NIM : 1184050072
Kelas : Jurnalistik VI B
Adapun sejak abad pencerahan, ada empat paradigma ilmu yang dikembangkan
ilmuwan. Di antaranya:
1. Positivisme. Yakni paradigma yang berakar pada paham ontologi realisme yang
menyatakan bahwa realitas atau kebenaran itu eksis dalam kenyataan. Positivisme
kata kuncinya terletak pada kata ‘positif’ yang merupakan lawah dari ‘khayal’,
merupakan sesuatu yang riil dan objek penelitiannya didasarkan pada kemampuan
akal.2 Positivisme muncul pada abad ke-19 yang dimotori oleh Auguste Comte.
Menurut Kerlinger (1973) dalam positivisme, objek ilmu pengetahuan maupun
pernyataan-pernyataan ilmu harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni dapat
di/teramati (observable), dapat di/terulang (repeatable), dapat di/terukur (measurable),
dapat di/teruji (testable) dan dapat di/terprediksi (predictable). Maka paradigma
positivisme sangat bersifat kebiasaan, operasional dan kuantitatif.
1
Mohamad Muslih, Filsafat Ilmu (Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan, LESFI, Yogyakarta, 2016, hlm. 86
2
Zainal Muti’in Bahaf, Filsafat Umum, Keiysa Press, Serang, 2009, hlm 110
2. Postpositivisme. Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan
positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap
objek yang diteliti. Dalam postpositivisme, adalah mustahil bila suatu realitas dapat
dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Realitas postpositivisme percaya bahwa
objektivitas tidak dapat dilihat oleh keterbatasan yag dimiliki manusia, semua
pengamatan manusia itu bias dan terpengaruh. 3 Maka, pendekatan melalui observasi
tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yakni penggunaan
bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
3. Kontruktivisme. Paradigma ini menyatakan bahwa realitas bersifat sosial dan karena
itu akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari masyarakatnya.
Sehingga tidak ada suatu realitas yang dapat dijelaskan secara tuntas oleh suatu ilmu
pengetahuan. Jika tujuan penemuan ilmu dalam poitivisme adalah untuk men-
generalisasi terhadap fenomena alam lainnya, maka konstruktivisme cenderung
menciptakan ilmu dalam bentuk teori-teori, jaringan atau hubungan timbal balik,
bersifat lokal, spesifik dan sementara.
3
William M.K Trochim, Positivism & Post-Positivism, diakses dari situs
https://conjointly.com/kb/positivism-and-post-positivism/, pada 9 Maret 2021 pukul 17.00
4
Anonim, Pendekatan Penelitian: Contoh dan Penjelasannya, diakses dari situs
http://sosiologis.com/pendekatan-penelitian, pada 9 Maret 2021 pukul 18.30
Adapun penelitian kualitatif berlandaskan pada post-positivisme yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati. Metode ini lebih suka menggunakan Teknik analisis
mandalam, yakni mengkaji masalah secara kasus perkasus karena metodologi
kualitatif yakin bahwa sifat suatu masalah satu akan berbeda dengan sifat dari
masalah lainnya. Dalam kualitatif, adalah penting dan keharusan keterlibatan peneliti
dalam penghayatan terhadap permaslahan dan subjek penelitian, berbeda dari
penelitian kuantitaif di mana peneliti harus berpisah dari subjek yang ditelitinya,
peneliti pada kualitatif melekat erat dengan subjek penelitiannya. Jadi, tujuan dari
metodologi ini bukan suatu generalisasi melainkan pemahaman secara mendalam
terhadap suatu masalah.
DAFTAR PUSTAKA
(2015). Dalam S. S. Sodik, Dasar Metodologi Penelitia (hal. 19-29). Literasi Media.
Anonim. (2021, Maret 9). Pendekatan Penelitian: Contoh dan Penjelasannya. Diambil
kembali dari sosiologis.com: http://sosiologis.com/pendekatan-penelitian
Bahaf, Z. M. (2009). Dalam Z. M. Bahaf, Filsafat Umum (hal. 110). Serang: Keiysa Press.
Muslih, M. (2016). . Dalam M. Muslih, Filsafat Ilmu (Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma
dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan) (hal. 86). Yogyakarta: LESFI.
Trochim, W. M. (t.thn.). Positivism & Pos-Positivism. Dipetik Maret 9, 2021, dari
Conjointly.com.
5
Sandu Sitoyo & M. Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian, Literasi Media, 2015, hlm. 19-29