan
gedung meliputi sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat, dan jalur
evakuasi apabila terjadi bencana kebakaran dan/atau bencana lainnya, kecuali rumah
tinggal.
Adapun kriteria atau syarat jalur evakuasi diantaranya memenuhi kriteria berikut :
Jalur Evakuasi harus memiliki akses langsung ke jalan atau ruang terbuka yang aman,
dilengkapi Penanda yang jelas dan mudah terlihat.
Jalur Evakuasi dilengkapi penerangan yang cukup.
Jalur Evakuasi bebas dari benda yang mudah terbakar atau benda yang dapat membahayakan.
Jalur Evakuasi bersih dari orang atau barang yang dapat menghalangi gerak, tidak melewati
ruang yang dapat dikunci.
Jalur Evakuasi memiliki lebar minimal 71.1 cm dan tinggi langit-langit minimal 230 cm.
Pintu Darurat dapat dibuka ke luar, searah Jalur Evakuasi menuju Titik Kumpul, bisa dibuka
dengan mudah, bahkan dalam keadaan panik.
Pintu Darurat dilengkapi dengan penutup pintu otomatis.
Pintu Darurat dicat dengan warna mencolok dan berbeda dengan bagian bangunan yang lain.
Salah satu sarana penyelemat jiwa adalah assembly point. Assembly point atau tempat
berhimpun adalah tempat di area sekitar atau di luar lokasi yang dijadikan sebagai tempat
berkumpul setelah proses evakuasi dan dilakukan perhitungan pada saat terjadi keadaan darurat
seperti kebakaran dan gempa bumi. Assembly point harus aman dari bahaya kebakaran dan
lainnya. Sebaiknya disediakan pada jarak 20 m dari gedung terdekat. Tempat ini pula
merupakan lokasi akhir yang dituju sebagaimana digambarkan dalam rute evakuasi. Menurut
NFPA 101 : Life Safety Code Edisi 200 dalam Cinthia, 2009, kriteria untuk menentukan lokasi
assembly point adalah :
1. Aman dari api, termasuk asap, fumes
2. Cukup untuk menampun seluruh penghuni agar aman dari hal-hal yang menimbulkan
kepanikan
3. Mudah dijangkau dengan waktu seminimal mungkin
Permen PU no. 26 tahun 2008 juga menjelaskan kriteria tempat aman meliputi :
1. Tidak ada ancaman api
2. Dari sana penghuni bisa secara aman berhambur setelah menyelamatkan dari keadaan
darurat menuju ke jalan atau ruang terbuka
3. Suatu jalan atau ruang terbuka
Assembly point juga harus menyediakan space 30 cm2 buat satu orang (tanpa melihat ukuran
gendut/kurusnya) dan dengan tinggi 2 m (minimum) atau lebih tinggi. Ini dikalikan jumlah
orang yang mampu ditampung dalam assembly point tersebut sehingga didapat jumlah luas
minimal assembly point yang dibutuhkan.
8. Apa yang dimaksud hazard fisika dan kemungkinan hazard fisika pada kasus?
Bahaya fisik yaitu potensi bahaya yang dapat menyebabkan gangguan-gangguan kesehatan
terhadap tenaga kerja yang terpapar, misalnya: terpapar kebisingan intensitas tinggi, suhu
ekstrim (panas & dingin), intensitas penerangan kurang memadai, getaran, radiasi.
9. Apa yang dimaksud hazard biologi dan kemungkinan hazard fisika pada kasus?
Bahaya biologi dapat didefinisikan sebagai debu organik yang berasal dari sumber-sumber
biologi yang berbeda seperti virus, bakteri, jamur, protein dari binatang atau bahan-bahan dari
tumbuhan seperti produk serat alam yang terdegradasi. Bahaya biologi dapat dibagi menjadi
dua yaitu yang menyebabkan infeksi dan non-infeksi. Bahaya dari yang bersifat non infeksi
dapat dibagi lagi menjadi organisme viable, racun biogenik dan alergi biogenik.
10. Apa yang dimaksud hazard kimia dan kemungkinan hazard fisika pada kasus?
Jalan masuk bahan kimia ke dalam tubuh: Pernapasan (inhalation), Kulit (skin absorption),
Tertelan (ingestion). Racun dapat menyebabkan efek yang bersifat akut,kronis atau kedua-
duanya.
· Korosi : Bahan kimia yang bersifat korosif menyebabkan kerusakan pada permukaan
tempat dimana terjadi kontak. Kulit, mata dan sistem pencernaan adalah bagain tubuh yang
paling umum terkena. Contoh : konsentrat asam dan basa , fosfor.\
· Iritasi : iritasi menyebabkan peradangan pada permukaan di tempat kontak. Iritasi kulit
bisa menyebabkan reaksi seperti eksim atau dermatitis. Iritasi pada alat-alat pernapasan yang
hebat dapat menyebabkan sesak napas, peradangan dan oedema (bengkak). Contoh : Kulit :
asam, basa,pelarut, minyak. Dan pernapasan : aldehydes, alkaline dusts, amonia, nitrogen
dioxide, phosgene, chlorine ,bromine, ozone.
· Kanker : Karsinogen pada manusia adalah bahan kimia yang secara jelas telah terbukti
pada manusia. Kemungkinan karsinogen pada manusia adalah bahan kimia yang secara jelas
sudah terbukti menyebabkan kanker pada hewan . Contoh:
- Terbukti karsinogen pada manusia : benzene ( leukaemia); vinylchloride ( liver
angiosarcoma); 2-naphthylamine, benzidine (kanker kandung kemih ); asbestos (kanker paru-
paru , mesothelioma);
- Kemungkinan karsinogen pada manusia : formaldehyde, carbon tetrachloride, dichromates,
beryllium.
· Racun Sistemik : Racun sistemik adalah agen-agen yang menyebabkan luka pada organ
atau sistem tubuh. Contoh :
- Otak : pelarut, lead,mercury, manganese
- Sistem syaraf peripheral : n-hexane,lead,arsenic,carbon disulphide
- Sistem pembentukan darah : benzene,ethylene glycol ethers
- Ginjal : cadmium,lead,mercury,chlorinated hydrocarbons
- Paru-paru : silica,asbestos, debu batubara (pneumoconiosis).
11. Apa yang dimaksud hazard psikososial dan kemungkinan hazard fisika pada kasus?
Bahaya yang berasal atau ditimbulkan oleh kondisi aspek-aspek psikologis ketenagakerjaan
yang kurang baik atau kurang mendapatkan perhatian seperti : penempatan tenaga kerja yang
tidak sesuai dengan bakat, minat, kepribadian, motivasi, temperamen atau pendidikannya,
sistem seleksi dan klasifikasi tenaga kerja yang tidak sesuai, kurangnya keterampilan tenaga
kerja dalam melakukan pekerjaannya sebagai akibat kurangnya latihan kerja yang diperoleh,
serta hubungan antara individu yang tidak harmoni dan tidak serasi dalam organisasi kerja.
Kesemuanya tersebut akan menyebabkan terjadinya stress akibat kerja.
· Stress adalah tanggapan tubuh (respon) yang sifatnya non-spesifik terhadap setiap
tuntutan atasnya. Manakala tuntutan terhadap tubuh itu berlebihan, maka hal ini dinamakan
stress.
· Gangguan emosional yang di timbulkan : cemas, gelisah, gangguan kepribadian,
penyimpangan seksual, ketagihan alkohol dan psikotropika.
· Penyakit-penyakit psikosomatis antara lain : jantung koroner, tekanan darah tinggi,
gangguan pencernaan, luka usus besar, gangguan pernapasan, asma bronkial, penyakit kulit
seperti eksim,dll
12. Apa yang dimaksud hazard ergonomic dan kemungkinan hazard fisika pada kasus?
Potensi bahaya yang berasal atau yang disebabkan oleh penerapan ergonomi yang tidak baik
atau tidak sesuai dengan norma-norma ergonomi yang berlaku, dalam melakukan pekerjaan
serta peralatan kerja, termasuk : sikap dan cara kerja yang tidak sesuai, pengaturan kerja yang
tidak tepat, beban kerja yang tidak sesuai dengan kemampuan pekerja ataupun ketidakserasian
antara manusia dan mesin.
Pembebanan Kerja Fisik
· Beban kerja fisik bagi pekerja kasar perlu memperhatikan kondisi iklim, sosial ekonomi
dan derajat kesehatan.
· Pembebanan tidak melebihi 30 – 40% dari kemampuan kerja maksimum tenaga kerja
dalam jangka waktu 8 jam sehari.
· Berdasarkan hasil beberapa observasi, beban untuk tenaga Indonesia adalah 40 kg. Bila
mengangkat dan mengangkut dikerjakan lebih dari sekali maka beban maksimum tersebut
harus disesuaikan.
· Oleh karena penetapan kemampuan kerja maksimum sangat sulit, parameter praktis
yang digunakan adalah pengukuran denyut nadi yang diusahakan tidak melebihi 30-40
permenit di atas denyut nadi sebelum bekerja.
2. Risk Assessment
Setelah risiko telah diidentifikasi pada perusahaan atau organisasi tersebut, selanjutnya akan
dinilai potensi keparahan kerugian dan kemungkinan terjadinya. Dalam hal ini, diperlukan
kemampuan individu disetiap bidangnya untuk memberikan penilaian terhadap risiko – risiko
yang telah diidentifikasi. Tujuannya adalah agar setiap risiko berada pada prioritas yang tepat.
3. Risk Response
Proses ini dilakukan untuk memilih dan menerapkan langkah – langkah pengelolaan risiko.
Tantangan bagi manajer risiko adalah untuk menentukan portofolio yang tepat untuk
membentuk sebuah strategi yang terintegrasi sehingga risiko dapat dihadapi dengan baik.
Tanggapan risiko umumnya terbagi dalam kategori seperti berikut:
4. Implementation
Melaksanakan seluruh metode yang telah direncanakan untuk mengurangi atau menanggulangi
pengaruh dari setiap risiko yang ada.
Adapun tujuan manajemen risiko dalam suatu perusahaan adalah sebagai berikut :