Novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye
Novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin karya Tere Liye merupakan novel
yang digemari pembaca dalam kesusastraan Indonesia. Novel ini mengisahkan
kehidupan kakak beradik Tania dan Dede yang harus putus sekolah dan menjadi
pengamen karena keterbatasan ekonomi keluarga sepeninggal ayah mereka. Mereka
berdua tinggal di rumah kardus dengan ibu mereka yang sakit-sakitan. Kehidupan
mereka berubah setelah bertemu seorang pria bernama Danar, Danar adalah seorang
karyawan yang juga penulis buku anak- anak. Danar begitu baik sehingga keluarga ini
menganggapnya seperti malaikat. Tania sangat mengagumi Danar karena selain baik ,
dia juga punya wajah yang menawan.
Novel ini ditulis menggunakan bahasa yang cukup puitis. Penggunaan bahasa
yang tepat mampu menyentuh hati dan membuat imajinasi muncul ketika membacanya
meski ada beberapa gaya bahasa yang mungkin akan suilit dipahami bagi pembaca
umum. Bahasa percakapan dalam novel ini bersifat narasi dan dialog sehingga ketika
membacanya tidak memberikan efek jenuh atau kebosanan, namun terlihat sangat
bervariatif, segar, dan menarik.
Novel ini juga memiliki beberapa kelemahan. Menurut saya, jalan cerita novel ini
klise, agak mirip sinetron. Berbeda dengan karya Tere Liye yang lain. Meskipun
sederhana, bisa terasa istimewa lewat penuturannya yang apa adanya. Kelemahan lain
dari novel ini, yaitu mungkin Tere Liye tidak menggunakan editor atau penyunting
dalam penulisan novelnya, hal ini dapat dilihat dari tidak adanya nama editor di
halaman ISBN novel ini. Oleh karena itu, terdapat beberapa kalimat rancu dan kurang
efektif di dalamnya. Apalagi banyak tanda baca yang diabaikan walaupun semua itu
tidak mengurangi makna ceritanya. Jalan cerita dalam novel menggunakan alur
campuran. Alur campuran yang digunakan kadang membuat pembacanya menjadi
kesulitan. Bagian akhir cerita yang tidak digambarkan secara jelas juga membuat
pembacanya menafsirkan ending yang berbeda-beda sesuai kemauannya.
Secara umum, novel ini cukup baik. Novel ini memberi banyak pelajaran,
terutama bagi remaja untuk tidak menyalahkan keadaan. Semua yang telah menjadi
ketetapan Tuhan harus diterima dan dijalani dengan penuh keikhlasan.
Teks Esai
Gus Dur pernah membuat esai pendek yang berjudul “Pesantren dalam
Kesusasteraan Bahasa Indonesia", dimuat di Kompas edisi 26 November 1973. Gus
Dur
kesulitan mengajukan teks-teks sastra modem di Indonesia yang bercerita tentang
kehidupan di pesantren. Ketokohan kiai dan santri masih jarang digarap sebagai
pengisahan apik oleh para pengarang. Gus Dur hanya bisa memastikan pengarang
“bermazhab” pesantren adalah Djamil Suherman. Gus Dur sudah mengajukan nama,
tapi tidak memberikan penjelasan atau apresiasi atas teks-teks serta garapan Djamil
Suherman.
Di alinea awal, Gus Dur menulis: "Sebagai objek sastra, pesantren boleh dikata
belum memperoleh perhatian dari para sastrawan kita, padahal banyak sekali di antara
mereka yang telah mengenyam kehidupan pesantren. Hanya Djamil Suherman yang
pernah melakukan penggarapan di bidang ini, dalam cerita cerita pendek di tahun-
lima
tahunpuluhan dan enam puluhan.
Gus Dur tak memajangkan tulisan itu puluhan tahun berlalu. Esai itu
terkesan dibiarkan saja tanpa lanjutan. Kalimat-kalimat itu ditulis Gus Dur jauh
sebelum
kemunculan novel PerempuanBerkalungSorban (2001) dan GeniJora(2004)
garapan Abidaf el Khaleqy. Gus Dur juga tak perlu membahas novel Negeri 5 Menara
(2009) garapan Ahmad Fuadi. Di halaman awal novel, Ahmad Fuadi telah memberi
kesan tentang kepesantrenan: "Novel ini terinsiprasi oleh pengalaman penulis
menikmati pendidikan yang mencerahkan di Pondok Pesantren Gontor. Semua tokoh
utama terinspirasi dari sosok asli, beberapa lagi adalah gabungan dari beberapa
karakter yang sebenarnya”. Novel itu laris di pasar. Para santri tergoda untuk membaca
dan melakukan proses semaian identitas bersama arus sastra pesantren. Zaman telah
berubah. Kalimat-kalimat hukum dari Gus Dur bisa "disanggah" dengan menambah
keterangan atau pengajuan ide-ide lanjutan.