Anda di halaman 1dari 6

BAB 9 KONTRAK JOINT VENTURE

1. Istilah dan Pengertian Kontrak Joint Venture


Istilah kontrak patungan merupakan terjemahan dari kata joint venture contract
atau joint venture agreement. Di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang
Usaha Kecil, disebut dengan istilah perjanjian kemitraan. Hakikat perjanjian kemitraan
adalah kerjasama antara pengusaha kecil dengan pengusaha menengah dan besar.
Kerjasama ini menyangkut tentang permodalan maupun skill.
Para ahli mencoba mengemukakan berbagai pandangannya tentang
pengertian dan hakikat dari kontrak joint venture
- Peter Mahmud mengemukakan bahwa kontrak joint venture adalah ”suatu kontrak
antara dua perusahaan untuk membentuk suatu perusahaan joint venture.” ( Peter
Mahmud, 2000:10)
- Erman Rajagukguk dkk. mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan joint
venture agreement adalah “ suatu kerja sama antara pemilik modal asing dengan
pemilik modal nasional berdasarkan suatu perjanjian (kontraktual)” (Erman
Rajagukuguk, dkk: 1995:200)

Inti dari kedua definisi tersebut adalah bahwa kontrak joint venture merupakan
1. kerjasama antara pemodal asing dan nasional
2. membentuk perusahaan baru, antara pengusaha asing dengan pengusaha
nasional;
3. didasarkan pada kontraktual

2. Pengaturan Kontrak Joint Venture


Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kontrak joint venture antara
lain:
1. Pasal 23 UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
2. PP Nomor 17 tahun 1992 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1993 tentang
Pemilikan Saham Perusahaan Penanaman Modal Asing
3. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam
Perusahaan yang didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing
4. Surat Keputusan Menteri Negara Penggerak dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi
Penanaman Modal Nomor: 15/SK/1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pemilikan
Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing

3. Jenis-Jenis Kontrak Joint Venture

Kontrak joint venture dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:


1. Joint venture domestic, terjadi antara perusahaan domestic, yaitu perusahaan yang
terdapat di dalam negeri
2. Joint venture internasional, apabila salah satu dari perusahaan itu adalah perusahaan
asing

4. Manfaat Kontark Joint Venture


Manfaat Kontrak joint venture antara lain:
1. Pembatasan risiko
Melaksanakan suatu kegiatan yang penuh risiko dapat menimbulkan suatu kerja sam.
Dengan bersatu, risiko dapat disebar kepada peserta-peserta
2. Pembiayaan
Dengan kerjasama, usaha mendayagunakan modal dapat dilakukan dengan
sederhana dengan menyatukan modal yang dibutuhkan.
3. Menghemat tenaga
Jika dilihat dari kekuatan tenaga kerja yang dibutuhkan bahwa dengan penanganan
yang disatukan, akan mengurangi personalia yang dibutuhkan disbanding dengan
kegiatan yang dilakukan sendii oleh setiap perusahaan.
4. Rentabilitas
Dapat memperbaiki rentabilitas dari investasi-investasi
5. Kemungkinan optimasi know-know
Mampu menyatukan patner-patner yang tidak sejenis baik dalam negara atau luar
negara
6. Kemungkinan pembatasan kongkurensi (saling ketergantungan)

5. Tahapan Dalam Pembuatan Kontrak Joint Venture


Raaysmaker mengemukakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam menjajaki
kerja sama joint venture, yaitu:
1. masing-masing pihak dibutuhkan sikap meneliti atau mengenal kondisi dari patner
yang diajak kerja sama
2. bahwa untuk memperoleh tujuan yang dapat berlangsung dalam tenggang waktu
yang lama, masing-masing pihak harus memikirkan pengetahuan atau know-how
dalam berbagai bidang.
Peter Mahmud juga mengemukakan ada 10 hal yang harus diperhatikan oleh para
pihak sebelum kontrak joint venture ditandatangani, antara lain:
1. jangka waktu perusahaan joint venture
2. permodalan
3. alokasi saham
4. berakhirnya kontrak
5. kepengurusan perusahaan joint venture
6. distribusi keuangan
7. risiko
8. pengelolaan perusahaan sehari-hari
9. adanya pihak pengganti apabila salah satu pihak keluar dari perusahaan joint
venture
10. nonkompetisi dengan salah satu perusahaan joint venture tersebut
6. Bentuk dan Substansi Kontrak Joint Venture
Raaysmaker mengemukakan unsur-unsur pokok yang perlu dimuat dalam kontrak
joint venture, sebagaimana dikemukakan berikut ini:
1. Uraian tentang pihak-pihak di dalam kontrak
2. Pertimbangan atau Konsiderans
3. Uraian tentang tujuan
4. Waktu
5. Ketentuan-ketentuan perselisihan
6. Organisasi dari kerjasama
7. Pembiayaan
8. Dasar penilaian
9. Hubungan Khusus antara Patner dan Perusahaan joint venture
10. Peralihan saham
11. Bentuk hukum dan Pilihan Hukum
12. Pemasukan oleh patner
7. Para Pihak dan Objek Dalam Kontrak Joint Venture
Para pihak yang terkait dalam kontrak ini adalah perusahaan Penanaman
Modal Asing dengan WNI dan atau badan hukum Indonesi. Badan Hukum Indonesia
terdiri dari BUMN, BUMD, Koperasi, Perusahaan PMA, Perusahaan PMDN,
Perusahaan Non-PMA/PMDN
Objek dari kontrak ini adalah adanya kerja sama patungan antara Perusahaan
PMA dengan WNI atau dan badan hukum Indonesia terkait kepemilikan saham atau
modal yang disetor
8. Jangka Waktu Kontrak Joint Venture
Jangka waktu kontrak ini ditentukan oeh para pihak yang dituangkan dalam kontrak
joint venture. Berdasarkan hasil kajian terhadap berbagai kontrak joint venture yang
dibuat oleh para pihak maka jangka waktu yang ditentukan adalah selama 20 tahun
dan dapat diperpanjang. Akan tetapi dalam Peraturan pemerintah Nomor 20 Tahun
1994 ditentukan bahwa perusahaan yang diidrikan dalam waktu 30 (tiga puluh) tahun
terhitung sejak perusahaan berproduksi komersial.

9. Penyelesaian Sengketa
Hukum yang digunakan dalam kontrak ini adalah hukum Indonesia. Ini berarti bahwa
hukum yang berlaku dalam pembentukan PT Joint venture adalah menggunakan
Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Sedangkan
penyelesaian yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak, maka harus tunduk pada
ketentuan International Chambers of Commerce (ICC).

Prosedur yang harus ditempuh oleh para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa
melalui lembaga arbitrase ICC antara lain:
1. Pengajuan permintaan
2. Sekretariat
3. Jawaban Tergugat
4. Counterclaim
5. Pemeriksaan
6. Keputusan

Kepailitan joint venture


Kepailitan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan berdasarkan Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 kepailitan diartikan sebagai “sita
umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini”. Perusahaan dinyatakan pailit/bankrut apabila dalam
jangka waktu tertentu tidak bisa melakukan pembayaran pokok dan/atau bunganya.13
Istilah tidak bisa membayar atau berhenti membayar tidak mutlak harus diartikan
debitur sama sekali berhenti membayar utang-utangnya. Tetapi debitur dapat
dikatakan dalam keadaan berhenti membayar, apabila ketika diajukan permohonan
pailit ke Pengadilan, debitu berada dalam keadaan tidak dapat membayar
utangnya14. Kepailitan merupakan realisasi dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH
Perdata15, hal tersebut merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas
creditorium dan prinsip pari passu pro parte dalam rezim hukum harta kekayaan
(vermegonsrechts). Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap debitur dapat dilihat pada pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, antara
lain :16 “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya” Syarat- syarat permohonan pailit
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. syarat adanya dua atau lebih kreditor;
2. syarat harus adanya utang;
3. syarat cukup satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih;
4. syarat pemohon pailit

2.2 Kepailitan Joint Operation sebagai Badan Usaha Tidak Berbadan Hukum

Status hukum Joint Operation sebagai badan usaha berbentuk Persekutuan perdata
secara umum dan berbentuk Firma secara khusus memberikan titik terang pada
persoalan tanggung jawab para peserta Joint Operation terhadap utang yang tidak
terbayar dalam Joint Operation tersebut. Terhadap utang-utang tidak terbayar
tersebut, para peserta Joint Operation yang merupakan para sekutunya yang
bertanggung jawab secara tanggung renteng hingga pribadi untuk keseluruhan. Jika
pada utang-utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut terdapat dua atau
lebih kreditor sebagai pemilik piutang-piutang tersebut, maka kreditor-kreditor tersebut
dapat mengajukan permohonan pailit. Persoalan kembali muncul terkait dengan siapa
saja pihak dalam Joint Operation yang dapat diajukan sebagai debitor pailit.
Dikarenakan Joint Operation yang hanya sebagai badan usaha tidak berbadan hukum
tidak dapat disebut sebagai subyek hukum. Pengertian mengenai debitor diatur dalam
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang mengatur bahwa : “Debitor adalah
orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau karena undang undang yang
pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan” Diatur lebih lanjut dalam Pasal 1
angka 11 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu: “setiap orang adalah orang perseorangan atau
korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan
badan hukum dalam likuidasi”

Anda mungkin juga menyukai