Anda di halaman 1dari 5

MENJADI DIRI SENDIRI

Karya : Felda Tsana Amelia / 12 / IX A

Di sebuah kota kecil di pinggiran pantai. Aku hidup bersama ibu dan
ayahku . Aku adalah anak tunggal, tapi jangan berpikir kalau aku selalu
dimanjakan kedua orang tua ku, itu sama sekali tak benar.Orang tuaku selalu
mengajariku bagaimana hidup yang harus aku jalani, mereka membentuk
pribadiku menjadi mandiri sejak aku kecil.

Aku menuntut ilmu di sebuah sekolah , SMP Negeri 8 Manado. Sebuah


sekolah yang menurutku pantas tidak pantas untuk menerima murid seperti
ku. Sebetulnya, ini adalah hari pertama aku memakai seragam putih-biru tua
setelah melepas seragam merah putihku.

Hari itu aku tak diantar ibuku, tak diantar ayah juga. Hari itu aku pergi
sendiri, susah payah aku berjalan ke terminal tanpa digendong ayah ataupun
ibu. Hal itu semakin membuatku menjadi bahan tontonan di antara orang
orang lain.

Aku tak terlalu menyukai hari pertamaku di sekolah baruku. Semua


orang melihat ke arahku dengan tatapan aneh. Sudah kuduga, mereka tak
akan mengerti dan tak akan menerima kehadiran seorang cacat sepertiku.
Tapi, mereka pun manusia sama sepertiku, tak semuanya harus mereka terima
dengan cara pandang yang sama juga.

Kelas untuk satu tahun pelajaran sudah dibagi, aku langsung mengesot
dan mencari di kelas mana aku berada. Akhirnya kutemukan, aku berada di
kelas E. Aku pun masuk ke dalam kelas itu , suasana kelas ribut sekali tapi
waktu aku masuk mereka semua langsung menutup mulut dan memandang
ke arahku.

Aku berjalan ke tempat duduk yang kosong dan mereka semua


menertawaiku, mereka tertawa terbahak-bahak yang bahkan aku tak tahu
karena apa. Tapi, salah satu dari mereka berkata bagaimana bisa orang
berkebutuhan khusus sepertiku ada di sekolah umum bukannya di sekolah luar
biasa.

Air mata dari pelupuk mataku hendak meluncur deras, tapi kutahan
dengan segenap usahaku. Aku tak ingin membalas perkataan mereka, karena
mereka memang benar, pikirku. Aku memang tak sempurna dan aku
seharusnya disekolahkan di sekolah luar biasa.

Aku duduk di kursi pojok belakang, merasa paling terasing. Dan


mungkin memang aku yang paling asing karena berbeda dengan mereka
semua. Apa aku bisa menghadapi ini semua, apa aku bisa menguatkan diriku
sendiri , aku terus bertanya di dalam hatiku.

Jadwal pelajaran sementara untuk seminggu ke depan sudah


dibagikan. Besok jadwal olahraga , bagaimana ini, bagaimana aku bisa
berolahraga dengan mereka, dengan kondisiku yang seperti ini.

Sampainya aku di rumah, ternyata sudah ada ibu menungguku. Wangi


harum beliau selalu menenangkanku. Ibu bertanya bagaimana tadi di sekolah,
dan apa aku baik baik saja. Aku mengatakan kalau aku malu, aku malu lahir
dengan fisikku yang tak sempurna. Aku naik pitam karena tingkah teman
teman baruku di sekolah.
Saat pagi hari, aku mengenakan seragam olahraga dengan rasa yang
amat terpaksa. Aku masih benar-benar marah, aku benar-benar malu. Tapi
kalau aku tak berangkat, justru mereka akan mencemoohku , itu pasti.
Akhirnya aku paksakan untuk berangkat, ibu memaksa untuk mengantar ku
dengan berbagai alasan. Karena tak enak untuk menolaknya, akhirnya aku
diantar ibu.

Baru sampai di gerbang setelah turun dari motor hendak pamit pada
ibu, salah satu murid di kelas langsung mengataiku. Dia berkata bahwa aku
adalah si cacat yang manja , dan ibu mendengarnya. Aku menundukkan
kepalaku, dan ibu berkata bahwa itu tak perlu didengar, bagaimana bisa aku
tak mendengarkannya.

Setelah berpamitan pada ibu, aku terpaksa mengesot lagi untuk sampai
di kelas. Sesampainya di kelas teman-temanku langsung mencemoohku
karena aku mengesot, karena aku cacat. Aku diam tanpa suara, aku seolah
berada di titik terendahku. Kupaksakan diriku berjalan ke tempat duduk di
pojok belakang, lagi.

Teman yang duduk di depanku tak mau aku duduk di belakangnya,


katanya dia takut dia menjadi cacat. Itu tak masuk akal , tapi aku tak berani
mengatakan itu pada dirinya.

Ketika pelajaran olahraga ,semua teman-temanku menertawaiku


padahal aku tidak melakukan apa pun. Mereka mengolok – olok diriku dengan
berkata si cacat tidak berkaki mau olahraga, memang bisa apa olahraga tanpa
kaki. Aku ingin menjadi mereka, aku tak menyukai diriku. Aku ingin menjadi
sempurna, aku tak mau cacat.
Aku akhirnya menangis selama pelajaran olahraga, mereka semakin
mengolok-olokku. Aku hanya ingin menjadi seperti mereka, aku tak
menginginkan diriku yang cacat.

Sepulangnya dari sekolah , dengan mata sembab sehabis menangis, ibu


langsung menyambutku. Ibu menanyaiku apa yang terjadi sehingga menangis.
Ketika ditanyai demikian , aku langsung menangis dan memeluk ibu. Aku ingin
seperti teman teman, aku tidak mau diriku, kataku.

Ibu langsung memelukku, mengatakan segala hal yang


menenangkanku, ia berkata bahwa aku tidak perlu menjadi seperti mereka.
Aku pasti memiliki sesuatu yang ada dalam diriku, sama seperti mereka. Ibu
memintaku untuk mencitai diriku sendiri, ketika aku dihina , aku harus tetap
berbuat baik pada mereka.

Esok harinya, ketika di kelas. Aku pertama kali tersenyum pada teman-
temanku, aku menyapa semua teman temanku. Mereka tak menghinaku,
justru mereka menanyakan mengapa aku berbuat baik pada mereka padahal
mereka sudah mengolok – olok aku.

Aku berkata bahwa aku memang pernah merasa malu dengan diriku
yang cacat . Aku berkata bahwa aku memaafkan mereka , dan aku akan
menjadi diriku dengan spenuhnya, tanpa membandingkan dengan orang lain.

Akhirya, kami semua dapat menghargai setiap kekurangan yang ada


pada diri masing-masing. Aku tahu bahwa setiap kekurangkan yang ada pada
diri kita, pasti tuhan ciptakan dengan manfaat di dalamnya. Aku tak pernah tau
bagaimana kekuranganku akan memberi manfaat bagi diriku ataupun orang
lain.

Anda mungkin juga menyukai