Anda di halaman 1dari 27

1.

Tafsiran pancasila di masa orde lama, baru dan reformasi

Pancasila pada Masa Orde Lama

Pada masa orde lama yang dipimpin Soekarno, Pancasila mengalami ideologisasi.
Pada masa ini Pancasila berusaha untuk dibangun, dijadikan sebagai keyakinan
serta kepribadian bangsa Indonesia. Masa ini merupakan masa pencarian bentuk
implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila
diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama.

Sejak Pancasila dijadikan sebagai Dasar Negara Republik Indonesia, sebagaimana


tertulis dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 hasil sidang PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 18 Agustus 1945, maka berbagai usaha
untuk mengagungkan dan mensakralkan Pancasila kerap dilakukan. Aneka
peristiwa pemberontakan terhadap pemerintah Republik Indonesia, dengan motif
apa pun, seperti DI / TII, PRRI, RMS dan PKI , selalu diertikan sebagai
pembangkangan terhadap Pancasila.

Pemberontakan DI / TII (Darul Islam / Tentara Islam Indonesia) terjadi di


berbagai daerah, antara lain150 :

1. Di Jawa Barat, SM Kartosuwiryo pada 7 Ogos 1949 memproklamirkan


kemerdekaan Negara Islam Indonesia (NII).
2. Di Sulawesi Tengah, Kahar Muzakkar pada tahun 1952 melakukan
pemberontakan.
3. Di Aceh, Tengku Daud Beureuh pada 21 September 1953 juga berontak.

Selain itu, Di Maluku pada 25 April 1950 terjadi pemberontakan RMS (Republik
Maluku Selatan). Di Sumatera Barat pada 15 Februari 1958 lahir PRRI
(Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Di Jakarta pada 30 September
1965 PKI (Parti Komunis Indonesia) melakukan pengkhianatan. Dan semua
keberhasilan penguasa dalam memadamkan segala bentuk pemberontakan
tersebut dilakonkan sebagai Keperkasaan Pancasila. Bahkan menyusul
keberhasilan penguasa dalam waktu sehari memberantas pemberontakan G30S
PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia) yang pecah pada tanggal
30 September 1965, maka serta merta tanggal 1 Oktober secara khusus
diisytiharkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Dan ini merupakan bukti adanya
usaha untuk membangun Pancasila sebagai Mitologi Baru, sekali pun sejumlah
pakar cuba untuk menyangkal hal tersebut

Di akhir kekuasaan Orde Lama, pada tahun 1966, Majelis Permusyawaratan


Rakyat Sementara RI (MPRS-RI) mengeluarkan TAP MPRS No.XX / MPRS /
1966 yang menyebutkan bahawa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber
hukum. Tentu sahaja, bagi penulis bahawa TAP MPRS ini makin menguatkan
langkah pensakralan Pancasila.

Selama Orde Lama telah terjadi tiga sistem demokrasi : Demokrasi Liberal (1945-
1955), lalu Demokrasi Berparlimen (1955-1959), kemudian Demokrasi Terpimpin
(1959-1966).

Periode Demokrasi Liberal ( 1945 – 1955 )

Pada masa ini, dasar yang digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945 yang
presidensial, namun pada praktiknya sistem ini tidak dapat diwujudkan walau
penjajah diusir. Persatuan rakyat Indonesia mulai mendapatkan tantangan. Muncul
upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan paham
komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun pada tahun 1948 dan olen
DI/TII yang ingin mendirikan negara Islam. Periode ini disebut sebagai periode
Demokrasi Liberal, kerana memang merupakan era awal kemerdekaan. Pada
periode ini terjadi euforia revolusi, sehingga setiap orang boleh mengekspresikan
rasa kemerdekaannya dengan kebebasan mengemukan pendapat seluasluasnya,
termasuk dalam menafsirkan Pancasila sebagai Dasar Negara.

Demokrasi di periode ini, telah memberi kesempatan kepada Ir. Soekarno selaku
penguasa Orde Lama, untuk memelihara dan mengasuh Pancasila sesuai dengan
tafsirannya. Ir. Soekarno sebagai seorang Nasionalis Sekuler tulen, yang amat
mengagungkan Karl Marx, telah menafsirkan Pancasila secara subjektif sesuai
dengan fahaman yang dianutnya, sehingga Fahaman Marxisme, Komunisme dan
Sosialisme boleh hidup dengan subur di bawah naungan Pancasila.
Kerananya, ketika Indonesia baru dua bulan merdeka, pada 21 Oktober 1945,
Parti Komunis Indonesia (PKI) berdiri dengan amat mudahnya. Dan dalam
Pilihan Raya tahun 1955, PKI berhasil menduduki empat besar setelah Masyumi,
PNI dan NU. Dalam periode ini, sepanjang jangka waktu 18 Agustus 1945 s/d 27
Desember 1949, Republik Indonesia secara khusus berada dalam suasana
Revolusi Fisik. Dan selama periode ini pula, telah terjadi tiga kali perubahan
Konstitusi :

1. Undang-Undang Dasar 18 Ogos 1945, yang memuat Rumusan Pancasila


II.
2. Undang-Undang Dasar RIS 29 Oktober 1949, yang memuat Rumusan
Pancasila III.
3. Undang-Undang Dasar Sementara 20 Julai 1950, yang memuat Rumusan
Pancasila IV.

Dengan demikian, selama periode ini, telah berlaku secara berturut-turut,


Rumusan Pancasila II, III dan IV, sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.

Periode Demokrasi Berparlemen ( 1955 – 1959 )

Periode ini disebut sebagai periode Demokrasi Berparlemen, kerana sejak digelar
Pilihan Raya Pertama di Indonesia pada 15 Disember 1955, maka terbentuklah
Majelis Konstituante yang berfungsi sebagai Parlemen dan bertugas untuk
memgubal Undang-Undang Dasar.

Namun, kerana terjadi deadlock dalam sidang Majelis Konstituante yang


mengakibatkan gagalnya pengambilan keputusan tentang UndangUndang Dasar,
akhirnya Parlimen ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden 5 Julai 1959. Maka
sejak Dekrit tersebut dikeluarkan, berakhirlah periode Demokrasi Berparlimen.

Dalam periode ini, Kongres Alim Ulama seluruh Indonesia di Palembang –


Sumatera Selatan, yang dilaksanakan pada 8 s/d 11 September 1957,
mengharamkan ideologi komunis, dan mendesak Presiden RI untuk mengeluarkan
dekrit pelarangan PKI dan membubarkan organisasinya.
Periode Demokrasi Terpimpin ( 1959 – 1966 )

Dalam periode ini, Soekarno melaksanakan Konsepsinya yang terkenal dengan


sebutan USDEK – MANIPOL. Konsepsi Soekarno ini memusatkan kekuasaan
politik, ekonomi, Tentera dan intelijen di tangan Presiden.

Sekali pun Manipol 1959 merupakan penjelasan rasmi dari Dekrit Presiden 5 Juli
1959, namun pengaruh PKI cukup kuat dalam kelahirannya. Hal ini penulis
cermati dari fakta berikut :

1. Isi Manipol 1959 sesuai dengan apa yang diusulkan oleh Sidang Pleno ke
– 7 Central Comitte PKI pada bulan November 1958.
2. Dewan Partimbangan Agung saat itu dipimpin oleh Ketua Umum PKI,
D.N.Aidit.
3. Isi Manipol 1959 mirip seperti Konsepsi D.N. Aidit, Ketua Umum PKI,
yang terkenal dengan nama ”Masyarakat Indonesia dan Revolusi
Indonesia”, yang disingkat MIRI.

Melalui sistem Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno makin cenderung


menafsirkan Pancasila sesuai kehendaknya, bahkan cenderung otoriter.
Keotoriteran tersebut terlihat tatkala Bung Karno memaksa semua pihak untuk
menerima penafsirannya terhadap Pancasila yang berbau komunis, dan
menjadikan pihak mana pun yang menentangnya sebagai musuh. Keotoriteran
Soekarno dan kedekatannya dengan PKI semakin nyata, ketika mengambil
sejumlah keputusan kontroversial, antara lain :

1. Pembubaran Parti Politik Islam Masyumi (Majelis Syura Muslimin


Indonesia) melalui Keputusan Presiden No.200 tahun 1960 pada 17
Agustus 1960.
2. Pembubaran organisasi pemuda Islam GPII (Gerakan Pemuda Islam
Indonesia) melalui Keputusan Presiden No.139 tahun 1963 pada 10 Julai
1963.
3. Penangkapan terhadap tokoh-tokoh Masyumi dan GPII serta Ulama
seperti KH.Yunan Helmi Nasution, KH.Isa Anshari, KH.Mukhtar Ghazali,
KH. EZ. Muttaqin, KH. Soleh Iskandar, KH. Hamka, KH. Ghazali Sahlan
dan KH. Dalari Umar.
4. Menolak tuntutan pembubaran PKI setelah terbukti pengkhianatannya
melalui G30S PKI (Gerakan 30 September – PKI).

Pancasila pada Masa Orde Baru

Pada masa orde baru, pemerintah berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang
menyimpang dari pancasila melalui program P4 (Pedoman Pengahayatan dan
Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasetia Pancakarsa.

Orde baru berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara
sekaligus berhasil mengatasi paham komunis di Indonesia. Akan tetapi
implementasi dan aplikasinya sangat mengecewakan. Beberapa tahun kemudian
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ternyata tidak sesuai dengan jiwa Pancasila.
Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi
tafsiran lain.

Pancasila justru dijadikan sebagai indoktrinasi. Presiden Soeharto menggunakan 


Pancasia sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaannya. Ada beberapa metode
yang digunakan dalam indoktrinasi Pancasila, yaitu pertama, melalui ajaran P4
yang dilakukan di sekolah-sekolah melalui pembekalan atau seminar. Kedua, asas
tunggal, yaitu presiden Soeharto membolehkan rakyat untuk membentuk
organisasi-organisasi dengan syarat harus berasaskan Pancasila. Ketiga, stabilisasi
yaitu presiden Soeharto melarang adanya kritikan-kritikan yang dapat
menjatuhkan pemerintah. Presiden Soeharto beranggapan bahwa kritikan terhadap
pemerintah menyebabkan ketidakstabilan di dalam negara. Untuk
menstabilkannya, Presiden Soeharto menggunakan kekuatan militer sehingga tak
ada yang berani untuk mengkritik pemerintah.

Dalam pemerintahannya presiden Soeharto melakukan beberapa penyelewengan


dalam penerapan Pancasila, yaitu diterapkannya demokrasi sentralistik, demokrasi
yang berpusat pada pemerintah. Selain itu presiden juga memegang kendali
terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif sehingga peraturan yang
dibuat harus sesuai dengan persetujuannya. Presiden juga melemahkan aspek-
aspek demokrasi terutama pers karena dinilai dapat membahayakan
kekuasaannya. Maka, Presiden Soeharto membentuk Departemen Penerangan atau
lembaga sensor secara besar-besaran agar setiap berita yang dimuat di media tidak
menjatuhan pemerintahan. Penyelewengan yang lain adalah pelanggengan
korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga pada masa ini banyak pejabat negara
yang melakukan korupsi. Tak hanya itu, pada masa ini negara Indonesia juga
mengalami krisis moneter yang di sebabkan oleh keuangan negara yang tidak
stabil dan banyaknya hutang kepada pihak negara asing. Demokratisasi akhirnya
tidak berjalan, dan pelanggaran HAM  terjadi  di mana-mana  yang  dilakukan 
oleh  aparat  pemerintah  atau  negara.

Penerapan Pancasila pada Masa Orde Baru:

Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni, Orde baru berhasil
mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus berhasil
mengatasi paham komunis di Indonesia. Dalam pemerintahannya presiden
Soeharto melakukan beberapa penyelewengan dalam penerapan Pancasila, yaitu
diterapkannya demokrasi sentralistik, demokrasi yang berpusat pada pemerintah.
Penyelewengan yang lain adalah pelanggengan korupsi, kolusi, dan nepotisme
sehingga pada masa ini banyak pejabat negara yang melakukan korupsi. Tak
hanya itu, pada masa ini negara Indonesia juga mengalami krisis moneter yang di
sebabkan oleh keuangan negara yang tidak stabil dan banyaknya hutang kepada
pihak negara asing.

Penyelewengan pada Masa Orde Baru:

Presiden Soeharto menjabat selama 32 tahun. Terjadi penafsiran sepihak terhadap


Pancasila oleh rezim Orde Baru melalui program P4. Adanya penindasan
ideologis, sehingga orang-orang yang mempunyai gagasan kreatif dan kritis
menjadi takut. Adanya penindasan secara fisik seperti pembunuhan terhadap
orang di Timor-Timur, Aceh, Irian Jaya, kasus Tanjung Priok,
pengrusakan/penghancuran pada kasus 27 Juli dan seterusnya. Perlakuan
diskriminasi oleh negara juga dirasakan oleh masyarakat non pribumi (keturunan)
dan masyarakat golongan minoritas. Mereka merasa diasingkan, bahkan acapkali
mereka hanya dijadikan sebagai kambing hitam jika ada masalah, atau diperas
secara ekonomi.

Pancasila pada Masa Reformasi

Eksistensi pancasila masih banyak dimaknai sebagai konsepsi politik yang


substansinya belum mampu diwujudkan secara riil. Reformasi belum berlangsung
dengan baik karena Pancasila belum difungsikan secara maksimal sebagaimana
mestinya. Banyak masyarakat yang hafal butir-butir Pancasila tetapi belum
memahami makna sesungguhnya.

Pada masa reformasi, Pancasila sebagai re-interprestasi. Pancasila harus selalu


diinterprestasikan kembali sesuai dengan perkembangan zaman, berarti dalam
menginterprestasikannya harus relevan dan kontekstual dan harus sinkron atau
sesuai dengan kenyataan pada zaman saat itu.

Berbagai perubahan dilakukan untuk memperbaiki sendi-sendi kehidupan


berbangsa dan bernegara di bawah payung ideologi Pancasila. Namun, faktanya
masih banyak masalah sosial-ekonomi yang belum terjawab. Eksistensi dan
peranan Pancasila dalam reformasi pun dipertanyakan. Pancasila di masa
reformasi tidak jauh berbeda dengan Pancasila di masa orde lama dan orde baru
ksaat ini debat tentang masih relevan atau tidaknya Pancasila dijadikan ideologi
masih kerap terjadi. Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan
menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu.
Pancasila banyak diselewengkan dianggap sebagai bagian dari pengalaman buruk
di masa lalu dan bahkan ikut disalahkan dan menjadi sebab kehancuran.

Pancasila pada masa reformasi tidaklah jauh berbeda dengan Pancasila pada masa
orde baru dan orde lama, yaitu tetap ada tantangan yang harus dihadapi.
Tantangan itu adalah KKN yang merupakan masalah yang sangat besar dan sulit
untuk dituntaskan. Pada masa ini korupsi benar-benar merajalela. Para pejabat
negara yang melakukan korupsi sudah tidak malu lagi. Mereka justru merasa
bangga, ditunjukkan saat pejabat itu keluar dari gedung KPK dengan
melambaikan tangan serta tersenyum seperti artis yang baru terkenal. Selain
KKN, globalisasi menjadi racun bagi bangsa Indonesia karena semakin lama
ideologI Pancasila tergerus oleh ideologi liberal dan kapitalis. Apalagi tantangan
pada masa ini bersifat terbuka, lebih bebas, dan nyata.

Reformasi belum berlangsung dengan baik karena Pancasila belum difungsikan


secara maksimal sebagaimana mestinya. Banyak masyarakat yang hafal butir-butir
Pancasila tetapi belum memahami makna sesungguhnya.

Pancasila sebagai reinterpretasi. Pancasila harus selalu diinterpretasikan kembali


sesuai dengan perkembangan zaman, berarti dalam menginterpretasikannya harus
relevan dan kontekstual dan harus sinkron atau sesuai dengan kenyataan pada
zaman saat itu.

Pancasila banyak diselewengkan dianggap sebagai bagian dari pengalaman buruk


di masa lalu dan bahkan ikut disalahkan dan menjadi sebab kehancuran.

Globalisasi menjadi racun bagi bangsa Indonesia karena semakin lama ideologI
Pancasila tergerus oleh ideologI liberal dan kapitalis. Apalagi tantangan pada
masa ini bersifat terbuka, lebih bebas, dan nyata.

Penyelewengan pada Masa Reformasi:

Menjadikan Pancasila sebagai ideologi tanpa memperhatikan kerelevannya. Para


elite politik cenderung hanya memanfaatkan gelombang reformasi ini guna meraih
kekuasaan sehingga tidak mengherankan apabila banyak terjadi perbenturan
kepentingan politik. Pemerintah kurang konsisten dalam menegakkan hukum.
Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan yang ditandai dengan adanya konflik di
beberapa daerah.

Pergantian presiden secara singkat di era reformasi. Terlihat jelas bahwa


penerapan Pancasila dari waktu ke waktu ini berkaitan erat dengan kesadaran
setiap warga negara. Terdorong dan taat untuk melaksanakan Pancasila meliputi
seluruh lingkungan  hidup kemanusiaan, baik jasmani maupun rohani, sosial-
ekonomis, sosial-politik, kebudayaan, mental, kesusilaan, keagamaan, serta
kepercayaan.
2. PENGARUH PANCASILA TERHADAP PENERAPAN SYARIAH
ISLAM DI INDONESIA

Pancasila dalam ketatanegaraan Republik Indonesia adalah Lima Dasar Negara,


iaitu : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan, Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tesis ini
bertujuan menguji hipotesis tentang benar adanya ”keyakinan” yang menyatakan
bahawa di Indonesia yang berdasarkan Pancasila mustahil dilaksanakan Syariah
Islam. Oleh sebab itu, batasan kajian hanya tentang Penerapan Syariah Islam di
Indonesia secara konstitusional (pelembagaan hukum negara) setelah
kemerdekaan Indonesia sepanjang 62 tahun, dari tahun 1945 sampai dengan tahun
2007. Kajian ini menggunakan 3 (tiga) metode, iaitu : Pertama, Metode
Pengumpulan Data yang memiliki 3 (tiga) cara, iaitu : Kajian Perpustakaan,
Kajian Sejarah, dan Wawancara. Kedua, Metode Analisis Data yang juga
memiliki 3 (tiga) cara, iaitu : Analisis Deskriptif, Analisis Sejarah, dan
Perbandingan. Ketiga, Metode Pengambilan Kesimpulan yang memilki 2 (dua)
cara, iaitu : Induksi dan Deduksi. Sejak Republik Indonesia diproklamirkan telah
terjadi tarik menarik antara kelompok Islam dengan kelompok Sekuler dalam
menafsirkan Pancasila. Percanggahan politik antara kedua-dua kubu hingga waktu
ini terus berlangsung. Kelompok Sekuler yang Islamiphobia selalu menolak
pemberlakuan Syariah Islam di Indonesia dengan berbagai macam cara seperti
mengagungkan Pancasila secara berlebih-lebihan, sehingga mereka selalu
meletakkan Islam berhadap-hadapan dengan Pancasila. Selama ini, tafsiran
Pancasila selalu dipaksa untuk mengikuti kemahuan penguasa. Pancasila hanya
dijadikan sebagai alat politik untuk menguatkan kekuasaan. Di masa kekuasaan
rejim Soekarno, yang sangat mengagungkan Karl Marx, Pancasila dijadikan alat
politik untuk melindungi fahaman Marxisme, Komunisme dan Sosialisme. Di
masa kekuasaan rejim Soeharto, yang sangat terkenal dengan Kejawen nya, yaitu
mitos yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa, penafsiran Pancasila
selalu dikait-kaitkan dengan kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia,
khususnya masyarakat Jawa Kuno. Dan kini di masa Reformasi, ketika rakyat
Indonesia sedang dilanda euforia kebebasan, maka tafsir Pancasila pun mulai
diarahkan untuk mengikuti arus pemikiran liberal, sehingga berbagai bentuk
kebebasan tanpa batas dan pencampur-adukan aqidah mendapat peluang untuk
berkembang dengan pesat di bawah payung Pancasila atas nama Hak Asasi
Manusia (HAM). Itulah sebabnya, banyak dari kalangan Islam terus melakukan
perlawanan terhadap penafsiran-penafsiran subjektif yang politis terhadap
Pancasila. Mereka tidak anti Pancasila, tapi menolak segala bentuk distorsi
(penyelewengan / penyimpangan) dari arti dan tujuan Pancasila yang sebenarnya.
Melalui perjuangan gigih, akhirnya mereka berhasil meloloskan seperangkat
perundang-undangan yang bernafaskan Syariah Islam di Indonesia, seperti
Kompilasi Hukum Islam dalam bidang peradilan dan Kompilasi Hukum
Perbankan Islam dalam bidang ekonomi. Akhirnya, tesis ini mengambil
kesimpulan bahawasanya Penerapan Syariah Islam di Indonesia tidak mustahil
dapat dijalankan dengan baik berdasarkan kepada pemahaman yang benar
terhadap makna Pancasila sebagai Dasar Negara dan sumber pelembagaan hukum
di Republik Indonesia.
Perjuangan Penerapan Syariah Islam di Indonesia sudah berlangsung jauh
sebelum kemerdekaan Indonesia. Sejak tumbangnya kerajaan Hindu dan Budha di
Indonesia, lalu berganti dengan kerajaankerajaan Islam, usaha penerapan Syariah
Islam sudah dilakukan. Berdirinya berbagai Kerajaan Islam di Nusantara
merupakan bukti adanya identiti Islam yang dibawa oleh kerajaan-kerajaan
tersebut. Bahkan berbagai peninggalan berupa Prasasti, Kanun, Adat, Budaya,
Kitab, Syair, Gelar para Sultan, dan lain sebagainya, menunjukkan bahawa
Syariah Islam telah lama dijadikan oleh Kerajaan-Kerajaan Islam tersebut sebagai
Hukum Negara. Salah satu contohnya adalah Kesultanan Aceh Darussalam. Ada
dua kisah yang amat populer di Tanah Aceh berkaitan penerapan Syariah Islam di
zaman Kesultanan Aceh yang telah berdiri sejak abad ke-16, yaitu

1. Kisah Raja Linge ke XIV, iaitu Raja di daerah Linge, Kabupaten Aceh Tengah
sekarang. Diceritakan bahawa di masa Sultan Ala’uddin Ri’ayatsyah Al-Qahhar
(1537 s/d 1571), telah dijatuhi hukuman oleh Qadhi Malikul Adil (Hakim Agung
Kesultanan) terhadap Raja Linge dengan membayar diyat 100 ekor kerbau kerana
telah membunuh adik tirinya.
2. Kisah Sultan Iskandar Muda (1603 s/d 1637) yang telah menjatuhkan hukum
rejam kepada anak kandungnya sendiri kerana terbukti berzina dengan salah
seorang isteri bangsawaan di dalam lingkungan istana.

Kerajaan-Kerajaan Islam yang ada di Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam


dan melembagakan sistem peradilannya sebagai bahagian yang tak terpisahkan
dengan keseluruhan sistem pemerintahan di wilayah kekuasaannya masing-
masing. Itulah sebabnya, tatkala Indonesia diduduki oleh penjajah Belanda, maka
pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam pembuatan hukum dan pembentukan
sistem peradilannya, tidak boleh mengabaikan Peradilan Agama Islam yang sudah
berjalan di tengah masyarakat Indonesia sejak lama.

Dengan fakta sejarah di atas, maka penulis berkesimpulan bahawa penerapan


Syariah Islam di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru ada setelah kemerdekaan
1945. Bahkan bukan pula baru ada setelah penjajahan Belanda, melainkan sesuatu
yang sudah ada jauh sebelum kedatangan penjajah Belanda. Kerananya,
memperjuangkan penerapan Syariah Islam di Indonesia bukanlah hal yang
berlebihan atau mengadaada, melainkan sesuatu yang memiliki landasan historis
dan kultural yang amat kuat.

MAKNA SYARIAH ISLAM

Syariah

ِ ٌ‫)ة‬, asal katanya adalah ( ‫)عرش‬, yang


Syariah berasal dari bahasa Arab ( ‫عريش‬
secara bahasa bererti jalan. Sedang menurut istilah yaitu : Apa-apa yang datang
dari Allah dan Rasul-Nya, atau apa-apa yang diambil dari Al-Quran dan As-
Sunnah.

Guru Besar penulis di King Saud University, Riyadh – Saudi Arabia, Prof. DR.
Muhammad Rawwas Qol'ah-ji, mengertikan Syariah sebagai berikut :

”Syariah ialah Hukum-Hukum perbuatan dalam agama”.


Selanjutnya, beliau mentakrifkan Syariah dalam bahasa Inggeris : Moslem Law
(Constitution prescribed by Allah) yaitu Hukum Muslim (Konstitusi /
Perlembagaan Peraturan yang ditetapkan oleh Allah).

Dalam Kamus Besar Bahasa Melayu disebut dengan Syariat, Syariah dan Sereat yang
diertikan Hukum Agama. Sedang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut dengan
Syariah dan Syariat yang diertikan Hukum Agama yang menetapkan peraturan hidup
manusia, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan manusia dan
alam sekitar berdasarkan Al-Quran dan Hadits.

Islam

Islam berasal dari bahasa Arab ( ‫)الَمِإس‬, asal katanya adalah ( ‫) ْلمس‬, yang secara
bahasa berarti damai atau selamat.

DASAR HUKUM SYAR’I

Dalil Syar’i tentang kewajiban penerapan Syariah Islam merupakan Dasar Hukum
Syar’i yang menjadi landasan perjuangan penerapan Syariah Islam di Indonesia.
Dalil Syar’i tersebut terdiri dari : Dalil Naqli dan Dalil Aqli. Prof. Muhammad
Mushthofa Syalabi, dalam kitabnya Ushul AlFiqh Al-Islami, mentakrifkan Dalil
Naqli sebagai berikut yang artinya : ”(Dalil) Naqli : Ia adalah (dalil) yang jalannya
melalui penukilan, tidak ada tempat bagi Mujtahid untuk membentuk dan
menciptakannya, dan tugasnya (Mujtahid) hanya terbatas kepada pemahaman
hukum-hukum dari pada isi (nukilan) nya setelah penetapan (keabsahan) nya.

Sedang Dalil ‘Aqli, beliau mentakrifkannya sebagai berikut yang artinya : ”(Dalil)
Aqli : Ia adalah (dalil) yang bagi akal ada tempat untuk membentuknya, atau
dengan ungkapan yang lain ; Ia adalah (dalil) yang bagi Mujtahid ada usaha dalam
menciptaknnya.

Kewujudan Dalil Naqli dan Dalil Aqli diakui oleh Al-Quran dan As-Sunnah.
Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman yang artinya :

”Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu
kepada Rasulullah dan kepada Ulil Amri (orang-orang yang berkuasa) dari
kalangan kamu. Kemudian jika kamu berbantah-bantah (berselisihan) dalam
sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada (Kitab) Allah
dan (Sunnah) Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari
Akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu) dan lebih baik elok pula
kesudahannya.”

Pengkajian Dalil Syar’i dalam Tesis ini menjadi penting, kerana perjuangan
penerapan Syariah Islam di Indonesia meletakkan asas pergerakannya di atas Dalil
Syar’i tersebut. Melalui pengkajian Dalil Syar’i tersebut, baik Naqli mahupun
Aqli, akan terlihat apakah perjuangan penegakan Syariah Islam di Indonesia
merupakan murni perjuangan Islam atau hanya suatu perjuangan politik yang
mengatas-namakan Islam.

Dalil Naqli

Dalil Naqli yang paling utama dan merupakan sumber dari segala sumber Hukum Islam
adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Semua bentuk dalil, samada Naqli mahupun Aqli,
bersumber dari dua sumber utama Hukum Islam, iaitu : Al-Quran dan As-Sunnah.

Dalil Aqli

Hadits Mu’adz ibnu Jabal ra yang sudah penulis paparkan merupakan Hujjah bagi
pengakuan eksistensi Dalil Aqli. Namun demikian, Dalil Aqli tidak berlaku secara
Syar’i kecuali jika bersandar kepada Dalil Naqli, sebagaimana ditegaskan Al-
Imam Asy-Syatibhi rhm. Artinya, apa pun bentuk dan jenis Dalil Aqli tidak boleh
berlawanan dengan Dalil Naqli, kerana Dalil Naqli jika difahami secara benar
tidak akan pernah bertentangan dengan akal yang sehat.

Allah SWT sebagai Pencipta segala sesuatu tentu menjadi pihak yang paling tahu
dan mengerti tentang apa sahaja menyangkut semua ciptaan-Nya. Sehingga Dia
pulalah yang menjadi pihak yang paling tahu dan paling mengerti tentang aturan
yang bagaimana yang sesuai bagi semua ciptaan-Nya. Kerananya, menjadi
kewajiban para makhluq (ciptaan) untuk mengikuti aturan yang dibuat Sang
Khaliq (Pencipta), agar selamat kehidupannya di dunia mahupun akhirat.
Berkaitan hal ini, maka analogi yang boleh diambil adalah : Jika sebuah
perusahaan elektronik menciptakan suatu produk, maka perusahaan itulah yang
paling tahu dan paling mengerti tentang segala sesuatu berkaitan produknya, baik
kelebihan mahupun kekurangannya. Sehingga perusahaan itu pulalah yang paling
tahu dan paling mengerti tentang aturan pakai, perawatan, penggantian dan
lainnya berkaitan produk ciptaannya tadi. Maka jika ingin produk tersebut
berfungsi dengan baik dan menghasilkan kerja yang memuaskan serta terpelihara
dari kerusakan, maka ikuti aturan yang dibuat oleh sang pencipta produk tersebut,
seperti yang tertulis dalam buku petunjuk pemakaian dan pemeliharaan yang
dikeluarkan perusahaan yang bersangkutan.
3.KAJIAN TENTANG PERAN ISLAM MEMBENTUK IDENTITAS
NASIONAL INDONESIA PANCASILA DENGAN PIAGAM JAKARTA

Bila kita berbicara dalam konteks sejarah, seorang ahli politik, George McT
Kahin, mengatakan bahwa sebetulnya yang membentuk nasionalisme Indonesia
itu adalah Islam. Karena Islam mayoritas dan menyebar di begitu banyak pulau di
seluruh indonesia.

Indonesia sering dikatakan bukan sebagai suatu bangsa, tapi sebagai kumpulan
bangsa-bangsa. Baik itu Jawa, Sunda dan lain-lain. Mereka berbeda-beda. Tapi
karena disatukan oleh kitab, lalu mereka membangun bangsa Indonesia. Jadi
kontribusi pertama Islam adalah membangun kebangsaan. Orang Indonesia yang
beragama Islam, yang terdapat di berbagai daerah bersama-sama membangun
suatu bangsa. Islam lah yang mempersatukan mereka.

Dan kontribusi kedua adalah bahwa Islam membantu kita membentuk


nasionalisme kebangsaan. Tentu saja karena Islam itu mayoritas, maka dia
memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan NKRI. Sampai Bung
Karno pendiri bangsa ini berkata, “Kalau kau gali hatiku ini lebih dalam, maka
kau temukan di dalamnya itu Islam”. Para pejuang kemerdekaan juga mayoritas
orang Islam.

Dan sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sewaktu pembentukan UUD 45


menyusul setelah Piagam Jakarta, kaum muslimin bersedia dalam tanda petik
“mengorbankan” kalimat ‘kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para
pemeluknya.’ Itu demi menjaga persatuan. Sehingga dalam pembukaan UUD 45
tidak lagi disebut dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam. Jadi masalah
Syariat Islam, sesungguhnya sudah diselesaikan waktu itu, demi NKRI.

Dalam pidato Pancasilanya, Bung Karno berkata semua orang Islam dalam NKRI
itu bisa berjuang mati-matian secara demokratis untuk memperjuangkan haknya.
Tapi kelompok-kelompok yang lain juga bisa berjuang secara demokratis.
Pertandingannya itu dalam pemilu. Entah kenapa, belakangan pertandingan itu
bergeser, tidak lagi dalam pemilu. Tapi dalam kehidupan sehari-hari. Saya lihat
ini terjadi pasca Soeharto (Orde Baru). Karena di zaman Soeharto, orang-orang
yang menyentuh masalah agama itu dianggap SARA. Akan segera ditindak oleh
Soeharto kalau menyerempet SARA.

Setelah itu, Soeharto digantikan oleh Habibie dan Gus Dur. Sampai zaman Gus
Dur kita masih menghargai Ke-Bhineka-Tunggal-Ika-an negeri ini, walaupun
mulai muncul kebangkitan kaum muslimin. Orang-orang Islam sekarang
membentuk partai. Banyak parpol yang mengatasnamakan Islam, mereka
bertanding juga dalam pemilu dan sebagian akhirnya memperoleh suara yang
bagus. Dalam situasi seperti itu, sering sekali isu-isu agama itu disentuh, menurut
saya karena kepentingan politik. Ada kepentingan politik tertentu, sehingga
mereka membangkitkan semangat keagamaan yang khusus.

Dan belakangan ini mulai muncul tindakan-tindakan intoleran. Bukan saja antar
agama, orang Islam dengan agama lain, tetapi juga sesama Islam. Seperti yang
terjadi dalam penyerangan Ahmadiyah dan Syiah. Kami selalu bertanya ada apa
di balik konflik-konflik sosial itu?

Dengan semakin banyak orang-orang Islam terjun di dunia politik, Islam Politik
menjadi hidup kembali. Islam Politik itu dulu di zaman Soeharto di-asas-tunggal-
kan. Tapi pasca reformasi, khususnya setelah SBY naik, kepentingan-kepentingan
politik, kelompok-kelompok agama itu mulai menguat kembali. Dan sekarang
simbol-simbol keagamaan dijadikan alat untuk merekrut para pemilih.

Partai-partai politik itu memang biasanya berjuang karena ideologi. Karena


Islamnya banyak, partai-partai Islam itu mesti punya identitas. Islam yang mana.
Tapi tidak satupun parpol Islam yang mampu merumuskan ideologi. Sekarang
Islam tidak lagi dijadikan ideologi. Mereka kemudian menggunakan Islam sebagai
identitas golongan. Jadi politik identitas. Karena politik identitas, mesti kita
bedakan diri kita dari orang-orang yang non-muslim. Jadi untuk memperkuat
identitas politik.

Secara historis kita adalah contoh bangsa yang sangat toleran. Begitu tolerannya
sampai ada yang menduga bahwa orang Indonesia itu sinkretis. Jadi dia bisa
menghimpun unsur-unsur dari berbagai peradaban. Tapi sekarang kita berada
pada posisi yang mengkhawatirkan. Dulu bangsa yang damai, kok sekarang jadi
galak-galak. Ada seorang penulis Amerika yang meninjau Islam di Indonesia
menulis buku tentang “orang beriman yang pemarah”, itu gelar yang diberikan si
penulis. Kemudian muncul isu terorisme, yang boleh jadi itu isu yang
dibangkitkan untuk menimbulkan kebencian terhadap Islam dari dunia.

Nah aksi terorisme itu kemudian dimuat oleh banyak media. Karena beritanya
buruk, seksi, maka lakulah di media. Sementara berita-berita yang tidak seksi,
seperti ada gerakan sosial di kalangan kaum muslimin sekarang ini, ada yang
namanya sedekah rombongan, tidak banyak ditulis media. Ada beberapa orang
pengusaha kecil bersama-sama memberikan bantuan kepada masyarakat miskin
yang tidak mamu membayar pengobatan di rumah sakit, tidak pernah masuk
berita. Tapi kalau masjid disegel, Gereja Yasmin, tempat ibadah ditutup, orang-
orang Syiah diserang, itu ramai diberitakan.

Ada tiga gejala menarik yang muncul pasca reformasi. Salah satunya adalah
munculnya kelompok-kelompok kecil yang ekstrim. Kelompok ini muncul karena
organisasi transnasional. Sebetulnya mereka tidak bisa dipisahkan dari apa yang
terjadi di dunia Islam. Terus ada gerakan yang secara alamiah biasa disebut
gerakan pengkafiran. Ada macam-macam bentuknya. Yang berbeda pendapat
dengan mereka disebut kafir. Yang disebut kafir bukan hanya orang-orang non-
muslim, tapi juga orang muslim yang fahamnya tidak sama dengan mereka.
Untungnya bangsa kita masih memiliki sikap toleransi. Kita tidak terlalu
terpengaruh dengan gerakan-gerakan yang intoleran. Di Indonesia mereka hanya
kelompok kecil. Tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap bangsa kita.

Menurut kami pemerintah harus bertindak tegas atas sikap-sikap intoleran. Kita
Insyaallahakan menikmati Indonesia yang damai. Karena pada dasarnya kita
sangat toleran. Kita punya sikap toleran secara genetis dari orang-orang terdahulu.
Sehingga seluruh bangsa bisa hidup berdampingan. Jadi gejala sekarang ini hanya
gejala temporer saja. Pemerintah harus menghidupkan kembali lembaga dialog
antar umat beragama atau menegakan, membantu lembaga-lembaga yang
memperjuangkan kebebasan beragama. Itu harus dibantu. Di masyarakat sudah
terjadi sekarang ini. Jangan sampai berhadap-hadapan antara pemerintah yang
membiarkan intoleransi dengan masyarakat umum yang membela toleransi umat
beragama.

Sekarang terjadi komodifikasi agama. Artinya agama dijadikan komoditas dan


dijual sebagai barang dagangan melalui media terutama TV. Maka muncullah TV-
TV atas nama agama dan kemudian masyarakat pun berlomba-lomba mempelajari
agama tidak sebagai pedoman hidup dan tidak mendalam. Karena tidak mungkin
media massa menyajikan agama secara mendalam. Kemudian ada ustad dan
ustadzah yang sekaligus menjadi model iklan. Dia bisa menjadi bintang iklan satu
saat dan bisa menjadi penjual sosis di saat yang lain. Sehingga kita sulit
membedakan mana ustad dan selebritas. Dan kadang-kadang kepribadian mereka
itu dikemas begitu saja oleh media.

Kami tidak setuju juga di TV ada acara orang masuk Islam. Itu menimbulkan
gejala tidak sehat. Itu cuma ciri khas di zaman pasca reformasi, semasa Soeharto
tidak ada. Pancasila sangat relevan. Karena Pancasila itu disepakati oleh seluruh
agama. Sama kelompok ekstrim sekalipun, karena saya dulu juga pernah jadi
anggota kelompok ekstrim. Apa dari Pancasila itu yang melanggar atau
bertentangan dengan Islam? Tidak ada. Periksa satu persatu, tidak ada yang
bertentangan dengan ajaran Kristiani, Budha, semua agama sepakat. 
4.DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM, PANCASILA DAN HAM

Pandangan islam terhadap demokrasi

Mulanya, demokrasi lahir di Yunani dan berkembang pesat di Eropa dan bumi
bagian Utara. Sementara Islam terlahir di Arab dan sistem pemerintahan Islam
yang berupa khalifah berkembang pesat di wilayah Selatan. Demokrasi
merupakan produk akal, sedangkan Islam adalah wahyu yang difirmankan Alloh
kepada Rasulullah SAW. Fakta sejarah menjukkan bahwa pemerintahan yang
dijalankan oleh Rasulullah SAW dan Khulafa’ al-Rasyidin tidak menyebutkan
antara berlandaskan pada demokrasi. Pertemuan Islam dan demokrasi merupakan
pertemuan peradaban dan ideologi saja.

Pelaksanaan demokrasi yang sesuai dengan Islam adalah musyawarah (syura),


persetujuan (ijma'), dan penilaian interpretatif yang mandiri (ijtihad). Dalam al
Quran berisi perintah kepada para pemimpin dalam kedudukan apapun untuk
menyelesaikan urusan mereka dengan cara bermusyawarah. Rakyat diberi
kebebasan dalam memberikan saran kepada seorang pemimpin, atau dalam
demokrasi diperbolehkannya rakyat memberikan aspirasi. Hal ini sesuai dengan
ajaran islam yang memperbolehkan seorang rakyat memberikan saran atau nasihat
kepada pemimpinnya.

Islam memberikan kebebasan pada setiap muslim untuk mengutarakan pendapat.


Hal ini juga menjadi ciri utama dalam pemerintahan sistem demokrasi suatu
negara yang memberikan kebebasan pada warga negaranya untuk berpendapat dan
kebebasan pers. Dengan kebebasan berpendapat, tidak terjadi kepemimpinan yang
otoriter dan memaksa rakyat/umat.

Pandangan pancasila terhadap demokrasi

Secara faktual sistem demokrasi telah menggantikan sistem totaliter/otoriter di


banyak tempat, hal ini dapat dilihat dari sejumlah proses demokratisasi yang
dialami oleh sejumlah negara di Eropa Timur, Afrika, Amerika Latin dan Asia.
Perubahan arah politik menuju demokrasi tersebut biasanya diawali dengan krisis
ekonomi yang berlanjut pada runtuhnya rezim otoritarian dan kemudian muncul
gerakan reformasi yang menuntut terbentuknya pemerintah yang demokratis. Jika
dicermati, fenomena tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia ketika
memulai proses demokratisasi pada tahun 1998 (Tadjuddin Noer Effendi, 2003).
Kemajuan pesat demokrasi di banyak negara berkembang (developing countries)
telah memunculkan sebuah harapan tentang kondisi dunia yang lebih baik, dimana
demokrasi tidak hanya dapat meningkatkan kebebasan politik dan hak asasi
manusia, tetapi juga diasumsikan mampu menciptakan pembangunan ekonomi
yang berkeadilan.
Dalam spektrum pengertian yang sempit demokrasi secara sederhana dapat
diartikan sebagai sebuah metode politik atau sebuah mekanisme untuk memilih
pemimpin politik. Dalam konteks ini warga negara diberi kebebasan dan
kesempatan untuk memilih salah satu di antara pemimpin-pemimpin politik yang
berkontestasi dalam meraih suara. Model penentuan pemimpin politik melalui
ajang pemilihan inilah yang dimaksud dengan demokrasi. Sehingga demokrasi
sering kali identik dengan konsep pemerintahan oleh rakyat, karena memang
rakyat terlibat dalam proses pemilihan pemimpin politik tersebut. Keterlibatan
rakyat dalam proses tersebut sangat signifikan karena dapat menentukan nasib dan
kondisi masa depan kehidupan sosial dan ekonomi rakyat.
Bangsa Indonesia memang telah terlanjur memilih demokrasi sebagai sebuah
sistem berpolitik dan bernegara, tepat setelah bangsa ini memproklamirkan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada sila keempat Pancasila yang
berbunyi “Kerakyaktan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan” menjadi dasar pengakuan terhadap kedaulatan
rakyat yang diejawantahkan dalam prinsip-prinsip dasar dan mekanisme
demokrasi. Meskipun demokrasi telah menjadi pilihan oleh para pendiri bangsa,
dalam dinamikanya demokrasi pernah mengalami masa kelam karena nilai dan
prinsip yang terkandung di dalamnya dimarginalkan dalam proses kehidupan
politik dan bernegara oleh rezim penguasa orde baru. Namun kini masa telah
berganti, momentum gerakan reformasi oleh massa berhasil mengembalikan ruh
kedaulatan rakyat sebagai dasar bernegara melalui mekanisme demokrasi, baik di
tingkat nasional maupun di daerah.
Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya menjadi landasan ideologis, tapi juga
merupakan pedoman bagi bangsa ini dalam menjalankan setiap dimensi
kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di bidang politik. Menjalankan
kehidupan politik akan selalu identik dengan persoalan kekuasaan. Kekuasaan
politik yang legitimate adalah kekuasaan yang diperoleh melalui proses yang
demokratis, dimana rakyat terlibat secara langsung dalam proses pemilihan
pemimpin di setiap tingkatan. Pemimpin yang terpilih mempunyai kekuasaan
politik untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam menjalankan proses politik, penguasa akan sampai pada sebuah aktivitas
membuat kebijakan, termasuk kebijakan politik. Kebijakan tersebut pasti memiliki
konsekuensi tertentu yang tidak hanya untuk pemerintah tapi juga berdampak
pada ekonomi dan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, untuk bisa
menghasilkan kebijakan politik yang baik maka kebijakan yang dibuat harus
memuat prinsip/nilai yang terkandung dalam Pancasila. Secara esensial, kebijakan
politik yang diformulasi oleh harus berbentuk kebijakan yang berpihak pada
kepentingan masyarakat Indonesia secara menyeluruh, dan bukan hanya
menguntungkan bagi segelintir orang. Dalam dimensi yang lain, Pancasila juga
harus menjadi landasan setiap kelompok masyarakat dalam melakukan aktivitas
politik, sehingga semua proses dan output politik yang terjadi di Indonesia selalu
memiliki dimensi ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan
sosial.

Pandangan HAM terhadap demokrasi

Demokrasi dalam pengertian sedehanan sering diartikan sebagai dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Dengan demikian aktualitas demokrasi di dalam suatu
Negara sendiri adanya kedaulatan rakyat. Hal ini merupakan semangat dari
terbentuknya suatu Negara yang menginginkan keadilan dan kemakmuran bagi
rakyat.

Praktek bagaimana demokrasi berjalan di Indonesia sangat jelas terlihat melalui


adanya pemilu langsung di Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang terbesar
keempat di Dunia, menjadikan Indonesia sebagai Negara demokrasi terbesar di
Dunia. Dalam prakteknya pula, Negara Indonesia menganut sistem presidential,
namun dalam prakteknya malah sangat dekat dengan sistem Parlementer yang
dibuktikankan dengan dalam tahun 2010-2011 ini sudah hampir banyak hak
angket yang diajukan dalam Legislatif hampir menguasai praktek perpolitikan di
Indonesia dan dianggap mengganggu pemerintahan.

HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang
dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. Sehingga
pada dasarnya HAM asasi manusia pasti ada kalaumanusia yang hisup dalam
kehidupan sosialnya.sama saja dengan melihat hukum itu sendiri dengan
istilah ubi societas ibi ius. Bisa dikatakan bahwa sebenarnya HAM terletak pada
keberadaan manusia yang melahirkan demokrasi yang sebenarnya.

Konsepsi HAM dan demokrasi dapat di lacak secara teologis berupa relativitas
manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang
dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan
merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Manusia yang diciptakan
oleh tuhan sangat mengerti kalau ia adalah mahluk tuhan yang hasrus
menghormati sesama ciptaan tuhan oleh karena itu, dengan sedinrinya demokrasi
akan maju karena refleksi dari kemajuan demokrasi adalah pengakuan dan
peghormatan HAM yang didapat dari memaknai rasa Ketuhanan. Manusia
diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin
derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak
asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang
merupakan karunia Sang Pencipta.

Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan


berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Hal ini menyangkut
kemandirian manusia sebagai mahluk sosial, dimana manusia tidak bisa hidup
sendiri. Jika demokrasi adalah memahami keinginan hakiki manusia, maka
setidaknya ia harus memahami Ham terlebih dahulu. Karena kemajuan demokrasi
dilandasi atas penghormatan hak yang inheren sebagai manusia.

Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia


tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus
bersama-sama. Hal inilah juga yang mengilhami HAM berkaitan erat dengan
demokrasi. Yang dimulai dari sesamaan kepentingan manusia dan kemudian
dibuatkan hukum dan kesepakatan. Kesepakata tersebut pastinya dimualai dari
menghargai diri sendiri sebagai manusia. Dengan menghargai diri sendiri sebagai
manusia setidaknya dapat diwajibkan juga untuk menghargai martabat mausia
lainnya disitulah HAM terbentuk dan kemudian dijadikan dasar memajukan
demokrasi.

Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan


konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang
memerintah adalah hukum, bukan manusia. Jelas bahwa Indonesia adalah Negara
hukum (pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945). Dengan demikian HAM pula harus
diatur degan hukum. Jadi hukum yang digunakan sebagai instrumen dalam
penegakan HAM yang digunakan sebagai ukuran bagaimana demokrasi
dilaksanakan.

Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan
perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan
perasaan keadilan masyarakat. Sesuai dengan konsep HAM yakni penghormatan
sebagai insane manusia, dalam suatu Negara warga Negara adalah individu
manusia yang memiliki hak. Hak itu termasuk hak didengarkan suaranya melalui
DPR. Jadi perasaan keadilan masyarakat didengarkan dan prinsip demokrasi
menjembatani dan sebagai wadah untuk itu.

Jika dikaji sesuai dengan Generasi HAM maka rumusan hak asasi manusia dalam
Undang-Undang Dasar dapat mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:

1. Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan menjadi:

a. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.

b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.

c. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan.


d. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

e. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.

f. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.

g.Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan
pemerintahan.

h. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

i. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan


melalui perkawinan yang sah.

j. Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.

2. Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya

a. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan


pendapatnya secara damai.

B Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga
perwakilan rakyat.

c. Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik.

d. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan
layak bagi kemanusiaan.

e. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan
yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan.

f. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.

g. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.

h.Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan


pengajaran.

i.Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat


lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa.
j. Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional.

k.Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang


diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya.

3. Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan

a. Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok


masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak men-
dapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang
sama.

b. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mencapai kesetaraan gender


dalam kehidupan nasional.

c. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi
reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.

d. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlindungan orangtua,
keluarga, masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkem-
bangan pribadinya.

e. Setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut
menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.

f. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

4. Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia

a. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

b. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada
pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama,
moralitas dan kesusilaan, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat yang
demokratis.

c. Negara bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan


pemenuhan hak-hak asasi manusia.

d. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional


Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pem-
bentukan, susunan dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.

Anda mungkin juga menyukai