Muamalah
Disusun Oleh :
Muamalah adalah peraturan-peraturan Allah subhanahu wa ta’ala yang harus diikuti dan
ditaati dalam hidup bermasyarakat. Contoh muamalah dalam kehidupan sehari-hari
berdasarkan definisi ini meliputi interaksi hidup bertetangga atau berteman.
a. Hukum muamalah mubah – pada dasarnya segala bentuk muamalah hukumnya adalah
boleh. Kecuali aktivitas atau perbuatan muamalah yang dilarang dalam Al-quran dan
Al-hadist. Hal ini memberikan kesempatan dan peluang untuk terciptanya aneka
muamalah baru sesuai perkembangan zaman.
b. Atas dasar sukarela – pengertian muamalah dalam islam bermakna saling berbuat,
dengan ketentuan tidak ada paksaan diantara pihak yang saling melakukan perbuatan
muamalah tersebut. Hal ini menjamin kebebasan para pihak dalam memilih
meneruskan atau menghentikan transaksi, salah satu contohnya adalah praktek
macam-macam khiyar dalam jual beli.
c. Mendatangkan manfaat, menghindari mudharat – hal ini mengarahkan para pihak
yang bermuamalah unutk menghindari perbuatan yang sia-sia dan mubazir. Serta
mewaspadai potensi risiko yang akan terjadi.
d. Memelihara nilai keadilan – muamalah yang dilakukan adalah perbuatan yang
menghindari unsur-unsur penganiayaan dan penindasan. Dan juga mengambil
kesempatan dalam kesulitan orang lain
Sesuai dengan prinsip muamalah dalam islam, maka pada dasarnya setiap aktivitas sosial
masyarakat, khususnya dalam aktivitas ekonomi boleh dilakukan. Dengan ketentuan tidak
ada larangan agama atas akivitas tersebut. Oleh karena itu, dalil muamalah merupakan
larangan-larangan yang terdapat dalam sumber hukum muamalah yang utama, yaitu Al-quran
dan Al-hadist.
Di dalam islam banyak sekali jenis Muamalah yang di larang, adapun larangan Muamalah
dalam islam di antaranya yakni :
Di akhir tausiahnya ustadz Ridho berpesan agar ketika kita melakukan kegiatan
muamalah hindarilah muamalah yang di larang oleh Allah SWT karena selain berdosa juga
membuat kehidupan kita tidak tenang dan nyaman karna mendapatkan hasil dari kegiatan
yang haram.
B. Pandangan Islam tentang Kehidupan Dunia
Seringkali manusia tidak sadar bahwa ia lebih mengutamakan dunia dibandingkat akhirat
dan manusia tersebut akhirnya melalaikan kewajiban kepada Allah SWT sebagaimana orang-
orang kafir. Orang-orang kafir didunia gemar berfoya-foya dan bersenang-senang dengan
harta yang mereka miliki dan terkadang mereka juga menertawakan mereka yang berbuat
amal shaleh dan bersabar atas segala ujian yang diberikan Allah SWT.
Allah sendiri menjamin bahwa orang-orang mukmin yang bersabar didunia untuk
kehidupan diakhirat, mereka akan mendapat balasannya diakhirat kelak demikian juga para
kaum kafir. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT dalam ayat berikut
إِ َّن الَّ ِذينَ أَجْ َر ُموا َكانُوا ِمنَ الَّ ِذينَ آ َمنُوا يَضْ َح ُكونَ * َوإِ َذا َمرُّوا بِ ِه ْم يَتَغَا َم ُزونَ * َوإِ َذا انقَلَبُوا إِلَ ٰى أَ ْهلِ ِه ُم انقَلَبُوا فَ ِك ِهينَ * َوإِ َذا
ِ ِار يَضْ َح ُكونَ * َعلَى اأْل َ َرائ ُ َ ََرأَوْ هُ ْم قَالُوا إِ َّن ٰهَؤُاَل ِء ل
ك ِ َّضالُّونَ * َو َما أرْ ِسلُوا َعلَ ْي ِه ْم َحافِ ِظينَ * فَ ْاليَوْ َم الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِمنَ ْال ُكف
َب ْال ُكفَّا ُر َما َكانُوا يَ ْف َعلُون
َ يَنظُرُونَ * هَلْ ثُ ِّو
Manusia memang memiliki ruh dalam arti nyawa. Namun pada faktanya, dalam diri
manusia tidak ada dua unsur pembentuk yang menarik manusia kepada dua kecenderungan
yang berbeda, yakni unsur jasad menarik kearah pemenuhan kepentingan duniawi dan unsur
jiwa/roh yang menarik kepada pemenuhan kepentingan ukhrowi (moral dan ritual).
Kenyataannya, semua perbuatan manusia dipengaruhi oleh dorongan kebutuhan-kebutuhan
fisik (al-hajatul ‘udlwiyah) dan naluriah (al-ghoro’iz). Kebutuhan fisik contohnya adalah
kebutuhan untuk makan, minum, buang hajat dan tidur; sedangkan kebutuhan naluri
contohnya adalah naluri untuk melestarikan jenis manusia (ghorizatun nau’), naluri untuk
mempertahankan diri (ghorizatul baqo’), dan kebutuhan untuk mensucikan dan
mengagungkan dzat yang lebih agung dan sempurna (ghorizatut tadayyun).
Menurut Islam, kebutuhan-kebutuhan fisik dan naluriah tersebut merupakan sesuatu yang
alami dan netral, tidak bisa dengan sendirinya dikatakan bahwa kebutuhan yang satu lebih
tinggi derajatnya dari kebutuhan yang lain. Justru cara manusia dalam mengatur dan
memuaskan kebutuhan-kebutuhan itulah yang dapat diberi predikat terpuji atau tercela.
Dalam pandangan Islam, jika kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi dengan perbuatan yang
dijalankan sesuai petunjuk Islam, maka ia akan menjadi perbuatan yang terpuji. Sebaliknya,
jika kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi dengan perbuatan yang melanggar tuntunan
Islam maka ia menjadi perbuatan yang tercela. Kebutuhan akan seks, misalnya, jika dipenuhi
dengan berzina maka menjadi suatu hal yang tercela, namun jika dipenuhi dalam bingkai
pernikahan yang sah maka akan menjadi bagian dari ibadah yang terpuji. Naluri alami untuk
mensucikan dzat yang lebih agung yang mendorong aktivitas ritual keagamaan –yang sering
dianggap sebagai aktivitas ruhaniyah itu- jika dijalankan tanpa petunjuk Islam maka akan
menjadi bid’ah yang tercela, namun jika dijalankan berdasarkan petunjuk Al Qur’an dan As
Sunnah maka akan menjadi ibadah yang terpuji, berpahala dan diridhoi oleh Allah.
Lantas apa yang mengarahkan manusia kepada aktivitas pemenuhan kebutuhan yang
diridhoi oleh Allah? Inilah yang menjadi misteri bagi kebanyakan orang. Mereka merasakan
kehadirannya, tapi tidak mampu mengidentifikasi hakekat dari sesuatu yang mendorongnya
untuk taat kepada Allah itu. Sebagian orang menyangka bahwa faktor yang mendorong
manusia untuk taat kepada Allah itu adalah roh atau jiwa yang bersemayam di dalam
badannya. Sebab jiwa/roh merupakan kekuatan suci dan positif yang menarik manusia untuk
mengorbit kepada kepentingan ukhrowi. Anggapan ini sepenuhnya merupakan khayalan yang
tidak bisa dibuktikan.
Eksistensi ruh dalam diri seorang muslim menuntutnya untuk selalu mengendalikan
seluruh perbuatan yang ia lakukan dengan hukum-hukum syara’. Maka selama ruh itu ada
dalam benaknya, seorang muslim kemanapun dia pergi akan selalu berjalan di atas hukum
syara’ laksana kereta api yang selalu berjalan di atas relnya. Kehadiran ruh tersebut
mendorong seorang muslim untuk melaksanakan sholat, haji, puasa dan aktivitas ritual lain
sesuai dengan hukum syara’. Hadirnya ruh juga mendorong manusia untuk melaksanakan
bisnis, jual-beli, hutang-piutang, bekerja, bergaul, berumah-tangga, sampai menata
pemerintahan menggunakan hukum syara’.
Atas dasar itu, ruh tidak hanya hadir di tempat-tempat sujud, tidak hanya hadir di sekitar
Ka’bah, tidak hanya hadir di masjid-masjid, namun ia juga hadir di pasar-pasar, di kantor-
kantor, bahkan di kamar kecil sekali pun. Aktivitas spiritual umat islam tidak hanya
dimanifestasikan dalam sholat, puasa, haji dan dzikir, namun spiritualitas dan kedekatan
dengan Allah juga teraktualisasikan dalam bisnis, pekerjaan, pergaulan, hukum, politik-
pemerintahan bahkan juga terwujud dalam hubungan suami-istri. Umat islam sepenuhnya
hidup dalam dimensi spiritual sekaligus menjalani kehidupan yang serba material. Inilah
falsafah kehidupan dalam islam, yakni penyatuan antara materi dengan ruh. Yang demikian
itu terjadi tatkala semua aktivitas manusia dijalankan dengan hukum-hukum syara’ atas dasar
kesadaran akan hubungan mereka dengan Allah.
Dengan demikian, sebenarnya dalam Islam tidak ada dikotomi antara urusan dunia
dengan urusan akhirat. Pengawasan dan penilaian Allah atas seluruh amal perbuatan manusia
yang membawa konsekuensi pahala dan siksa merupakan benang merah yang
menghubungkan antara dunia dan akhirat. Semuanya adalah amalan dunia, namun semuanya
akan membawa dampak di akhirat. Dr. Abdul Qodir ‘Audah menyatakan:
“hukum-hukum Islam dengan segala jenis dan macamnya diturunkan untuk kebahagiaan
manusia di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, setiap aktivitas duniawi selalu memiliki
aspek ukhrowi. Maka aktivitas ibadah, sosial kemasyarakatan, persanksian, perundang-
undangan atau pun kenegaraan semuanya memiliki pengaruh yang dapat dirasakan di dunia
akan tetapi, perbuatan yang memiliki pengaruh di dunia ini juga memiliki pengaruh lain di
akhirat, yaitu pahala dan sanksi akhirat“
Inilah spiritualitas dalam islam. Ia adalah spiritualitas yang membumi, menyatu dengan
dinamika kehidupan manusia dalam kesehariannya. Kerohanian dalam islam bukanlah
dimensi yang berseberangan dengan kehidupan dunia. Bahkan, ruh yang kenyataannya adalah
kesadaran akan hubungan seorang muslim dengan Allah ini harus dibawa ke mana pun
seorang muslim itu pergi, dalam kondisi apapun, dan dalam menjalani aktivitas serta urusan
apa pun. Inilah makna sejati dari dzikrullah (mengingat Allah), yakni sadar bahwa ia selalu
diawasi oleh Allah dalam segenap gerak-geriknya sehingga mendorong seorang muslim
untuk selalu hidup dengan syariat Islam tanpa lepas sedikit pun. Demikianlah cara orang-
orang yang beriman untuk mentransendensikan seluruh aktivitas mereka di dunia dan
“melayani” Allah dalam setiap urusan yang mereka kerjakan.
Dengan pertimbangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian maju, masalah
muamalah pun dapat disesuaikan sehingga mampu mengakomodasi kemajuan tersebut.
Karena sifatnya yang terbuka tersebut, dalam bidang muamalah berlaku asas umum, yakni
pada dasarnya semua akad dan muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang
membatalkan dan melarangnya. Dari prinsip dasar ini dapat dipahami bahwa semua
perbuatan yang termasuk dalam kategori muamalah boleh saja dilakukan selama tidak ada
ketentuan atau nash yang melarangnya. Oleh karena itu, kaidah-kaidah dalam bidang
muamalah dapat saja berubah seiring dengan perubahan zaman, asal tidak bertentangan
dengan ruh Islam.
Dilihat dari segi bagian-bagiannya, ruang lingkup syariah dalam bidang muamalah,
menurut Abdul Wahhab Khallaf, meliputi:
Pertama, Ahkam al-Ahwal al-Syakhiyyah (Hukum Keluarga), yaitu hukum-hukum yang
mengatur tentang hak dan kewajiban suami, istri dan anak. Ini dimaksudkan untuk
memelihara dan membangun keluarga sebagai unit terkecil.
E. Akhlak Bermuamalah
1. Jagalah Kejujuran
Jujur adalah mata uang yang berharga dan berlaku dimana-mana. Begitulah menurut kata
bijak yang sering kita dengar. Kejujuran didalam berdagang akan memberikan keberkahan
kepada penjual dan pembeli. Kejujuran adalah akhlak para nabi dan rasul. Semoga kita
dimudahkan untuk senantiasa jujur.
“Barangsiapa yang menipu bukanlah golongan kami. Makar dan tipuan tempatnya adalah
neraka.” (HR. Thabrani)
Sikap terbaik bagi penjual ialah memberi tahu kepada pembeli atau konsumen tentang
kelebihan dan kekurangan atau cacat barang yang akan dibelinya. Berikanlah saran dan
informasi kepada pembeli untuk memudahkan didalam memilih barang yang akan dibelinya.
Dan janganlah pelit informasi dan menyembunyikan kecacatan barang supaya laku keras.
“Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidak halal bagi seorang muslim
menjual barang yang mengandung cacat kepada orang lain, kecuali jika ia menjelaskan.”
(HR. Ahmad, Ibnu Majah)
Marilah kita renungkan sejenak betapa keuntungan yang tidak seberapa dan kita berlaku
curang itu tidak sebanding dengan beratnya hukuman yang kita terima di akhirat kelak. Oleh
karenanya takarlah sesuai takaran, dan takarlah dengan baik serta janganlah mengurangi
takaran.
6. Janganlah menimbun
Rasa senang ketika menimbun barang itu laksana berdiri diatas penderitaan orang lain dan
ia memanfaatkan rasa butuh orang lain atas barang tersebut dan mereka melepas barang yang
ia tinbun dengan harga tinggi. Semoga Allah lindungi kita dari praktik seperti ini.
Menebar sumpah yang sebenarnya dusta kepada pembeli untuk meyakinkan pembeli agar
segera membeli adalah perbuatan yang tidak terpuji dan akan menghilangkan berkahnya
didalam berdagang.
“Sumpah dusta itu melariskan barang dagangan, namun menghilangkan berkah usaha.”
(Muttafaq ‘Alaihi)
Teriring doa, semoga keluarga kita dijauhkan dari harta yang haram, dimudahkan dalam
menjemput harta yang halal, dan dimudahkan didalam menginfakkan harta yang halal
tersebut serta senantiasa diliputi oleh keberkahan dari harta yang halal.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Mata pencaharian yang halal lebih sulit
dari pada memindah gunung.” Dagang adalah satu diantara tegaknya agama dan dunia.
Nasr bin Yahya berkata, Telah sampai kepada kami sebagian nasihat para ahli ilmu, “Tak
akan tegak agama dan dunia, kecuali dengan empat perkara : ulama, umara (pemimpin),
prajurit, dan pengusaha (Dagang).”
Sebagai seorang pedagang perlu adanya ilmu agar ia terjaga dari sikap yang tidak baik
atau curang, saling merugikan dan tenggelam dalam lautan riba.
“Seorang pedagang jika tidak faham fikih akan tenggelam dalam riba, tenggelam dan
makin terbenam.” (Ali bin Abi Thalib)
Barangsiapa yang belum belajar agama, jangan berdagang di pasar kami.” (Umar bin
Khaththab)
Oleh karenanya belajar bab jual beli, muamalah, dan perdagangan serta akhlak didalam
berdagang perlu dipahami dan direnungkan sebelum terjun ke dunia perdagangan atau
wirausaha dikarenakan kemaslahatan yang besar bagi yang memahami dan mempraktikannya
dalam dunia perdagangan.