Anda di halaman 1dari 11

RESUME BAB IV-VII

KONSTITUSI & HAK ASASI MANUSIA


(Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok
Mata Kuliah Konstitusi dan HAM)

Dosen Pengampu : Dr. Zulkarnain Ridlwan, S.H.,M.H.

Disusun Oleh :
Kelompok 6
1. Danang Sulistiyanto (2012011318)
2. Erviana (201201121)
3. Citra Rahmayanti (2012011064)
4. Sabina Siti Zahrani (2012011061)
5. Marentino Narade (2012011337)

PRODI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2021
BAB IV

MATERI MUATAN KONSTITUSI

a. Pembukaan

Sebagai sumber utama dari Hukum Tata Negara yang mendasari


keberadaan suatu undang-undang dan pelaksanaan ketatanegaraan dalam
suatu negara, pembukaan konstitusi memuat dasar berdirinya Negara yang
bersangkutan. Oleh karenanya, pembukaan dalam suatu konstitusi juga
memuat terkait filasaf hukum yang dianut oleh Negara itu mengingat sifat
konstitusi yang menjadi hukum dasar. Menurut Liav Orgad, definisi
pembukaan konstitusi dibedakan menjadi dua, yaitu terminologi formal dan
substantif. Pada terminologi formal, pembukaan adalah suatu langkah
untuk mengetahui konstitusi yang pada umumnya ditandai dengan kata
“pembukaan” atau bisa juga ditandai dengan alternatif lain. Sedangkan
menurut terminology substansif, pembuakaan memuat sejarah terkait
perumusan dan pembentukan konstitusi, prinsip dan nilai yang
fundamental. Menurut Liav Orgad materi muatan pembukaan dapat
dibedakanmenjadi 5 kategori yaitu:

1. Kedaulatan
2. Sejarah
3. Tujuan dan Cita Bangsa
4. Identittas Nasional
5. Agama atau Ketuhanan

Menurut Masdar Farid Mas’udi pembukaan pada setiap konstitusi berisi


pernyataan yang ringkat dan singkat yang di dalamnya memuat visi, misi,
dan nilai-nilai mendasar yang hendak diwujudkan bersama. Apabila
dikaitkan dengan Negara Indonesia, Augustinus Simanjutak menyebutkan
bahwa Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 adalah elemen penting dari UUD
NRI Tahun 1945. Hal ini dikarenakan, pada pembukaan termuat Pancasila
yang menjadi (staatsfundamental norm). Selain itu, pembukaan juga dapat
dikatakan memiliki nilai yang sangat penting karena pembukaan berisi cita
hukum dan cita bangsa.
b. Isi Konstitusi

Menurut Mr. J.G. Steenbeek konstitusi memuat 3 (tiga) hal pokok,


diantaranya:

a) Adanya jaminan atas HAM dan hak warga negaranya;


b) Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental;
c) Adanya pembagian tugas dan ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental.

Sedangkan menurut C.F Strong terdapat nilai dasar yang dicantumkan


dalam konstitusi untuk mendapatkan perlindungan Negara. 3 (tiga) nilai
dasar yang dimaksud yaitu:

a) Kekuasaan yang memerintah;


b) hak-hak yang diperintah;
c) hubungan antara penguasa dan rakyat.

Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Carl J. Friederich,


selain hak asasi manusia, nilai dasar yang harus termuat dalam UUD NRI
Tahun 1945 adalah ketentuan terkait adanya pembagian kekuasaan
Negara. Dalam hal ini, tidak berarti konstitusi hanya sekedar dokumen yang
mencakup pembagian kekuasaan Negara antara cabang kekuasaaan
legislatif, yudikatif dan eksekutif serta menjelaskan keterkaitan antara
cabang kekuasaan itu sendiri. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa
konstitusi bukan sekadar alat Negara yang dimaksudkan untuk memenuhi
dan melindungi hak asasi manusia, melainka juga dapat menjadi media
bagai rakyat untuk dapat mengontrol Negara dalam menjamin penegakan
dan perlindungan bagai hak asasi manusia.
BAB V
PERUBAHAN KONSTITUSI

a. Pengertian

Perubahan konstitusi pembahasan yang penting dalam mempelajari teori


dan dasar konstitusi. Hasil hasil yang di peroleh dalam perubahan
tersebut akan menjadi perubahan besar dalam sumber hukum negara
dan kaidah fundamental, sehingga banyak negara yang mempersulit
syarat dari perubahan konstitusi tersebut. Terdapat empat sasaran
mengapa perubahan konstitusi di persulit yaitu :

1. Agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang


matang, tidak secara serampangan dan dengan sadar.
2. Agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan
pandangannya sebelum perubahan dilakukan.
3. Khusus untuk negara federasi, agar kekuasaan federal dan
kekuasaan negara-negara bagian tidak diubah semata-mata oleh
perbuatan masing-masing pihak secara tersendiri.
4. Agar hak-hak perseorangan atau kelompok seperti kelompok
minoritas agama dan kebudayaannya mendapat jaminan.

Sementara itu ada peristiwa peristiwa yang dapat memaksa terjadinya


perubahan dalam konstitusi secara informal yaitu melalui social force
adalah revolusi, coup detat, putsch, convention.

b. Mekanisme Perubahan Konstitusi

Terdapat beberapa Perubahan Konstitusi menurut para ahli, salah


satunya menurut KC Whearel sebagai berikut :
1. Beberapa kekuatan yang bersifat primer (some primary sources),
2. Perubahan yang diatur dalam konstitusi (formal amandement),
3. Penafsiran secara hukum (judicial interpretation),
4. Kebiasaan yang terdapat dalam bidang ketatanegaraan (usage and
convention).

Menurut K.C. Wheare, terdapat kekuatan-kekuatan yang mampu


menimbulkan perubahan konstitusi itu sendiri, yaitu: pertama,
kekuatan yang dapat menciptakan berubahnya kondisi di suatu negara.
Kekuatan tersebut mampu menciptakan kondisi yang dapat merubah
makna atau kestabilan supremasi konstitusi, meskipun tidak merubah
kalimat-kalimat secara eksplisit. Kedua, kekuatan yang mampu
menciptakan kondisi sehingga terlaksananya perubahan konstitusi
secara formal, melalui interpretasi hakim dan melalui konvensi atau
kebiasaan ketatanegaraan. Contoh lainnya yaitu, dalam kondisi perang
berkecamuk mendorong negara federal cenderung menjadi negara
kesatuan. Hal itu menurut Wheare bukan dikarenakan berubahnya
ketentuan dalam konstitusi, melainkan kondisi tersebut menyebabkan
pemerintah mengabaikan konstitusi demi kepentingan yang lebih tinggi
yaitu perlindungan negara.

Sementara itu, menurut CF Strong mengemukakan beberapa cara


perubahan konstitusi yang hampir senada dengan Miriam Budiardjo
yaitu :

1 by the ordinary legislature but under certain restrictions, perubahan


melalui lembaga legislatif biasa tetapi melalui aturan-aturan tertentu,
misalnya oleh Indonesia;
2 by the people through a referendum, perubahan konstitusi yang
dilakukan dengan persetujuan rakyat (referendum) melalui
pemungutan suara, terjadi misalnya pada masa peralihan republik
keempat Prancis menuju konstitusi republik kelima di bawah
pimpinan Jender al Charles de Gaulle;
3 by a majority for all units of a federal state, sistem yang menentukan
perubahan konstitusinya melalui suara-suara pada negara-negara
bagian pada sebuah negara federal, terjadi misalnya pada Amerika
Serikat;
4 by special convention, konvensi yang dimaksudkan dalam bagian ini
bukanlah sebuah kebiasaan (convention) ketatanegaraan, melainkan
adalah sebuah lembaga khusus (special convention).

Berkenaan dengan prosedur perubahan konstitusi, terdapat tiga tradisi


konstitusionalisme yang berbeda di dunia, yaitu :

1 Pertama, kelompok negara yang mempunyai kebiasaan mengubah


materi UUD dengan langsung memasukkan materi perubahan itu ke
dalam naskah UUD. Misalnya, Republik Perancis, Jerman, Belanda,
dan sebagainya.
2 Kedua, kelompok negara-negara yang mempunyai kebiasaan
mengadakan penggantian naskah UUD. Pada umumnya, dilakukan
oleh negara-negara yang sistem politiknya belum mapan. Sistem
demokrasi yang dibangun masih bersifat jatuh bangun dan masih
bersifat 'trial and error. Negara-negara miskin dan yang sedang
berkembang di Asia dan Afrika, banyak yang dapat dikategorikan
masih berada dalam kondisi demikian ini.
3 Secara khusus tradisi ini dikembangkan oleh Amerika Serikat, yaitu
perubahan konstitusi melalui naskah yang terpisah dari teks aslinya,
yang disebut sebagai amandemen pertama, kedua, ketiga, keempat,
dan seterusnya. Dengan demikian, naskah asli UUD tetap utuh,
tetapi kebutuhan akan perubahan hukum dasar dapat dipenuhi
melalui naskah tersendiri yang dijadikan adendum tambahan
terhadap naskah asli tersebut.
BAB VI
PENGUJIAN KONSTITUSI

a. Definisi Pengujian Konstitusional


Hak menguji ( toetsingrecht ), constitutional review, dan judicial review kerap
kali disamakan, terkadang constitutional review dengan judicial review
sering kali tumpang tindih. Padahal dalam maknanya memiliki arti yang
berbeda dan dari sistem yang berbeda. Perbedaan dari ketiganya dapat
diuraikan dari tradisi hukum civil law dan common law yang memiliki
karakter dalam peradilan konstitusi yang berbeda.

Toetsingrecht, dalam hal dan konteks pengujian undang-undang, yaitu hak


atau kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan. Hak
tersebut terbatas pada parlemen yang membuat peraturan perundang-
undangan. Pada konteks ini, mahkamah konstitusi atau peradilan tidak
dapat melakukkan pengujian terhadap undang-undang yang dibuat oleh
parlemen tersebut.
Constitutional Review, pengujiaannya memiliki ranah yang lebih sempit,
pengujian dalam Constitutional Review konstitusionalitas undang-undang
nya hanya terhadap konstitusi. Pengujiannya pun dapat dilakukkan oleh
hakim ataupun lembaga siapapun, sesuai konstitusi yang dianut.
berbeda dengan Constitutional Reciew, judicial Review memiliki ranah yang
cukup luas. bersumber dari tradisi common law yang kekuasaannya
diberikan pada peradilan umum untuk menguji peraturan perundang-
undangan terhadap konstitusi. Hak ataupun kewenangannya dalam
melakukan pengujian, judicial review dapat diberikan oleh hakim diberbagai
tingkatan ataupun secara terpusat oleh Mahkamah Agung serta Mahkamah
Konstitusi.
Dengan demikian mengenai toetsingrecht, constitutional review, dan judicial
review tidaklah tepat untuk menyamakannya, ketiganya merupakan istilah
yang berbeda,baik dari makna dan sistemnya. Untuk sistem di Indonesia
penggunaan yang lebih teppat artinya pengujian konstitusional.
b. Legitimasi Pengujian Konstitusional
Dalam perkembangannya pengujian konstitusional mendapat desakan dari
pengusung counter majoritarian difficulty, yakni hakim-hakim peradilan
yang tidak dipilih langsung oleh rakyat membatalkan legislasi yang
dibentuk oleh perwakilan yang dipilih oleh rakyat. Ini berarti hakim yang
dimaksud ialah tidak dapat diamanatkan untuk mendapatkan hak dan
kewenangan dalam penafsiran dan pengujian sesuai dengan kemauan
rakyat.
Dengan demikian Jurgen Habermas pendapat pro terhadap constitutional
court menyatakan bahwa constitutional court tidak bernegasi dengan
demokrasi karena constitutional court melindungi prinsip demokrasi dari
pemerintahan melalui perlindungan dari proses demokrasi itu sendiri atau
memastikan bahwa suatu keputusan dirumuskan berdasarkan hukum.

Oleh karena itu legitimasi dari constitutional review dalam kerangka


demokrasi tidaklah hanya dengan berfokus pada demokrasi prosedural yang
merupakan landasan demokrasi, tetapi perlu juga dilihat dari nilai
substansifnya seperti apa.
Beberapa negara yang melakukkan penelitian telah menunjukkan bahwa
legitimasi constitutional court didapatkan melalui tahapan yang tidak
mudah dan memerlukan proses yang sangat lama. Legitimasi constitutional
court dapat dipercepat prosesnya apabila ada strategi kehumasan mengenai
peranan constitutional court dan alasan-alasan putusan. Kegiatan inilah
yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi RI yaitu dengan melaksanakan
sosialisasi mengenai perannya dalam kekuasaan kehakiman maupun juga
transparansi dan publikasi mengenai putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi.

c. Tipologi Constitutional review dan Judicial Review


Dibawah ini beberapa tipe pengujian konstitusional atau constitutional
review yang dapat diklasifikasikan, antara lain:
1. Preventif dan Refresif, Pengujian undang-undang preventif adalah
sebelum objek pengujian disahkan perlu dilakukkan pengujian undang-
undang. Sebagaimana yang telah dilakukkan oleh Perancis melalui
conseil constinutionnel. Sistem preventif diterapkan oleh Portugal,
Hongaria, dan Rumania. Lain halnya dengan preventif, resensif hanya
mengizinkan pelaksanaan pengujian undang-undang dilakukkan
setelah undang- undang mengalami pengesahan. Sistem ini telah
dipraktikkan oleh Jerman dan Indonesia.
2. Concrete review dan Abstract Review
Undang-undang nya tidak diuji dalam pengertian abstract akan tetapi
dilihat akibat langsung keberlakukan undang-undang secara konkrit,
putusan pengadilan, dan tindakan administratif dalam peristiwa konkrit.
Di sisi lain, Abstract review yaitu tipe pengujian konstitusional yang
produk hukumnya ditentukan tanpa harus memperhatikan persoalan
konkret tertentu.
3. Decentralized dan Centralized
Hal dasar yang menjadi perbedaan antara tradisi sentralistik dan
tradisi desentralistik ini sebenarnya refleksi perbedaan latar belakang
sejarah ketatanegaraan dan pengalaman politik yang dialami negara-
negara dengan tradisi hukum Anglo Saxon (common law). Dikatakan
desentralistik(model Amerika) atau terpencar karena dalam pelaksanaan
peradilan kewenangannya diberikan kepada hakim reguler. Dalam hal
ini hakim tak hanya meyelidiki suatu undang-undang yang bertentangan
tetapi juga menyelidiki adakah tindakan-tindakan dari instansi
administrasi negara yang bertentangan dengan konstitusi. Model
sentralistik kewenangan dan fungsi dalam pengujian UU diserahkan
pada organ khusus diluar peradilan reguler.
BAB VII
PENAFSIRAN KONSTITUSI

a. Pengertian Penafsiran Konstitusi

Penafsiran Konstitusi adalah pendafsiran mengenai hal yang berkaitan


dengan ketentian-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar.
Mengenai ukuran yang jelas dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Jimly Asshiddiqie, penafsiran merupakan kegiatan yang sangat
penting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupakan salah satu
metode untuk memahami makna yang terkandung dalam teks-teks hukum
untuk digunakan dalam langkah penyelesaian setiap kasus atau sarana
untuk mengambil sebuah keputusan atas sebuah hal yang dihadapi secara
konkrit. Juga di dalam Hukum Tata Negara hal penafsiran ini juga dapat
berfungsi untuk memunculkan metode perubahan sebuah konstitusi dalam
arti menambah, mengurangi, atau memperbaiki makna dalam teks undang-
undang.

b. Kutub Tradisi Penafsiran Konstitusi

Selanjutnya adapula kutub yang berbeda dalam hal penafsiran sebuah


konstitusi. Dalam hal penafsiran konstitutusi hal yang penting untuk
dipahami dan diketahui adalah tentang metode seperti apa yang tepat
untuk melakukan penafsiran terhadap sebuah konstitusi. Erwin
Chemerinsky memiliki pendapat bahwa jawabannya adalah tergantung dari
suatu pemaknaan dari sebuah konstitusi dalam melayani dua tujuan dasar
yaitu, menjaga nilai fundamental dan pemersatu bangsa. Beliau juga
menambahkan pernyataan yaitu tujuan-tujuan dari sebuah konstitusi itu
sendiri dapat dicapai hanya jika sebuah konstitusi berkembang melalui
sebuah interpretasi. Jika konstitusi berkembang malalui sebuah
interpretasi hukum maka maksud atau artian yang terinterpretasi adalah
hakim akan memberikan makna pada sebuah teks konstitusi. Dengan
demikian, penafsiran dari sebuah konstitusi merupakan sebuah proses
yang penting untuk mencapai tujuan dai konstitusi dalam sebuah konteks
tertentu.
c. Moral Reading

Peningkatan Kualitas dari adanya sebuah konstitusionalisme yang


utamanya terjadi pada setiap putusan konstitusi yang dapat ditingkatkan
melalui adanya “fussion of Constitutional law and moral theory”. Teori
ini dikemukakan oleh Ronal Dworkin, lalu teori ini dikenal dengan istilah
reading of constitution. Teks konstitusi yang dibagikan oleh Dworkin
memberikanlandasan bagi setiap prinsip kesamaan dan kebebasan, hakim
yang menafsirkan konstitusi harus menerapkan setiap prinsipnya dengan
memberikan penafsiran yang sebaik mungkin dengan menambahkan moral.
Sesuai dengan kedudukannya konstitusi tidak cukup ditafsirkan secara
umum saja tetapi juga harus secara menyeluruh dan juga masuk kepada
poin-poin penting dalam penafsirannya. Menurut Dworkin pula hakim tidak
dapat secara bebas menggunakan diskresi ketika memutus sebuah
permasalahan hukum tertentu yang terjadi dalam persidangan, serta ketika
memutus permasalahan hukum hukum tertentu yang tidak memiliki
landasan hukum yang jelas dalam berjalannya sebuah hukum.

Anda mungkin juga menyukai