Anda di halaman 1dari 12

Menganalisis Perjanjian Bernama (Nominat) & Tak Bernama (Inominat)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perjanjian Pembiayaan Konsumen mencerminkan kompleksitas dan
ketidakjelasan dalam pengaturannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di
Indonesia. Meskipun Perjanjian Pembiayaan Konsumen dianggap sebagai suatu
perjanjian inominat, keberadaannya tetap tunduk pada ketentuan umum tentang
perjanjian. Penyelidikan ini menjadi semakin penting mengingat Perjanjian Pembiayaan
Konsumen merupakan jenis perjanjian baru dalam praktik di Indonesia. Perjanjian ini
muncul sebagai respons terhadap perkembangan zaman dan kebutuhan bisnis, dan
meskipun telah menjadi pranata hukum yang diakui oleh masyarakat, belum ada undang-
undang yang secara khusus mengaturnya. Dalam konteks ini, buku III Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang mengadopsi sistem terbuka memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk membuat perjanjian, baik yang diatur secara khusus maupun tidak. Oleh
karena itu, Perjanjian Pembiayaan Konsumen menjadi semacam kontrak inominat yang
mungkin menghadirkan tantangan dalam penentuan akibat hukumnya (Drs. H. Suhardi,
M.Ag, 2015).
Terlebih lagi, dalam prakteknya, menetapkan hukum yang berlaku dalam
perjanjian campuran seperti Perjanjian Pembiayaan Konsumen bukanlah tugas yang
mudah. Meskipun sering digunakan dalam kegiatan bisnis, seperti pada Perjanjian
Pembiayaan Konsumen kendaraan bermotor, penyelesaiannya seringkali melibatkan
perjanjian tertulis, tanpa penjelasan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, kebebasan berkontrak yang diakui oleh buku III KUHPerdata menjadi
krusial dalam menentukan jenis, pihak yang terlibat, objek, dan format perjanjian,
meskipun demikian, tetap mempertimbangkan batasan undang-undang, kepentingan
umum, moral, dan kepatutan. Dengan demikian, pemahaman yang lebih rinci tentang
akibat hukum dalam konteks Perjanjian Pembiayaan Konsumen menjadi suatu kebutuhan
yang mendesak untuk memastikan kejelasan dan kepastian hukum.
1.2 Landasan Teori
1. Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Nominat)
Dalam praktek pembiayaan konsumen, teori pembiayaan konsumen mengacu
pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 tentang lembaga
pembiayaan. Pembiayaan konsumen diartikan sebagai kegiatan pembiayaan untuk
pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara
angsuran. Tahap-tahap dalam proses pembiayaan konsumen melibatkan berbagai
aspek, mulai dari tahap permohonan hingga pengambilan surat jaminan (Jeinal
Bawarodi, 2014).
Proses dimulai dengan tahap permohonan, di mana konsumen harus memenuhi
syarat-syarat tertentu, seperti memiliki pekerjaan tetap, penghasilan yang memadai,
dan dokumen-dokumen pendukung seperti KTP, NPWP, dan slip gaji. Selanjutnya,
tahap pengecekan dan pemeriksaan lapangan dilakukan untuk memastikan kebenaran
informasi dan keberadaan barang yang akan dibiayai. Customer profile kemudian
dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan, mencakup informasi penting tentang
calon debitur.
Pada tahap selanjutnya, proposal diajukan kepada Kredit Komite, yang kemudian
membuat keputusan apakah permohonan tersebut disetujui atau ditolak. Jika
disetujui, proses pengikatan melibatkan pembuatan perjanjian pembiayaan konsumen
beserta lampiran-lampirannya, seperti jaminan pribadi dan perusahaan. Terakhir,
tahap pemesanan barang dan pembayaran kepada supplier dilakukan setelah
penandatanganan perjanjian. Proses ini melibatkan penagihan dari supplier,
penutupan asuransi, dan pemeriksaan ulang dokumen. Monitoring pembayaran dan
pengambilan surat jaminan menjadi langkah terakhir setelah semua kewajiban
debitur dilunasi.
Dalam pengajuan pembiayaan konsumen, terdapat persyaratan umum seperti usia
pemohon, status pekerjaan, dan kepemilikan rumah. Dokumen perorangan yang
diperlukan meliputi KTP, Kartu Keluarga, slip gaji, bukti kepemilikan rumah, dan
rekening tabungan. Semua tahap tersebut dijelaskan dalam kontrak aplikasi
perjanjian pembiayaan yang mencakup analisa kualitatif dan kuantitatif, perjanjian
pembiayaan konsumen, perjanjian pemberian jaminan fidusia, dan berbagai formulir
dan surat pernyataan lainnya. Ini membentuk dasar teoritis dari praktik pembiayaan
konsumen yang dijelaskan dalam prosedur langkah-demi-langkah.
2. Aturan Perjanjian
Dalam konteks perjanjian, terdapat beberapa teori yang menjadi dasar hukum di
Indonesia. Pertama, konsep perjanjian yang bersifat innominaat, yaitu perjanjian
tanpa nama khusus, diatur dalam Buku III KUH Perdata. Pasal 1319 KUH Perdata
menyatakan bahwa semua perjanjian, baik yang memiliki nama khusus maupun
tidak, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab sebelumnya.
Selanjutnya, Pasal 1338 KUH Perdata memberikan dasar yang signifikan,
menyatakan bahwa "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya." Ini menegaskan bahwa perjanjian
mengikat pihak yang membuatnya, dengan hak dan kewajiban sesuai yang diatur
dalam perjanjian (Drs. H. Suhardi, M.Ag, 2015).
Ketika merujuk pada perjanjian sewa beli, prinsip dasar hukum kontrak
innominaat mengacu pada asas kebebasan berkontrak. Artinya, seseorang dapat
membuat perjanjian di luar ketentuan yang tertulis dalam KUH Perdata, selama
perjanjian tersebut memenuhi syarat sah, mengikuti asas-asas hukum perjanjian, dan
tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan kepatutan. Syarat
sah suatu perjanjian, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, perlu
dipenuhi oleh setiap pihak yang hendak membuat perjanjian, sehingga perjanjian
tersebut dapat dianggap sah dan mengikat.
Dengan demikian, penerapan perjanjian sewa beli dapat dijelaskan sebagai bentuk
kontrak innominaat yang muncul karena asas kebebasan berkontrak. Namun,
kebebasan ini tetap dibatasi oleh undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan
kepatutan. Dalam konteks sewa beli, meskipun belum ada undang-undang yang
mengaturnya secara spesifik, perjanjian ini tetap berlaku jika mematuhi prinsip-
prinsip hukum yang berlaku dan tidak melanggar norma-norma yang telah
ditetapkan.
BAB II

STUDI KASUS

(Putusan Nomor 52/PDT.G/2019 jo. Putusan Nomor 396/PDT/2021/PT DKI)

2.1 Duduk Perkara


Dalam kasus ini, duduk perkaranya melibatkan konflik antara Para Penggugat,
yaitu PT Cantiksindo PT Cosmeticindo Slimming Utama (Penggugat I), PT Cantiksindo
Utama (Penggugat II), PT Hairindo Utama (Penggugat III), yang berkedudukan di
Indonesia, dan Tergugat, Cosmetic Care Asia Limited, sebuah badan hukum yang
berkedudukan di Kepulauan Virgin Britania Raya. Para Penggugat dan Tergugat
sebelumnya terlibat dalam perjanjian waralaba yang melibatkan merek dagang Marie
France Bodyline, Bella, dan Svenson.
Ketegangan muncul setelah perjanjian tertulis atas merek-merek waralaba tersebut
berakhir pada tahun 2014, 2015, dan 2017. Meskipun perjanjian tertulis telah berakhir,
Para Penggugat mengklaim bahwa terdapat perjanjian waralaba tidak tertulis atau lisan
yang tetap mengikat mereka dan Tergugat. Namun, Tergugat membantah keberlakuan
perjanjian lisan tersebut, mengacu pada Pasal 4 ayat (1) PP 42/2007 dan Pasal 1 angka 8
Permendag 71/2019 yang memerlukan perjanjian waralaba tertulis.
Para Penggugat, dalam tuntutannya, menyebutkan bahwa tindakan sepihak
Tergugat untuk memutuskan perjanjian waralaba secara mendadak menyebabkan mereka
tidak dapat mengoperasikan kegiatan waralaba secara maksimal. Sebagai ganti rugi, Para
Penggugat menuntut Tergugat untuk membayar kerugian sejumlah Rp13.130.351.574.
Tergugat, pada gilirannya, mempertanyakan keabsahan perjanjian waralaba secara lisan
dan menyatakan bahwa pemutusan perjanjian dilakukan karena wanprestasi Para
Penggugat. Pyaa ertentangan ini lebih lanjut memuncak dalam perdebatan mengenai
perjanjian term sheet yang sebelumnya ditandatangani pada tahun 2014. Para Penggugat
berpendapat bahwa term sheet tersebut batal demi hukum karena ditulis dalam bahasa
Inggris tanpa terjemahan dalam bahasa Indonesia, melanggar Pasal 31 UU 24/2009 dan
Pasal 26 PP 63/2019. Tergugat, sebaliknya, berargumen bahwa term sheet sah karena
berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Dengan demikian, pokok perkaranya melibatkan perselisihan mengenai
keberlakuan perjanjian waralaba, pemutusan perjanjian, dan validitas term sheet, serta
pertentangan antara asas kebebasan berkontrak dan ketentuan hukum yang mengatur
waralaba di Indonesia. Kasus ini menjadi kompleks karena melibatkan interpretasi
hukum, pembuktian adanya perjanjian lisan, dan pertimbangan antara asas kebebasan
berkontrak dengan ketentuan undang-undang yang mengatur bisnis waralaba di
Indonesia.
BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisis Kasus


Dalam kasus perjanjian waralaba antara Para Penggugat dan Tergugat, muncul
perdebatan seputar keabsahan perjanjian tersebut yang dibuat secara lisan. Meskipun
perjanjian waralaba tidak secara spesifik diatur dalam Buku III KUHPer, namun
dipandang sebagai perjanjian innominat yang sah berdasarkan Pasal 1320 KUHPer,
mengingat asas kebebasan berkontrak dan isitlah pacta sunt servanda.
Pendapat Prof Subekti menyatakan bahwa perjanjian waralaba, meskipun dibuat
secara lisan, sah dan mengikat sejauh memenuhi syarat subjektif dan objektif perjanjian.
Namun, perlu dicatat bahwa perjanjian waralaba termasuk perjanjian formil, sehingga
seharusnya diwujudkan dalam bentuk tertulis sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) PP 42/2007
dan Pasal 1 angka 8 Permendag 71/2009. Pandangan ini dibantah dengan pendapat Prof
Subekti yang menilai bahwa formalitas ini dapat dianggap sebagai pembatasan terhadap
asas kebebasan berkontrak.
Sementara perjanjian waralaba dianggap sebagai perjanjian baku yang
memberikan batasan pada asas kebebasan berkontrak, di mana franchisor menetapkan
ketentuan yang harus ditaati oleh franchisee. Meskipun demikian, dalam prakteknya,
perjanjian waralaba yang dibuat secara lisan dianggap sah, sejalan dengan beberapa
putusan pengadilan, seperti Putusan No. 52/Pdt.G/2019/Pn. Jkt.Pstjo. dan Putusan No.
396/PDT/2021/PT DKI. Kemudian, perhatian tertuju pada pembuktian perjanjian
waralaba lisan, di mana Para Penggugat hanya menghadirkan satu saksi, bertentangan
dengan prinsip Unus Testis Nullus Testis yang menuntut minimal dua orang saksi. Ini
menimbulkan keraguan terhadap kepercayaan pada keterangan saksi yang diajukan
((Fahira Zahara Ghassani, 2022).
Masalah kedua dalam kasus ini adalah keabsahan perjanjian term sheet yang
hanya dibuat dalam bahasa Inggris. Meskipun Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009
memperintahkan penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian yang melibatkan pihak
di Indonesia, terdapat perdebatan seputar keberlakuan UU ini dan peraturan
pelaksanaannya. Interpretasi Pasal 40 UU 24/2009 dan Peraturan Presiden Nomor 63
Tahun 2019 menjadi fokus diskusi, dengan beberapa pandangan yang menyatakan bahwa
UU berlaku sejak diundangkan, sementara yang lain berpendapat bahwa keberlakuan UU
menunggu dikeluarkannya Peraturan Presiden. Keseluruhan kasus menjadi kompleks
dengan melibatkan pertentangan antara asas kebebasan berkontrak dan formalitas
perjanjian, permasalahan pembuktian perjanjian lisan, dan interpretasi hukum terkait
penggunaan bahasa dalam perjanjian. Hal ini menggambarkan kompleksitas dan
dinamika dalam penyelesaian sengketa perjanjian waralaba yang melibatkan aspek
hukum kontraktual dan prosedural di Indonesia.
3.2 Pandangan Mengenai Klausa Yang Halal pada Perjanjian
Terdapat perbedaan pandangan terkait diperbolehkan atau tidaknya pembuatan
perjanjian yang hanya dibuat dalam bahasa asing, sebagaimana tercermin dalam Putusan
Nomor 52/Pdt.G/2019/Pn.Jkt.Pst jo. Putusan Nomor 396/PDT/2021/PT.DKI dan Putusan
Nomor 254/Pdt.G/2019/Pn. Amp, serta putusan Mahkamah Agung Nomor
1572/K/Pdt/2015. Menurut Putusan Nomor 52/Pdt.G/2019/Pn.Jkt.Pst jo. Putusan Nomor
396/PDT/2021/PT.DKI, perjanjian yang hanya dibuat dalam bahasa asing dianggap batal
demi hukum karena bertentangan dengan Pasal 1320 ayat (4) KUHPer yang mengatur
sebab yang halal. Di sisi lain, Putusan Nomor 254/Pdt.G/2019/Pn. Amp menyatakan
sebaliknya.
Perbedaan pendapat ini muncul dari interpretasi mengenai sebab yang halal. Prof.
Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H., mengartikan sebab merujuk pada hubungan dan
tujuan para pihak dalam menutup kontrak, sejalan dengan pendapat Vollmar yang
menyebutkan bahwa kausa dan sebab yang tidak dilarang adalah maksud atau tujuan dari
kontrak itu sendiri. Namun, Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., berpendapat bahwa
Pasal 1337 mengenai sebab terlarang tidak berlaku dalam UU 24/2009, yang tidak
mengatur sanksi atau konsekuensi pelanggarannya seperti pada perjanjian dengan motif
pencurian atau pembunuhan (Fahira Zahara Ghassani, 2022).
Sementara itu, ada pandangan yang menyatakan bahwa perjanjian yang hanya
dibuat dalam bahasa asing bertentangan dengan UU 24/2009 dan menjadi batal demi
hukum. Interpretasi gramatikal Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 yang menyebutkan "Bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian" diartikan sebagai
wajib, dan jika tidak ditaati, perjanjian tersebut dapat dianggap bertentangan dengan
undang-undang. Pendekatan sistematikal dalam penafsiran hukum dilakukan dengan
menghubungkan ketentuan dalam Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 dengan Pasal 1337
KUHPer. Jika perjanjian tidak mematuhi kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia,
maka dapat dianggap bertentangan dengan undang-undang dan membawa konsekuensi
batal demi hukum sesuai Pasal 1320 ayat (4) KUHPer.
3.3 Pembatalan Perjanjian
Permasalahan terakhir antara Para Penggugat dan Tergugat melibatkan perbedaan
pandangan mengenai diperbolehkannya atau tidaknya pengesampingan Pasal 1266
KUHPer. Pasal ini mewajibkan pembatalan perjanjian melalui permohonan di
Pengadilan, dan Hakim menjadi penentu batal atau tidaknya perjanjian, memberikan
keringanan kepada pihak yang dituduh wanprestasi. Putusan Mahkamah Agung Nomor
1527/K/Pdt/2007 mendukung pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUHPer,
menganggapnya sebagai kebebasan berkontrak. Sebaliknya, Putusan Mahkamah Agung
Nomor 2821 K/Pdt/2009 berpendapat bahwa ketentuan ini bersifat memaksa dan tidak
dapat dikecualikan oleh para pihak.
Perbedaan pandangan ini berasal dari interpretasi mengenai Pasal 1266 dan 1267
KUHPer sebagai bagian kesatuan dalam Buku III KUHPer. Pandangan yang mendukung
pengesampingan didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, sementara pandangan
sebaliknya menganggap ketentuan ini bersifat memaksa, dikuatkan oleh penafsiran
gramatikal. Wanprestasi, menurut sebagian pandangan, menjadi syarat batalnya
perjanjian dari segi syarat subjektif Pasal 1320 KUHPer, tetapi pandangan ini ditentang
dengan argumen bahwa wanprestasi bukan syarat batal melainkan syarat memutus,
karena terjadi setelah perjanjian dilaksanakan.
Dalam Putusan Nomor 52/Pdt.G/2019/Pn.Jkt.Pst jo. Putusan Nomor
396/PDT/2021/PT.DKI, Mahkamah Agung menilai bahwa pengesampingan Pasal 1266
dan 1267 KUHPer bersifat memaksa, namun, masih berlakunya perjanjian waralaba lisan
yang mengesampingkan ketentuan ini. Terkait pembatalan perjanjian secara sepihak,
pandangan protectionist mengemukakan bahwa perjanjian waralaba memberikan
kekuatan lebih pada franchisor, namun, ada juga pandangan yang menganggap bahwa
perlindungan hukum harus dilihat dari segi ekonomi dan prinsip efisiensi, di mana
pemutusan sepihak efektif jika pihak lawan tidak memenuhi kewajibannya.
Dalam konteks perlindungan hukum dalam kontrak bisnis, khususnya perjanjian
waralaba, seharusnya dilihat dari perspektif ekonomi dan efisiensi, diikuti dengan
penilaian terhadap pihak yang dirugikan materiil. Pemutusan secara sepihak dapat
dianggap lebih efektif jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, dan keputusan
pengakhiran perjanjian melalui pengadilan tidak menjadi suatu keharusan.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pada kasus perjanjian waralaba antara Para Penggugat dan Tergugat, kompleksitas dan
dinamika sengketa muncul dari ketidakjelasan regulasi mengenai perjanjian lisan,
benturan antara asas kebebasan berkontrak dan formalitas perjanjian, hingga
permasalahan pembuktian perjanjian. Terlepas dari perdebatan ini, praktik perjanjian
waralaba lisan diakui sah oleh beberapa putusan pengadilan, menunjukkan perlunya
klarifikasi hukum terkait formalitas perjanjian bisnis. Perbedaan pandangan mengenai
penggunaan bahasa asing dalam perjanjian, sebagaimana tercermin dalam Putusan
Nomor 52/Pdt.G/2019/Pn.Jkt.Pst jo. Putusan Nomor 396/PDT/2021/PT.DKI dan Putusan
Nomor 254/Pdt.G/2019/Pn. Amp, menciptakan ketidakpastian hukum. Interpretasi sebab
yang halal dalam konteks perjanjian yang hanya dibuat dalam bahasa asing
memperlihatkan kompleksitas pandangan hukum, menyoroti perlunya klarifikasi hukum
lebih lanjut. Selain itu, perdebatan mengenai pengesampingan Pasal 1266 KUHPer
menegaskan perlunya peninjauan ulang terhadap regulasi yang berkaitan dengan
pembatalan perjanjian secara sepihak. Dalam menghadapi sengketa perjanjian waralaba,
keseluruhan kasus ini menekankan pentingnya harmonisasi antara aspek hukum
kontraktual dan prosedural untuk memastikan perlindungan yang seimbang bagi para
pihak yang terlibat.
DAFTAR PUSTAKA

Jeinal Bawarodi. (2014). Penerapan Perjanjian Sewa Beli Di Indonesia Dan Akibat Hukumnya.
Jurnal Lex Privatum, Vol.II, No. 3.

Drs. H. Suhardi, M.Ag. (2015). Analisis Yuridis Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dan Akibat
Hukum Jika Terjadi Wanprestasi Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di Indonesia.
Jurnal Menara Ilmu, Vol. IX Jilid 1 No.62.

Claudia Soleman. (2018). Perjanjian Sewa Menyewa Sebagai Perjanjian Bernama Berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jurnal Lex Privatum Vol. VI, No. 5.

Azahery Insan Kamil, et. al,. (2014). Hukum Kontrak Dalam Perspektif Komparatif (Menyorot
Perjanjian Bernama Dengan Perjanjian Tidak Bernama). Jurnal Serambi Hukum Vol. 08
No. 02.

Fahira Zahara Ghassani. (2022). Analisis Terhadap Kesepakatan Lisan Untuk Menjalankan
Waralaba Sesuai Dengan P alaba Sesuai Dengan Perjanjian W erjanjian Waralaba Y
alaba Yang Telah Ber elah Berakhir (Studi Kasus Putusan Nomor 52/PDT.G/2019 jo.
Putusan Nomor 396/PDT/2021/PT DKI. Jurnal Lex Patrimonium, Vol. 1, No. 1

Riduan Syahrani. (1989). Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata,Alumni, Bandung, 1989.

R. Subekti. (1980). Hukum Perjanjian. Pembimbing Masa, 1980, Jakarta.

R Juli Moertiono SH,M.Kn. (2019). Perjanjian Kerjasama Dalam Bidang Pengkaryaan Dan Jasa
Tenaga Kerja Antara PT. Sinar Jaya Pura Abadi Dan PT. Asianfast Marine Industries.
Jurnal Hukum Kaidah, Vol. 18, No. 3.

Anda mungkin juga menyukai