Anda di halaman 1dari 6

TUGAS 2

( Islam dan Perbankan Syariah )

Nama : Ridiyantoro Asyafa


Nim : 20106620165
Kelas : Manajemen D

Soal !

1. Apa yang kamu ketahui tentang bunga dan riba? Dan bagaimana hukum keduanya?
Jelaskan!
2. Jelaskan jenis-jenis riba yang anda ketahui! Serta berikan contohnya!
3. Apa yang kamu ketahui tentang “Jihbiz”? Bagaimana Islam menyikapi tentang
praktek “Jihbiz” di Indonesia?
4. Apa yang kamu ketahui tentang Murabahah? Apakah sudah sesuai dengan prinsip
syariah? Jelaskan!
5. Apa yang kamu ketahui tentang Ijarah? Apakah sudah sesuai dengan prinsip syariah?
Jelaskan!
6. Apa yang kamu ketahui tentang Mudharabah? Apakah sudah sesuai dengan prinsip
syariah? Jelaskan!

Jawab !

1. Agama Islam melarang praktik riba dalam transaksi. Riba adalah tambahan yang
disyaratkan dan diterima pemberi pinjaman sebagai imbalan dari peminjam dalam
transaksi bisnis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), riba disebut juga
bunga uang, lintah darat, atau rente. Dikutip dari Buku Pintar Investasi Syariah, riba
berasal dari bahasa Arab yang artinya tambahan (al-ziyadah), berkembang, (an-
numuw), meningkat (al-irtifa'), dan membesar (al-'uluw). Dalam Al-Quran, larangan
riba dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 278. ْ‫اَلَّ ِذ ْينَ يَْأ ُكلُوْ نَ الرِّ ٰبوا اَل يَقُوْ ُموْ نَ اِاَّل َك َما يَقُوْ ُم الَّ ِذي‬
ۗ ‫وا َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ ٰب‬
‫وا فَ َم ْن َج ۤا َء ٗه َموْ ِعظَةٌ ِّم ْن‬ ۘ ‫ك بِاَنَّهُ ْم قَالُ ْٓوا اِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ال ِّر ٰب‬ ۗ ‫يَتَ َخبَّطُهُ ال َّشي ْٰطنُ ِمنَ ْالم‬
َ ِ‫سِّ ٰذل‬ َ
ۤ ٰ ‫هّٰللا‬ ۗ َ‫ َّرب ِّٖه فَا ْنتَ ٰهى فَلَهٗ َما َسل‬Artinya: “Orang-
َ‫ار ۚ هُ ْم فِ ْيهَا ٰخلِ ُدوْ ن‬
ِ َّ‫فَ َواَ ْمر ٗ ُٓه ِالَى ِ ۗ َو َم ْن عَا َد فَاُول ِٕىكَ اَصْ ٰحبُ الن‬
orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual
beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa
yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada
Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.” Menurut tafsir Kementerian Agama, orang yang riba akan hidup dalam
kegelisahan, tidak tenteram jiwanya, selalu bingung, dan berada dalam ketidakpastian,
sebab pikiran dan hati mereka selalu tertuju pada materi dan penambahannya. Hal
tersebut yang akan mereka alami di dunia. Sedangkan di akhirat, mereka yang riba
akan dibangkitkan dari kubur dalam keadaan sempoyongan, tidak tahu arah yang akan
mereka tuju dan akan mendapat azab yang pedih.
2. Riba jahiliah Ini merupakan jenis riba yang bentuknya pelunasan utang dengan
jumlah yang lebih besar daripada pinjaman pokoknya. Umumnya riba semacam ini
dikenakan ketika peminjam tidak mampu membayar utang sesuai dengan waktu yang
dijanjikan. Misalnya saja, Anda meminjam uang sebanyak Rp10 juta kepada
seseorang dengan waktu pengembalian selama 1 tahun. Jika tidak bisa
mengembalikan sampai waktu jatuh temponya, Anda akan dikenakan biaya tambahan.
Riba qardh Ini adalah jenis riba paling umum ketika seseorang meminjam uang
dengan waktu pelunasan (tenor) dan bunga tertentu. Misalnya, Anda meminjam uang
Rp60 juta dengan bunga sebesar 15% dan waktu pelunasan 6 bulan. Besaran bunga
biasanya menjadi persyaratan yang diberikan oleh pemberi utang. Riba fadhl Riba
fadhl merupakan penambahan nilai dari kegiatan tukar menukar barang atau transaksi
jual beli. Misalnya saja, ketika Anda menukarkan uang pecahan Rp100.000 dengan
lembaran Rp2.000-an, tetapi hanya mendapatkan 48 lembar saja, bukan 50 sehingga
totalnya tidak lagi seperti nilai awalnya, yakni hanya Rp96.000. Contoh lainnya
adalah menukarkan emas 24 karat dengan emas 18 karat. Riba nasiah merupakah
kelebihan yang diperoleh lewat transaksi jual beli dalam waktu tertentu. Barang yang
digunakan dalam transaksi tersebut jenisnya sama, hanya saja dalam pembayarannya
ada penangguhan. Misalnya saja, seseorang menjual beras sebanyak 1 kilogram
kepada Anda dengan harga Rp10.000 dengan jangka waktu pembayaran tertentu. Tapi
karena ada penangguhan dalam pembayarannya, Anda dikenakan biaya tambahan atas
penangguhan tersebut. Kelebihan dari nilai beras sebenarnya dengan nilai yang Anda
bayarkan inilah yang menjadi riba. Riba yad terjadi dalam transaksi (baik jual beli
maupun tukar menukar barang) yang awalnya terjadi tanpa adanya kelebihan. Namun,
karena adanya penundaan pembayaran akibat ada salah satu pihak yang meninggalkan
akad sebelum serah terima barang, maka nilainya menjadi bertambah. Contohnya
Anda membeli mobil dari seseorang dengan harga Rp100 juta. Tapi karena Anda
membayar 6 bulan setelahnya, harganya menjadi Rp105 juta.
3. Kata jihbiz berasal dari Bahasa Persia yang berarti penagih pajak. Istilah jihbiz mulai
dikenal di jaman mu’awiyah, yang Ketika itu fungsinya sebagai penagih pajak dan
penghitung pajak atas barang dan tanah.
4. Murabahah adalah prinsip yang diterapkan melalui mekanisme jual beli barang secara
cicilan dengan penambahan margin keuntungan bagi bank. Porsi pembiayaan dengan
akad murabahah saat ini berkontribusi 60% dari total pembiayaan Perbankan Syariah
Indonesia. Nilai keuntungan yang didapat suatu bank bergantung pada margin laba.
Nah, pembiayaan akad murabahah adalah dijalankan dengan basis ribhun (laba)
melalui jual beli secara cicil maupun tunai. Dalam praktiknya, Murabahah adalah
akad yang memberikan kemudahan bagi perbankan syariah dalam proses perizinan
dan pengawasan produk, membantu memudahkan pelaksanaan dan pengembangan
produk oleh pelaku industri, serta memberikan kepastian hukum dan transparansi
produk yang mendukung terciptanya market conduct yang dapat mempengaruhi
prinsip perlindungan konsumen dalam layanan produk jasa perbankan syariah. Itu
berarti sebuah transaksi jual-beli amanah yaitu penjual memberikan transparansi
terkait harga modal dan margin secara jelas serta jujur kepada pembeli. Pada
dasarnya, murabahah adalah sebuah proses transaksi jual-beli barang ketika harga asal
dan keuntungan telah diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak sebelumnya.
Sementara dalam perbankan syariah, akad murabahah adalah jenis kontrak yang dapat
diartikan sering digunakan untuk pembelian produk oleh bank sesuai permintaan
nasabah dan kemudian dijual kepada nasabah tersebut sebesar harga beli dan
keuntungan yang telah disepakati sebelumnya.

5. Ijarah berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna imbalan, atau upah sewa/jasa.
Istilah “Ijarah” pada umumnya digunakan dalam perbankan syariah. Secara makna
dan konteksnya dalam perbankan, Ijarah adalah pemindahan hak guna suatu barang
dengan pembayaran biaya sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang
tersebut. Singkat kata Ijarah berarti menyewa suatu tanpa maksud memilikinya. Lebih
lanjut, yang berperan sebagai penyewa adalah nasabah dengan objek yang akan
disewakan dan bank adalah pihak yang menyewakan. Transaksi dengan akad Ijarah
diatur dalam Fatwa MUI tentang Pembiayaan
Ijarah Nomor 09/DSN-MUI/VI/2000. Oleh sebab itu, pembiayaan dengan akad Ijarah
diatur sesuai syariat Islam. Baik proses maupun Imbalan dari transaksi Ijarah ini
sendiri juga berdasarkan hasil kesepakatan kedua belah pihak. Bukan hanya itu saja,
tujuan dari penyewaan barang atau asset tersebut haruslah jelas dan telah diketahui
sebelumnya. Akad Ijarah berfokus kepada manfaat barang dan tidak boleh dilakukan
atas suatu benda. Misalkan saja apabila ada seekor sapi yang diIjarahkan untuk
diambil susunya, hal ini tidak diperbolehkan karena susu dapat menjadi benda yang
dapat diperjual-belikan.
6. Proses peminjaman, pemberian modal, atau proses pembiayaan adalah salah satu
pelayanan yang ditawarkan oleh bank syariah dan sangat berguna untuk para
nasabahnya. Salah satu yang menarik adalah pembiayaan melalui skema mudharabah.
Pengertian mudharabah bisa dilihat dari asal kata “dhard” yang berarti “hit” atau
“berjalan”. Dalam ekonomi Islam, memukul adalah proses memukul kaki seseorang
dalam menjalankan bisnis. Pengertian mudharabah dapat dimaknai sebagai perjanjian
kerjasama bisnis antara kedua belah pihak. Para pihak, sebagai pemilik dana pihak
pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh dana (100%), sedangkan pengelola
dana sebagai pihak kedua, yang berfungsi sebagai pengelola. Dalam konsep
Mudharabah, kepentingan bisnis sesuai dengan semua kesepakatan para pihak yang
tercantum dalam perjanjian akan dibagikan. Kemudian, jika nasabah mengalami
kerugian finansial, tetapi pihak pertama yang membayar, kasusnya karena kelalaian
perusahaan pengelola, maka perusahaan pengelola dana akan membayar. Berdasarkan
pengertian mudharabah tersebut, konsep akad ini adalah bentuk pergeseran dari teori
yang berfokus pada kepentingan pemegang saham ke teori yang berfokus pada
kepentingan banyak orang. Konsep ini mengingatkan pada filosofi fundamentalis
Islam aspek Muamalah, khususnya Muamalat Iktisadi. Filosofi muamalat Islam ini
memperhatikan keseimbangan dan keadilan terwujudnya kesejahteraan dan
kepentingan manusia, manusia dengan makhluk hidup lainnya, dan manusia dengan
alam. Dalam Islam, salah satu aspek kunci dari amanat adalah praktik ekonomi dan
keuangan berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Prinsip ini dibangun di atas dasar akidah,
keadilan, kesejahteraan, persaudaraan, tanggung jawab dan banyak lagi. Filosofi
agama meletakkan dasar bagi sistem ekonomi dengan atribut pelarangan riba dan
bunga. Sistem keadilan ini lah yang menciptakan alasan untuk keuntungan, distribusi
kerugian berdasarkan tingkat distribusi keuntungan. Instrumen kinerja telah
menciptakan kebijakan zakat institusional, larangan Islavia, dan sistem keuangan
perusahaan halal. Semuanya berpedoman pada nilai Fara (bukan utilitarianisme atau
rasionalisme). Tiga landasan pengertian mudharabah ini adalah falsafah agama,
sistem keadilan, dan sarana utilitas yang merupakan aspek fundamental untuk
membedakannya dari arus utama ekonomi tradisional. Secara etimologis, pengertian
mudharabah berasal dari akronim “Ad Dharbu Fil Ardhi”. Ini berarti bepergian untuk
berdagang. Dalam bahasa Arab, pengertian mudharabah berasal dari kata “dharaba”
yang berarti “memukul” atau “berjalan”. Lebih khusus lagi, memahami cara memukul
dan berjalan adalah proses seseorang memukul kaki saat menjalankan bisnis.
Mudharabah termasuk dalam kategori kerjasama syirkah melalui sistem bagi hasil.
Dalam Al-Qur’an, kata Mudarabah tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi Al-Qur’an
mengacu pada musytaq dari kata dhoroba yang diulang 58 kali. Sinonim
kata Dhoroba adalah Qiradh, yang berasal dari kata al-Qardhu atau potongan, di
mana pemiliknya memotong dan memperdagangkan sebagian hartanya dan
memperoleh sebagian dari keuntungannya. Jadi, pengertian mudharabah adalah
perjanjian bisnis antara Shahibul Maal dan Mudharib, di mana pemilik modal
(Shahibul Maal) menyediakan semua dana yang diperlukan dan manajer (Mudharib)
mengarahkan bisnis. Hasil kerjasama ini akan dibagikan dalam bentuk penugasan
berdasarkan kesepakatan pada saat penandatanganan kontrak. Dalam hal terjadi
kerugian, tidak menyimpang, atau penarikan diri dari pengaturan, pemilik modal
menanggung hilangnya keterampilan manajemen, waktu, dan bagian keuntungan
untuk mencapai hasil. Keabsahan transaksi Al Mudharabah didasarkan pada beberapa
teks dari Al-Qur’an dan Sunnah. Secara umum, landasan dasar Al Mudharabah
mencerminkan anjuran untuk berbisnis. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman dalam al-Qur’an berikut ini : “Jika kamu dalam perjalanan (bermuamalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah
ada barang tanggungan dipegang oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai
menunaikan amanah (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya,
serta janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan kesaksian. Dan barangsiapa
yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa batin
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Baqarah Ayat 283).
Selain itu, di dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala mempertegas tentang
perjanjian seperti berikut ini: “Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. Yang
demikian itu dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum hukum menurut yang dikehendaki-
Nya” (QS. Al-Maidah Ayat 1). Surat itu dimulai dengan memperingatkan umat Islam
untuk tetap setia pada perjanjian. Segera setelah perintah ini, rincian haji, makan,
persahabatan dengan orang percaya lainnya, dan pengumuman bahwa Islam sedang
diselesaikan dalam Islam diikuti. Sula ini memiliki satu syair yang diturunkan lebih
lambat dari syair-syair lainnya, dan tanggalnya dapat ditentukan dengan pasti. Ayat
yang dimaksud adalah ayat ketiga yang menggambarkan keutuhan Islam. Dapat
dipastikan bahwa ayat ini diturunkan ketika Nabi Muhammad melakukan haji
terakhirnya pada tahun kesepuluh Hijriah. Menghargai segala perjanjian, perjanjian
dan kesepakatan yang terkandung dalam kata “uqud”, dan bentuk jamak dari kata
“aqd” menghormati persekutuan dan menghormati semua aturan Allah yang
diciptakan untuk kesejahteraan individu dan masyarakat. Istilah uqud juga termasuk
perjanjian yang ditetapkan oleh Allah SWT dan perjanjian bersama yang dibuat oleh
manusia. Jadi disini orang diajarkan untuk menghormati hukum agama dan hukum
dunia. Hakim Ibnu Hizam dari Hakim Dark Sni, ketika menggunakan huruf kapital
pada seseorang, menuntut agar: “Jangan gunakan harta Anda untuk membeli hewan,
membawanya ke laut, atau menyeberangi sungai”. Jika Anda mematuhi salah satu
larangan, Anda harus bertanggung jawab atas properti saya. Menurut Ibnu Hajar, dia
tahu bahwa Mudharabah telah ada sejak zaman Nabi, dan bahkan sebelum Nabi
Muhammad memerankan Killard, dia bepergian ke Suriah bersama Muhammad untuk
membeli produk Hajar. Setelah menjual, dia mengaku telah menjadi seorang istri.
Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Abbas berkaitan dengan efektivitas
pelaksanaan transaksi Mudharabah. Posisi hadits ini lemah, tetapi selalu dijadikan
rujukan oleh Fuqaha (ahli hukum) dalam Mudharabah. Hadits ini menunjukkan
praktik pendanaan Murabahah, khususnya Mudharabah Muqayyadah, karena
Shahibul Maal sebagai penyandang dana memberikan beberapa syarat bagi Mudharib
untuk mengelola dana tersebut. Isi hadis ini menggarisbawahi legitimasi praktik
pendanaan Mudharabah. Menurut penulis, bunga perbankan tradisional dapat
dihindari dengan mengganti transaksi yang mengandung unsur bunga dengan sistem
mudharabah.

Anda mungkin juga menyukai