Anda di halaman 1dari 2

Nama : Muhamad Aji Mulyo

NIM : 1101200026
Prodi : Ilmu Komunikasi

Intisari buku berjudul “ mentjapai Indonesia merdeka “

Berawal dari penolakan tesis “Profesor Veth”: Indonesia tidak pernah merdeka, dari
zaman Hindu sampai Belanda. Tetapi sebaliknya, kerajaan Hindu itulah yang
menjadi penguasa negara Indonesia dan dijajah oleh Belanda.
Ketika itu negeri Indonesia merdeka, melainkan penduduk lah yang menjadi
pengasah pisau penjajah yang memanfaatkan kaum jelata untuk memuluskan Vroeg
Kapitalisme Eropa di Benua Asia.

Demi memuluskan Vroeg Kapitalisme, penjajah mengapilakasikannya dengan cara


merubah paham Feodalisme kuno ke Feodalisme baru. Dengan kata lain,
memporak-porandakan kerajaan dari dalam.

Setelah memporak-porandakan kerajaan, penjajah melaksanakan kegiatannya


dengan cara kekerasan dan kekejaman yakni tanam paksa dan kemudian beralih
semakin berat lagi dengan kebijakan pajak berupa hasil bumi yakni cengkeh, pala
dan hak monopoli beli hasil bumi yang sangat memberatkan rakyat.

Tetapi, dikala kapitalisme modern ini menghasilkan surplus kapitalisme, maka


dirubahlah sistemnya menjadi persaingan bebas yang otomatis membuka gerbang-
gerbang inverstor untuk menanamkan modal di Indonesia, yang sampai saat ini
masih berjalan yakni Freeport.

Penduduk Indonesia dikala itu sangatlah sengsara, dengan pendapatan hanya 8


sen. Tetapi, itu tidak menutup kemungkinan bahwasannya tanah air ini adalah tanah
yang kaya akan sumber-sumber penghidupan bagi penduduk jelata yang sengsara
dan tidak akan pernah bisa dirasakan kesejahteraanya oleh penjajah. Maka tak
heran meskipun dijajah, penduduk Indonesia tidak akan pernah sengsara sebab
tanah Indonesia tanah yang kaya raya.

Setelah berangsur-angsur lama penjajah mencekoki pikiran dan tenaga penduduk


Indonesia, lama kelamaan akal sehat dan tenaga kaum Marhaen ini mulai
menemukan jati dirinya kembali. Lewat pergerakan Fajar Menyingsing penduduk
Indonesia bangkit kembali.

Pergerakan Fajar Menyingsing ini dimaksudkan untuk mencapai perubahan yang


signifikan. Bukan dengan jalan Bojuis, Ningrat, Radikal pun juga bukan Marhaen
Reformistis. Tetapi, dengan jalan (partai) Marhaen yang radikal yang tahu saat
menjatuhkan pukulan-pukulannya (timing).
Partai ini nantinya mempunyai visi dan misi jikalau Indonesia ingin merdeka dengan
cara : harus merdeka dari himpitan imperialisme dan kapitalisme dengan cara
memutus stelsel-stelselnya, menggugurkan stelsel dan bebas dari stelsel
imperialisme dan kapitalisme dan dengan itu akan tercapainya jembatan emas
kemerdekaan.

Dengan adanya kedudukan imperialisme dan feodalisme yang menjadi acuan bagi
kaum imperialisme dalam mempertahankan kedudukannya. Hanya ada satu kata
yakni lawan/pertentangan dengan kekuatan sendiri, pemikiran sendiri, dan tenaga
sendiri dalam bahasa politiknya percaya pada kekuatan sendiri (politik self-help and
non cooperation) dan bahasa Soekarno berdikari (berdiri di kaki sendiri).

Dalam pelaksanaan politik self-help and non-cooperation, yakni dengan cara


Radikalisme untuk menundukkan Imperialisme.

Setelah menundukkan Imperialisme

Setelah menundukkan imperialisme kemudian disisi lain timbul permasalahan baru


yakni siapa yang akan memimpin Indonesia kedepan. Pemimpin yang menjadi
kriterianya adalah Egalitarian dari kaum Marhaen, supaya tidak adalagi
Nasionalisme-Keningratan dan Nasionalisme-Keborjuisan. Yang nantinya hanya
akan menjerumuskan marhaen ke dalam lembah politik belaka. Sedangkan Marhaen
mengajukan demokrasi berdasarkan gotong-royong dalam bentuk sosio-demokrasi
dan sosio-Nasionalisme. Yang nantinya tidak akan adalagi kapitalisme dan
keborjuisan.

Dan dengan itu semua, maka akan terwujudlah cita-cita Marhaen yakni Indonesia
merdeka.

Dari situlah yang melatar belakangi mengapa konsep politik self help and non
cooperation terbentuk dan menjadikan kekuatan senjata bagi bangsa Indonesia
dalam merebut kemerdekaan. Dan menjadikan konsep itu sebagai semboyan atau
pondasi yang istimewa yang tidak akan pernah dimiliki oleh bangsa manapun.

Anda mungkin juga menyukai