Anda di halaman 1dari 4

Pancasila di Era Pra Kemerdekaan, Kemerdekaan,

Orde Lama, dan Orde Baru


Dimas Putra Rizkia
21-A-1-26
A. Pancasila di Era Pra kemerdekaan
Menurut Sunoto (1984), Pancasila lahir bukan karena faktor luar, melainkan
faktor
Dari dalam negeri sendiri, yaitu melalui budaya. Menurut Sunoto (1984) melalui kajian
filsafat Pancasila menyatakan bahwa unsur unsur pancasila berasal dari bangsa
Indonesia sendiri, walaupun secara de facto pancasila baru menjadi dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari setelah
proklamasi kemerdekaan. Pancasila yang ditulis pada pembukaan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 ini adalah hasil penyempurnaan atau hasil
rundingan akhir dari para tokoh tokoh perjuangan bangsa pada masa itu. Bukti bahwa
pancasila sudah ada sejak jaman dahulu dapat dibuktikan antar silanya. Sila ke-1 yang
berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat dibuktikan dengan masyarakat indonesia
dari dulu sudah percaya dengan adanya tuhan dengan bukti berkembangnya agama
hindu buddha pada masa kerajaan. Lalu sila ke-2 yang berbunyi “Kemanusiaan yang
adil dan beradab” dapat dibuktikan dengan sikap ramah tamah kepada saudagar
saudagar jaman dahulu. Sila ke-3 yang berbunyi “Persatuan Indonesia” dapat dibuktikan
dengan sikap guyub rukun dan kekeluargaan antar masyarakat sejak jaman dulu.
Selanjutnya sila ke-4 yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dapat dibuktikan dengan unsur
unsur demokrasi sudah ada dalam masyarakat Indonesia sejak jaman pra kemerdekaan.
Lalu sila terakhir, sila ke-5, yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” dibuktikan dengan sikap masyarakat Indonesia yang lebih bersikap adil
terhadap sesama. Kata pancasila sendiri pertama kali diutarakan oleh Ir. Soekarno pada
tanggal 1 Juni 1945 dalam rangkaian sidang pertama BPUPKI yang sekarang tiap
tahunnya diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Lalu pada tanggal 22 Juni 1945,
Panitia Sembilan yang beranggotakan Ir. Soekarno sebagai ketua, Drs. Mohammad
Hatta sebagai wakil ketua, Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo sebagai
anggota, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. sebagai anggota, Kiai Haji Abdul Wahid
Hasjim sebagai anggota, Abdoel Kahar Moezakir sebagai anggota, Raden Abikusno
Tjokrosoejoso sebagai anggota, Haji Agus Salim sebagai anggota, dan yang terakhir Mr.
Alexander Andries Maramis sebagi anggota merumuskan rancangan pembukaan hukum
dasar yang oleh Mr. M. Yamin dinamakan Piagam Jakarta. Perbedaan pancasila yang
sekarang dengan piagam jakarta terdapat pada sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut
Mohammad Hatta, Sila pertama yang termuat dalam piagam jakarta dirasa mencederai
rasa persatuan bangsa Indonesia karena sila tersebut hanya ditujukan kepada kaum
muslim. Pada pagi hari tanggal 18 Agustus 1945 sebelum sidang PPKI dimulai,
Mohammad Hatta melakukan pertemuan dengan tokoh tokoh islam agar usulan yang ia
berikan dapat diterima. Teuku Mohammad Hasan, Kasman Singodimedjo, dan Ki
Bagus Hadikusumo akhirnya mau menerima usulan Hatta untuk mengganti sila pertama
tersebut. Adapun penggerak Islam lainnya, yaitu Wachid Hasjim tidak hadir saat
memenuhi usul Hatta. Penerimaan penggerak Islam itu mengambil rumusan Pancasila
mencapai bentuk yang sempurna dan disahkan pada sidang PPKI (Purwanta 2018).
Selain membahas mengenai dasar negara, Panitia Sembilan juga ditugaskan untuk
merancang proklamasi kemerdekaan Indonesia.

B. Pancasila di Era Kemerdekaan


Pada masa masa pasca kemerdekaan, Indonesia mengalami banyak pergantian
demokrasi. Pada tahun 1945 hingga 1959, indonesia menerapkan sistem demokrasi
parlementer. Sistem demokrasi parlementer ini ditandai dengan peranan parlementer dan
peranan partai politik yang sangat menonjol. Hal ini mengakibatkan persatuan yang
digalangkan selama perjuangan menjadi luntur sehingga menodai sila ke-3 pancasila.
Para ahli menyimpulkan bahwa demokrasi parlementer ini dirasa kurang cocok bagi
Negara Indonesia karena lemahnya sistem demokrasi pada sistem parlementer sehingga
bisa menimbulkan dominasi partai partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada
tanggal 18 September 1948 Indonesia mengalami suatu perlawanan yang mencoba untuk
mengubah ideologi pancasila. Perlawanan atau pemberontakan ini diprakarsai oleh Partai
Komunis Indonesia yang dipimpin oleh Muso. Tujuannya jelas, yaitu mendirikan negara
Negara Soviet Indonesia yang berideologi komunis. Lalu ada juga pemberontakan yang
dilakukan oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang dipimpin oleh Sekarmaji
Marijan Kartosuwiryo yang ditandai dengan didirikannya Negara Islam Indonesia (NII)
oleh Kartosuwiryo. Tujuan didirikannya Negara Islam Indonesia (NII) adalah untuk
mengganti dasar negara Indonesia yaitu pancasila dengan dasar negara syariat islam.
Pada 25 April 1950, gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan oleh
mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT), Soumokil. Tujuan dari gerakan
Republik Maluku Selatan (RMS) ini adalah untuk melepaskan wilayah maluku dari
NKRI sehingga mencoreng nilai yang terkandung dari sila ke-3 Pancasila. Indonesia
mencurigai gerakan ini tak luput dari campur tangan belanda yang dilakukan oleh KNIL.
Indonesia lalu segera mengirimkan para pasukan APRIS dengan 850 pasukan yang
dipimpin langsung oleh Komandan Mayor Pallupessy. Para pasukan APRIS mendarat di
Pulau Buru, Kai, Aru, dan Seram di Maluku Selatan. Salah satu titik pertahanan paling
baik yang dimiliki RMS adalah Pulau Ambon, sehingga pasukan APRIS juga mendarat di
sana dan kemudian dibagi tiga kelompok. Dikuasainya wilayah RMS ini kemudian
diikuti dengan penangkapan Presiden pertama RMS, JH Manuhutu dan Perdana Menteri
RMS Wairissal, beserta sembilan menteri lainnya. Mereka semua dijatuhi hukuman
penjara selama tiga sampai lima setengah tahun.  Untuk menghindari terulangnya
kejadian pemberontakan RMS, pemerintah RI mengambil tindakan tegas dengan
memberikan hukuman mati terhadap sisa-sisa gerombolan RMS. Lalu pada tahun 1950,
Ditetapkannya Undang Undang Dasar Sementara yang dinamai UUDS 1950. Undang
Undang Dasar Sementara tahun 1950 ini menetapkan berlakunya sistem parlemen dimana
badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta menteri
menteri yang mempunya tanggung jawab politik masing-masing.

C. Pancasila di Era Orde Lama


Dengan adanya pro kontra dari demokrasi parlementer, pada akhir tahun 1959,
demokrasi parlementer digantikan oleh demokrasi terpimpin ditandai dengan keluarnya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya memuat pembentukan MPRS dan DPAS dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya, pemberlakuan kembali Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, dan tidak berlakunya Undang Undang Dasar Sementara
(UUDS) tahun 1950. Pada masa demokrasi terpimpin ini, Presiden Soekarno juga
menggabungkan paham Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM) menjadi satu
yang ternyata tidak cocok dengan NKRI. Namun fakta yang terjadi justru dengan adanya
demokrasi terpimpin ini malah menimbulkan sistem yang mengkhianati isi dari pancasila
yang ada. Pada masa demokrasi terpimpin, dominasi pemerintahan dikuasai oleh presiden
serta terbatasnya peran partai politik. Pada Demokrasi Terpimpin ini Presiden Soekarno
juga membuat ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Presiden Soekarno
sebagai presiden seumur hidup dan telah membatalkan waktu lima tahun ini yang telah
ditentukan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hal ini
sungguh berlainan dengan nilai nilai yang terkandung dalam sila keempat pancasila.
Demokrasi terpimpin dalam praktiknya tidak sesuai dengan makna yang terkandung
didalamnya bahkan terkenal sangat menyimpang. Pada masa pemerintahan orde lama,
kehdupan politik dan pemerintahan sering terjadi penyimpangan karena presiden dan
MPRS tindakannya sangat bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) dan Pancasila. Penyimpangan ini terjadi karena
penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden yaitu Presiden
Soekarno dan lemahnya kontrol yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijkan
kebijakan yang dilakukan oleh presiden. Kemudian pada tahun 1965 terjadi sebuah
peristiwa besar di Indonesia yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin oleh
D.N. Aidit berusaha melakukan perlawanan terhadap ideologi bangsa yaitu Pancasila dan
mencoba mengubahnya menjadi ideologi komunis dan berusaha mendirikan Negara
Soviet Indonesia. Jelas hal ini sangat dikecam oleh rakyat Bangsa Indonesia. Lalu pada
tanggal 11 Maret 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret
(SUPER SEMAR) yang salah satunya isinya adalah pemberian mandat kepada Jenderal
Soeharto untuk menumpas Partai Komunis Indonesia yang telah membunuh 7 jenderal
Indonesia yaitu Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R. Suprapto, Mayjen MT Haryono,
Mayjen S. Parman, Brigjen D.I Panjaitan, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, dan yang
terakhir Lettu Pierre Andreas Tendean.

D. Pancasila di Era Orde Baru


Era Orde Baru ini bisa dikatakan menjadi era paling lama karena pada saat itu presiden
Soeharto menjabat selama kurang lebih 32 tahun dan bisa dikatakan sebagai pemerintahan
paling stabil. Yang dimaksud stabil ini adalah jarang terjadi konflik dalam pemerintahan ini
dan berkembangnya fasilitas fasilitas negara. Pada era orde baru ini, diterapkannya sistem
Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang tiap 5 tahun sekali mempunyai
tujuan tersendiri. Pada Repelita I sekitar tahun 1969 hingga 1974 ini bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian. Lalu
pada Repelita II sekitar tahun 1974 hingga tahun 1979 ini bertujuan meningkatkan
pembangunan di pulau pulau selain Jawa, Bali, dan Madura, diantaranya melalui
transmigrasi. Dan repelita ini berlanjut hingga Repelita VI yang dilaksanakan pada tahun
1994 namun tidak sampai selesai karena pada tahun 1998 Presiden Soeharto dipaksa untuk
turun dari jabatannya sebagai presiden. Menurut Hendro Muhaimin bahwa Pemerintah di era
Orde Baru sendiri terkesan “menunggangi” Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar
negara sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Pada era orde baru, masyarakat
menjunjung tinggi nilai nilai pancasila dengan melakukan berbagai kegiatan yang
mencerminkan nilai nilai pancasila seperti gotong royong dan toleransi yang tinggi. Presiden
Soeharto saat berpidato dalam Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1967,
mendeklarasikan pancasila sebagai suatu force yang dikemas dalam berbagai frase bernada
angkuh, elegan, dan begitu superior. Presiden Soeharto juga mengatakan bahwa Pancasila
sebagai “tuntunan hidup”, menjadi “sumber tertib sosial” dan “Sumber tertib seluruh
perikehidupan”, serta merupakan “sumber tertib negara” dan “sumber tertib hukum”. Kepada
rakyat Indonesia terutama pada kaum pemuda Indonesia dalam Kongres Pemuda tanggal 28
Oktober 1974, Soeharto menyatakan, “Pancasila janganlah hendaknya hanya dimiliki, akan
tetapi harus dipahami dan dihayati!” Dapat dikatakan tidak ada yang lebih kuat maknanya
selain Pancasila di Indonesia, pada saat itu, dan dalam era Orde Baru.

Anda mungkin juga menyukai