Anda di halaman 1dari 3

1. Saat Hukum dan Moral Bertentangan, Mana yang Didahulukan?

A. Makna Hukum dan Moral


Secara etimologis kata hukum bersumber dari kata ha ka ma yang berarti menolak. Dari
sini terbentuk kata “al-hakamu” yang berarti menolak kezaliman atau penganiayaan.
Sedangkan secara terminologi, hukum adalah suatu aturan dan ukuran perbuatan yang
menjuruskan perbuatan-perbuatan tersebut ke tujuan yang semestinya.1
Jika kata hukum bila disandingkan dengan Islam, maka yang dimaksud hukum Islam,
adalah khitab Allah yang berkaitan dengan perbuatan manusia (mukallaf), baik berupa
perintah, larangan, pilihan maupun ketetapan-ketetapan hukum kausalitas.2

Adapun moral secara etimologis berasal dari bahasa Belanda moural, yang berarti
kesusilaan, budi pekerti. Sedang secara istilah, moral diartikan sebagai ajaran tentang baik
buruk perbuatan dan kelakuan.3
etika dan moral memang memiliki kesamaan, namun ada pula perbedaannya, yakni etika
lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. Etika
memandang tingkah laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral
secara lokal. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.4

B. Hubungan Hukum dan Moral


Ada sisi pandangan yang berbeda antara kehidupan masyarakat yang sederhana dengan
masyarakat yang memiliki tarap kehidupan yang telah maju dalam menempatkan konsep
moral. Pada masyarakat yang masih sederhana, norma susila atau moral telah memadai
untuk menciptakan ketertiban dan mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat, dan
menegakkan kesejahteraan dalam masyarakat. Kesusilaan memberikan peraturan-
peraturan kepada seseorang supaya menjadi manusia yang sempurna. Hasil dari perintah
dan larangan yang timbul dari norma kesusilaan itu bersandarkan kepada kebebasan
pribadi seseorang. Hati nuraninya akan menyatakan perbuatan mana yang baik atau
buruk dan menentukannya untuk dilakukan atau tidak.5

Jika dalam kesusilaan yang dimuat adalaah anjuran yang berupa pujian dan celaan, dalam
kaidah hukum yang dimuat adalah perintah dan larangan yang diperkuat dengan
ancaman, paksaan dan sanksi bagi orang yang mengabaikannya, meski coraknya berbeda,
maupun bentuk-bentuk yang dilarang dalam hukum adalah bentuk-bentuk yang dipuji

1
W. Poespoprojo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek (Bandung: Pustaka Grafika,
1999), 174.
2
Syarifuddin, Hubungan antara Hukum dengan Moral dalam Islam, dalam jurnal Tahkim Vol. X No. 1, Juni 2014.
3
Ahmad Mansur Noor, Peranan Moral dalam Pembinaan Kesadaran Hukum (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam
Depag RI, 1985), 7.
4
Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 19.
5
C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Jilid I (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), 56.
dan dicela dalam kesusilaan sehingga hakikatnya patokan hukum tersebut berurat pada
kesusilaan.6

Hazairin dalam bukunya Demokrasi Pancasila sebagaimana yang dikutip Fathurachman


Djamil menyatakan, bahwa hukum tanpa moral adalah kezaliman, sedang moral tanpa
hukum adalah anarki dan utopia yang menjurus kepada peri-kebinatangan. Hanya hukum
yang dipeluk oleh kesusilaan dan berakar pada kesusilaan yang dapat mendirikan
kemanusiaan. Lebih lanjut, M. Maslehuddin menerangkan bahwa hukum tanpa keadilan
dan moralitas bukanlah hukum dan tidak bisa bertahan lama. Sistem hukum yang tidak
memiliki akar substansial pada keadilan moralitas pada akhirnya akan terpental.7

2. Konsep Baik dan Buruk Menurut Ulama Kalam


Alquran menggunakan kata yang berbeda-beda untuk menyatakan kebaikan (baik) dan
keburukan (buruk) dengan menggunakan istilah al-hasanah-al-sayyiah al-khair-syar, al-
ma’ruf-al-munkar, al-mashlahah-almafsadah dan al-birr-al-fahisyah, al-itsm, al-rijs serta
al-khabaits mengandung maksud dan tujuan secara spesifik walaupun tetap menunjukan
keselarasan dengan makna etimologisnya.

Isyarat-isyarat yang ditunjukkan Alquran melalui ayatnya tentang kebaikan dan


keburukan menunjukan bahwa pandangan baik-buruk pada diri manusia dapat beraneka
ragam, tergantung landasan yang digunakannya. Pada gilirannya pengetahuan dan
pemahaman yang jelas serta mendalam tentang rumusan baik buruk ditentukan oleh hal-
hal yang menjadi keharusan untuk dilakukan dan keharusan untuk dijauhi.Beberapa
istilah yang digunakan Alquran dalam menggambarkan kebaikan dan keburukan telah
memberikan petunjuk bahwa kebaikan dan keburukan bermacam-macam. Dapat
dinyatakan bahwa kebaikan dan keburukan ditentukan oleh berbagai sumber, yaitu:
berdasarkan syar’i, akal, pandangan secara fisik, dan kehendak manusia (sifat jiwa
manusia). Oleh karena itu, pembicaraan tentang baik (kebaikan)- buruk (keburukan)
menuntut pembicaraan berbagai dimensi. Dimensi dimaksud adalah: kebaikan alam,
kebaikan hewani, kebaikan lahiriah manusia, dan kebaikan susila (moral). Dengan
demikian, tidak semua yang dikatakan ”kebaikan” merupakan ”kebaikan” dalam dimensi
akhak.8

3. Konsep Muru’ah dalam Hukum Islam


Murū’ah yaitu kemampuan aql untuk bisa menghindari tuntutan-tuntutan syahwat dalam
upaya mempertahankan martabat atau kehormatan diri. Dimana dalam murū’ah
terdapat empat aspek yaitu Murū’ah perkataan atau lisan, Murū’ah perilaku atau akhlak,

6
Syarifuddin, Hubungan antara Hukum dengan Moral dalam Islam, dalam jurnal Tahkim Vol. X No. 1, Juni 2014.
7
Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam, (Medan: Citapustaka, 2007), 129.
8
Enoh, Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (Keburukan) dalam al-Qur’an, dalam jurnal Mimbar Vol. XXIII No. 1,
Maret 2007.
Murū’ah harta, muruah kepemimpinan. Contoh perilaku-perilaku pemuda yang tidak
sesuai dengan murū’ah yaitu mereka masih belum bisa menjaga perkataanya dengan
masih mengejek teman ataupun kadang berkata kasar, lalu pakaian yang digunakan diluar
kajian masih belum mencerminkan syariat islam dengan menggunakan pakaian yang
menonjolkan lekuk tubuh, masih sering membicarakan keburukan orang lain dan lain-
lain.9

Muru’ah adalah upaya menjaga prilaku dengan meninggalkan berbagai sikap, ucapan dan
tingkah laku yang dapat menurunkan kehormatan, kewibawaan serta derajat kemuliaan
manusia. Dalam istilah sederhana muru’ah adalah menjaga nama baik dan prestise.10
Kita sebagai manusia harus mampu mengendalikan diri untuk tidak melakukan tindakan
dan hal-hal yang mampu mengurangi kehormatan. Meskipun tindakan tersebut di
perbolehkan dalam agama tetapi bernilai negatif dalam pandangan orang lain dan
masyarakat, maka hal itu harus dijauhi. Sebab hal itu mampu mendiskreditkan
kehormatan dan wibawa seseorang.

9
Siti Qodariah dkk, Hubungan Self Control dengan Muru’ah Pada Anggota Gerakan Pemuda Hijraj di Masjid TSM
Bandung, dalam jurnal Psikologi Islam Vol. IV No.2 tahun 2017.
10
Azyumardi Azra Dkk, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), 1328.

Anda mungkin juga menyukai