Anda di halaman 1dari 8

Nama : Karina Fitri Darmawan

NPM : 110110170353
Mata Kuliah : Tindak Pidana Khusus (E)
Dosen : Aman Sembiring M., S.H., M.H.
Erika Magdalena Chandra, S.H., M.H.
Rully Herdita Ramadhani, S.H., M.H.

A. HUKUM
1. ARTI
 Utrecht
Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh
anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari
pemerintah.
 Mochtar Kusumaatmadja
Keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup bermasyarakat
dan mempunyai tujuan untuk memelihara ketertiban dan meliputi berbagai
lembaga dan proses untuk dapat mewujudkan berlakunya kaidah sebagai suatu
kenyataan dalam masyarakat.

2. PENJELASAN

Belum adanya kesepakatan para ilmuwan hukum dalam mendefinisikan ilmu


hukum, disebabkan oleh dua faktor pertama adalah faktor internal karena adanya
hal-hal/kondisi-kondisi yang terdapat dalam diri/lingkup hukum dimana hukum
itu bersifat abstrak. Artinya, hukum memiliki sifat yang abstrak, walaupun dalam
aplikasinya konkret, seperti dalam mekanisme peradilan dan pelaksanaan putusan
hakim. Namun, perwujudan hukum di pengadilan itu merupakan salah satu
bentuk pelaksanaan hukum, apabila terjadi perkara pidana/perdata atau terjadi
konflik dalam masyarakat. Hukum jauh lebih luas dan sifatnya abstrak jika
dibandingkan dengan proses peradilan.

1
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto merumuskan hukum melalui persepsi-
persepsi tertentu, yaitu:1
a) Persepsi hukum adalah perilaku yang teratur atau konsisten, berkaitan
pula dengan apa yang dijelaskan pada definisi hukum sebelumnya bahwa
suatu proses hukum dialami tidak hanya sekali, berbagai permasalahan
akan datang silih berganti dengan kesamaan maupun perbedaan. Respon
yang dilakukan terhadap masalah tersebut merupakan perilaku untuk
menghadapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut. Konsistensi
perilaku adalah sebagai upaya keputusan yang diambil dengan harapan
keberhasilan yang telah dicapai sebelumnya dapat terwujud kembali.
b) Persepsi hukum dalam arti ilmu pengetahuan, secara garis besar
mengkaji tentang kaidah-kaidah suatu bidang keilmuan. Tentunya suatu
ilmu adalah merupakan salah satu intuisi pencari kebenaran yang mengacu
pada metode ilmia secara rasional, sistematis, empiris. Rasional berarti
cakupannya sesuatu hal yang masuk akal dan dapat dijangkau daya talar
manusia umumnya. Sistematis berarti pada prosesnya melalui berbagai
tahapan-tahapan terkonsep dan terarah. Kemudian empris berarti
prosesnya dapat diamati dan dimaknai menggunakan panca indera.
Dengan demikian hukum dapat dinyatakan sebagai suatu bidang keilmuan
khusus karena telah memenuhi kaidah-kaidah keilmuan.
c) Persepsi hukum dalam arti disiplin, adalah setiap pengkajian berbagai
fenomena hukum, tidak terlepas kaitannya dengan disiplin ilmua lainnya.
Artinya ilmu hukum dapat menjadi suatu bagian dari berbagai kajian
keilmuan lainnya.
d) Persepsi hukum dalam arti kaidah, merupakan suatu ketentuan yang
menjadi konsensus peraturan hidup dimana manusia itu ada dan saling
berinteraksi. Kaidahpun dapat diartikan sebagai norma yang berlaku dan
harus ditaati bersama agar terciptanya suatu tatanan masyarakat yang
ideal. Tidak heran jika nantinya menimbulkan suatu berbagai
permasalahan baru karena semakin berkembangnya pola hidup manusia,
kesesuaian antara norma dengan realita yang nyata harus diidentifikasi
bersama agar permasalahan tersebut dapat diselesaikan sesuai kaidah.

1
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Bandung: Alumni, 1979, hlm. 12.

2
B. HUKUM PIDANA
1. ARTI
 Hazewinkel Suringa
Hazewinkel Suringa dalam bukunya membagi hukum pidana menjadi dua,
yaitu:
1) Secara Objektif (Ius Poenale), yaitu meliputi:
a. Perintah dan larangan yang pelanggarnya diancam dengan sanksi
pidana oleh badan yang berhak.
b. Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat digunakan,
apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan hukum panitensier.
2) Secara Subjektif (Ius Puniendi), yatiu hak negara menurut hukum untuk
menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan
pidana.
 Satochid Kartanegara
Pengertian hukum pidana dapat dipandang dari beberapa sudut, yaitu:
a) Pengertian hukum pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah peraturan yang
mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan terhadap
pelanggarnya diancam dengan hukuman.
b) Pengertian hukum pidana dalam arti subjektif yaitu sejumlah peraturan yang
mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan
perbuatan yang dilarang.
 Moeljatno
Moeljatno memberikan makna hukum pidana sebagai bagian daripada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar
dan aturan-aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.

3
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.

Perumusan Moeljatno mengindikasikan bahwa hukum pidana merupakan


seperangkat aturan yang mengatur tentang 3 unsur yakni aturan tentang tindak
pidana, pertanggungjawaban pidana dan proses verbal penegakan hukum jika
terjadi tindak pidana. Unsur ini menunjukkan keterkaitan antara hukum pidana
materil dan hukum pidana formil, yang bermakna bahwa pelanggaran terhadap
hukum pidana materil tidak akan ada artinya tanpa ditegakkannya hukum
pidana formil (hukum acara pidana). Demikian pula sebaliknya hukum pidana
formil tidak dapat berfungsi tanpa ada pelanggaran norma hukum pidana materil
(tindak pidana).

 Pompe
Pompe menyatakan bahwa hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan
hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan
pidananya.
 Simons
Hukum pidana adalah semua perintah-perintah dan larangan-larangan yang
diadakan oleh negara yang mengancam dengan suatu nestapa (pidana) bagi
barang siapa yang tidak mentaatinya, juga semua aturan-aturan yang
menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu, serta semua aturan-aturan
untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut.

2. PENJELASAN
Dalam literatur telah banyak dijelaskan pengertian dan makna hukum pidana
sebagai salah satu bidang dalam ilmu hukum. Pendefinisian Hukum pidana harus
dimaknai sesuai dengan sudut pandang yang menjadi acuannya. Pada prinsipnya
secara umum ada dua pengertian tentang hukum pidana, yaitu disebut dengan ius
poenale dan ius puniendi. Ius poenale merupakan pengertian hukum pidana
objektif. Sedangkan, ius puniendi adalah pengertian hukum pidana subjektif.2

2
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah Bagian Satu, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, 2005,
hlm. 2.

4
Berdasarkan pemaparan mengenai arti hukum pidana menurut beberapa ahli di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum pidana diartikan sebagai suatu
ketentuan hukum yang menentukan perbuatan yang dilarang atau pantang untuk
dilakukan dan ancaman sanksi terhadap pelanggaran larangan tersebut. Banyak ahli
berpendapat bahwa hukum pidana menempati tempat tersendiri dalam sistem
hukum, hal ini disebabkan karena hukum pidana tidak menempatkan norma
tersendiri, akan tetapi memperkuat norma-norma di bidang hukum lain dengan
menetapkan ancaman sanksi atas pelanggaran norma-norma di bidang hukum lain
tersebut.

C. TINDAK PIDANA (strafbaarfeit)


1. ARTI
 Utrecht
Utrecht menggunakan istilah peristiwa pidana untuk menerjemahkan
strafbaarfeit. Menurut Utrecht, peristiwa pidana adalah
 Vos
Menurut Vos, suatu peristiwa pidana adalah suatu kelakuan manusia yang oleh
peraturan perundang-undangan diberi hukuman. Jadi, kelakuan manusia yang
pada umumnya dilarang dan diancam dengan hukuman.3
 Simons
Peristiwa pidana itu suatu perbuatan yang:
(a) Oleh hukum diancam dengan hukuman
(b) Bertentangan dengan hukum
(c) Dilakukan oleh seorang yang bersalah
(d) Orang itu boleh dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya
Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.4
 Pompe
Pompe mengemukakan dua gambaran tentang peristiwa pidana, yaitu gambaran
teoretis dan gambaran menurut hukum positif.

3
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Bandung: Penerbitan Universitas, 1958, hlm 251.
4
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 34.

5
A. Gambaran Teoritis
Suatu peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran kaidah yang diadakan
karena kesalahan pelanggar dan yang harus diberi hukuman untuk dapat
mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
B. Gambaran Menurut Hukum Positif
Peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman.
Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan
sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum.
 Van Hattum
Suatu peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang menyebabkan hal seseorang
mendapat hukuman atau dapat dihukum.
 Moeljatno
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, yang mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

2. PENJELASAN
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dibuatkan suatu kesimpulan
mengenai tindak pidana, yaitu sebagai berikut:
a) Suatu perbuatan yang melawan hukum
b) Orang yang dikenai sanksi harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana
tanpa kesalahan). Kesalahan sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan
secara sengaja dan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan
karena kelalaian.
c) Subjek atau pelaku baru dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam
artian berfikiran waras

Dari pengertian peristiwa pidana menurut Simons, dapat ditemukan beberapa


peristiwa pidana:5

5
E. Utrecht, Op.Cit.

6
a) Sikap tindak atau peri kelakuan manusia.
b) Masuk lingkup laku perumusan kaidah hukum pidana (delik), sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undnag Hukum Pidana, yang
berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan
ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum
perbuatan itu dilakukan.”
c) Melanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran.
d) Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar penghapusan kesalahan.

D. PIDANA
1. ARTI
 Van Hamel
Van Hamel menyatakan bahwa arti dari pidana atau Straf menurut hukum
positif adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus oleh yang telah dijatuhkan
oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara
sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang
pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu
peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.6
 Simons
Menurut Simons, pidana atau straf itu adalah suatu penderitaan yang oleh
undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu
norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang
bersalah.
 Soedarto
Pidana adalah penderitaan yang sengaja di bebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

2. PENJELASAN
Pidana berasal dari bahasa Latin “poena” yang artinya nestapa, sedangkan dalam
istilah bahasa Yunani dikenal dengan “poine” yaitu ganti rugi atau uang pengganti.

6
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Panitensier Indonesia, Bandung: Alfabeta, 2010, hlm. 19.

7
Menurut sejarah, istilah pidana secara resmi dipergunakan oleh rumusan Pasal VI
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 untuk peresmian Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Sekalipun dalam Pasal IX-XV masih tetap dipergunakan
istilah hukum penjara.
Berdasarkan pemaparan mengenai arti-arti pidana di atas dapat disimpulkan bahwa
pidana merupakan merupakan penderitaan yang dibebankan pada mereka yang
bersalah melakukan tindak pidana.

Daftar Pustaka

E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Penerbit Universitas, Bandung, 1958.
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1997.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung,
1979.
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah Bagian Satu, Balai Lektur
Mahasiswa, Jakarta, 2005.
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Panitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2010.

Anda mungkin juga menyukai