(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Politik dan Media Massa yang
diampu oleh Drs. Romula Adiono, M.AP)
Oleh :
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2014
A. Perspektif dan Model Komunikasi Politik
Dari Paradigma ke Perspektif
Istilah paradigma berasal dari Thomas Kuhn (1974) yang digunakan untuk 21
cara yang berbeda. Namun Robert Frederich berhasil merumuskan paradigma itu
secara disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya
dipelajari. Kuhn melihat bahwa perkembangan ilmu pengetahuna bukan terjadi secara
kumulatif, tetapi terjadi secara revolusi. Dalam masa tertentu ilmu sosial didominasi
oleh paradigma tertentu. Kemudian terjadi pergantian dominasi paradigma, dari
paradigma lama yang memudar ke paradigma baru. Paradigma baru bukanlah
kelanjutan dari paradigma lama. Sosiologi misalnya dalam perkembangannya menurut
George Ritzer (1985) memiliki tiga paradigma (1) fakta sosial (2) definisi sosial (3)
perilaku sosial. Sehingga menurut Kuhn bahwa ilmu tidak berkembang secara
kumulatif melainkan secara revolusi.
B Aubrey Fisher seorang pakar ilmu komunikasi yang terkenal dalam dekade
terakhir ini telah berhasil mencatat adanya beberapa paradigma yang berkembang
pada beberapa dekade terakhir ini dalam ilmu komunikasi. Sesuai dengan judul buku
yang ditulisnya, yaitu Perspective on Human Communication (terbit pertama kali
1978), Fisher tidak menggunakan istilah paradigma melainkan istilah perspektif.
Alasan, Fisher karena menurut pendapatnua istilah paradigma mencegah penggunaan
yang netral. Namun, apa yang dimaksud dengan paradigma itu kurang lebih sama
dengan perspektif. Fisher (1990:85-86), mengakui bahwa perspektif dalam arti
pandangan yang realistis, tidak mungkin lengkap, sebab pasti sebagai dari fenomena
yang sedang dilihat itu hilang dan lainnya mengalami distorsi. Selain itu, objek yang
berada lebih jauh akan tampak lebih kecil, walaupun yang sebenarnya mereka dapat
lebih besar atau sama dengan objek yang ada di latar depannya. Itu adalah resep
elementer dari hakikat perspektif.
Ilmu politik dan ilmu komunikasi masing-masing telah mengalami
perkembangan yang amat pesat. Bahkan ilmu komunikasi sebagai bidang kajian telah
mengalami krisis dan sekaligus revolusi dalam perkembanganya. Krisis dan revolusi
terjadi dalam ilmu komunikasi itu, juga terjadi dalam studi komunikasi politik, bahkan
hingga kini revolusi itu belum selesai.
Meskipun fenomena komunikasi politik luas dan multi makna dan memiliki
paradigma ganda, namun sangat berguna jika empat paradigma atau perspektif
komunikasi dari Fisher tersebut diterapkan dalam komunikasi politik. Keempat
perspektif tersebut yaitu mekanisme, psikologi, interaksional, dan pragmatis. Justru
itu perspektif boleh diartian sebagai pendekatan strategi intelektual, kerangka
konseptual komunikasi selama ini ke dalam empat perspektif tersebut.
1. Perspektif dan Model Mekanistis
Model mekanistis merupakan model yang paling lama dan paling banyak
dianut sampai sekarang. Berbagai studi telah dilakukan dan banyak buku
diterbitkan sehingga pengaruh model mekanistis sangat kuat dan meluas.
Pengaruh model mekanistis ini, selain dikalangan masyarakat akademis juga pada
masyarakat luas. Paradigma ini telah berkembang jauh melalui pergumulan yang
seru dari pendekarnya.
Komponen dalam model mekanistis ini yaitu sumber, penerima, saluran, dan
pesan/umpan balik/efek. Sesuai dengan doktrin dan prinsip mekanisme (idealisme
mekanistis) yang berdasarkan cara berpikir sebab akibat maka titik berat kajian
komunikasi pada efek. Hal ini tercermin dalam kajian mengenai persuasi, efek
media masa, difusi (komunikasi pembangunan) dan jaringan komunikasi, yang
seluryhnya menggunakan metode eksperimental dan kuantitatif. Model mekanistis
selain telah menghasilkan banyak studi dan tidak terlalu sulit dipahami. Model ini
merupakan model lama atau model klasik dalam studi komunikasi.
Prinsip mekanisme diwaranai oleh cara berpikir kasual atau determinisme
yang sangat mudah dipahami terutama dalam merumuskan komunikasi sebagai
proses. Berdasarkan prinsip inilah komunikasi dikonseptualisasikan sebagai
proses mekanis. Artinya, dalam komunikasi terdapat sesuatu (pesan) mengalir
melintasi ruang dan waktu dari satu titik (sumber/penerima) ke titik yang lain
(sumber/penerima) secara simultan. Eksistensi empiriknya (lokusnya) terletak atau
berada pada saluran. Model ini digambarkan oleh fisher (1990:154) sebagai ban
berjalan.
Paradigma ini sempat memudar dan mengalami krisis karena timbulnya
kekecewaan terhadap hasil studi yang dahulunya popular. Dalam perkembangan
studi komunikasi politik, kepercayaan terhadap model ini masih sangat kuat,
terutama di Indonesia. Dalam komunikasi politik, studi mengenai pendapatan
umum, propaganda, perang urat syaraf, kampanye pengaruh media massa terhadap
sosialisasi politik, masih sangat dominan.
Pada tingkat awal dan tingkat awam, paradigma mekanistik bermanfaat
diteruskan dan dikembangkan. Krisis dan kritik yang dialaminya tidaklah berarti
bahwa paradigma ini akan runtuh secara total, namun usaha untuk
mengembangkan paradigma baru terus mengebu-gebu. Dengan kata lain model
mekanisme ini tetap sah sebagai suatu paradigma. Hanya perlu dipahami bahwa
paradigma ini adalah paradigma yang paling tua dan tunduk dibawah dominasi
ilmu fisika (Arifin, 2003:30).
Paradigma baru sudah lahir dan sudah mulai berkembang dan telah menarik
banyak minat ilmiah di Amerika. Paradigma atau perspektif baru yang dimaksud,
sebagaimana yang diperkenalkan oleh Fisher (1990:228:360) ialah paradigma atau
perspektik psikologi, perspektif interaksional dan perspektif pragmatis. Paradigma
atau perspektif baru tersebut memiliki konseptualisasi yang sangat berbeda
dengan konseptualisasi mekanistis yang telah dikenal luas. Dengan demikian,
komponen mekanistis seperti pesan/umpan balik/efek, saluran, sumber/penerma
tidaklah begitu penting. Dalam paradigma atau perspektif baru komponen
mekanistis itu dapat diabaikan karea terdapat komponen lain yang lebih relevan.
Alasan lainnya, bukan saja karena baru tumbuh dan berkembang, tetapi juga jauh
berbeda dengan paradigma mekanistis, bahkan sama sekali bukan kelanjutan
paradigma tersebut.
Di Indonesia paradigma baru yang sedang tumbuh dalam satu dekade,
memang belum banyak dikenal. Pada hakikatnya, paradigma baru itu memerlukan
perubahan mendasar, dan bahkan penjungkir balikan atau revolusi dari cara
berpikir mekanistis yang klasik itu.
2. Perspektif dan Model Psikologi
Menurut paradigma atau perspektif baru psikologi, komunikasi
dikonseptualisasikan sebagai penerimaan dan pengelolaan informasi pada
individu. Perspektif yang dipengaruhi secara sporadis (tidak mendalam
sebagaimana pengaruh fisika terhadap perspektif mekanisme) oleh psikologi ini
adalah mengadaptasikan konsep S-R (Stimulasi-Respon) dalam komunikasi.
Adaptasi ini menimbulkan orientasi komunikasi yang berpusat pada diri individu
(penerima).
Komponen komunikasi dalam perspektif ini bukan lagi sumber, penerima,
saluran, dan pesan/umpan balik/efek melainkan stimulasi dan respon. Dengan
fokus kajian pada individu (penerima), dalam batas tertentu orientasi para
penerima dari model ini merupakan reaksi terhadap model mekanisme yang
bersifat satu arah dari saluran yang terkandung didalamnya. Dasar konseptual
model ini, ialah bahwa penerima adalah menjadi yang aktif atas stimuli
tersetruktur yang mempengaruhi esan dan salurannya.
Menurut Arifin (2003:32) eksistensi empirik (lokusnya) bukan lagi terletak
pada saluran sebagaimana dalam perspektif mekanistis, melainkan terletak pada
diri individu yang dinamakan filter konseptual. Filter ini merupakan keadaan
internal dari organisme manusia dan secara esensial merupakan konsep kotak
hitam (black box). Walaupun filter ini tidak dapat diminati secara langsung,
namun sangat mempengaruhi setiap peristiwa komunikasi.
Filter konseptual itu dapet digambarkan sebagai sikap, keyakinan, motif,
dorongan, citra, konsep diri, tanggapan dan persepsi, yang dapat menjadi pangkal
atau sebaliknya dari rangsangan yang menyentuh individu. Filter konseptual dari
Fisher (1990:206) itu dapat disamakan sebagai kesadaran aku yang lahir dari pola
pikir dan lapangan pengalaman seseorang. Cara kerja filter konseptual (input)
stimulasi (rangsangan) menjadi iuaran (output) yang berbentuk prilaku atau
tindakan.
Berhubung komunikan atau penerima kesadaran memiliki unsur pengendalian
yang bersumber pada kesadaran aku atau filter konseptual pada informasi yang
diproses, kemampuan konseptual komunikator untuk mengontrol komnikasi
menjadi sangat terbatas. Dalam hal ini selektivitas individu dalam informasi,
sangat menentukan respon dan perilaku komunikasinya.
Arifin (2003:33) mengakui bahwa sebagian permasalahan yang diajukan
dalam erspektif psikologi ini memang sangat rumit dan belum terpecahkan secara
tuntas. Namun, tidaklah berarti bahwa paradigma ini akan ditinggalkan melainkan
akan ditumbuhkan dan dikembangkan terus. Sejak awal telah diterapkan studi
komunikasi politik, terutama studi tentang persuasi dan perubahan sikap dan
perilaku pemilihan dalam pemilihan umum.
Demikian juga studi tentang persepsi politik, citra diri khalayak politik,
penolakan konsep politik, motif yang menggerakkan unjuk rasa dan
pemberontakan, dan perubahan pola pikir, semuanya dapat dikaji dalam
paradigma psikologi.
3. Perspektif Interaksional
Paradigma atau perspektif interaksional betul-betul agak baru dan bahkan
merupakan reaksi dari kedua model sebelumnya (mekanistis dan psikologi).
Dalam perspektif ini, menurut fisher (1990:228-266) komunikasi
dikonseptualisasikan sebagai interaksi manusiawi pada masing-masing individu.
Walaupun interaksi itu sering juga disamakan dengan komunikasi terutama
komunikasi dua arah, namun dalam paradigma ini, konsep itu tidak berlaku.
Dalam perspetif ini, komunika ini dipahami sebagai sistem perilaku.
Eksistensi empirisnya lokusnya berada pada perilaku yang berurutan, sehingga
komponennya meliputi pola, interaksi sistem, struktur, dan fungsi. Titik berat atau
fokus pengkajian dan penelitian adalah pada perilaku interaktif.
Menurut Arifin (2003:34), karakteristik utama paradigma interaksional ialah
penonjolan nilai individu di atas segala pengaruh yang lainnya. Hal itu
disebabkan manusia dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling
berhubungan, serta mayarakat dan buah pikiran. Justru itu, setiap bentuk interaksi
sosial dimuali dan berakhir dengan mempertimbangkan diri manusia. Itulah
sebabnya perspektif ini, dipandang paling manusiawi di antara semua perspektif
komunikasi yang ada.
Paradigma interaksional dalam komunikasi amat sering dinyatakan sebagai
komunikasi dialogis atau komunikasi yang dipandang sebagai dialog. Hal itu
merupakan reaksi humanistis terhadap model direndahkan yang monolog individu
yang berkomunikasi direndahkan harkatnya menjadi pemberi dan penerima
pesan, baik aktif maupun pasif karena mereka telah ditentukan nasibnya sebagai
yang memerlukan. Sebaliknya, dalam dialog, manusia yang berkomunikasi
diangkat derajatnya ke posisi yang mulia karena dialog mengandung arti
pengungkapan diri dan saling pengertian bersama-sama dengan pengembangan
diri melalui interaksi sosial.
Titik berat pengkajian dalam paradigma interaksional ini yaitu terletak pada
tindakan sosial atau tindakan bersama. Pada waktu individu berperilaku dalam
tindakan sosial, ia mengembangkan definisi tentang diri hal ini merupakan
definisi tidak langsung dari cabang sosiologi yang dikenal sebagai
interaksionalisme simbolik (tokoh utamanya antara lain George Herbert Mead).
Paradigma interaksional yang memberikan penekanan pada faktor manusiawi,
sangat relevan diterapkan dalam komunikasi politik yang demokratis. Konsep
demokrasi yang memandang manusia sebagai makhluk rasional dan menunjang
hak-hak asasi manusia serta mengembangkan prinsip-prinsipegaliter dan populis
sangat sesuai dengan paradigma interaksional komunikasi politik yang
menghendak adanya partisipasi politik yang tinggi misalnya, sudah seyogyanya
menerangkan komunikasi yang bersifat dialogis.
Dalam komunikasi dialogis pada paradigma interaksional ini kita dapat
mengambil contoh politik yang khas di Indonesia. Dengan kata lain, komunikasi
politik yang dimaksud ialah musyawarah dan mufakat. Dalam musyawarah dan
mufakat, manusia diangkat harkatnya ke posisi yang mulia karena individu dapat
menemukan dan mengembangkan diri dalam situasi komunikasi. Selain itu, yang
penting dalam musyawarah ialah penekanan yang manusiawi pada diri sebagai
unsur pokok dalam komunikasi dialogis. Dalam model ini, individu tidak menjadi
objek atau subjek dari pihak lain, melainkan semuanya harus merasakan diri
sebagai subjek. Sehingga dengan kemampuan empati seperti inilah seseorang
dalam musyawarah dapat mengambiil peran dengan mendefinisikan diri dan diri
orang lain sehingga memungkinkan adanya pengembangan diri dalam proses
sosial. Dengan demikian, keputusan yang diambilnya terinteraksionalisasi
menjadi miliknya, dan kemudian menjadi milik bersama sebagai mufakat karena
melalui komunikasi yang dialogis (musyawarah).
Paradigma interaksional ini telah berhasil mengubah wawasan dan citra
terhadap komunikasi. Konsep dan metodologinya sedang bertumbuh dan
berkembang. Dalam arti sebagai revolusi yang belum selesai, yakni setiap
penemuzn penelitian yang relatif baru akan mengarahkan ke dimensi yang baru.
4. Perspektif Pragmatis
Dalam perspektif pragmatis, pesan/ umpan balik/ efek, sumber/ penerima dan
saluran sama sekali tidak penting. Titik berat pengkajian dari paradigma atau
perspektif ini adalah tindakan, khususnya tindakan sosial atau tindakan bersama.
Paradigma atau perspektif pragmatis menurut Arifin (2003:37), merupakan
revolusi yang belum selesai dan merupakan perspektif yang relatif paling baru dan
masih sedang dalam proses perkembangan. Sesuai dengan namanya, perspektif ini
memusatkan perhatian pada pragma atau tindakan. Berbeda dengan model
interaksi yang mengamati tindakan sosial dalam konteks budaya, model pragmatis
menurut Fisher (1990:270-320) mengamati tindakan atau perilaku yang berurutan
dalam konteks waktu dalam sistem sosial. Tindakan atau pengamatan tersebut
dapat berupa ucapan, tindakan atau perilaku.
Paradigma pragmatis juga berbeda dengan perspektif psikologi. Pada
perspektif psikologi, orientasi perilaku pada penerima sebagai hasil informasi
secara internal pada diri individu, sebaliknya perspektif pragmatis orientasi pada
perilaku komunikator dalam sistem sosial. Dalam perspektif pragmatis, tindakan
dan perilaku bukanlah hasil atau efek dari proses komunikasi, melainkan tindakan
atau perilaku itu sendiri sama dengan komunikasi. Dengan kata lain,
berkomunikasi, dan berperilaku itu adalah sama (komunikasi = perilaku atau
tindak). Pespektif pragmatis menempatkan eksistensi empiriknya (lokusnya) pada
tindakan atau perilaku yang berurutan. Titik berat pengkajian pada perilaku atau
tindak yang dilakukan dengan ucapan (verbal) maupun bukan ucapan (non verbal)
oleh seseorang dalam peristiwa komunikasi.
Jika perilaku atau tindakan sama dengan komunikasi dalam perspektif
pragmatis, maka dapat dikatakan, setiap orang tidak mungkin berkomunikasi
karena setiap orang tidak pernah berhenti bertindak atau berperilaku. Jika hal ini
diterapkan dalam komunikasi politik, bahwa komunikasi politik dapat mencakupi
tindakan atau perilaku yang memiliki kpentingan politik, yaitu tindakan yang
menyangkut kekuasaan, pengaruh, otoritas, dan konflik. Misalnya penggunaan
bendera partai, jaket partai, pernyataan pemimpin partai, dan skap tokoh partai.
Aplikasi paradigma pragmatis ini dapat terjadi dalam bentuk komunikasi
nonverbal. Misalnya seorang tokoh politik yang diam atau mengangguk saja
(nonverbal) dalam menanggapi isu penting. Hal ini sesungguhnya adalah
komunikasi politik perspektif pragmatis (tindakan atau perilaku, yang
mengandung kemungkinan). Jumlah massa, bendera, kendaraan, dan jumlah tokoh
yang hadir dalam rapat raksasa, merupakan peristiwa yang bersifat nonverbal. Hal
ini menurut paradigma pragmatis merupakan bentuk komunikasi politik yang
sangat penting.
B. Teori Komunikasi Politik
Teori dapat diartikan sebagai sejumlah gagasan yang status dan asalnya bervariasi
dan dapat dipakai untuk menjelaskan atau menafsirkan fenomena. Berdasarkan
perspektif atau paradigma komunikasi politik yang diuraikan dimuka, menurut Arifin
(2003:41-64) ada empat teori yang dapat digunakan dalam aplikasi komunikasi poitik,
yaitu: (1) Teori Jarum Hipodermik (2) Teori khalayak kepala batu (3) Teori empati
dan Hemofili (4) Teori informasi dan nonverbal (5) teori media kritis.
1. Teori Jarum Hipodermik
Penelitian dengan model ini dilakukan Hovland , yang muncul selama dan
setelah Perang Dunia I. Model ini memiliki asumsi bahwa komponen-komponen
pada komunikasi (komunikator, pesan, media) amat perkasa dalam mempengaruhi
komunikasi. Model atau teori ini disebut jarum hipodermik karena dalam model
ini dikesankan seakan-akan komunikasi disuntik langsung ke dalam jiwa
komunikan, sehingga pesa-pesan persuasi tersebut dapat mengubah sistem
psikologi jiwa komunikan. Pada umumnya, model ini bersifat linier atau satu arah.
Dalam teori ini jika menggunakan komunikator yang tepat, pesan yang baik, atau
media yang benar, komunikan dapat diarahkan sesuai dengan kehendak kita.
Karena behaviorisme sangat mempengaruhi model ini. Dalam model ini para
peneliti memanipulasikan variabel-variabel komunikasi. Kemudian mengukur
variabel antara dan variabel efek.