Anda di halaman 1dari 17

Menjelajahi Strategi Penyelesaian Sengketa yang Efisien dalam Konteks Perbankan

Syariah

Ahmad Syauqi Suhada (20040022606), Bima Adimanggala Raisyatul Ummah (20040022602)

syauqisuhada97@gmail.com, adimanggala75@gmail.com

PENDAHULUAN

Penyelesaian sengketa dalam konteks perbankan syariah merupakan aspek krusial dalam
memelihara integritas dan kestabilan sistem keuangan berbasis prinsip-prinsip Islam. Dengan
pertumbuhan pesat industri perbankan syariah, diperlukan pendekatan yang cermat dan efektif
dalam menangani potensi konflik antara berbagai pihak yang terlibat. Sengketa dalam perbankan
syariah bisa timbul dari ketidaksepakatan terkait interpretasi hukum Islam, pelaksanaan
transaksi, hingga masalah-masalah etis yang membutuhkan solusi yang sejalan dengan prinsip-
prinsip syariah (Ansor Syaputra Siregar, 2023). Oleh karena itu, menjelajahi strategi
penyelesaian sengketa yang efisien bukan hanya menjadi suatu kebutuhan, melainkan suatu
kewajiban dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan berbasis syariah.

Perkembangan pesat dalam kegiatan Perbankan Syari'ah telah membuka peluang yang
signifikan untuk timbulnya sengketa di dalamnya. Seiring dengan berjalannya waktu, sengketa-
sengketa ini semakin kompleks dan rumit. Meskipun kegiatan usaha Perbankan Syariah
didasarkan pada akad-akad yang bersumber dari Hukum Islam, yang merujuk pada Al-Qur'an
dan Hadis, unsur moralitas tetap menjadi faktor krusial yang harus dijaga tinggi oleh lembaga
perbankan dan nasabahnya. Pada dasarnya, Perbankan Syariah diharapkan membangun relasi
bisnis yang berlandaskan pada nilai-nilai etika Islam, namun realitas menunjukkan bahwa
sengketa atau perselisihan menjadi bagian tak terhindarkan dalam setiap aktivitas bisnis.

Sengketa dalam Perbankan Syariah sering kali muncul akibat wanprestasi selama
berlangsungnya suatu akad atau bisa juga disebabkan oleh ketidaktahuan terhadap prinsip-prinsip
hukum yang mengaturnya. Wanprestasi dapat terjadi ketika salah satu pihak tidak memenuhi
kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam akad, sehingga menciptakan ketidakharmonisan dalam
hubungan kontraktual (Ansor Syaputra Siregar, 2023). Disamping itu, konflik juga bisa muncul
dalam hal penafsiran isi suatu perjanjian atau akad, karena perbedaan pemahaman terkait dengan
aspek-aspek hukum Islam yang menjadi landasan bagi transaksi tersebut. Oleh karena itu,
penting untuk memahami bahwa kendala-kendala ini harus dihadapi secara bijaksana dengan
mempertimbangkan aspek hukum dan etika dalam penyelesaian sengketa.

Sejalan dengan perkembangan zaman, lembaga perbankan syariah perlu mengembangkan


mekanisme yang mampu mengatasi kompleksitas sengketa dengan efektif. Upaya penerapan
transparansi dalam akad-akad, edukasi kepada pihak terlibat mengenai prinsip-prinsip hukum
Islam yang terlibat, dan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dalam penyelesaian
sengketa dapat menjadi langkah-langkah progresif. Dengan demikian, meskipun sengketa tidak
dapat sepenuhnya dihindari, namun lembaga perbankan syariah dapat meminimalkan risiko
sengketa dan meningkatkan kepercayaan pelanggan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral
dan etika dalam setiap aspek kegiatan bisnisnya.

Pada kenyataannya, permasalahan sengketa di perbankan syariah tidak selalu bersifat


sederhana. Terdapat berbagai faktor yang dapat memperumit penyelesaiannya, seperti perbedaan
interpretasi hukum, perubahan kondisi pasar, atau bahkan kekurangan regulasi yang jelas dalam
beberapa kasus. Oleh karena itu, strategi penyelesaian sengketa harus mampu mengakomodasi
kompleksitas ini dan memberikan solusi yang adil serta berkelanjutan. Dalam konteks ini,
penggunaan mekanisme alternatif seperti arbitrase syariah atau mediasi syariah menjadi semakin
relevan, karena dapat memberikan ruang bagi penyelesaian yang lebih cepat dan lebih sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah.

Penyelesaian sengketa dalam konteks perbankan syariah dapat melibatkan dua jalur
utama, yaitu proses litigasi dan proses non-litigasi. Proses litigasi merupakan upaya penyelesaian
sengketa melalui jalur pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 55, terdapat dua opsi pengadilan
yang dapat dipilih, yaitu Pengadilan Agama (sebagaimana dijelaskan dalam ayat 1) dan
Pengadilan Negeri (sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan ayat 2). Namun, perlu dicatat
bahwa penjelasan terkait opsi Pengadilan Negeri telah dinyatakan tidak berlaku setelah
Mahkamah Konstitusi membatalkan dan mencabutnya melalui putusan nomor 93/PUU-X/2012
pada tanggal 29 Agustus 2013. Dengan demikian, pemilihan Pengadilan Agama menjadi satu-
satunya opsi yang sah dalam proses litigasi di perbankan syariah (Muhammad Ryan Fahlevi,
Thoyibatun Nisa, 2023).

Di sisi lain, proses non-litigasi menyajikan alternatif penyelesaian sengketa di luar ruang
pengadilan. Dalam ranah ini, terdapat tiga opsi yang dapat ditempuh, yakni melalui musyawarah
antara para pihak yang terlibat, mediasi, dan arbitrase. Musyawarah para pihak merupakan
pendekatan kolaboratif di mana pihak-pihak yang bersengketa berusaha mencapai kesepakatan
melalui perundingan. Mediasi melibatkan pihak mediator yang netral untuk membantu mencapai
kesepakatan yang memuaskan semua pihak. Sementara itu, arbitrase, yang dapat dilakukan
melalui lembaga seperti Basyarnas/BANI, melibatkan pihak ketiga yang independen dalam
mengeluarkan keputusan yang mengikat para pihak. Proses non-litigasi ini memberikan
fleksibilitas dan kecepatan dalam menyelesaikan sengketa, sekaligus menjaga hubungan antara
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya (Muhammad Ryan Fahlevi, Thoyibatun Nisa, 2023). Oleh
karena itu, pemilihan antara proses litigasi dan non-litigasi menjadi suatu pertimbangan kritis
dalam merancang strategi penyelesaian sengketa di perbankan syariah.

Tulisan ini secara khusus memusatkan perhatian pada eksplorasi penyelesaian sengketa
dalam ranah Perbankan Syariah, yang dapat ditempuh melalui dua jalur utama, yaitu litigasi dan
non-litigasi. Fokus utama pembahasan mengarah pada kedua proses tersebut, dengan penekanan
pada kekuatan dan dampak putusan Pengadilan Agama dalam kasus yang sebelumnya telah
disepakati untuk diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Analisis mendalam terhadap peran
Pengadilan Agama menjadi sorotan utama, mengingat pilihan tersebut merupakan satu-satunya
opsi litigasi yang sah setelah pembatalan penjelasan terkait Pengadilan Negeri oleh Mahkamah
Konstitusi. Selain itu, tulisan ini juga akan mengeksplorasi dinamika proses non-litigasi,
khususnya melalui lembaga arbitrase, sebagai alternatif yang menarik dan efisien dalam
menangani sengketa di lingkungan Perbankan Syariah. Dengan demikian, penelitian ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman komprehensif mengenai strategi penyelesaian sengketa
yang efektif dan relevan dalam konteks perbankan syariah, dengan menyoroti implikasi serta
kebijakan yang mungkin dapat diterapkan untuk meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam
penyelesaian sengketa.

KAJIAN PUSTAKA

a) Integritas dan Kestabilan Sistem Keuangan Berbasis Islam


Integritas dan kestabilan sistem keuangan berbasis Islam menjadi landasan utama
dalam memastikan kesuksesan dan keberlanjutan industri perbankan syariah. Dalam
konteks ini, penyelesaian sengketa memegang peranan krusial sebagai alat untuk
memelihara kepercayaan masyarakat terhadap prinsip-prinsip Islam yang mendasari
aktivitas keuangan. Sistem keuangan berbasis syariah, yang menitikberatkan pada nilai-
nilai etika dan moralitas Islam, menuntut integritas yang tinggi dalam setiap aspek
operasionalnya. Kestabilan sistem ini bukan hanya mencakup aspek ekonomi, tetapi juga
menyangkut integritas spiritual dan sosial, menciptakan suatu lingkungan yang
mendukung prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan.
Pertumbuhan pesat industri perbankan syariah dalam beberapa tahun terakhir
telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian berbasis prinsip Islam.
Namun, pesatnya pertumbuhan ini juga membawa tantangan baru, khususnya dalam
menghadapi potensi sengketa yang dapat merugikan integritas sistem keuangan syariah.
Dalam mengatasi konflik potensial, perlu pendekatan yang cermat dan efektif.
Keberlanjutan industri perbankan syariah bergantung pada kemampuannya untuk
merespons sengketa dengan bijaksana, menjaga kepercayaan masyarakat, dan
mempertahankan integritas nilai-nilai Islam.
Sengketa dalam perbankan syariah dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk
perbedaan interpretasi hukum Islam, pelaksanaan transaksi yang tidak sesuai, dan
masalah etis yang memerlukan solusi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena
itu, menjelajahi strategi penyelesaian sengketa yang efisien bukan hanya menjadi
kebutuhan praktis, melainkan juga suatu kewajiban moral dan spiritual. Dalam
menghadapi sengketa, lembaga perbankan syariah dituntut untuk tidak hanya mematuhi
norma-norma hukum dan regulasi, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan,
transparansi, dan keberlanjutan, sehingga dapat memberikan kontribusi positif terhadap
pembangunan ekonomi berbasis prinsip-prinsip Islam (Hafidah, Noor, 2017).
b) Kompleksitas Sengketa dalam Perbankan Syariah
Kompleksitas sengketa dalam perbankan syariah mencakup sejumlah faktor yang
memperumit proses penyelesaiannya. Dalam menghadapi sengketa, tidak hanya terdapat
perbedaan interpretasi hukum Islam yang sering menjadi akar permasalahan, tetapi juga
adanya variasi pelaksanaan transaksi dan aspek-aspek etis yang dapat menimbulkan
ketidaksepakatan. Pertama-tama, perbedaan pemahaman terkait prinsip-prinsip hukum
Islam menjadi sumber utama konflik. Ketidaksepakatan dalam interpretasi akad-akad dan
hukum Islam yang mengaturnya sering kali muncul, menciptakan tantangan kompleks
dalam menemukan solusi yang memuaskan semua pihak terlibat. Seiring dengan
pertumbuhan industri perbankan syariah, variasi ini semakin meluas dan memerlukan
pendekatan yang bijaksana untuk menyelesaikan sengketa dengan adil dan sejalan dengan
prinsip-prinsip syariah (Hafidah, Noor, 2017).
Perubahan kondisi pasar dan ketidakpastian regulasi juga menambah tingkat
kompleksitas dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Perkembangan pasar
keuangan yang dinamis dan adanya perubahan kebijakan dapat mengakibatkan sengketa
terkait kondisi ekonomi yang berubah. Selain itu, kekurangan regulasi yang jelas dalam
beberapa kasus dapat meningkatkan tingkat ketidakpastian dan menyulitkan penilaian
terhadap kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, strategi
penyelesaian sengketa harus mampu mengakomodasi dinamika pasar yang cepat dan
perubahan regulasi untuk memberikan solusi yang berkelanjutan dan sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum Islam.
Salah satu aspek lain dari kompleksitas sengketa dalam perbankan syariah adalah
adanya permasalahan etis yang melibatkan kepatuhan terhadap nilai-nilai Islam. Konflik
yang timbul dari ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip etika Islam, seperti transparansi,
kejujuran, dan tanggung jawab sosial, memerlukan penanganan yang lebih rinci.
Keseimbangan antara keuntungan bisnis dan prinsip-prinsip etika menjadi tantangan
tersendiri, dan penyelesaiannya memerlukan pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai
moral dan spiritual yang mendasari sistem perbankan syariah (Hafidah, Noor, 2017).
Oleh karena itu, menjelajahi strategi penyelesaian sengketa yang mampu menangani
kompleksitas ini menjadi kunci dalam memastikan keberlanjutan dan keberhasilan
perbankan syariah dalam menghadapi tantangan sengketa yang semakin beragam dan
kompleks.
c) Prinsip-prinsip Syariah
Prinsip-prinsip syariah, atau hukum Islam, merupakan kerangka kerja etika dan
hukum yang memberikan panduan bagi umat Muslim dalam berbagai aspek kehidupan
mereka. Prinsip-prinsip ini bersumber dari dua sumber utama dalam agama Islam, yaitu
Al-Qur'an, kitab suci Islam, dan Hadis, tradisi atau perkataan Nabi Muhammad SAW.
Inti dari prinsip-prinsip syariah adalah menciptakan masyarakat yang adil, berkeadilan,
dan sesuai dengan nilai-nilai moral Islam. Prinsip-prinsip ini mencakup berbagai bidang,
termasuk hukum, ekonomi, etika, sosial, dan spiritual, yang membentuk dasar bagi
perilaku dan interaksi umat Muslim (Manan, Abdul, 2014).
Dalam aspek hukum, prinsip-prinsip syariah mencakup hukum pidana, hukum
perdata, dan hukum keluarga. Hukum pidana Islam menekankan pada konsep keadilan
dan pencegahan kejahatan, serta menetapkan sanksi yang sesuai dengan pelanggaran
hukum. Hukum perdata, di sisi lain, mencakup kontrak, transaksi keuangan, dan hak
milik, yang diatur dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan kesepakatan yang
saling menguntungkan. Hukum keluarga dalam syariah mengatur perkawinan, perceraian,
warisan, dan hak-hak keluarga lainnya, dengan menitikberatkan pada keadilan dan
keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Pada bidang ekonomi, prinsip-prinsip syariah memandang bahwa segala bentuk
ekonomi dan keuangan harus sesuai dengan nilai-nilai moral Islam. Prinsip utama dalam
ekonomi Islam adalah larangan riba (bunga) dan keadilan dalam pembagian kekayaan.
Riba dianggap sebagai praktik yang merugikan dan tidak adil, sementara keadilan
ekonomi menekankan distribusi kekayaan yang merata dan perlindungan terhadap kaum
miskin dan lemah. Prinsip-prinsip syariah juga mencakup aspek etika, yang menuntut
umat Muslim untuk menjalani kehidupan yang bermoral dan penuh integritas. Etika Islam
mencakup nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, kasih sayang, dan toleransi. Dalam
aspek sosial, prinsip-prinsip syariah mengajarkan pentingnya berkontribusi positif dalam
masyarakat, membantu yang membutuhkan, dan menjaga hubungan yang harmonis
dengan sesama manusia (Manan, Abdul, 2014).
Terakhir, dalam dimensi spiritual, prinsip-prinsip syariah menekankan pentingnya
ketaatan kepada Allah, ibadah, dan pengembangan nilai-nilai spiritual. Salah satu tujuan
utama syariah adalah membimbing umat Muslim menuju kehidupan yang taat,
bertanggung jawab, dan menciptakan kedekatan dengan Tuhan. Dengan demikian,
prinsip-prinsip syariah mencakup seluruh aspek kehidupan dan mengarahkan umat
Muslim untuk mencapai kehidupan yang seimbang, adil, dan bermoral sesuai dengan
ajaran Islam.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang diterapkan dalam menjelajahi strategi penyelesaian sengketa
yang efisien dalam konteks perbankan syariah adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi
kepustakaan atau library research. Penelitian ini melibatkan analisis mendalam terhadap literatur-
literatur terkait, termasuk buku, artikel jurnal, laporan penelitian, dan dokumen-dokumen lainnya
yang relevan dengan topik penelitian. Melalui metode kualitatif, penelitian ini akan
memanfaatkan pendekatan deskriptif untuk merinci dan menggambarkan secara komprehensif
berbagai strategi penyelesaian sengketa yang telah diusulkan dan diterapkan dalam domain
perbankan syariah. Pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti untuk memahami konteks dan
nuansa yang melibatkan penyelesaian sengketa di dalam perbankan syariah, sekaligus
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan dari strategi
penyelesaian tersebut. Dengan memusatkan perhatian pada studi kepustakaan, penelitian ini
bertujuan untuk memberikan gambaran menyeluruh dan mendalam tentang kerangka kerja
penyelesaian sengketa yang dapat diterapkan secara efisien dalam mendukung integritas dan
kestabilan sistem keuangan berbasis syariah.

PEMBAHASAN

Sengketa Perbankan Syariah

Perbankan syariah, sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UU Perbankan Syariah, memiliki


fungsi utama sebagai lembaga intermediary yang menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Fungsi ini mengandung peran krusial dalam
membentuk ekosistem keuangan yang adil dan berkelanjutan. Secara substansial, perbedaan
mendasar antara perbankan syariah dan konvensional terletak pada prinsip dasar operasionalnya.
Bank syariah tidak berkutat pada sistem bunga, melainkan berlandaskan pada prinsip pembagian
keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing principle), seperti yang diungkapkan oleh
Sjahdeini (2010). Dengan demikian, orientasi bank syariah dalam menjalankan kegiatan
usahanya lebih mengedepankan konsep bebas bunga atau interest-free, memberikan pijakan etis
yang unik dalam layanannya (Ibrahim, Azharsyah, Arinal Rahmat, 2017).

Fungsi intermediary perbankan syariah tidak hanya sekadar menciptakan peluang


investasi, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan, pemerataan pembangunan, dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.
Bank syariah diharapkan mampu memanfaatkan peranannya sebagai pilar keuangan yang
berdaya saing tinggi untuk menopang pelaksanaan pembangunan nasional. Dalam konteks ini,
penting bagi perbankan syariah untuk menggali dan mengoptimalkan potensi produk dan
layanannya guna mendukung tujuan nasional, termasuk peningkatan keadilan, kebersamaan, dan
pemerataan kesejahteraan rakyat.

Selain melibatkan larangan terhadap kegiatan berbasis bunga, perbankan syariah


memiliki keleluasaan dalam menawarkan produk dan layanan. Mulai dari berbasis komisi (fee
based income) hingga berbasis marjin (margin based income), bank syariah dapat
mengembangkan inovasi sesuai dengan prinsip syariah. Tidak benar jika ada persepsi bahwa
perbankan syariah sulit mengikuti perkembangan sektor keuangan regional dan global.
Sebaliknya, bank syariah memiliki peluang setara dengan perbankan konvensional dalam
mengembangkan kegiatan usahanya, terutama dalam menyajikan layanan berbasis komisi.
Dengan demikian, perbankan syariah tidak hanya memiliki keberlanjutan, tetapi juga relevansi
dalam konteks dinamika perubahan dan persaingan di tingkat regional dan global.

Sengketa, sebagaimana dijelaskan oleh Abdurrahman, sering diartikan sebagai sinonim


dari konflik, namun ada perspektif yang membedakan keduanya. Beberapa ahli cenderung
menyamakan pengertian antara sengketa dan konflik, menggambarkannya sebagai suatu bentuk
interaksi yang bersifat antagonistis atau bertentangan. Dalam konteks ini, konflik atau sengketa
muncul ketika dua pihak atau lebih merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan, menciptakan
ketegangan antara mereka. Di sisi lain, ada pandangan yang membedakan antara keduanya.
Konflik diartikan sebagai keadaan di mana para pihak menyadari atau mengetahui adanya
perasaan ketidakpuasan, sementara sengketa merupakan kondisi di mana konflik tersebut
diungkapkan secara terbuka atau melibatkan pihak ketiga.

Dalam konteks perbankan syariah, potensi sengketa antara bank dan nasabah dapat
muncul dari berbagai penyebab. Salah satunya adalah perbedaan pendapat mengenai hak dan
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak. Ketidaksepakatan ini bisa
muncul terkait dengan pemahaman yang berbeda terhadap ketentuan akad atau perjanjian yang
telah disepakati. Selain itu, sengketa juga dapat timbul karena ketidaksesuaian dalam memahami
keadaan darurat (force majeure), yang dapat menyebabkan salah satu pihak mengalami kerugian
dan tidak dapat memenuhi kewajibannya. Perbedaan tafsir terhadap akad, adanya wanprestasi
(cidera janji), atau kesengajaan untuk tidak memenuhi kewajiban yang telah dijanjikan dalam
akad juga menjadi faktor potensial dalam munculnya sengketa.

Tidak hanya itu, sengketa dalam perbankan syariah juga dapat dipicu oleh kepatuhan
terhadap nilai-nilai syariah. Keberlanjutan dan integritas lembaga perbankan syariah memerlukan
ketaatan terhadap prinsip-prinsip syariah yang tinggi. Ketidakpatuhan terhadap nilai-nilai etika
Islam dalam kegiatan perbankan syariah dapat menciptakan konflik internal maupun eksternal.
Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam terhadap prinsip-prinsip syariah, serta upaya
menjaga kejelasan dan keadilan dalam transaksi perbankan, menjadi kunci untuk mencegah dan
menyelesaikan sengketa dalam konteks perbankan syariah secara efektif dan sesuai dengan
prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi.

Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Litigasi

Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial
power) yang secara konstitusional disebut badan yudikatif sebagaimana diatur dalam pasal 24
ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan
Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah konstitusi”.

Peradilan Agama, sebagai salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung,
memiliki latar belakang pembentukan yang berdasarkan Undang-Undang No. 7 tahun 1989.
Peradilan ini dikhususkan untuk masyarakat pencari keadilan yang beragama Islam, dengan
fokus menyelesaikan perkara-perkara tertentu. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang nomor 14 tahun
1970 menjelaskan bahwa peradilan agama disebut sebagai peradilan khusus, yang artinya
memiliki subjek dan objek perkaranya yang spesifik. Sudikno Mertokusumo mencatat bahwa
Peradilan Agama adalah peradilan khusus dengan yurisdiksi terbatas, mengadili perkara tertentu
dan golongan rakyat tertentu (Arto, A. Mukti, 2004).

Asas Personalitas Keislaman menjadi salah satu pijakan beracara di peradilan agama. Hal
ini mengacu pada prinsip bahwa yang tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan
agama adalah mereka yang mengaku pemeluk agama Islam. Prinsip ini sesuai dengan asas
Personalitas Keislaman yang diatur dalam pasal 2 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Pasal ini menyatakan bahwa peradilan agama merupakan pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, khususnya dalam perkara perdata
tertentu yang diatur dalam undang-undang tersebut.

Adanya asas Personalitas Keislaman mengandung makna bahwa individu yang bukan
penganut agama Islam tidak tunduk atau tidak dapat dipaksakan untuk tunduk pada Pengadilan
Agama, kecuali mereka yang non-Muslim dengan kerelaan sendiri memilih untuk tunduk pada
hukum Islam. Asas ini memberikan kejelasan dalam mengatur lingkup yurisdiksi peradilan
agama, yang terfokus pada perkara perdata tertentu yang mencakup berbagai aspek, seperti
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan shadaqah, sebagaimana diatur
dalam pasal 49 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 (Saragih, R. F, 2017). Oleh karena itu,
Peradilan Agama memainkan peran yang signifikan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang
berkaitan dengan hukum Islam dan memastikan implementasi prinsip-prinsip keadilan dalam
konteks keberagamaan masyarakat.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 yang merupakan perubahan


pertama atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, terjadi perluasan
kewenangan Peradilan Agama. Perubahan ini terutama tercermin dalam penambahan pasal 49,
yang mengakibatkan peningkatan signifikan dalam cakupan wewenang absolut Peradilan
Agama. Pasal 49 tersebut memperluas kewenangan Peradilan Agama dengan menambahkan
tugas dan kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat
pertama yang melibatkan orang-orang yang beragama Islam di bidang Ekonomi Syariah.

Penambahan kewenangan ini mencerminkan respons legislator terhadap perkembangan


dinamis dalam kebutuhan penyelesaian sengketa di masyarakat yang semakin kompleks,
khususnya terkait dengan bidang Ekonomi Syariah. Dengan adanya perubahan ini, Peradilan
Agama menjadi lembaga yang lebih holistik, tidak hanya terfokus pada perkara-perkara yang
terkait dengan perdata seperti perkawinan, kewarisan, dan sebagainya, tetapi juga memasuki
ranah Ekonomi Syariah. Hal ini menggambarkan adaptasi peradilan agama terhadap dinamika
sosial dan ekonomi masyarakat yang semakin berkembang, serta meningkatkan peran lembaga
kehakiman dalam memberikan keadilan di berbagai aspek kehidupan masyarakat yang
berlandaskan pada prinsip-prinsip hukum Islam. Sebagai hasilnya, peran Peradilan Agama dalam
menangani perkara yang terkait dengan Ekonomi Syariah menjadi lebih sentral dan relevan
dalam menjawab tuntutan kebutuhan hukum masyarakat Islam.

Sedangkan penjelasan pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 bahwa


bidang ekonomi syariah yang termasuk kewenangan Peradilan Agama meliputi: (1). Perbankan
syariah; (2). Lembaga Keuangan Mikro Syariah; (3). Asuransi Syariah; (4). Reasuransi Syariah;
(5). Reksadana Syariah; (6). Obligasi Syariah dan Surat Berharga Syariah; (7). Sekuritas Syariah;
(8). Pembiayaan Syariah; (9). Pegadaian Syariah; (10). Dana Pensiun Lembaga Keuangan
Syariah; dan (11). Bisnis Syariah (Saragih, R. F, 2017).

Pengadilan Agama mengikuti serangkaian tahapan yang teliti dalam menyelesaikan


perkara perbankan syariah. Proses dimulai dengan pemeriksaan terhadap kelengkapan
administrasi perkara, yang mencakup berkas perkara yang sudah dilengkapi dengan panjar biaya
perkara, nomor perkara, penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera sidang. Apabila
syarat-syarat administrasi ini belum terpenuhi, berkas perkara dikembalikan ke kepaniteraan
untuk dilengkapi sebelum diproses lebih lanjut. Namun, jika syarat-syarat tersebut telah lengkap,
hakim akan menetapkan hari sidang dan memerintahkan juru sita untuk menghadirkan para pihak
dalam sidang yang waktu dan tanggalnya sudah ditetapkan melalui surat Penetapan Hari Sidang
(PHS) (Arto, A. Mukti, 2004).

Dalam tahap berikutnya, hakim melakukan pemeriksaan syarat formil perkara. Aspek-
aspek yang diperiksa melibatkan kompetensi dan kecakapan penggugat, serta kompetensi
(kewenangan) Pengadilan Agama baik secara absolut maupun relatif. Hakim juga memastikan
ketepatan penggugat dalam menentukan tergugat, memeriksa apakah surat gugatan bersifat jelas
dan tidak mengandung kegelapan (obscuur). Selain itu, pemeriksaan melibatkan aspek keberatan
hukum, termasuk memastikan bahwa perkara yang diajukan belum pernah diputus oleh
pengadilan dengan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (tidak ne bis in idem). Hakim
juga memastikan bahwa perkara tersebut tidak terlalu dini, tidak terlambat, dan tidak
bertentangan dengan larangan undang-undang untuk diperiksa dan diadili oleh Pengadilan
Agama. Keseluruhan proses ini menunjukkan ketelitian dan kehati-hatian Pengadilan Agama
dalam menangani perkara perbankan syariah agar penyelesaian dapat dilakukan secara adil dan
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (Arto, A. Mukti, 2004).
Setelah memastikan bahwa syarat formil perkara telah terpenuhi, hakim dapat
melanjutkan untuk memeriksa pokok perkara. Dalam tahap persidangan ini, hakim memiliki
tugas utama untuk berupaya mendamaikan kedua belah pihak sesuai dengan PERMA Nomor 1
Tahun 2008 yang mengatur tata cara mediasi oleh Pengadilan. Mendamaikan pihak bersengketa
menjadi suatu kewajiban bagi hakim, dan jika langkah mediasi tidak berhasil diupayakan, segala
putusan hakim atas perkara tersebut dapat dianggap batal demi hukum. Jika tercapai perdamaian,
hakim membuat akta perdamaian sebagai bentuk penyelesaian damai. Namun, apabila mediasi
tidak berhasil, pemeriksaan perkara dilanjutkan ke tahap berikutnya.

Proses selanjutnya melibatkan pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik,
dan pembuktian. Setelah melalui semua tahapan tersebut, majelis hakim berdasarkan
kesimpulannya akan membacakan putusannya. Putusan tersebut dapat berupa pemutusan
memenangkan seluruh gugatan penggugat, memenangkan sebagian, atau menolak seluruh
gugatan. Terhadap putusan Pengadilan tingkat pertama, pihak yang tidak puas memiliki hak
untuk mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Agama di setiap provinsi. Jika
masih belum merasa puas, upaya selanjutnya adalah melakukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Puncaknya, terdapat upaya hukum luar biasa yang disebut Peninjauan Kembali (PK), namun
untuk dapat mengajukan PK, harus ada bukti baru (novum) yang mendukung permohonan
tersebut. Dengan demikian, proses ini memberikan pilihan kepada pihak yang bersengketa untuk
mengejar keadilan melalui jalur hukum yang telah ditetapkan, menjunjung tinggi prinsip
keadilan dan perlindungan hak-hak hukum masyarakat (Arto, A. Mukti, 2004).

Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Non-Litigasi

Pengadilan, sebagai lembaga pertama dan terakhir dalam penyelesaian sengketa, kerap
kali dianggap hanya menghasilkan kesepakatan bersifat adversarial yang cenderung merugikan
salah satu pihak, di mana ada yang menang dan ada yang kalah. Prosesnya dianggap lambat,
membutuhkan biaya tinggi, tidak responsif, dan seringkali menimbulkan konflik baru serta
melibatkan antagonisme di antara para pihak yang bersengketa. Kendati telah ada mekanisme
hukum yang telah diatur, pelaksanaannya masih sering menimbulkan pelanggaran, baik dalam
aspek formil maupun materil. Dalam konteks bisnis, pendekatan litigasi dianggap kurang
menguntungkan, sehingga muncul kebutuhan akan institusi baru yang dianggap lebih efisien dan
efektif dalam menangani sengketa.
Sebagai respons terhadap tantangan tersebut, dan sebagai pelaksanaan dari asas
kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Pdt), muncul model penyelesaian sengketa non-litigasi. Model ini dianggap lebih mampu
mengakomodir kelemahan-kelemahan yang melekat pada model litigasi dan memberikan solusi
yang lebih baik. Proses penyelesaian di luar litigasi dianggap lebih mampu menghasilkan
kesepakatan win-win solution, memastikan kerahasiaan sengketa antara para pihak, menghindari
keterlambatan akibat kendala prosedural dan administratif, serta menyelesaikan masalah secara
komprehensif dalam suasana kebersamaan. Pendekatan ini juga dianggap dapat menjaga
hubungan baik antara pihak yang bersengketa, sehingga konflik tidak meruncing menjadi
masalah yang lebih kompleks (I. Made Widnyana, 2009).

Dilihat dari ketentuan Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, terdapat penekanan pada kebebasan para pihak dalam menentukan
penyelesaian sengketa perbankan. Ini menjadi suatu keharusan dalam dunia bisnis, terutama
karena pihak-pihak yang terlibat kadang-kadang enggan terlibat dalam mekanisme peradilan
yang dianggap rumit dan memakan waktu. Pasal 55 ayat 2 ini merupakan penjabaran dari asas
kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang
bagi para pihak yang membuatnya. Kebebasan ini memberikan ruang bagi para pihak untuk
menentukan isi perjanjian, termasuk pilihan penyelesaian sengketa. Meskipun memberikan
kebebasan, Pasal 55 ayat 2 tidak berarti tanpa batasan. Batasan tersebut mencakup ketentuan
bahwa pilihan penyelesaian sengketa yang dipilih tidak boleh bertentangan dengan Undang-
Undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pasal ini memberikan beberapa opsi penyelesaian
sengketa di luar peradilan yang dapat dituangkan dalam akad, seperti musyawarah, mediasi
perbankan, atau melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional atau Badan Arbitrase lainnya (I.
Made Widnyana, 2009).

Dari penjelasan Pasal 55 ayat 2, terdapat dua jenis pilihan penyelesaian sengketa non-
litigasi, yaitu arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa seperti musyawarah dan mediasi.
Musyawarah atau musyawarah mufakat dianggap sebagai salah satu alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan yang telah lama diterapkan dalam masyarakat Indonesia. Proses
musyawarah biasanya dipandu oleh tokoh adat, kepala desa, atau tokoh masyarakat lainnya,
dianggap sebagai penyelesaian yang bersifat kekeluargaan karena melibatkan setiap pihak
sebagai keluarga sendiri. Putusan atau hasil musyawarah menciptakan kesepakatan bersama
tanpa ada pihak yang merasa kalah.

Selanjutnya, mediasi perbankan, yang diatur dalam Pasal 55 ayat 2 UU No. 21 tahun
2008, merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar peradilan yang melibatkan mediator
untuk membantu para pihak mencapai kesepakatan sukarela terhadap sengketa mereka. Lembaga
Mediasi Perbankan independen yang dibentuk oleh Asosiasi Perbankan bertindak sebagai
mediator, atau dalam kasus belum terbentuknya lembaga tersebut, Bank Indonesia dapat
menunjuk mediator. Syarat-syarat mediator diatur dalam Pasal 5 ayat 2 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006. Mediasi perbankan bertujuan untuk mencapai kesepakatan
antara pihak-pihak yang bersengketa tanpa melibatkan proses litigasi, memastikan kerahasiaan,
dan meresapi duduk persoalan secara komprehensif (I. Made Widnyana, 2009).

Dengan adanya model penyelesaian sengketa non-litigasi, diharapkan masyarakat bisnis


dapat menemukan alternatif yang lebih baik dalam menangani perselisihan, menciptakan
lingkungan hukum yang lebih kondusif, dan meminimalkan dampak negatif yang mungkin
timbul dari proses litigasi yang konvensional. Perkembangan institusi penyelesaian sengketa di
luar litigasi juga menunjukkan dorongan untuk lebih memahami dan merespons kebutuhan
masyarakat dalam menangani sengketa secara efektif, efisien, dan sesuai dengan nilai-nilai
keadilan yang diinginkan.

KESIMPULAN

Kesimpulan dari pembahasan di atas menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa dalam


konteks perbankan syariah dapat dilakukan melalui dua pendekatan utama, yakni litigasi dan
non-litigasi. Dalam litigasi, pengadilan, terutama Pengadilan Agama, memegang peran sentral
dalam menyelesaikan sengketa antara bank syariah dan nasabahnya. Proses litigasi melibatkan
serangkaian tahapan yang teliti dan melibatkan prinsip-prinsip hukum Islam. Namun,
penyelesaian sengketa non-litigasi juga menjadi alternatif yang penting, dengan adanya
kebebasan bagi para pihak untuk memilih penyelesaian di luar peradilan, seperti musyawarah
dan mediasi perbankan.
Pentingnya opsi penyelesaian non-litigasi terletak pada kecepatan, efisiensi, dan
kemampuannya untuk mencapai kesepakatan yang bersifat win-win tanpa melibatkan konflik
yang berkepanjangan. Meskipun litigasi menawarkan kepastian hukum, pendekatan non-litigasi
memberikan ruang untuk menjaga hubungan baik antara pihak yang bersengketa, menjauhkan
dampak negatif dari proses litigasi, dan lebih menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip bisnis
yang berkelanjutan. Dengan demikian, keberadaan beragam mekanisme penyelesaian sengketa
memberikan fleksibilitas bagi pelaku bisnis perbankan syariah untuk memilih pendekatan yang
sesuai dengan karakteristik sengketanya, sekaligus mendorong terciptanya ekosistem keuangan
yang adil dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Rahmat Rosyadi. (2002). Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif. Bandung:Citra
Aditya Bakti.

Arto, A. Mukti. (2004). Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Dewi, Gemala, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti. (2005). Hukum Perikatan Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana.

Ansor Syaputra Siregar. (2023). Strategi Penyelesaian Sengketa Dalam Hak Tanggungan
Pembiayaan Bermasalah Pada Bank Muamalat Cabang Padangsidimpuan. Al-Bayan:
Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam, Vol. 3, No. 1.

Chadijah Rizki Lestari. (2017). Penyelesaian Kredit Macet Bank Melalui Parate Eksekusi. Kanun
Jurnal Hukum, Vol. 19, No. 1.

Ibrahim, Azharsyah, Arinal Rahmat. (2017). Analisis Solutif Penyelesaian Pembiayaan


Bermasalah Di Bank Syariah: Kajian Pada Produk Murabahah Di Bank Muamalat
Indonesia Banda Aceh. Jurnal Kajian Ekonomi Dan Bisnis Islam Vol. 10, No. 1.

Sutedi, Adrian. (2016). Implikasi Hak Tanggungan Terhadap Pemberian Kredit Oleh Bank Dan
Penyelesaian Kredit Bermasalah. Jakarta: BP.Cipta Jaya.

Manan, Abdul. (2014). Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan
Agama. Ke 2. Jakarta: Fajar Interpratam Media.
Marnita. (2016). Upaya Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah ( Studi Pada PT Bank Muamalat
Indonesia Cabang Lampung ). Jurnal Fiat Justisia, Vol. 10, No. 3

Hafidah, Noor. (2017). Hukum Jaminan Syariah Implementasinya Dalam Perbankan Syariah Di
Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

Marlina, H., & Luil Maknun. (2022). Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Litigasi
Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia. Disiplin : Majalah Civitas
Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda, Vol. 28, No. 2.

I. Made Widnyana. (2009). Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT. Fikahati Aneska
bekerjasama dengan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), Jakarta.

Nurul Ichsan. (2015). Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Indonesia. Jurnal Ahkam,
Vol. XV, No. 2.

Ade Sofyan Mulazid. (2021). Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah: Penguatan Regulasi untuk
Kepastian Hukum Surat Berharga Syariah Negara di Indonesia. Ad-Deenar: Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Islam, Vol. 5, No. 02.

Saragih, R. F. (2017). Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jurnal Hukum &


Pembangunan, Vol. 1, No. 2.

Nopijantoro, W. (2017). Surat Berharga Syariah Negara Project Based Sukuk (SBSN PBS):
Sebuah Instrumen Alternatif Partisipasi Publik Dalam Pembiayaan Infrastruktur. Jurnal
Substansi, Vol. 1, No. 2.

Putri, A. M., Djuwityastuti, & Sulistyono, A. (2015). Implementasi Penerbitan Surat Berharga
Syariah Negara Seri Sukuk Negara Ritel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara. Jurnal Privat Law,Vol. III, No. 2.

Dewi Nurul M. (2013). Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum
Progresif. Jurnal Media Hukum, Vol. 20, No. 2.

Tengku Rahmah Ramadhani, et. al,. (2021). Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia (LAPSPI) dalam Penyelesaian Sengketa Pembiayaan di Bank
Syariah. Tawazun: Journal of Sharia Economic Law, Vol. 4, No. 1.
Muhammad Ryan Fahlevi, Thoyibatun Nisa. (2023). Analisis Strategi Penyelesaian Pembiayaan
Bermasalah pada Produk Murabahah dalam Perspektif Ekonomi Islam (Studi Kasus Pada
Bank Aman Syari’ah di Sekampung). Jurnal Rumpun Ekonomi Syariah, Vol. 6, No. 1.

Anda mungkin juga menyukai