Oleh :
Yasser Arafat (10400120052)
Puji syukur peneliti panjatkan kepada kehadirat Allah Subahanahu ata’la, karena brkat
rahmat-Nya peneliti bisa menyelesaikan makalah yang berjudul BENTUK PERLAWANAN
TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN TINGKAT PERTAMA TATA USAHA
NEGARA. Makalah ini di ajukan untuk menuhi tugas mata kuliah Hukum Acara PERATUN.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
penelitian ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dan kesalahan dalam karya tulis yang
disusun. Oleh karena itu penulis mohon maaf atas kesalahan tersebut. Kritik dan saran dari
pembaca senantiasa ditunggu oleh peneliti guna meningkatkan kualitas tulisan ke depannya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara hukum, oleh karena itu sebagai negara hukum sudah
semestinya hukum dijadikan sebagai sarana untuk mengatur masyarakat, sehingga hukum
Indonesia harus ditegakkan dengan sebaik mungkin. Hukum Indonesia adalah sarana utama
untuk melindungi dan memberikan jaminan rasa aman pada penduduk warga negara Indonesia
itu sendiri, dimana setiap warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama
dihadapan hukum (Equality Before The Law). Oleh sebab itu menurut FJ. Stahl dalam buku
Hukum Adminitrasi Negara Ridwan HR bahwa suatu negara hukum memiliki unsur penting
dengan adanya Peradilan Administrasi dalam perselisihan atau Peradilan Tata Usaha negara.
Ingatan kolektif sejarah menyadarkan Bangsa ini akan pentingnya pemisahan kekuasaan
yang berimbang terhadap organ-organ negara agar terjadi adanya keseimbangan diantara organ-
organ negara tersebut. Salah satu implikasi dari pengambilan prinsip tersebut adalah
diterapkannya teori Trias Politica Montesqieu, yaitu pemisahan kekuasaan ( Seperation of
Power). Gagasan tentang pemisahan kekuasaan ini menjadi acuan ideal dalam organisasi negara
demokrasi modern. Karena itu, kiranya diperlukan kelembagaan yang berfungsi sebagai pengatur
terhadap jalanannya konstitusi bagi organ-organ negara yang menerima mandat langsung oleh
Undang- Undang Dasar. Sebagaimana diutarakan Hans Kelsen bahwa penerapan aturan-aturan
konstitusi mengenai pembentukan undang-undang dapat dijamin secara efektif hanya jika suatu
organ selain organ legeslatif diberi mandat yang tegas menguji apakah suatu undang-undang
sesuai atau tidak dengan konstitusi. Imbas dari perubahan fundamental tata kelola kenegaraan
tersebut adalah dibentuknya lembaga-lembaga negara baru sesuai amanat Undang-Undang Dasar
Paska Amandemen meski ada juga lembaga-lembaga yang dihapuskan. Salah satu lembaga yang
lahir adalah Mahkamah Konstitusi (MK) setelah eksistensi konstitusionalnya mendapat tempat
dalam UUD 1945 paska Amandemen. MK secara resmi dibentuk pada tahun 2003 melalui UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK juncto UU Nomor 8 Tahun 2011. Keberadaan MK ini
diproyeksikan berfungsi sebagai lembaga negative legislature.
Pihak yang tidak setuju dengan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, dapat
mengajukan upaya hukum terhadapnya dalam jangka waktu tertentu yang telah ditentukan
Undang-undang. Upaya hukum yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia, yakni:
1. Upaya Hukum Biasa, yang diajukan terhadap suatu putusan yang belum berkekuatan
hukum tetap dan belum dilaksanakan. Upaya Hukum ini terdiri dari Banding yang
diajukan ke Pengadilan Tinggi TUN dan Kasasi, yang diajukan ke Mahkamah Agung;
2. Upaya Hukum Luar Biasa, yang diajukan terhadap suatu putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap, baik yang sudah ataupun belum dilaksanakan. Peninjauan
Kembali (PK) merupakan satu-satunya Upaya Hukum Luar Biasa.
Judicial review, yaitu Judiciary Actpad tahun 1789 karena subtansi UU ( Formellgesetz )
bertentangan dengan konstitusi. Alasan-alasan tentang kenapa judicial review boleh dan penting
dilakukan hakim ialah; pertama, Hakim bersumpah menjunjung konstitusi, sehingga jika ada
peraturan yang bertentangan dengan konstitusi, maka hakim harus melakukan pengujian
terhadap peraturan tersebut. Kedua , konstitusi adalah The Supreme Law of The Land , sehingga
harus ada peluang pengujian terhadap peraturan dibawahnya agar isi konstitusi tidak dilanggar.
Ketiga, Hakim tidak boleh menolak perkara, sehingga kalau ada yang mengajukan uji materi,
permintaan tersebut harus dipenuhi.
Jadi untuk memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan, maka perlu alat atau sarana
hukum untuk dapat memperbaiki putusan tersebut, yaitu yang dinamakan upaya hukum. Jadi,
upaya hukum adalah alat atau sarana hukum untuk memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan
pengadilan. Upaya hukum ini dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang belum
memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut pendapat penulis bahwa upaya hukum merupakan
suatu usaha bagi setiap pribadi yang merasa dirugikan haknya untuk memperoleh perlindungan
dan kepastian hukum.
Menurut Zairin Harahap bahwa upaya hukum ini bukanlah dimaksudkan untuk
memperlama penyelesaikan suatu perkara, apalagi dimaksudkan menyampingkan kepastian
hukum. Bagaimanapun upaya hukum diperlukan, karena hakim adalah manusia yang sangat
dekat denga kehilafan, bahkan kesalahan itu sendiri, bersifat memihak, atau karena ditemukan
bukti baru yang begitu kuat. Denga tersedianya upaya hukum, putusan yang telah dijatuhkan
oleh hakim masih dimungkinkan untuk diperiksa ulang6. Menurut R. Wiyono dalam bukunya
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Upaya hukum sebagai:
Menurut R. Wiyono, istilah upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa tidak
dipergunakan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004
jo. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009. Kedua istilah tersebut dipinjam dari istilah yang
dipergunakan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Upaya hukum biasa merupakan suatu upaya hukum yang dilakukan sebelum memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Upaya hukum luar biasa merupakan suatu upaya hukum yang dilakukan setelah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
1. Peninjauan Kembali
Terhadap suatu putusan Mahkamah Agung yang sudah memperoleh keuatan hukum
tetap, maka upaya hukum selanjutnya yang bisa dilakukan dengan peninjauan
kembali terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut, sebagaimana terdapat dapat
Pasal 132 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 menyatakan sebagai berikut:
(1) Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung.
(2) Acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung.
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan
yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang
kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila setelah perkara di putus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut;
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebabsebabnya;
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenal suatu soal yang sama, atas dasar
yang sama oleh pengadilan yang sama tingkatnya telah diberikan putusan yang
bertentangan suatu dengan yang lain;
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu keliru yang
nyata.
Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh pihak yang berperkara atau
ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila selama
proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, maka permohonan tersebut akan
dilanjutkan oleh ahli warisnya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau
badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak
yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan,
tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan
kesalaha/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak.
Dengan demikian untuk memperbaiki kekliruan tersebut, maka dari itu ada beberapa upaya
hukum yang dilakukan dalam peradilan tata usaha Negara sebagai berikut:
1. Upaya hukum biasa
a. Perlawanan terhadap penetapan dismissal
b. Banding
c. Kasasi
2. Upaya hukum luar biasa
a. Peninjauan kembali
B. Saran
Dalam hal ini penulis berharap semoga makalah ini bisa dijadikan bahan ataupun sumber
rujukan, yang sekaligus menambah pengetahuan di bidang Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara dan memahami secara mendeteil atau mendalam bagaimana sebenarnya konsep beracara
di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), dan
Mahkamah Agung (MA). Dalam melakukan berbagai upaya hukum, baik upaya hukum biasa
dan upaya hukum luar biasa yang terdapat dalam proses pemeriksaan di pengadilan.