Anda di halaman 1dari 3

CHAPTER 3

Tulang kaki Nai nai

Bel makan malam berbunyi saat pukul 7. Bibi Baba menggenggam tanganku dan
membawaku ke ruang makan.

Bibi Baba mengatakan padaku untuk bergegas dan menarikkan kursi untuk nenek Nai nai.
Nenek Nai nai berjalan sangat pelan karena tulang kaki nya. Aku melihat ke arahnya, dia
berjalan susah payah seperti kaki nya patah. Saat dia duduk, dia bernafas lega. Aku
membandingkan kaki ku dengan kaki miliknya.

“Nai nai, mengapa kaki mu sangat kecil?” aku bertanya

“ketika aku berusia 3 tahun, kaki ku diperban dengan sangat kencang, melengkung ke ibu jari
ku dibawah telapak kaki dan menghancurkan lengkungan kaki ku sehingga kakiku menjadi
kecil. Ini merupakan suatu tradisi di Cina lebih dari 1000 tahun, sejak dinasti Tang. Di masa
ku, kalau kau memiliki kaki kecil merupakan lambang dari kecantikan. Kalau kau memiliki
kaki besar, tidak ada laki-laki yang menikahimu. Itu adalah tradisi.”

“ apakah itu sakit?”

“ tentu saja! Sangat sakit sampai aku tidak bisa tidur. Aku berteriak kesakitan dan memohon
kepada ibuku untuk membebaskan kakiku tapi dia tidak mengizinkan. Sebenarnya, sakit itu
tidak pernah hilang. Kakiku terasa sakit setiap hari. Berterima kasih lah tradisi yang
mengerikan itu telah berakhir 30 tahun yang lalu, kalau tidak kaki mu akan pincang dan kau
tidak mampu berlari dan berloncat kesana kemari.”

Aku pergi menuju meja makan dan duduk diantara abang nomor dua dan abang nomor 3.
Aku menatap ngeri abangku yang nomor dua saat dia mengambil tempat duduk persis di
sebelahku. Dia selalu mengatakan hal kasar kepadaku dan mengejekku didepan orang
banyak.

Abang kedua seharusnya duduk disebelah abang tertua tapi mereka berdua selalu berkelahi.
Papa akhirnya memisahkan mereka ketika mereka merusak mangkuk buah.

Abang tertua berkedip kepadaku ketika dia duduk. Dia memiliki mata berbinar dan mampu
bersiul. Kemarin dia mengajarkanku cara bersiul dan aku tidak mampu meniru nya. Apakah
abang tertua membuat suatu kesalahan baru hari ini? Minggu sore kemarin, aku melintasi
kamar Ye ye dan melihat abang tertua sedang membungkuk ke arah Ye ye. Sebuah bulu
hidung Ye ye yang menyembul dari lubang hidung masuk dan keluar mengikuti nafas nya.
Diam-diam dan pelan-pelan, abang tertua menjepit bulu hidung Ye ye dengan ibu jari dan jari
telunjuknya. Aku menahan napas saat melihatnya melakukan itu. Secara perlahan, abang
tertua menarik bulu hidung itu sekuat tenaga dan Ye ye pun terbangun dari tidurnya dengan
rasa terkejut. Ye ye bangun sambil mengomel melompat dari tempat tidur. Dengan tertawa
secara terbahak-terbahak, abang tertua lari secepat kilat meninggalkan kamar Ye ye menuju
ke taman, sambil memegang bulu hidung seperti memegang sebuah piala.
Abang ketiga duduk di sebelah kiri kursiku. Bibirnya mencoba untuk bersiul namun tak
berhasil. Melihat medali yang tersemat di seragam ku, ia menaikkan alis dan tersenyum
kepadaku. “apa itu?” dia bertanya.

“ ini adalah penghargaan sebagai nomor 1 di kelas. Guru ku bilang aku bisa memakai ini
selama 7 hari.”

“selamat! Minggu pertama di sekolah dan kau sudah mendapatkan medali! Tidak buruk!”

Ketika aku sedang berbicara dengan abang nomor tiga, tiba-tiba aku merasakan sentakan
yang kuat dari belakang kepalaku. Aku memutar kepala ke belakang dan melihat abang kedua
menatap sinis ke arahku.

“kenapa kau lakukan itu padaku?” tanyaku marah

Dengan gerakan cepat, dia memegang lengan kanan ku dan memelintirnya dengan kuat.
“karena aku suka, karena kau bebek jelek! Akan kuajarkan kau bagaimana cara memamerkan
medali mu!”

Aku melihat ke arah abang nomor 2 dan dia membuang muka dan pura-pura tidak melihat
apa yang sedang dilakukan abang nomor 3. Ia tidak ingin terlibat dalam perkelahian ini. Saat
itu juga, papa, Niang dan kakak tertua datang bersama dan abang nomor 2 segera melepaskan
lenganku.

Niang berbicara kepada kakak tertua menggunakan bahasa Inggris dan kakak tampak
mengerti. Ia menatap kami ketika dia akan duduk diantara Niang dan abang nomor 2 dan
perlahan duduk. Karena tangan kirinya lumpuh ketika ia kecil dan gerakannya menjadi
lamban dan dia suka menyuruhku atau abang nomor 3 untuk membawakan barangnya.

“Wu mei (adik kelima)! Dia berkata,” tolong ambilkan kamus bahasa Cina-Inggris. Diatas
tempat tidurku. Niang ingin aku menerjemahkan sesuatu...”

Aku sudah setengah jalan menuju kamar tidur dan Nai nai berkata, “ nanti saja!duduklah Wu
mei. Ayo kita makan dulu sebelum makanan nya dingin. Ayo, aku ambilkan makanan lembut
supaya adik-adikmu bisa makan...”

Kedua anak Niang anak laki-laki berumur 2 tahun dan anakp perempuan yang masih bayi,
masih terlalu muda untuk makan dengan kami. Tetapi mereka sudah diperlakukan secara
istimewa. Tidak ada yang bilang mereka istimewa, tapi semua orang secara sederhana
mengerti bahwa anak kandung Niang lebih cerdas, menarik dan lebih dari segalanya
dibanding anak tiri Niang. Siapa yang sanggup untuk tidak setuju?

Untuk makanan penutup, pelayan membawakan mangkuk besar yang berisi buah kesukaan
ku, buah kelengkeng! Aku sangat gembira.

Nai nai memberi kami masing-masing semangkuk kecil dan aku menghitung punyaku ada 7
buah kelengkeng. Aku mengupas kulit coklat buah itu dan menikmati kesegarannya, dan papa
tiba-tiba menunjuk medali ku.
“apakah itu untuk seseorang peringkat 1 di sekolah?” dia bertanya.

Aku mengangguk, terlalu senang untuk berbicara. Ini pertama kalinya papa bertanya dan
berbicara kepadaku. Semua orang melihat medaliku.

“apakah dada kirimu berat karena medali itu?: papa bertanya dengan nada bangga

“lanjutkan belajar yang keras dan bawa kehormatan untuk keluarga Yen jadi kami semua
menjadi bangga padamu.”

Semua euforia kegembiraan meluap tak terkira. Sangat menyenangkan! Aku harus belajar
keras dan terus mengenakan medali ini sehingga aku bisa dipuji oleh papa.

Tapi apa yang dilakukan saudara-saudara ku? Kakak tertua mengambil dua buah kelengkeng
di mangkukku lalu dia kabur ke kamarnya. Abang nomor 3 mengikuti kelakuan kakak tertua.
Dan mereka pergi begitu saja, meninggalkan ku sendiri dengan medali perakku, menatap
mangkuk yang telah kosong.

Anda mungkin juga menyukai