Anda di halaman 1dari 1

Dulu saat Aku masih kecil, seringkali kulihat kedua orangtuaku bertengkar.

Ibu melempar
berbagai perkakas rumah ke arah Ayah, dan Ayah juga sering memecahkan gelas yang dilempar
ke sembarang arah. Mereka juga kerap berbicara tentang perceraian yang tidak Aku ketahui
artinya. Tahun-tahun berlalu begitu saja, kami tetaplah keluarga yang utuh, meski cacian dan
makian selalu terlontar setiap hari.

Hingga suatu hari Aku masuk ke salah satu Perguruan Tinggi Negeri ternama. Aku bertemu
dengan seorang perempuan cantik, namanya Rini. Rini perempuan yang pintar, baik hati, murah
senyum, dan juga sopan. Satu hal yang paling kukagumi dari Rini adalah sikapnya yang elegan.
Rini adalah perempuan kuat tanpa kesan arogan. Empat tahun kudekati dia, sampai akhirnya ia
luluh dan menerima pinanganku.

Sebelas tahun setelah menikahi Rini, Aku rasa Aku mulai bosan. Dia bukan lagi perempuan
sopan yang murah senyum. Bukan pula perempuan elegan yang paling kukagumi seantero
kampus. Ada rasa penyesalan dalam diriku, kenapa dulu Aku memilih menikahi Rini, kenapa
Aku tidak menikahi Nita saja, mantanku sewaktu SMA. Tapi nasi sudah menjadi bubur, Aku
sudah memiliki dua orang anak bersama Rini. Seorang anak lelaki dan seorang lagi perempuan.

Dua tahun terakhir ini, Aku dan Rini seringkali berbicara mengenai perceraian. Perihal harta
gono-gini juga perihal hak asuh anak yang akan kami dapatkan. Saat berbicara mengenai
perceraian, Aku ingat masa kecilku yang sangat tidak menyenangkan. Hari-hari yang selalu diisi
dengan tangis dan keributan. Tapi aku bersyukur, orangtuaku cukup bijaksana untuk tidak
bercerai. Jika saja mereka bercerai, mungkin aku tidak akan seperti sekarang ini. Mungkin aku
akan terlantar, dan jika aku bernasib buruk mungkin saja aku tidak akan mengenyam bangku
sekolah dan akhirnya menjadi seorang tunawisma.
Oh tidak! Aku tidak ingin terjadi hal buruk pada anak-anakku. Aku tidak boleh bercerai! Yaa, aku
dan Rini tidak seharusnya bercerai!

Setelah memutuskan untuk tidak bercerai, hari-hari berlalu seperti biasa. Rini melakukan
tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga, dan Aku melakukan kewajibanku untuk mencari
nafkah. Kami tidak lagi banyak bicara. Mengenai aktivitas suami-istri, kami bersetubuh seperti
biasa. Hanya saja tidak seperti malam-malam sebelumnya. Kami bersetubuh dengan angkuh,
tanpa rasa, tanpa nyawa. Kami menyelesaikannya dengan cepat, hanya sebatas pemenuh
hasrat. Tapi itu semua tidak masalah. Toh tanpa cinta kami masih bisa hidup seperti biasa.

Anda mungkin juga menyukai