Anda di halaman 1dari 4

Alasan PKI dbubarkan di Indonesia:

Saya jawab berdasarkan beberapa buku yg mmbahas tragedi 65.


1. ada indikasi keterkaitan soeharto dlm usaha g30s/PKI sehingga soeharto lewat supersemar
ciptaannya membubarkan pki agar keterkaitannya tidak diketahui
2. adanya reaksi keras dari rakyat yg menuntut pki dbubarkan
3. sebagai massa pendukung bung karno, pki harus ditupas agar seharto dpt dg mulus
melengserkan soekarno
4. adanya pertentangan ideologi antara pki dan angkatan bersenjata khusunya AD sehingga
begitu adakejadian tersebut AD ambil gerak cepat agar domnasi pki dpt ditaklukkan
5. sebagai cara memuluskan upaya negara2 barat menanamkan invstasi dan fahamnya di innesia.
terbukti saat soeharto menjabat banyak dana dan perusahaan aing bercool di indonesia.

materi referensi:

Buku2 ttg G30S/PKI

Kondisi POLITIK ERA ORDE BARU

Era Orde Baru ditandai dengan pelantikan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI
pada 12 Maret 1967 untuk menggantikan posisi Presiden Soekarno. Pemerintahan Orde Baru
adalah suatu penataan kembali seluruh kehidupan bangsa dan negara serta menjadi titik awal
koreksi terhadap penyelewengan pada masa yang lalu. Oleh karena itu, di era Orde Baru harus
diadakan stabilisasi politik demi kelancaran pelaksanaan pembangunan nasional. Upaya yang
ditempuh untuk mencapai stabilisasi politik adalah dengan mengadakan konsensus nasional. Ada
dua macam konsensus nasional, yaitu:

1. Berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut dengan konsensus
utama.

2. Konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, lahir sebagai lanjutan
dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan, yaitu antara pemerintah,
partai politik dan masyarakat.

Elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus nasional adalah pemerintah,
TNI serta beberapa organisasi massa. Konsensus ini kemudian dimuat ke dalam TAP MPRS No.
XX/1966. Sejak saat itu, konsensus nasional mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Hasil dari konsensus tersebut adalah:

1. Penyederhanaan partai politik.

Dalam rangka menghadapi pemilu, Presiden Soeharto telah menetapkan organisasi-


organisasi yang dapat ikut sebagai peserta pemilu dan anggota DPR/ DPRD yang diangkat
melalui Surat Keputusan No. 34 pada 23 Mei 1970. Pada 1971 pemerintah melakukan
penyederhanaan partai politik dengan melakukan pengelompokan.

Parpol Islam seperti NU, Parmusi, PSII dan Perti tergabung dalam kelompok
Persatuan Pembangunan. Parpol nasionalis seperti Partai Katolik, Parkindo, PNI dan IPKI
tergabung dalam kelompok Demokrasi Pembangunan. Selain itu, ada kelompok yang
bernama Sekber Golongan Karya menjadi Golongan Karya.

Pada 5 Januari 1973 kelompok Persatuan Pembangunan berganti nama menjadi Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Lima hari kemudian, yaitu tepatnya pada tanggal 10 Januari
1973, kelompok Demokrasi Pembangunan juga berganti nama menjadi Partai Demokrasi
Indonesia (PDI).

2. Indoktrinasi ideologi

Indoktrinasi ideologi ini berdasarkan tujuan dari konsensus nasional, yaitu


melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kebijakan yang
ditempuh adalah melaksanakan penataran P-4 (Pedoman Penghayatan Pengalaman Pancasila)
atau yang dikenal dengan Ekaprasetia Pancakarsa. Tujuannya adalah membuat rakyat
Indonesia menjadi manusia yang dalam keadaan apapun secara konsisten dan konsekuen
mengamalkan Pancasila. Dalam pelaksanaannya terdapat maksud yang lain, yaitu diharapkan
akan dapat melestarikan Pancasila di lingkungan dimanapun ia berada.

3. Dwifungsi ABRI
Dwifungsi ABRI merupakan nama lain dari penempatan peran ganda ABRI, yaitu
peran pertahanan keamanan dan sosial. Peran tersebut dilandasi pemikiran historis bahwa
TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. TNI dan Polri memiliki hak politik yang
didasari oleh pasal 27 ayat 1 UUD 1945 bahwa setiap warga negara memiliki hak politik dan
kedudukan yang sama. Pada pemilu 1971 TNI/ Polri sudah tidak ikut aktif didalamnya, maka
di lembaga MPR/ DPR dan DPRD, TNI/ Polri mendapat jatah kursi dengan pengangkatan
yang didasari oleh fungsi stabilisator dan dinamisator.

Sumber:

Mustopo, Prof. Dr. M. Habib dkk. 2006. Sejarah untuk SMA Kelas XII Program IPS. Jakarta:
Yudhistira

Perkembangan Bidang Politik pada Masa Orde Baru


30 Maret 2010

tags: Indonesia, Orde Baru, Politik

Sebagai konsekuensi dari isi Supersemar yang di antaranya berbunyi “…mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan”. Langkah pertama
yang dilakukan adalah membubarkan dan pelarangan PKI, termasuk ormas-ormasnya dari
tingkat pusat sampai daerah.

Langkah berikutnya tanggal 18 Maret 1966 yaitu pengamanan dan penangkapan terhadap lima
belas mentri Kabinet Dwikora yang terlibat dalam persitiwa di tahun 1965. Kelimabelas mentri
tersebut adalah : Dr. Soebandrio, Dr. Chairul Saleh, Ir. Setiadi Reksoprodjo, Sumardjo, Oei Tju
Tat, SH., Ir. Surachman, Yusuf Muda Dalam, Armunanto, Sutomo Martopradoto, A.
Astrawinata,SH., Mayor Jenderal Achmadi, Drs. Moh. Achadi, Letnan Kolonel Sjafei, J.K.
Tumakaka, dan Mayor Jendral Dr. Soemarno.

Langkah berikutnya adalah pada tanggal 25 Juli 1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera
sebagai pengganti Kabinet Dwikora. Adapun tugas pokok dari Kabinet Ampera dikenal dengan
nama Dwidharma yaitu dalam rangka mewujudkan stabilitas politik dan ekonomi. Dalam
melaksanakan tugas ini maka penjabarannya tertuang dalam program Kabinet Ampera yang
dikenal dengan nama Catur Karya, meliputi:

1. memperbaiki perikehidupan rakyat, terutama dalam bidang sandang dan pangan;


2. melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketatapan
MPRS No.XI/MPRS/1966;
3. melaksanaka politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai
dengan Ketatapan MPRS No.XI/MPRS/1966, dan;
4. melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.

Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 melaksanakan persetujuan normalisasi hubungan dengan
Malaysia, yang pernah putus sejak 17 September 1963. Persetujuan normalisasi hubungan
tersebut merupakan hasil perundingan Bangkok (29 Mei – 1 Juni 1966).

Dalam sidang umum MPRS tanggal 20 Juni 1966 Soekarno diminta menyampaikan pidato
pertanggungjawabannya terkait dengan peristiwa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965.
Dalam pertanggungjawaban ini Soekarno berpidato dengan nama NAWAKSARA yang artinya
sembilan pasal.

Pidato Presiden Soekarno tersebut diatas tidak dapat diterima oleh MPRS, sehingga MPRS
memberikan waktu kepada Presiden Soekarno untuk menyempurnakan lagi pada tanggal 10
januari 1967 yang disebut PELENGKAP NAWAKSARA yang dituangkan dalam Surat Presiden
Republik Indonesia No. 01/Pres/1967. Disini nampak terjadi pergeseran peranan MPRS di
hadapan pemegang Supersemar yang tidak sesuai dengan UUD tahun 1945.

Dalam Sidang Istimewa ini MPRS menghasilkan 4 ketetapan, diantaranya Ketetapan MPRS No.
XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden
Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto pemegang Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai
Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilu. Dan pada tanggal 27 Maret
1968 dilakukan pelantikan Jendral Soeharto pengemban Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai
Presiden Republik Indonesia yang kedua.

Anda mungkin juga menyukai